BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lanjut usia adalah periode dimana organisme telah mencapai masa keemasan
atau kejayaannya dalam ukuran, fungsi, dan juga beberapa telah menunjukkan
kemundurannya sejalan dengan berjalannya waktu. Pertambahan umur ditandai
dengan adanya penurunan massa otot serta kekuatan otot, dimana semua makhluk
hidup memiliki siklus kehidupan menuju tua yang diawali dengan proses kelahiran,
kemudian tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak selanjutnya menjadi tua dan
akhirnya akan meninggal (Napitupulu, 2013). Menurut WHO, batasan usia lanjut
dikelompokkan sebagai berikut : pertengahan usia (middle age) ialah 45-59 tahun,
lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia
sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun (WHO, 1989).
Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses alamiah yang
tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti diri, mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi. Proses menua akan mengakibatkan terjadinya perubahan
9
10
pada
semua
sistem
tubuh,
termasuk
sistem
neuromuskuler
dan
sistem
muskuloskeletal (Isma, 2011).
2.1.2 Epidemiologi Ganguan Keseimbangan Pada Lansia
Insiden jatuh pada lansia sangat merugikan karena dapat menyebabkan
hilangnya fungsi fisik, kemandirian, menyebabkan kematian serta hilangnya
pemanfaatan kesehatan (Nurhayati, 2013). Insiden jatuh pada lansia salah satunya
diakibatkan karena adanya gangguan keseimbangan yang sering dialami oleh lansia.
Faktor yang menyebabkan jatuh pada lansia yaitu, faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi: permasalahan keseimbangan dan berjalan,
kelemahan otot, riwayat jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu, permasalahan
penglihatan, radang sendi, depresi, permasalahan kognitif. Faktor ekstrinsik
meliputi: kondisi lantai yang tidak rata, licin, barang berserakan dilantai, kamar tidur
yang tidak stabil, tempat berpegangan yang tidak kuat, penerangan yang tidak baik
(Rahmanto, 2008).
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa seperti
berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali jatuh terjadi
pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau
olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan
olahraga, mungkin di sebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih
banyak (Nurhayati, 2013). Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia
yang berumur di atas 65 tahun mengalami jatuh. Jatuh dan osteoporosis secara
bersamaan mengakibatkan terjadinya fraktur panggul pada lansia. Sebanyak 38%
11
lansia yang jatuh dan dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90%
kejadian fraktur panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas. Sekitar satu
per empat kematian di AS disebabkan oleh jatuh dan terjadi pada 13% populasi
lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73% lansia yang mengalami jatuh
cenderung akan terjadi jatuh yang berulang (Nugraha, 2015).
2.2 Keseimbangan
2.2.1
Pengertian Keseimbangan
Keseimbangan didefinisikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol
pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap
bidang tumpu (base of support). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di
setiap segmen tubuh dengan di dukung oleh sistem musculoskeletal dan bidang
tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan
membuat
manusia
mampu
untuk
beraktifitas
secara
efektif
dan
efisien.
Keseimbangan sangat penting bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas fungsional
seperti fungsi mobilitas (Sibley et al, 2013).
Keseimbangan merupakan integrasi yang komplek dari sistem somatosensorik
(visual, vestibular, proprioseptive) dan motorik (musculoskeletal, otot, sendi jaringan
lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh
internal
dan
eksternal
tubuh
(Meylisa,
2012). Kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak
dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam
pembentukan keseimbangan. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan adalah
12
menyangga tubuh dalam melawan gravitasi dan untuk mempertahankan pusat massa
tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian
tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Yuliana, 2014).
Terdapat dua macam keseimbangan yaitu :
a.
Keseimbangan statis
Kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana titik pusat gravitasi
tidak berubah. Dalam keseimbangan statis, ruang geraknya sangat kecil, misalnya
berdiri di atas dasar yang sempit, melakukan hand stand, mempertahanan
keseimbangan setelah berputar-putar di tempat (Permana, 2012).
b.
Keseimbangan dinamis
Kemampuan orang untuk bergerak dari satu titik atau ruang kea lain titik
dengan mempertahankan keseimbangan, misalnya berjalan, duduk ke berdiri,
mengambil benda di bawah dengan posisi berdiri dan sebagainya (Permana, 2012)
2.2.2
Fisiologi keseimbangan
Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan
postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan
sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh
mempertahankan keseimbangan adalah menyanggah tubuh melawan gravitasi dan
faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar seimbang
dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain
bergerak (Yuliana, 2014).
13
Bagian
yang
paling
penting
untuk
menjaga
keseimbangan
adalah
proprioseptive. Proprioseptive dihasilkan melalui respon secara simultan, visual,
vestibular, dan system sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting
dalam menjaga stabilitas postural.
Paling diperhatikan dalam meningkatkan
propriseptive adalah fungsi dari sistem sensorimotor. Fisiologi keseimbangan dimulai
sejak informasi keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual
dan propioseptik. Dari ketiga jenis reseptor tersebut, reseptor vestibuler yang punya
kontribusi paling besar ( >50% ) kemudian reseptor visual dan yang paling kecil
konstibusinya adalah propioseptik. Ketika terjadi gerakan atau perubahan dari kepala
atau tubuh, cairan endolimfe pada labirin akan berpindah sehingga hair cells
menekuk. Terjadilah permeabilitas membran sel berubah sehingga ion kalsium
menerobos masuk kedalam sel (influx), Influx Ca menyebabkan depolarisasi dan juga
merangsang pelepasan NT eksitator (glutamat), saraf aferen (vestibularis) dan pusatpusat keseimbangan di otak (Yuliana, 2014).
Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor di mata
menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit menerima masukan kulit, reseptor di
sendi dan otot menerima masukan proprioseptif, reseptor di kanalis semikularis dan
organ otolit menerima masukan vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang
diterima di salurkan ke nukelus vestibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi
pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan
kembali ke nukleus vestibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik
otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang
14
diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata ekternal berupa kontrol gerakan
mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme
tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan dinamis
yang optimal (Astriyana, 2012).
Terdapat dua jenis motor ouput, yaitu disadari dan tidak disadari. Sebuah
tanggapan refleks mencakup beberapa gerakan ritmis seperti menelan, mengunyah,
menggaruk, dan berjalan. Sebagian besar gerakan reflek tidak disadari namun dapat
menyesuaikan gerakan yang disadari dan terkontrol. Untuk memindahkan anggota
badan, otak harus merencanakan gerakan, mengatur gerakan yang sesuai di berbagai
sendi pada saat yang sama, dan menyesuaikan gerakan dengan membandingkan
rencana dengan kinerja. Sistem motor "learn by doing" dan meningkatkan kinerja
dengan pengulangan. Hal ini melibatkan plastisitas sinaptik (Yuliana, 2014).
Perintah untuk gerakan yang disadari berasal dari daerah asosiasi kortikal.
Mutasi yang direncanakan di korteks serta dalam ganglia basal dan bagian lateral
hemisfer cerebellar, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan aktivitas listrik
sebelum gerakan. Thalamus akan mengatur informasi yang diterima kemudian
diteruskan ke ganglia basal, saluran otak kecil lalu diteruskan ke pre-motor dan
korteks motor. Perintah motor dari korteks motorik diteruskan sebagian besar melalui
saluran kortikospinalis ke sumsum tulang belakang dan saluran kortikobulbar yang
sesuai untuk motor neuron di batang otak. Jalur collateral dan koneksi langsung dari
beberapa korteks motor berakhir pada batang otak. Jalur ini juga dapat memediasi
gerakan yang disadari. Perubahan gerakan adalah pengaruh dari masukan sensorik
15
melalui indera dan dari otot, tendon, sendi, dan kulit. Informasi umpan balik ini dapat
menyesuaikan dan menghaluskan gerakan. Jalur batang otak yang berkaitan dengan
postur tubuh dan koordinasi adalah saluran rubrospinal, reticulospinal, tectospinal,
dan vestibulospinal (Yuliana, 2014).
Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh sistem indera yang terdapat di tubuh
manusia bekerja secara bersamaan jika salah satu sistem mengalami gangguan maka
akan terjadi gangguan keseimbangan pada tubuh, sistem indera yang mengatur dan
mengontrol keseimbangan seperti, visual, vestibular, dan somatosensoris.
2.2.3
Komponen-komponen pengontrol keseimbangan
1) Sistem informasi sensoris
Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.
a)
Visual
Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Keseimbangan
akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus
pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor
tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan merupakan
sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada,
penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur
jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan merupakan
sumber utama informasi tentang lingkungan dan penglihatan berperan dalam
mengidentifikasi dan mengatur jarak sesuai dengan tempat kita berada.
16
Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek
sesuai jarak pandang (Kisner & Colby, 2007). Masukan reseptor visual
berperan penting terutama pada landasan penunjang yang tidak stabil,
misalnya pada saat bertumpu pada tumit, goyangan anteroposterior pada
tubuh akan berkurang pada saat mata terbuka dibandingkan dengan mata
tertutup. Sistem visual memegang peranan penting dalam menjaga
keseimbangan. Sekitar dua puluh persen serabut saraf dari mata berinteraksi
dengan sistem vestibular (Nugraha, 2015).
b)
Sistem Vestibular
Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting
dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris
vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada system vestibular meliputi
kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Kanalis semisirkularis
berfungsi terhadap gerakan kepala yang cepat, seperti ketika berjalan atau
dalam keadaan tidak seimbangan, sedangkan respon otoliths (utrikulus dan
sakulus) begitu lamban pada pergerakan kepala, seperti pada saat postur
berjalan (Kisner & Colby, 2007).
Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth,
reticular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular
menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron
yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otototot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat
17
sehingga
membantu
mempertahankan
keseimbangan
tubuh
dengan
mengontrol otot-otot postural (Guyton, 2008).
c)
Somatosensoris
Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta
persepsikognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna
dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif
menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui
lemniskus medialis dan talamus (Willis, 2007). Input-input somatosensori
terdiri dari aktivitas serabut otot, proprioseptif, dan reseptor kutaneus ada
ektremitas bagian bawah, ditambah dengan sensasi vibrasi. Input propriseptif
dan kutaneus merupakan informasi sensoris yang utama untuk memelihara
keseimbangan (Kisner & Colby, 2007).
Macam-macam reseptor dalam sistem proprioseptif yaitu: korpus
vaterpacini untuk rasa tekan, letaknya di bagian bawah kulit dan jaringan ikat,
organ golgi di dalam tendon dan selaput sendi, muscle spindle ada dalam otot
berfungsi sebagai stretch reseptor, piring Golgi-Massoni ada dalam kulit
untuk menangkap rasa tekan halus (Sugiarto, 2005).
2) Efektor
a) Respon otot-otot postural yang sinergis
Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak
dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan
18
keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada
ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri
tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan.
Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan
jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari
perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot
yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan
kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi
gerak tertentu. Gerak dengan pola normal berasal dari adanya perencanaan
gerak yang diimplementasikan dalam bentuk aktivasi otot dengan kekuatan
dan kecepatan yang sesuai (Kisner & Colby, 2007).
b)
Kekuatan Otot
Kekuatan otot sangat diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua
gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan
tagangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat digambarkan
sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal
(eksternal force) maupun beban internal (internal force). Kekuatan otot sangat
berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan
sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin
banyak serabut otot teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang
dihasilkan otot tersebut (Kisner & Colby, 2007).
19
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan
otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan
gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus
mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak
dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan
baik saat statis maupun dinamis. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot
memiliki kekuatan dengan besaran tertentu (Kisner & Colby, 2007).
c)
Lingkup gerak sendi (Range of motion)
Range of motion merupakan luas lingkup gerak sendi yang bisa
dilakukan oleh sendi. ROM juga merupakan ruang gerak suatu kontraksi otot
dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut memendek atau memanjang
secara penuh atau tidak sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan. ROM
menentukan kemampuan sendi
dalam membantu gerak tubuh
dan
mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan
yang tinggi, serta keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk memenuhi
kebutuhan gerak yang memungkinkan untuk seimbang (Suadnyana, 2013)
3. Sistem saraf pusat (Central processing)
Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan
aligment gravitasi pada tubuh serta mengorganisasikan respon sensorimotor
yang dibutuhkan oleh tubuh. Respon motorik yang dihasilkan sistem saraf
pusat berguna untuk menjaga postur tubuh agar tetap seimbang. Sistem saraf
20
pusat menerima input sensorik, menginterpretasikan dan mengintegrasikan
kemudian menghubungkan ke sistem neuromuskular untuk memberikan
output motorik yang korektif sehingga mampu menciptakan keseimbangan
yang baik ketika dalam keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak
(dinamis). Komponen sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol
postural yaitu: corteks, thalamus, basal ganglia, nuckelus vestibular, dan
cerebellum (Suadnyana, 2013).
2.2.4
Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kesimbangan
1. Pusat gravitasi (Center of Gravity – COG)
Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan
massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh
dalam keadaan seimbang. Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya
perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada
manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat
gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara
depan dan belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat
dipengaruhi oleh kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam
area batas stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas
area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan
tumpuan (Bishop, 2009). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.1.
21
Gambar 2.1 Center of gravity
(Sumber : Nugraha, 2015)
2. Garis gravitasi (Line of Gravity – LOG)
Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat
gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi
dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi
pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada
tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan
anterior knee dan ankle, seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.2 (Neumann,
2000).
22
Gambar 2.2 Line of gravity
(Sumber : Nugraha, 2015)
3. Bidang tumpu (Base of Support – BOS)
Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan
tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh dalam
keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu.
Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan
kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of Support
pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu. Semakin
23
dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi
(Wen Chang et al, 2009). Bidang tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Base of Support
(Sumber : Nugraha, 2015)
2.2.5
Penyusunan Keseimbangan Postural
Kontrol postural tidaklah dianggap sebagai salah satu sistem atau set dalam
meluruskan dan mencapai keseimbangan refleks. Sebaliknya, kontrol postural
dianggap sebagai keterampilan motorik yang kompleks berasal dari interaksi antara
berbagai proses sensorimotor. Terdapat dua tujuan utama dalam kontrol postural
yaitu: orientasi postural dan keseimbangan postural. Orientasi postural dipengaruhi
oleh kontrol aktif alignment tubuh terhadap gravitasi, landasan penyangga, sistem
visual, dan informasi internal. Orientasi spasial pada kontrol postural bergantung
pada interpretasi sistem visual, vestibular, dan somatosensoris. Keseimbangan
24
postural dipengaruhi oleh koordinasi sensorimotor untuk menstabilkan center of mass
dan penjalaran eksternal pada stabilitas postural.
Horak (2006) menyimpulkan terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem
kontrol postural. Penurunan kemampuan pada salah satu komponen dapat
menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan meningkatkan kejadian jatuh
pada lansia.
1) Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints)
Komponen kendala biomekanik yang terpenting dalam keseimbangan adalah
ukuran dan kualitas dari bidang tumpu (base of support) yaitu kaki. Keterbatasan
pada ukuran, kekuatan, lingkup gerak, nyeri, atau kontrol dari kaki akan
mempengaruhi keseimbangan (Tinetti et al, 1998). Pada posisi berdiri, terdapat
area seperti kerucut (limit of stability) yang menjelaskan kemampuan seseorang
dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol keseimbangan tanpa
merubah bidang tumpu, (McCollum dan Leen, 1989) seperti terlihat pada Gambar
2.4.
25
Gambar 2.4 Normal dan Abnormal Limits of Stability
(Sumber : Horak, 2006)
Pada gambar A menunjukkan lansia pria sehat yang berusaha
menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas
stabilitas, sedangkan gambar B menunjukkan lansia wanita dengan gangguan
multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah
depan tanpa melewati batas stabilitas. Gambar C menunjukkan lansia wanita
dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi
tubuh ke belakang, tetapi secara tiba-tiba mengambil langkah untuk
melebarkan bidang tumpu. Secara singkat, batas stabilitas diartikan sebagai
kemampuan untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah
anteroposterior atau mediolateral tanpa memindahkan bidang tumpu (Sibley et
al, 2015).
Sistem saraf pusat mengatur keadaan internal pada batas stabilitas
kerucut dengan mengatur seberapa besar gerakan yang diperlukan dalam
26
mengontrol keseimbangan. Pada sebagian besar lansia dengan defisit
keseimbangan, stabilitas kerucut ini sangatlah kecil atau representasi sistem
saraf pusat terhadap stabilitas kerucut mengalami penurunan (Duncan et al,
1990).
2) Strategi Gerakan (Movement Strategies)
Sistem saraf pusat memiliki 3 sistem untuk menjaga keseimbangan setelah
tubuh mengalami perturbasi/gangguan, di antaranya: refleks regang, respon
postural otomatis, dan respon volunter. Respon postural otomatis berhubungan
dengan long loop reflexes yang biasanya terjadi sekitar 100-120 msec pada orang
dewasa normal. Respon postural otomatis diinformasikan melalui situasi feedback
dan feedforward. Feedforward mendeskripsikan mengenai pengaturan sistem
saraf pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan
posisi tertentu. Sebagai contoh pada gerakan menangkap bola. Gerakan
menangkap bola merupakan gerakan yang disadari atas perubahan pusat
gravitasinya, tetapi respon postural otomatis setidaknya akan memprediksi
keadaan
ini
dengan
mengantisipasi
gerakan
volunteer
dalam
rangka
menstabilisasi pusat gravitasi tubuh sehingga perubahan sikap atau gerakan
terhadap stimulus yang diberikan akan menjadi akurat. Sementara, feedback
berhubungan dengan situasi dimana tubuh mendapatkan gaya eksternal, seperti:
tergelincir atau terdorong. Maka, pusat gravitasi tubuh berubah dan sistem saraf
pusat berperan dalam mengatur respon postural untuk menyesuaikan pusat
27
gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu. Respon yang diberikan dapat berupa
respon protektif atau respon korektif (Nugraha, 2015).
Penelitian dalam bidang respon postural otomatis berfokus pada respon
neurofisiologi pada perturbasi postural dalam paradigma feedback. Bentuk
gerakan yang biasanya digunakan dalam menyusun perturbasi misalnya ketika
pasien berdiri secara normal. Variabel primer yang dites yaitu latency (waktu
dalam melakukan respon otot) dan sequence (ketepatan gerakan respon otot).
Nashner menjelaskan mengenai 3 strategi gerakan sebagai respon normal dalam
mengantisipasi perturbasi postural yang tidak diinginkan. (1). Ankle Strategy
digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil. Pada strategi ini,
aktivasi otot dilakukan dari distal ke proksimal yaitu mengaktivasi otot-otot
bagian ekstremitas bawah. Misalnya, saat tubuh mengalami kehilangan
keseimbangan ke arah belakang, maka otot yang akan diaktivasi pertama kali
yaitu m. tibialis anterior (100 msec) yang diikuti oleh m. quadriceps dan m.
abdominal. Sebaliknya, apabila tubuh kehilangan keseimbangan ke arah depan
maka otot yang akan diaktivasi yaitu: m. gastrocnemius, m. hamstring, dan m.
paraspinal. (2). Hip Strategy terjadi ketika perturbasi besar atau pusat gravitasi
tubuh mendekati limit of stability (batas stabilitas) akibat bidang tumpu yang
tidak stabil. Tujuan dari strategi ini yaitu mempertahankan pusat gravitasi tubuh
terhadap bidang tumpu dengan mengaktivasi tubuh bagian proksimal ke distal.
Pada forward sway akan mengaktivasi m. abdominal dan m. quadriceps,
sedangkan backward sway akan mengaktivasi m. paraspinal dan m. harmstring.
28
(3). Stepping strategy terjadi saat perturbasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu
pusat gravitasi tubuh melebihi batas stabilitas. Strategi ini digunakan untuk
memperbesar bidang tumpu sehingga dapat mempertahankan keseimbangan
(Nugraha, 2015).
3) Strategi Sensoris (Sensory Strategies)
Informasi sensoris dari somatosensori, visual, dan vestibular, harus
diintegrasikan untuk menginterpretasi keadaan lingkungan. Dalam lingkungan
yang cukup terang dengan basis yang kuat dari dukungan, orang sehat
mengandalkan informasi somatosensori (70%), visual (10%), dan vestibular
(20%). Namun, ketika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak stabil,
mereka meningkatkan bobot sensorik untuk vestibular dan informasi visual
mereka serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi
postural (Peterka, 2002).
Kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik (re-weight
sensory) bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga
stabilitas ketika seorang individu bergerak dari satu konteks sensori ke yang
lainnya. Seorang individu dengan gangguan defisit periperal pada sistem
vestibular atau somatosensori (neuropati) akan mengalami keterbatasan dalam
kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik dan memiliki peluang
jatuh lebih tinggi (Horak, 2006).
29
4) Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space)
Kemampuan untuk mengarahkan bagian-bagian tubuh sehubungan dengan
gravitasi, bidang tumpu, sistem visual dan referensi internal adalah komponen
penting dari kontrol postural. Sistem saraf yang sehat secara otomatis mengubah
cara tubuh berorientasi pada ruang, tergantung pada konteks dan tugas. Orang
yang sehat dapat mengidentifikasi gravitasi vertikal dalam gelap untuk jarak 0,5°.
Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi vertikal atau tegak, mungkin
memiliki beberapa representasi saraf (Karnath et al, 2000). Persepsi vertikal
visual atau kemampuan untuk menyelaraskan garis ke gravitasi vertikal dalam
gelap, tidak tergantung pada persepsi postural (atau proprioseptif) vertikal;
misalnya kemampuan untuk menyelaraskan tubuh dalam ruang tanpa visual.
Ketiadakakuratan referensi internal pada vertikalitas akan menghasilkan
keselarasan (alignment) postural otomatis yang tidak selaras dengan gravitasi dan
membuat seseorang tidak stabil (Nugraha, 2015).
5) Kontrol Dinamik (Control of Dynamics)
Mengontrol keseimbangan selama berjalan dan ketika berpindah dari satu
postur ke lainnya memerlukan kontrol yang kompleks dari pusat gravitasi tubuh.
Tidak seperti dalam posisi tegak, pusat gravitasi tubuh tidak dalam basis
dukungan kaki ketika berjalan atau berubah dari satu postur ke yang lain (Winter
et al, 1993). Stabilitas postural ke arah depan selama berjalan datang dari ayunan
ekstremitas di bawah jatuhnya pusat gravitasi. Namun, stabilitas lateral berasal
30
dari kombinasi kontrol tubuh bagian lateral dan peletakan kaki bagian lateral
(Bauby & Kuo, 2000). Seorang lansia yang rentan terhadap jatuh cenderung
memiliki penempatan lateral yang lebih besar dari pusat gravitasi tubuh serta
penempatan kaki secara lateral dan tidak teratur (Prince et al, 1997).
6) Proses Kognitif (Cognitive Processing)
Banyak sumber daya kognitif yang diperlukan dalam kontrol postural. Bahkan
berdiri diam-diam membutuhkan proses kognitif, seperti dapat dilihat oleh
peningkatan waktu reaksi pada orang berdiri dibandingkan dengan mereka yang
duduk dengan dukungan. Semakin sulit tugas postural, semakin pengolahan
kognitif diperlukan. Dengan demikian, waktu reaksi dan kinerja dalam tugas
kognitif menurunkan kesulitan saat tugas postural meningkat (Teasdale &
Simoneau, 2001). Karena kontrol postur dan sumber lain berbagi proses kognitif,
kinerja tugas postural juga terganggu oleh tugas kognitif sekunder (Camicioli et al,
1997). Individu yang memiliki pengolahan kognitif yang terbatas karena gangguan
neurologis dapat menggunakan lebih dari proses kognitif yang tersedia untuk
mengendalikan postur. Jatuh merupakan hasil dari proses kognitif yang tidak
cukup untuk mengontrol postur sementara sibuk dengan tugas kognitif sekunder
lainnya (Horak, 2006).
2.3
Proses Penurunan Keseimbangan Pada Lansia
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di
antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem saraf
pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi
31
mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem
sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen
motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang
berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem
visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013).
Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses
penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi
serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa
dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam
persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang
diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006).
Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular.
Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium
sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif
mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan
penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan
pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan
jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20%
jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis
(Barnedh, 2006).
Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak
dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot.
32
Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap
aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas kulit berkurang
dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran
reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan
dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013).
Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini
berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi,
dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap
keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan
penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan
langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat
menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk
tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih
berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi
faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir
seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan motorik ini utamanya
disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan
serebelum (Rohana, 2009). Oleh karena itu, penurunan fungsi setiap sistem pada
lansia akan menyebabkan penurunan pada keseimbangan.
33
2.4
Balance Strategy Exercise
1) Latihan strategi pergelangan kaki (ankle strategy exercise)
Ankle strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari
ankle dan kaki. Ankle strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi
tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap
permukaan penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk
menstabilkan sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak dengan
arah dan waktu yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas kaki.
Pada goyangan ke depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini
mengaktifkan otot gastrocnemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang
tubuh Pada respon goyangan ke belakang, mengaktivasi otot tibialis anterior,
otot quadrisep diikuti otot abdominal (Yuliana, 2014). Ankle strategy exercise
dijabarkan melalui Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Ankle strategy exercise
(Sumber: Yuliana, 2014)
34
2) Latihan strategi panggul (hip strategy exercise)
Hip strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari
pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip
strategy exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk
membangkitkan gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga
untuk menggerakkan pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan
penyangga digerakkan ke belakang, subyek miring ke depan pada sendi panggul
dengan mengaktifkan otot-otot abdominal dan otot quadrisep, tibialis anterior.
Strategi ini diobservasi bila goyangan besar, cepat dan mendekati batas stabilitas,
atau jika berdiri pada permukaan sempit dan tidak stabil untuk memberikan
pengimbangan tekanan (Yuliana, 2014). Hip strategy exercise dijabarkan melalui
Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Hip strategy exercise
(Sumber: Yuliana, 2014)
35
3) Latihan strategi melangkah (stepping strategy exercise)
Stepping strategy exercise menggambarkan tahapan dengan kaki atau
menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan
penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui
landasan penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya dalam
merespon gangguan yang menyebabkan subyek goyang melebihi batas
stabilitas. Dalam keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk
mendapatkan kembali keseimbangan (Yuliana, 2014). Stepping strategy
exercise dijabarkan melalui Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Stepping strategy exercise
(Sumber: Yuliana, 2014)
2.5
Intervensi Four Square Step
Latihan four square step adalah suatu bentuk latihan keseimbangan berdiri
secara dinamik yang tidak memerlukan ruangan luas dan tidak memerlukan alat bantu
36
khusus, cukup menggunakan empat buah balok kayu berukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 90
cm. Latihan ini merupakan bentuk pengembangan dari suatu uji keseimbangan
menjadi bentuk latihan. Prinsip dasar latihan four squre step pada lanjut usia
mengacu pada prinsip dasar latihan keseimbangan yang mencakup komponen
biomekanik, koordinasi motorik dan organisatorik yang merupakan komponen
kontrol postural yang di dalamnya terkandung aspek : kekuatan otot, ketahanan otot,
kesegarisan postur, somatosensory, visual, vestibular, dan hubungan diantara aspekaspek tersebut. (Gunarto, 2005).
Gerakan four square step melibatkan perubahan arah gerakan mata dengan
pergeseran kepala ketika melangkah, dimana perubahan lingkungan penglihatan dapat
menjadi pemicu ketidakseimbangan sehingga latihan yang intensif akan membuat
mata dan kepala terbiasa dengan kemponsesi yang dilakukan untuk tetap berada pada
posisi seimbang (Gunarto, 2005).
2.6
Berg Balance Scale
Berg Balance Scale (BBS) dibuat pada tahun 1989 dirancang untuk
memberikan tantangan terhadap pasien untuk menjaga keseimbangan secara bertahap
untuk mengurangi basis penyangga tubuh. BBS menggunakan 14 item pengukuran
dengan skala 0 sampai 4. Nilai 0 diberikan apabila pasien tidak mampu melakukan
tugas yang diberikan dan nilai 4 diberikan apabila pasien mampu melengkapi tugas
sesuai kriteria yang diberikan. Nilai maksimum untuk pengukuran ini adalah 56. Tes
ini cukup mudah untuk dilakukan dan hanya membutuhkan stop watch, penggaris, 2
jenis kursi, dan bangku kecil (untuk melangkah). Berg Balance Scale dinilai sebagai
37
prediktor yang paling efektif untuk jatuh dan gangguan keseimbangan serta sudah
beberapa kali divalidasi (Neuls et al, 2011).
Lima penelitian menginvestigasi hubungan BBS dengan populasi pada lansia.
Empat penelitian menggunakannya pada komunitas lansia sedangkan 1 penelitian
pada nursing home care. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa range sensitivitas
antara 53% - 88,2%, spesifisitas antara 53% - 96%, dan cutoff scores antara 46 – 54.
Peneliti juga menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki score BBS dibawah 46
kemungkinan memiliki resiko yang besar untuk mengalami jatuh (Nugraha, 2015).
Studi lainnya juga menunjukkan bahwa BBS memiliki sensitivitas sebesar
82,5% dan spesifisitas sebesar 93%. Peneliti menyimpulkan bahwa lansia yang
memiliki skor BBS sebesar 50 cenderung memiliki resiko jatuh sebesar 10 % dan
apabila skor BBSnya sebesar 38 atau kurang, maka lansia memiliki risiko jatuh
sebesar 90%. Peneliti menjelaskan bahwa berdiri dengan satu kaki merupakan
prediktor terbaik dalam memprediksi jatuh pada lansia (Lajole, 2004).
Download