5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bawang Merah Bawang merah diduga berasal dari daerah Asia Tengah yang telah dikenal dan dimanfaatkan sejak beberapa ribu tahun lalu. Tanaman ini berperan dalam peningkatan kesejahteraan manusia dan mempunyai khasiat sebagai obat tradisional, antara lain untuk pengobatan sakit panas, masuk angin, disentri dan gigitan serangga serta juga sebagai bumbu penyedap (Rukmana 1995). Bawang merah termasuk dalam genus Allium yang paling populer dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, selain bawang putih dan bawang bombay. Menurut Wibowo (2009) hingga saat ini, penyebaran bawang merah telah meluas hampir ke setiap negara sehingga bawang merah mempunyai sebutan yang berbeda. Di Indonesia, sendiri terdapat sebutan yang beragam di beberapa daerah, seperti bawang beureum (Sunda), brambang (Jawa), bawang suluh (Lampung), jasun mirah (Bali), dan sebagainya. Tanaman bawang merah termasuk tanaman semusim berbentuk rumpun dan tumbuh tegak yang termasuk kedalam famili Liliaceae. Klasifikasi tanaman bawang merah dalam Hendro Sunarjono dan Prasodjo Soedomo (1983) adalah sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospemae Classis : Monocotyledoneae Familia : Liliaceae Genus : Allium Spesies : Allium ascalonicum L. Tanaman bawang merah secara morfologis terdiri atas akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Akar bawang merah termasuk jenis serabut dengan perakaran dangkal dan bercabang terpencar. Batangnya berbeda degan tanaman yang seperti biasa, memiliki bentuk cakram, tipis dan pendek. Bentuk daunnya seperti pipa dengan panjang 50-70 cm, ujung daunnya meruncing, berwarna hijau muda sampai hijau tua. Bunganya berwarna putih dan termasuk bunga sempurna (hermaphrodite) bisa menyerbuk sendiri atau serbuk silang dengan bantuan 5 6 serangga. Hasil dari pembuahan selanjutnya akan berkembang menjadi biji yang berwarna hitam, berbentuk pipih dan dapat digunakan sebagai bahan tanam (Wibowo 2009). Biji bawang merah merupakan hasil pembuahan dari bunga yang dibantu oleh serangga atau bantuan manusia. Biji bawang merah dapat digunakan sebagai perbanyakan bahan tanam secara generatif. Pematangan buah untuk menghasilkan biji kurang lebih 1,5 sampai 2 bulan sejak berbunga, berwarna kecoklatan dan mengering. Seleksi biji bawang merah dilakukan setelah pemanenan dilakukan, karena biji yang dihasilkan tidak semuanya bisa tumbuh menjadi individu baru. Pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai 9% - 12%. Pengemasan dapat dilakukan dengan kantong aluminium foil dan disimpan dalam ruangan dingin 05o C (Rukmana 2000). Bawang merah memiliki persyaratan tumbuh di daerah beriklim tropis, peka terhadap curah hujan, intensitas hujan yang tinggi, dan cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32°C, dan kelembaban nisbi 50-70%. Pada suhu udara rata-rata 22o C dapat membentuk umbi, tetapi tidak sebagus dengan suhu yang lebih panas dengan peyinaran lebih dari 12 jam (Sumarni dan Hidayat 2005). Hambatan utama dalam budidaya di luar musim adalah melimpahnya air yang dapat mengakibatkan tercucinya unsur hara dan tingginya intensitas serangan hama dan penyakit. Menurut (Baswarsiati et al 1996) saat musim hujan, ketersediaan air yang melimpah di lahan mengakibatkan tanaman bawang merah sangat rentan terserang penyakit, seperti Onion Yellow Dearf Virus (OYDV). Kondisi ini menyebabkan hasil produksi bawang merah yang lebih rendah, sekitar 20-25% lebih rendah dari musim kemarau. Mutu umbi yang dihasilkan juga lebih rendah. Dalam menyiasati tercucinya unsur hara dapat dilakukan dengan pemberian mulsa plastik. Penggunaan mulsa plastik mampu meningkatkan hasil bawang merah (Woldetsadik et al 2003) dan bawang putih (Vavrina and Roka 2000) karena pemberian mulsa mampu menjaga kelembababan tanah, meningkatkan suhu tanah, menekan pertumbuhan gulma dan hama penyakit serta mengurangi tercucinya hara dalam tanah. 7 Biji merupakan alat perkembangbiakan secara generative yang dihasilkan dari peleburan sel kelamin jantan (benang sari) dan sel kelamin betina (putik) menjadi gamet berkembang menjadi biji (Esfahani 2012). Pembibitan biji bawang merah memiliki peranan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan benih selain menggunakan umbi. Kualitas dari biji sangat bagus untuk memperbaiki sifat genetis tanaman. Biji botani bawang merah (True Shallot Seed/TSS) dapat digunakan sebagai bahan tanam untuk budidaya. TSS mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan umbi bibit, antara lain volume kebutuhan TSS lebih sedikit (3-6 kg/ha) daripada umbi bibit (1-1,5 ton/ha), pengangkutan dan penyimpanan TSS lebih mudah dan lebih murah, tanaman asal TSS lebih sehat karena TSS bebas patogen penyakit seperti yang sering terbawa pada umbi bibit dan menghasilkan umbi berkualitas lebih baik yaitu lebih besar. Sampai saat ini, penggunaan TSS untuk budidaya bawang merah belum banyak dilakukan di Indonesia. Penyebabnya antara lain ketersediaan TSS sebagai sumber benih yang sehat masih jarang karena belum banyak yang memproduksi TSS, dan juga teknik produksi yang baik dan efisien masih belum diketahui sepenuhnya (Sumarni et al 2011). B. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Hormon tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan termasuk unsur hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat (inhibit) dan dapat merubah proses fisiologis tumbuhan. Hormon tumbuh tidak dihasilkan oleh suatu kelenjar sebagaimana pada hewan, melainkan dibentuk oleh sel-sel yang terletak di titik-titik tertentu pada tanaman, terutama titik tumbuh di bagian pucuk tunas maupun ujung akar. Selanjutnya hormon akan bekerja pada jaringan disekitarnya, ditranslokasi ke bagian tanaman yang lain untuk aktif bekerja di sana. Pergerakan hormon dapat terjadi melalui pembuluh tapis, dan pembuluh kayu.Secara individu tanaman akan memproduksi sendiri hormon setelah mengalami rangsangan. Proses produksi hormon dilakukan secara endogen oleh tanaman. Lingkungan merupakan faktor penting yang dapat memicu tanaman untuk memproduksi hormon. Setelah menghasilkan hormon hingga pada 8 ambang konsentrasi tertentu, maka sejumlah gen yang semula tidak aktif akan memulai menunjukkan reaksi sehingga akan menimbulkan perubahan fisiologis pada tanaman (Riyadi 2004). Zat pengatur tumbuh dapat diartikan sebagai senyawa organik selain zat hara yang dalam jumlah sedikit mendorong (promote), menghambat (inhibit) maupun merubah berbagai proses fisiologis tanaman. Zat pengatur tumbuh adalah salah satu bahan sintetis atau hormon tumbuh yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui pembelahan sel, perbesaran sel dan deferensiasi sel (Hartman dkk 2002). Ahli biologi tumbuhan telah mengidentifikasi 5 tipe utama ZPT yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat dan etilen. Adapun fungsi zat pengatur tumbuh yaitu : Hormon Auksin : IAA merupakan auksin alami dan IBA, NAA merupakan auksin sintetik. Pada perkecambahan benih : auksin akan mematahkan dormansi benih dan akan merangsang proses perkecambahan benih. Pada perkecambahan hormon gibereline berfungsi: Mematahkan dormansi atau hambatan pertumbuhan tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh normal dengan cara mempercepat proses pembelahan sel. Menurut Intan (2008), dan Mahadi (2011), sitokinin mempunyai beberapa fungsi, antara lain: Memacu pembelahan sel dalam jaringan meristematik , merangsang diferensiasi sel-sel yang dihasilkan dalam meristem dan Merangsang pembentukan pucuk dan mampu memecah masa istirahat biji serta merangsang pertumbuhan embrio. Hormon Asam Absisat berfungsi dalam menghambat pertumbuhan, hal ini dilakukan untuk membantu tumbuhan untuk bertahan dalam kondisi yang sulit, sehingga hormon absisat hanya diproduksi jika tumbuhan mengalamai kondisi seperti kekurangan air, pada musim dingin, musim kering, dan musim gugur sehingga terjadi proses-proses untuk menghambat pertumbuhan.Hormon Etilen berfungsi mengakhiri masa dormansi, merangsang pertumbuhan akar dan batang, pembentukan akar adventif, merangsang absisi buah dan daun, merangsang induksi bunga Bromiliad dan merangsang pemekaran bunga.