Mengerek Kinerja Perpajakan 2015 Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI* Pada awalnya, pemerintah mencanangkan tahun 2015 ini sebagai tahun awal kebangkitan perpajakan di Indonesia. Pemerintah sadar bahwa negara modern adalah negara yang mampu memanfaatkan peran perpajakannya secara optimal. Karenanya seiring dengan kesuksesan reformasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), pemerintah berusaha mengeskalasi peran perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam kesepakatan APBN-P 2015, besaran target penerimaan perpajakan ditetapkan sebesar Rp1.489,3 triliun atau 84,5% dari total pendapatan negara. Jika dibandingkan target awal APBN 2015 sebesar Rp1.379,9 triliun, angka tersebut sudah mengalami penyesuaian. Dengan sumbangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp269,1 triliun maka total target pendapatan negara secara keseluruhan dalam APBN-P 2015 sebesar Rp1.761,6 triliun. Di tengah perlambatan ekonomi global paska krisis Eropa dan Amerika Serikat, beberapa pengamat sebetulnya sempat meragukan target tersebut. Beberapa bahkan menyebutkan pemerintah terlalu optimis bahkan boleh dikatakan sedikit tidak realistis, terlebih jika hanya mengandalkan pertumbuhan pajak secara alamiah. Catatan tahun-tahun sebelumnya dimana realisasi perpajakan selalu lebih rendah dari target, juga perlu diwaspadai. Realisasi APBN-P 2013 misalnya hanya mencapai 95,7% dari target atau lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2012 yang mencapai 98,5%. Untungnya, realisasi belanja negara dalam APBN-P 2013 juga mengalami perlambatan hingga 95,0% target atau lebih rendah jika dibandingkan realisasi belanja negara di tahun 2012 yang mencapai 96,3% dari APBN-P 2012, sehingga keberlanjutan fiskal masih dapat terjaga di level yang memadai dengan defisit 2,23% PDB atau sekitar Rp202,8 triliun sementara debt ratio mencapai 23,4% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Defisit fiskal yang relatif terjaga membuat pemerintah masih memiliki fleksibilitas dalam melakukan beberapa akselerasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah. Pengalaman twin deficit di pertengahan 2013 memberikan pelajaran yang sangat berarti atas pentingnya menjaga stabilitas ini. Kinerja 2015 Sayangnya, keraguan akan pencapaian kinerja pemerintah sepertinya mulai terbukti. Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Jenderal Pajak (DJP), hingga medio 31 Mei 2015, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp377,0 triliun atau 29,13% dari target APBN-P 2015 sebesar Rp1.489,3 triliun. Penurunan penerimaan perpajakan di bulan Mei 2015 dari Rp111,9 triliun menjadi Rp66,9 triliun kemudian dianggap sebagai salah satu faktor utama melemahnya kinerja tersebut. Dari sisi realisasi per komponen, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) NonMigas sudah mencapai Rp215,7 triliun dibandingkan realisasi tahun 2014 sebesar Rp195,1 triliun. Secara teori, PPh NonMigas ini merupakan salah satu instrumen untuk mengetahui pertumbuhan kesejahteraan dan sisi kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Pertumbuhan yang tertinggi dicatatkan oleh PPh Pasal 26 yakni 23,1%, atau sebesar Rp15,1 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp12,2 triliun. PPh Pasal 26 ini adalah pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak luar negeri. Pertumbuhan tinggi selanjutnya dari PPh Final yakni 21,5%, atau sebesar Rp 38,3 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 31,5 triliun. Pencapaian ini sekiranya merupakan buah keberhasilan dari kebijakan pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Pertumbuhan yang cukup besar juga tercatat dari PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi yaitu 15,7% atau sebesar Rp3,1 triliun dibandingkan periode yang sama 2014 sebesar Rp2,7 triliun. Kemudian disusul realisasi PPh Pasal 25/26 Badan yakni 11,2% atau sebesar Rp82,7 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp74,5 triliun. Untuk PPh Pasal 21 pertumbuhan tercatat 9,1% atau sebesar Rp46,3 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp42,4 triliun. Pertumbuhan lainnya adalah PPh Pasal 23 yakni 10,1% atau sebesar Rp10,8 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp9,8 triliun. Pertumbuhan yang dicatatkan PPh NonMigas, PPh Pasal 26, PPh Final, PPh Pasal 25/29 Badan, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi tersebut patut disyukuri karena mencerminkan meningkatkan partisipasi masyarakat, baik wajib pajak Orang Pribadi maupun wajib pajak Badan dalam membayar pajak. Namun demikian, DJP juga mencatat adanya penurunan pertumbuhan dari PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor. PPh pasal 22 mengalami penurunan hingga 5,8% atau Rp2,3 triliun dibandingkan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp2,4 triliun. Sementara realisasi PPh Pasal 22 Impor mengalami penurunan sebesar Rp12,3% atau Rp17,2 triliun dibandingkan realisasi tahun 2014 sebesar Rp19,6 triliun. Penurunan juga diperlihatkan oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 6,1% atau Rp141,6 triliun dibandingkan realisasi tahun 2014 sebesar Rp150,7 triliun. Berdasarkan hasil stress test Bank Indonesia, perlambatan ekonomi di kuartal pertama tahun 2015 yang ditandai dengan kurs Rupiah yang melemah dan penurunan impor Indonesia dari awal tahun hingga akhir April 2015 berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan PPh Pasal 22 Impor. Kondisi tersebut juga berpengaruh pada PPN Impor yang mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 10,7% atau sebesar Rp53,7 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp60,1 triliun. Demikian pula halnya dengan PPnBM Impor yang juga mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 28,4% atau sebesar Rp1,8 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp2,6 triliun. Penurunan konsumsi dalam negeri berkontribusi pada penurunan penerimaan PPN Dalam Negeri sebesar 1,9% atau sebesar Rp82,2 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp83,8 triliun. Penurunan konsumsi atas barang mewah berdampak pada penurunan pertumbuhan PPnBM Dalam Negeri sebesar 8,5% atau sebesar Rp3,8 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp4,1 triliun. Pertumbuhan positif justru diperlihatkan oleh PPN/PPnBM Lainnya sebesar 1,4% atau sebesar Rp80,6 miliar dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp79,5 miliar. Belum pulihnya ekonomi di sektor migas yang ditandai masih berlangsungnya penurunan lifting minyak bumi dan anjloknya harga minyak berkontribusi pada penurunan pertumbuhan PPh Migas sebesar 54,2% atau sebesar Rp17,2 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp37,6 triliun. Penurunan pertumbuhan PPh Migas ini sudah diperkirakan sebelumnya mengingat target penerimaan PPh Migas di APBN-P 2015 sebesar Rp49,5 triliun jauh berkurang dibandingkan target penerimaan PPh Migas di APBN-P 2014 sebesar Rp87,4 triliun. Penurunan pertumbuhan yang besar juga dicatatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yakni 50,2% atau sebesar Rp449,9 miliar dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 904,0 miliar. Salah satu penyebab penurunan pertumbuhan PBB adalah belum terealisasinya pemindahbukuan dari rekening Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke rekening penerimaan pajak. Selain itu, diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.011 Tahun 2014 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi Pada Tahap Eksplorasi juga turut berkontribusi pada penurunan pertumbuhan PBB. Penurunan terakhir dicatatkan Pajak Lainnya yakni 4,8% atau sebesar Rp2,0 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp2,1 triliun. Meskipun mendapatkan prospek pertumbuhan yang kurang menggembirakan, dalam beberapa kesempatan pemerintah masih merasa yakin bahwa target penerimaan perpajakan tahun 2015 cukup realistis untuk dicapai. Beberapa jurus agresif juga terus dijalankan demi misi pencapaian target. Barang mewah misalnya, menjadi salah satu komoditas yang diincar untuk diperluas sebagai basis penerimaan perpajakan yang baru melalui revisi aturan kriteria barang sangat mewah yang terkena PPh 22 sebesar 5% dari harga jual. Hal yang terpenting adalah revisi obyek menjadi semua pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi, semua jenis kapal pesiar/yacht dan sejenisnya, rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi, apartemen dan kondominium sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10 miliar dan atau luas bangunan dengan ukuran lebih dari 400 meter persegi, kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 personal berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), MPV, minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5 miliar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc serta kendaraan bermotor roda dua dan tiga dengan harga jual di atas Rp300 juta atau berkapasitas di atas 250 cc. Yang terbaru, pemerintah juga mewacanakan pelonggaran hak milik properti oleh Warga Negara Asing (WNA) melalui rancangan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1996 tentang Hak Pakai Properti oleh WNA. Di dalam regulasi yang ada saat ini, WNA hanya memiliki hak pakai dan hak guna usaha bukan hak kepemilikan. Hak pakai properti oleh WNA pun dibatasi 25 tahun, serta dapat diperpanjang selama 20 tahun dan 25 tahun kemudian. Dengan revisi tersebut, maka ke depannya WNA boleh memiliki hak atas properti untuk apartemen mewah dengan harga tertentu dan tidak untuk landed house. Penerapan aturan ini nantinya akan diseleraskan juga dengan rencana penerapan PPnBM properti. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 601/KMK.01 Tahun 2015 yang sudah mulai berlaku sejak bulan lalu. Beberapa layanan unggulan yang diatur dalam regulasi tersebut adalah permohonan legalisasi salinan dokumen wajib pajak berupa surat keterangan domisi wajib pajak luar negeri yang menerima penghasilan melalui kustodian. Kemudian pelayanan permohonan Surat Keterangan Fiskal (SKF) wajib pajak yang bersifat gratis dan jangka waktu penyelesaian paling lama 15 hari kerja. Juga diatur masalah permohonan penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) cetak ulang PBB sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan dan lainnya. Yang terakhir adalah regulasi mengenai pelayanan permohonan pemindahbukuan karena kelebihan pajak dengan jangka waktu pelayanan 30 hari dan gratis untuk biaya pengurusan. Dengan memperhitungkan segala potensi pencapaian dan rintangan yang ada, penulis sejujurnya masih merasa cukup yakin bahwa pemerintah akan dapat mencapai target penerimaan perpajakan 2015. Syaratnya tentu saja dukungan dari segenap aparat perpajakan, masyarakat serta pelaku usaha. Namun jika nanti akhirnya target tersebut tetap tidak akan tercapai, jalan yang sudah dirintis tahun 2015 ini, diharapkan akan menjadi infrastruktur yang sangat berguna bagi pencapaian tahun-tahun berikutnya. *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja