BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam transisi mikronutrien yang diperlukan secara renik dan esensial oleh organisme untuk berbagai fungsi vital, tetapi pada jumlah tertentu fungsinya akan berubah menjadi logam paling beracun bagi organisme akuatik, misalnya ganggang dan bakteri. (Srinivasan dan Swain, 2007). Pada tahun 1985 diperkirakan sejumlah 20 hingga 30% dari armada kapal maupun perahu yang menggunakan cat antifouling yang menggunakan senyawa tributyltin tersebut (Clark dkk, 1988). Cu telah menjadi biosida utama yang ditambahkan dalam cat antifouling sebagai konsekuensi dari pelarangan pembuatan cat berbahan dasar tributyltin (TBT) (Srinivasan dan Swain, 2007). Pelarangan terjadi karena senyawa ini menyebabkan imposet pada organisme yang terkena olehnya dan efek yang terjadi tidak sesuai untuk organisme targetnya. Pabrik cat pada saat sekarang sering menggunakan alternatif “TBTbebas” yang secara kimia akan bisa menimbulkan warna tampak pada cat jika berada dalam air laut seperti Cu2O atau CuSCN dikombinasikan dengan biosida organik sebagai kontrol fouling seperti Copper Phyritione (CPT) atau kompleks Cu dari 2-mercaptopyridine-1-oxide. Oleh karena itu dikarenakan sebab tersebut akan timbul efek pada peningkatan konsentrasi Cu di perairan laut di seluruh dunia (Ytreberg dkk., 2010). Penggunaan cat antifouling dilakukan karena terjadinya proses fouling pada berbagai alat transportasi yang melintas perairan setiap harinya. Fouling merupakan akumulasi mikroorganisme, tanaman, maupun hewan pada permukaan yang terendam air (Yebra dkk., 2004). Fouling merupakan fenomena alam yang telah terjadi sejak zaman kuno yaitu tumbuhnya biota laut seperti teritip, ganggang dan kerang yang tumbuh di permukaan kapal yang terendam di laut (Anonim, 1952). Anonim (1952) dan Champ (2000) menyatakan bahwa fouling adalah masalah besar terutama berhubungan masalah pengiriman 1 2 dikarenakan hal ini terkait dengan kerugian ekonomi akibat penurunan kecepatan dan biaya yang lebih tinggi untuk bahan bakar dan biaya perawatan lambung kapal. Cat antifouling sering digunkan di lambung kapal untuk mencegah menempelnya fouling organisme seperti teritip, kerang, dan organisme lain yang tumbuh pada lambung kapal yang terendam air (Fernandez-Alba dkk., 2002; Karlsoon dan Eklund, 2004). Anonim (1952) menyatakan bahwa sejarah panjang pencegahan fouling, berbagai variasi metode telah digunakan seperti pitch, tar, dan selubung Cu. Menurut Kusumastuti dkk. (2003), senyawa tribultyltin yang digunakan untuk mencegah terjadinya kebocoran pada kapal akibat penempelan biota atau biofouling, dinilai cukup efektif mencegah dan memperlambat penempelan biota pengotor pada struktur kapal maupun struktur bangunan laut. Studi tentang monitoring pencemaran laut dan toksisitas oleh senyawa organotin, khususnya tributyltin telah menjadi perhatian khusus di negara maju. Senyawa tributyltin bertanggung jawab pada gangguan sistem endokrin di sejumlah siput laut betina yang mengakibatkan pada perkembangan karakteristik organ kelamin jantan. Senyawa tributyltin juga menyebabkan gangguan sistem imun pada organisme dan kerang laut yang membentuk perubahan formasi (anomali) cangkang setelah pelepasan tributyltin pada level begitu rendah (Sudaryanto, 2001). Senyawa ini dilihat efek toksisitasnya maka penggunaannya sebagai antifouling kemudian banyak ditinggalkan dan beralih ke penggunaan Cu dalam cat. Menurut Berard (1996), alga mempunyai peran penting dalam keseimbangan ekosistem akuatik karena berada di tingkat pertama dalam rantai makanan yang memproduksi bahan organik dan oksigen melalui proses fotosintesis yang sangat dibutuhkan bagi organisme lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan uji toksisitas Cu(II) terhadap mikroalga laut Isochrysis sp. serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan sel dan kandungan klorofil-a Isochrysis sp. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi tentang batas aman konsentrasi Cu(II) di laut yang disebabkan oleh cat antifouling dari lalu lintas kapal yang ada di laut. Pengukuran klorofil sangat penting dilakukan karena kadar klorofil dalam volume suatu air laut dapat dijadikan petunjuk bagi 3 kesuburan tumbuhan yang terdapat dalam air laut tersebut (Sihombing, 2013). Biota uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Isochrysis sp. yang merupakan salah satu mikroalga produsen primer dalam suatu rantai makanan di perairan laut dan merupakan sumber makanan bergizi bagi bivalvia dan zooplankton herbivora. Selain itu digunakan Isochrysis sp. karena merupakan indikator yang relevan dalam monitoring lingkungan dan mudah untuk dipelihara serta mempunyai sensivitas yang tinggi terhadap polutan sehingga banyak digunakan dalam uji toksikologi (Ismail dkk., 2002). I.2 Tujuan Penelitian 1. Menentukan nilai IC50-96 jam Cu(II) terhadap mikroalga Isochrysis sp. 2. Mempelajari pengaruh variasi konsentrasi Cu(II) terhadap pertumbuhan mikroalga Isochrysis sp. 3. Mempelajari kelarutan Cu(II) dalam air laut sintetik. 4. Mempelajari pengaruh konsentrasi Cu(II) terhadap kandungan klorofil-a pada mikroalga Isochrysis sp. I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi tentang batas aman konsentrasi Cu(II) pada air laut dan efek dari Cu(II) pada mikroalga Isochrysis sp. yang bisa digunakan sebagai dasar penentuan standar baku mutu Cu(II) di perairan laut Indonesia maupun dunia.