BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat
yang diperlukan dalam
melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran
utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari
perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya.
Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat,
yang disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang selalu mengalami pertambahan
dalam jumlah dan kualitasnya. Menurut Sukirno (2004) dalam analisis makro,
tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari
perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilaksanakan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan di setiap daerah
menjadi perhatian pemerintah karena pada dasarnya pertumbuhan ekonomi
nasional merupakan agregasi pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan
ekonomi antardaerah di Indonesia sangat beragam. Keragaman tersebut menjadi
salah satu faktor yang memunculkan konsepsi daerah maju-tertinggal.
Pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah mulai 1 Januari 2001, yang kemudian diperbarui
2
dengan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004, memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan
keuangan daerah. Otonomi daerah mempunyai tujuan dalam rangka mencapai
kemandirian daerah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Hal
tersebut dimaksudkan bahwa daerah lebih mengerti kondisi daerahnya sehingga
pembangunan daerah akan dapat difokuskan pada prioritas kebutuhan dan potensi
yang dimiliki daerah masing-masing.
Selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak daerah
yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal (36,82 persen dari 497
kabupaten/kota se-Indonesia). Informasi tersebut berdasarkan SK Menteri
Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 44/KEP-M-PDT/2010. Pada Gambar 1.1
dapat dilihat bahwa Pulau Sumatra memiliki paling banyak daerah tertinggal
(25,14 persen), diikuti oleh Pulau Sulawesi dan Papua masing-masing 19,13
persen dan 18,58 persen.
tertinggal
36,82
Sumatra
4,92
8,74
19,13
Jawa Bali
15,3
25,14
Kalimantan
Sulawesi
18,58
Nusa
Tenggara
Maluku
2,73
Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, 2010 (diolah)
Gambar 1.1. Persentase Jumlah Daerah Tertinggal Menurut Pulau
3
Masih banyaknya kabupaten di Pulau Sumatra yang tergolong sebagai
daerah tertinggal patut menjadi perhatian. Daftar 22 daerah tertinggal di Pulau
Sumatra yang menjadi fokus penelitian pada Lampiran 1. Kondisi perekonomian
22 daerah tertinggal di Sumatra jika dibandingkan dengan angka nasional relatif
kecil. Rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga
konstan (ADHK) 22 daerah tertinggal sangat kecil, bahkan hanya sekitar 33
persen dari rata-rata daerah secara nasional. Pertumbuhan ekonominya juga relatif
lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun
2007, pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal sebesar 6,2 persen, lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan nasional yang sebesar 6,28 persen. Perbedaan ini
mengindikasikan bahwa masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang
cukup besar antardaerah.
Tabel 1.1. Perbandingan Rata-rata PDRB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi
di 22 Kabupaten Tertinggal dengan Nasional Tahun 2007-2009
Tahun
Rata-rata PDRB ADHK
(Miliar Rp)
Pertumbuhan Ekonomi
(persen)
Tertinggal
Nasional
Tertinggal
Nasional
2007
1.352,45
4.281,21
6,20
6,28
2008
1.429,45
4.591,57
5,69
6,43
2009
1.508,31
4.794,41
5,52
4,74
Sumber: BPS, 2007-2009 (diolah)
Menurut hasil studi Bappenas (2007), perbedaan kondisi karakteristik
daerah tertinggal dengan daerah maju merupakan penyebab bervariasinya
keberhasilan pembangunan antar daerah. Pada umumnya kabupaten tertinggal
merupakan daerah yang relatif sulit dijangkau, memiliki potensi sumber daya
4
alam dan sumber daya manusia yang terbatas, keterbatasan sarana dan prasarana,
serta merupakan daerah rawan bencana atau konflik.
Pada Gambar 1.2 memperlihatkan keragaman karakteristik di antara 22
kabupaten tertinggal. Daerah tertinggal yang akses dari dan menuju daerah
tersebut tergolong masih sulit masih sebesar 45,45 persen, Separuh kabupaten
merupakan daerah rawan bencana sehingga menghambat pembangunan bahkan
merusak fasilitas yang telah dibangun. Sejumlah 72,73 persen kabupaten
mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) yang minimal dan belum dikelola dengan
baik. Kualitas SDM di 21 kabupaten (95,45 persen) masih di bawah angka Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) nasional.
100%
persentase
80%
95,45
60%
72,73
40%
50,00
45,45
20%
0%
hambatan
geografis
Minim SDA
Kualitas SDM
Rendah
karakteristik
rawan
Bencana/Konflik
Sumber: BPS (2008 dan 2010), diolah
Gambar 1.2. Persentase Daerah Berdasarkan Karakteristik di 22 Kabupaten
Tertinggal
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, salah satu cara yang dapat
dilakukan daerah tertinggal adalah dengan meningkatkan belanja pemerintah
daerah. Sodik (2007) mengemukakan bahwa belanja pemerintah daerah (baik
belanja
rutin
maupun
pembangunan)
berpengaruh
signifikan
terhadap
5
pertumbuhan
ekonomi.
Belanja
pemerintah
daerah
merupakan
bentuk
rangsangan/stimulus yang dilakukan untuk memacu perkembangan perekonomian
daerah.
Kontribusi belanja pemerintah daerah terhadap PDRB berkisar antara 2025 persen, berbeda dengan nasional yang hanya sembilan persen terhadap PDB.
Campur tangan pemerintah daerah yang masih besar sesuai dengan tahap
perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Musgrave, yang masih berada di
tahap awal perkembangan.
Pengelolaan keuangan pemerintah daerah tidak saja
mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong
pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana
tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah dalam konteks
desentralisasi fiskal itu dilaksanakan. Hasil pertumbuhan ekonomi diarahkan agar
dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan
sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah.
Belanja
pemerintah
daerah
masih
didominasi
dengan
belanja
rutin/pegawai sebesar 45 persen, sedangkan belanja modal hanya 22 persen dari
total belanja. Oleh karena itu, peningkatan volume keuangan daerah belum
optimal digunakan untuk pembangunan. Menurut alokasi fungsi belanja tahun
2010 pada Gambar 1.3, yang terbesar adalah belanja fungsi pelayanan umum
yaitu 36 persen, yang
terendah sebesar 8 persen merupakan belanja fungsi
kesehatan. Belanja pemerintah daerah untuk fungsi pendidikan sudah cukup tinggi
sebesar 26 persen, sedang untuk fungsi ekonomi masih 10 persen dari total
belanja.
6
lainnya
20
pelayanan umum
36
ekonomi
10
kesehatan
8
pendidikan
26
Sumber: Kementrian Keuangan, 2010 (diolah)
Gambar 1.3. Rata-rata Alokasi Belanja Daerah Menurut Fungsi Tahun 2010
1.2. Perumusan Masalah
Pemerintah merumuskan kegiatan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam rangka mempercepat
pembangunan daerah (PP Nomor 32/2011). Hal tersebut bertujuan memberikan
akselerasi positif bagi pelaksanaan pembangunan di setiap wilayah, terutama
implikasinya bagi daerah tertinggal. Daerah tertinggal memerlukan programprogram yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakatnya. Program
yang dicanangkan diharapkan dapat langsung mencapai sasaran permasalahan
yang ada di daerah tersebut.
Perkembangan desentralisasi di Indonesia berimplikasi pada keleluasaan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya, baik sisi penerimaan maupun
pengeluaran. Menurut Dumairy (1996), anggaran belanja merupakan salah satu
instrumen kebijakan fiskal yang dapat memengaruhi perekonomian melalui fungsi
anggaran dalam alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
7
Berdasarkan pendekatan Keynes yang mengasumsikan bahwa hubungan
sebab akibat berlangsung dari pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi. Selain itu, penelitian Rahayu (2004) menunjukkan bahwa investasi
pemerintah (yang didekati dari belanja modal/pembangunan) memengaruhi
pertumbuhan ekonomi, sedangkan konsumsi pemerintah tidak berpengaruh
signifikan. Oleh karena itu, kondisi keragaman alokasi pengeluaran/belanja
antardaerah diasumsikan akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasikan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum kondisi karakteristik dan perkembangan kinerja
perekonomian di 22 daerah tertinggal.
2. Bagaimana pengaruh belanja per fungsi (sebagai proksi terhadap belanja
maupun investasi pemerintah daerah) terhadap kinerja pembangunan
(pertumbuhan ekonomi) di 22 daerah tertinggal.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan, maka ditetapkan
tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
kondisi
karakteristik
dan
perkembangan
kinerja
perekonomian 22 daerah tertinggal di Pulau Sumatra.
2. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah per fungsi (sebagai proksi
terhadap belanja/konsumsi maupun investasi pemerintah daerah) terhadap
8
kinerja pembangunan daerah (pertumbuhan ekonomi) pada 22 daerah
tertinggal di Pulau Sumatra.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak terutama pemerintah daerah tertinggal, dalam mengambil kebijakan yang
dapat memberikan kemajuan pembangunan dalam rangka percepatan dan
pengentasan daerahnya. Pengalokasian belanja daerah lebih mendasarkan pada
pengembangan ekonomi lokal dan infrastruktur sebagai modal untuk dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Download