BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia Lanjut usia adalah periode dimana organisme telah mencapai masa keemasan atau kejayaannya dalam ukuran, fungsi, dan juga beberapa telah menunjukkan kemundurannya sejalan dengan berjalannya waktu. Pertambahan umur ditandai dengan adanya penurunan massa otot serta kekuatan otot, dimana semua makhluk hidup memiliki siklus kehidupan menuju tua yang diawali dengan proses kelahiran, kemudian tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak selanjutnya menjadi tua dan akhirnya akan meninggal (Napitupulu, 2013). Menurut WHO, batasan usia lanjut dikelompokkan sebagai berikut : pertengahan usia (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun (WHO, 1989). Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses alamiah yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri, mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi. Proses menua akan mengakibatkan terjadinya perubahan 9 10 pada semua sistem tubuh, termasuk sistem neuromuskuler dan sistem muskuloskeletal (Isma, 2011). 2.1.2 Epidemiologi Ganguan Keseimbangan Pada Lansia Insiden jatuh pada lansia sangat merugikan karena dapat menyebabkan hilangnya fungsi fisik, kemandirian, menyebabkan kematian serta hilangnya pemanfaatan kesehatan (Nurhayati, 2013). Insiden jatuh pada lansia salah satunya diakibatkan karena adanya gangguan keseimbangan yang sering dialami oleh lansia. Faktor yang menyebabkan jatuh pada lansia yaitu, faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi: permasalahan keseimbangan dan berjalan, kelemahan otot, riwayat jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu, permasalahan penglihatan, radang sendi, depresi, permasalahan kognitif. Faktor ekstrinsik meliputi: kondisi lantai yang tidak rata, licin, barang berserakan dilantai, kamar tidur yang tidak stabil, tempat berpegangan yang tidak kuat, penerangan yang tidak baik (Rahmanto, 2008). Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin di sebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak (Nurhayati, 2013). Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia yang berumur di atas 65 tahun mengalami jatuh. Jatuh dan osteoporosis secara bersamaan mengakibatkan terjadinya fraktur panggul pada lansia. Sebanyak 38% 11 lansia yang jatuh dan dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90% kejadian fraktur panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas. Sekitar satu per empat kematian di AS disebabkan oleh jatuh dan terjadi pada 13% populasi lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73% lansia yang mengalami jatuh cenderung akan terjadi jatuh yang berulang (Nugraha, 2015). 2.2 Keseimbangan 2.2.1 Pengertian Keseimbangan Keseimbangan didefinisikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan di dukung oleh sistem musculoskeletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktifitas secara efektif dan efisien. Keseimbangan sangat penting bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas fungsional seperti fungsi mobilitas (Sibley et al, 2013). Keseimbangan merupakan integrasi yang komplek dari sistem somatosensorik (visual, vestibular, proprioseptive) dan motorik (musculoskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh (Meylisa, 2012). Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan adalah 12 menyangga tubuh dalam melawan gravitasi dan untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Yuliana, 2014). Terdapat dua macam keseimbangan yaitu : a. Keseimbangan statis Kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana titik pusat gravitasi tidak berubah. Dalam keseimbangan statis, ruang geraknya sangat kecil, misalnya berdiri di atas dasar yang sempit, melakukan hand stand, mempertahanan keseimbangan setelah berputar-putar di tempat (Permana, 2012). b. Keseimbangan dinamis Kemampuan orang untuk bergerak dari satu titik atau ruang kea lain titik dengan mempertahankan keseimbangan, misalnya berjalan, duduk ke berdiri, mengambil benda di bawah dengan posisi berdiri dan sebagainya (Permana, 2012) 2.2.2 Fisiologi keseimbangan Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah menyanggah tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Yuliana, 2014). 13 Bagian yang paling penting untuk menjaga keseimbangan adalah proprioseptive. Proprioseptive dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular, dan system sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan propriseptive adalah fungsi dari sistem sensorimotor. Fisiologi keseimbangan dimulai sejak informasi keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual dan propioseptik. Dari ketiga jenis reseptor tersebut, reseptor vestibuler yang punya kontribusi paling besar ( >50% ) kemudian reseptor visual dan yang paling kecil konstibusinya adalah propioseptik. Ketika terjadi gerakan atau perubahan dari kepala atau tubuh, cairan endolimfe pada labirin akan berpindah sehingga hair cells menekuk. Terjadilah permeabilitas membran sel berubah sehingga ion kalsium menerobos masuk kedalam sel (influx), Influx Ca menyebabkan depolarisasi dan juga merangsang pelepasan NT eksitator (glutamat), saraf aferen (vestibularis) dan pusatpusat keseimbangan di otak (Yuliana, 2014). Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor di mata menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit menerima masukan kulit, reseptor di sendi dan otot menerima masukan proprioseptif, reseptor di kanalis semikularis dan organ otolit menerima masukan vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang diterima di salurkan ke nukelus vestibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan kembali ke nukleus vestibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang 14 diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata ekternal berupa kontrol gerakan mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan dinamis yang optimal (Astriyana, 2012). Terdapat dua jenis motor ouput, yaitu disadari dan tidak disadari. Sebuah tanggapan refleks mencakup beberapa gerakan ritmis seperti menelan, mengunyah, menggaruk, dan berjalan. Sebagian besar gerakan reflek tidak disadari namun dapat menyesuaikan gerakan yang disadari dan terkontrol. Untuk memindahkan anggota badan, otak harus merencanakan gerakan, mengatur gerakan yang sesuai di berbagai sendi pada saat yang sama, dan menyesuaikan gerakan dengan membandingkan rencana dengan kinerja. Sistem motor "learn by doing" dan meningkatkan kinerja dengan pengulangan. Hal ini melibatkan plastisitas sinaptik (Yuliana, 2014). Perintah untuk gerakan yang disadari berasal dari daerah asosiasi kortikal. Mutasi yang direncanakan di korteks serta dalam ganglia basal dan bagian lateral hemisfer cerebellar, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan aktivitas listrik sebelum gerakan. Thalamus akan mengatur informasi yang diterima kemudian diteruskan ke ganglia basal, saluran otak kecil lalu diteruskan ke pre-motor dan korteks motor. Perintah motor dari korteks motorik diteruskan sebagian besar melalui saluran kortikospinalis ke sumsum tulang belakang dan saluran kortikobulbar yang sesuai untuk motor neuron di batang otak. Jalur collateral dan koneksi langsung dari beberapa korteks motor berakhir pada batang otak. Jalur ini juga dapat memediasi gerakan yang disadari. Perubahan gerakan adalah pengaruh dari masukan sensorik 15 melalui indera dan dari otot, tendon, sendi, dan kulit. Informasi umpan balik ini dapat menyesuaikan dan menghaluskan gerakan. Jalur batang otak yang berkaitan dengan postur tubuh dan koordinasi adalah saluran rubrospinal, reticulospinal, tectospinal, dan vestibulospinal (Yuliana, 2014). Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh sistem indera yang terdapat di tubuh manusia bekerja secara bersamaan jika salah satu sistem mengalami gangguan maka akan terjadi gangguan keseimbangan pada tubuh, sistem indera yang mengatur dan mengontrol keseimbangan seperti, visual, vestibular, dan somatosensoris. 2.2.3 Komponen-komponen pengontrol keseimbangan 1) Sistem informasi sensoris Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris. a) Visual Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan penglihatan berperan dalam mengidentifikasi dan mengatur jarak sesuai dengan tempat kita berada. 16 Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek sesuai jarak pandang (Kisner & Colby, 2007). Masukan reseptor visual berperan penting terutama pada landasan penunjang yang tidak stabil, misalnya pada saat bertumpu pada tumit, goyangan anteroposterior pada tubuh akan berkurang pada saat mata terbuka dibandingkan dengan mata tertutup. Sistem visual memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan. Sekitar dua puluh persen serabut saraf dari mata berinteraksi dengan sistem vestibular (Nugraha, 2015). b) Sistem Vestibular Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada system vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Kanalis semisirkularis berfungsi terhadap gerakan kepala yang cepat, seperti ketika berjalan atau dalam keadaan tidak seimbangan, sedangkan respon otoliths (utrikulus dan sakulus) begitu lamban pada pergerakan kepala, seperti pada saat postur berjalan (Kisner & Colby, 2007). Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, reticular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otototot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat 17 sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Guyton, 2008). c) Somatosensoris Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsikognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan talamus (Willis, 2007). Input-input somatosensori terdiri dari aktivitas serabut otot, proprioseptif, dan reseptor kutaneus ada ektremitas bagian bawah, ditambah dengan sensasi vibrasi. Input propriseptif dan kutaneus merupakan informasi sensoris yang utama untuk memelihara keseimbangan (Kisner & Colby, 2007). Macam-macam reseptor dalam sistem proprioseptif yaitu: korpus vaterpacini untuk rasa tekan, letaknya di bagian bawah kulit dan jaringan ikat, organ golgi di dalam tendon dan selaput sendi, muscle spindle ada dalam otot berfungsi sebagai stretch reseptor, piring Golgi-Massoni ada dalam kulit untuk menangkap rasa tekan halus (Sugiarto, 2005). 2) Efektor a) Respon otot-otot postural yang sinergis Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan 18 keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu. Gerak dengan pola normal berasal dari adanya perencanaan gerak yang diimplementasikan dalam bentuk aktivasi otot dengan kekuatan dan kecepatan yang sesuai (Kisner & Colby, 2007). b) Kekuatan Otot Kekuatan otot sangat diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tagangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal (eksternal force) maupun beban internal (internal force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Kisner & Colby, 2007). 19 Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun dinamis. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran tertentu (Kisner & Colby, 2007). c) Lingkup gerak sendi (Range of motion) Range of motion merupakan luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh sendi. ROM juga merupakan ruang gerak suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut memendek atau memanjang secara penuh atau tidak sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan. ROM menentukan kemampuan sendi dalam membantu gerak tubuh dan mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi, serta keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk memenuhi kebutuhan gerak yang memungkinkan untuk seimbang (Suadnyana, 2013) 3. Sistem saraf pusat (Central processing) Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan aligment gravitasi pada tubuh serta mengorganisasikan respon sensorimotor yang dibutuhkan oleh tubuh. Respon motorik yang dihasilkan sistem saraf pusat berguna untuk menjaga postur tubuh agar tetap seimbang. Sistem saraf 20 pusat menerima input sensorik, menginterpretasikan dan mengintegrasikan kemudian menghubungkan ke sistem neuromuskular untuk memberikan output motorik yang korektif sehingga mampu menciptakan keseimbangan yang baik ketika dalam keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak (dinamis). Komponen sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol postural yaitu: corteks, thalamus, basal ganglia, nuckelus vestibular, dan cerebellum (Suadnyana, 2013). 2.2.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kesimbangan 1. Pusat gravitasi (Center of Gravity – COG) Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam area batas stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Bishop, 2009). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.1. 21 Gambar 2.1 Center of gravity (Sumber : Nugraha, 2015) 2. Garis gravitasi (Line of Gravity – LOG) Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan anterior knee dan ankle, seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.2 (Neumann, 2000). 22 Gambar 2.2 Line of gravity (Sumber : Nugraha, 2015) 3. Bidang tumpu (Base of Support – BOS) Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu. Semakin 23 dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang et al, 2009). Bidang tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.3. Gambar 2.3 Base of Support (Sumber : Nugraha, 2015) 2.2.5 Penyusunan Keseimbangan Postural Kontrol postural tidaklah dianggap sebagai salah satu sistem atau set dalam meluruskan dan mencapai keseimbangan refleks. Sebaliknya, kontrol postural dianggap sebagai keterampilan motorik yang kompleks berasal dari interaksi antara berbagai proses sensorimotor. Terdapat dua tujuan utama dalam kontrol postural yaitu: orientasi postural dan keseimbangan postural. Orientasi postural dipengaruhi oleh kontrol aktif alignment tubuh terhadap gravitasi, landasan penyangga, sistem visual, dan informasi internal. Orientasi spasial pada kontrol postural bergantung pada interpretasi sistem visual, vestibular, dan somatosensoris. Keseimbangan 24 postural dipengaruhi oleh koordinasi sensorimotor untuk menstabilkan center of mass dan penjalaran eksternal pada stabilitas postural. Horak (2006) menyimpulkan terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem kontrol postural. Penurunan kemampuan pada salah satu komponen dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan meningkatkan kejadian jatuh pada lansia. 1) Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints) Komponen kendala biomekanik yang terpenting dalam keseimbangan adalah ukuran dan kualitas dari bidang tumpu (base of support) yaitu kaki. Keterbatasan pada ukuran, kekuatan, lingkup gerak, nyeri, atau kontrol dari kaki akan mempengaruhi keseimbangan (Tinetti et al, 1998). Pada posisi berdiri, terdapat area seperti kerucut (limit of stability) yang menjelaskan kemampuan seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol keseimbangan tanpa merubah bidang tumpu, (McCollum dan Leen, 1989) seperti terlihat pada Gambar 2.4. 25 Gambar 2.4 Normal dan Abnormal Limits of Stability (Sumber : Horak, 2006) Pada gambar A menunjukkan lansia pria sehat yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas, sedangkan gambar B menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas. Gambar C menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke belakang, tetapi secara tiba-tiba mengambil langkah untuk melebarkan bidang tumpu. Secara singkat, batas stabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah anteroposterior atau mediolateral tanpa memindahkan bidang tumpu (Sibley et al, 2015). Sistem saraf pusat mengatur keadaan internal pada batas stabilitas kerucut dengan mengatur seberapa besar gerakan yang diperlukan dalam 26 mengontrol keseimbangan. Pada sebagian besar lansia dengan defisit keseimbangan, stabilitas kerucut ini sangatlah kecil atau representasi sistem saraf pusat terhadap stabilitas kerucut mengalami penurunan (Duncan et al, 1990). 2) Strategi Gerakan (Movement Strategies) Sistem saraf pusat memiliki 3 sistem untuk menjaga keseimbangan setelah tubuh mengalami perturbasi/gangguan, di antaranya: refleks regang, respon postural otomatis, dan respon volunter. Respon postural otomatis berhubungan dengan long loop reflexes yang biasanya terjadi sekitar 100-120 msec pada orang dewasa normal. Respon postural otomatis diinformasikan melalui situasi feedback dan feedforward. Feedforward mendeskripsikan mengenai pengaturan sistem saraf pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan posisi tertentu. Sebagai contoh pada gerakan menangkap bola. Gerakan menangkap bola merupakan gerakan yang disadari atas perubahan pusat gravitasinya, tetapi respon postural otomatis setidaknya akan memprediksi keadaan ini dengan mengantisipasi gerakan volunteer dalam rangka menstabilisasi pusat gravitasi tubuh sehingga perubahan sikap atau gerakan terhadap stimulus yang diberikan akan menjadi akurat. Sementara, feedback berhubungan dengan situasi dimana tubuh mendapatkan gaya eksternal, seperti: tergelincir atau terdorong. Maka, pusat gravitasi tubuh berubah dan sistem saraf pusat berperan dalam mengatur respon postural untuk menyesuaikan pusat 27 gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu. Respon yang diberikan dapat berupa respon protektif atau respon korektif (Nugraha, 2015). Penelitian dalam bidang respon postural otomatis berfokus pada respon neurofisiologi pada perturbasi postural dalam paradigma feedback. Bentuk gerakan yang biasanya digunakan dalam menyusun perturbasi misalnya ketika pasien berdiri secara normal. Variabel primer yang dites yaitu latency (waktu dalam melakukan respon otot) dan sequence (ketepatan gerakan respon otot). Nashner menjelaskan mengenai 3 strategi gerakan sebagai respon normal dalam mengantisipasi perturbasi postural yang tidak diinginkan. (1). Ankle Strategy digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil. Pada strategi ini, aktivasi otot dilakukan dari distal ke proksimal yaitu mengaktivasi otot-otot bagian ekstremitas bawah. Misalnya, saat tubuh mengalami kehilangan keseimbangan ke arah belakang, maka otot yang akan diaktivasi pertama kali yaitu m. tibialis anterior (100 msec) yang diikuti oleh m. quadriceps dan m. abdominal. Sebaliknya, apabila tubuh kehilangan keseimbangan ke arah depan maka otot yang akan diaktivasi yaitu: m. gastrocnemius, m. hamstring, dan m. paraspinal. (2). Hip Strategy terjadi ketika perturbasi besar atau pusat gravitasi tubuh mendekati limit of stability (batas stabilitas) akibat bidang tumpu yang tidak stabil. Tujuan dari strategi ini yaitu mempertahankan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu dengan mengaktivasi tubuh bagian proksimal ke distal. Pada forward sway akan mengaktivasi m. abdominal dan m. quadriceps, sedangkan backward sway akan mengaktivasi m. paraspinal dan m. harmstring. 28 (3). Stepping strategy terjadi saat perturbasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu pusat gravitasi tubuh melebihi batas stabilitas. Strategi ini digunakan untuk memperbesar bidang tumpu sehingga dapat mempertahankan keseimbangan (Nugraha, 2015). 3) Strategi Sensoris (Sensory Strategies) Informasi sensoris dari somatosensori, visual, dan vestibular, harus diintegrasikan untuk menginterpretasi keadaan lingkungan. Dalam lingkungan yang cukup terang dengan basis yang kuat dari dukungan, orang sehat mengandalkan informasi somatosensori (70%), visual (10%), dan vestibular (20%). Namun, ketika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak stabil, mereka meningkatkan bobot sensorik untuk vestibular dan informasi visual mereka serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi postural (Peterka, 2002). Kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik (re-weight sensory) bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga stabilitas ketika seorang individu bergerak dari satu konteks sensori ke yang lainnya. Seorang individu dengan gangguan defisit periperal pada sistem vestibular atau somatosensori (neuropati) akan mengalami keterbatasan dalam kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik dan memiliki peluang jatuh lebih tinggi (Horak, 2006). 29 4) Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space) Kemampuan untuk mengarahkan bagian-bagian tubuh sehubungan dengan gravitasi, bidang tumpu, sistem visual dan referensi internal adalah komponen penting dari kontrol postural. Sistem saraf yang sehat secara otomatis mengubah cara tubuh berorientasi pada ruang, tergantung pada konteks dan tugas. Orang yang sehat dapat mengidentifikasi gravitasi vertikal dalam gelap untuk jarak 0,5°. Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi vertikal atau tegak, mungkin memiliki beberapa representasi saraf (Karnath et al, 2000). Persepsi vertikal visual atau kemampuan untuk menyelaraskan garis ke gravitasi vertikal dalam gelap, tidak tergantung pada persepsi postural (atau proprioseptif) vertikal; misalnya kemampuan untuk menyelaraskan tubuh dalam ruang tanpa visual. Ketiadakakuratan referensi internal pada vertikalitas akan menghasilkan keselarasan (alignment) postural otomatis yang tidak selaras dengan gravitasi dan membuat seseorang tidak stabil (Nugraha, 2015). 5) Kontrol Dinamik (Control of Dynamics) Mengontrol keseimbangan selama berjalan dan ketika berpindah dari satu postur ke lainnya memerlukan kontrol yang kompleks dari pusat gravitasi tubuh. Tidak seperti dalam posisi tegak, pusat gravitasi tubuh tidak dalam basis dukungan kaki ketika berjalan atau berubah dari satu postur ke yang lain (Winter et al, 1993). Stabilitas postural ke arah depan selama berjalan datang dari ayunan ekstremitas di bawah jatuhnya pusat gravitasi. Namun, stabilitas lateral berasal 30 dari kombinasi kontrol tubuh bagian lateral dan peletakan kaki bagian lateral (Bauby & Kuo, 2000). Seorang lansia yang rentan terhadap jatuh cenderung memiliki penempatan lateral yang lebih besar dari pusat gravitasi tubuh serta penempatan kaki secara lateral dan tidak teratur (Prince et al, 1997). 6) Proses Kognitif (Cognitive Processing) Banyak sumber daya kognitif yang diperlukan dalam kontrol postural. Bahkan berdiri diam-diam membutuhkan proses kognitif, seperti dapat dilihat oleh peningkatan waktu reaksi pada orang berdiri dibandingkan dengan mereka yang duduk dengan dukungan. Semakin sulit tugas postural, semakin pengolahan kognitif diperlukan. Dengan demikian, waktu reaksi dan kinerja dalam tugas kognitif menurunkan kesulitan saat tugas postural meningkat (Teasdale & Simoneau, 2001). Karena kontrol postur dan sumber lain berbagi proses kognitif, kinerja tugas postural juga terganggu oleh tugas kognitif sekunder (Camicioli et al, 1997). Individu yang memiliki pengolahan kognitif yang terbatas karena gangguan neurologis dapat menggunakan lebih dari proses kognitif yang tersedia untuk mengendalikan postur. Jatuh merupakan hasil dari proses kognitif yang tidak cukup untuk mengontrol postur sementara sibuk dengan tugas kognitif sekunder lainnya (Horak, 2006). 2.3 Proses Penurunan Keseimbangan Pada Lansia Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi 31 mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013). Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006). Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20% jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedh, 2006). Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot. 32 Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013). Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Rohana, 2009). Oleh karena itu, penurunan fungsi setiap sistem pada lansia akan menyebabkan penurunan pada keseimbangan. 33 2.4 Balance Strategy Exercise 1) Latihan strategi pergelangan kaki (ankle strategy exercise) Ankle strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari ankle dan kaki. Ankle strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap permukaan penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk menstabilkan sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak dengan arah dan waktu yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas kaki. Pada goyangan ke depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini mengaktifkan otot gastrocnemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang tubuh Pada respon goyangan ke belakang, mengaktivasi otot tibialis anterior, otot quadrisep diikuti otot abdominal (Yuliana, 2014). Ankle strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.5. Gambar 2.5 Ankle strategy exercise (Sumber: Yuliana, 2014) 34 2) Latihan strategi panggul (hip strategy exercise) Hip strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip strategy exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk membangkitkan gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga untuk menggerakkan pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan penyangga digerakkan ke belakang, subyek miring ke depan pada sendi panggul dengan mengaktifkan otot-otot abdominal dan otot quadrisep, tibialis anterior. Strategi ini diobservasi bila goyangan besar, cepat dan mendekati batas stabilitas, atau jika berdiri pada permukaan sempit dan tidak stabil untuk memberikan pengimbangan tekanan (Yuliana, 2014). Hip strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.6. Gambar 2.6 Hip strategy exercise (Sumber: Yuliana, 2014) 35 3) Latihan strategi melangkah (stepping strategy exercise) Stepping strategy exercise menggambarkan tahapan dengan kaki atau menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui landasan penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya dalam merespon gangguan yang menyebabkan subyek goyang melebihi batas stabilitas. Dalam keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan kembali keseimbangan (Yuliana, 2014). Stepping strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.7. Gambar 2.7 Stepping strategy exercise (Sumber: Yuliana, 2014) 2.5 Intervensi Four Square Step Latihan four square step adalah suatu bentuk latihan keseimbangan berdiri secara dinamik yang tidak memerlukan ruangan luas dan tidak memerlukan alat bantu 36 khusus, cukup menggunakan empat buah balok kayu berukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 90 cm. Latihan ini merupakan bentuk pengembangan dari suatu uji keseimbangan menjadi bentuk latihan. Prinsip dasar latihan four squre step pada lanjut usia mengacu pada prinsip dasar latihan keseimbangan yang mencakup komponen biomekanik, koordinasi motorik dan organisatorik yang merupakan komponen kontrol postural yang di dalamnya terkandung aspek : kekuatan otot, ketahanan otot, kesegarisan postur, somatosensory, visual, vestibular, dan hubungan diantara aspekaspek tersebut. (Gunarto, 2005). Gerakan four square step melibatkan perubahan arah gerakan mata dengan pergeseran kepala ketika melangkah, dimana perubahan lingkungan penglihatan dapat menjadi pemicu ketidakseimbangan sehingga latihan yang intensif akan membuat mata dan kepala terbiasa dengan kemponsesi yang dilakukan untuk tetap berada pada posisi seimbang (Gunarto, 2005). 2.6 Berg Balance Scale Berg Balance Scale (BBS) dibuat pada tahun 1989 dirancang untuk memberikan tantangan terhadap pasien untuk menjaga keseimbangan secara bertahap untuk mengurangi basis penyangga tubuh. BBS menggunakan 14 item pengukuran dengan skala 0 sampai 4. Nilai 0 diberikan apabila pasien tidak mampu melakukan tugas yang diberikan dan nilai 4 diberikan apabila pasien mampu melengkapi tugas sesuai kriteria yang diberikan. Nilai maksimum untuk pengukuran ini adalah 56. Tes ini cukup mudah untuk dilakukan dan hanya membutuhkan stop watch, penggaris, 2 jenis kursi, dan bangku kecil (untuk melangkah). Berg Balance Scale dinilai sebagai 37 prediktor yang paling efektif untuk jatuh dan gangguan keseimbangan serta sudah beberapa kali divalidasi (Neuls et al, 2011). Lima penelitian menginvestigasi hubungan BBS dengan populasi pada lansia. Empat penelitian menggunakannya pada komunitas lansia sedangkan 1 penelitian pada nursing home care. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa range sensitivitas antara 53% - 88,2%, spesifisitas antara 53% - 96%, dan cutoff scores antara 46 – 54. Peneliti juga menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki score BBS dibawah 46 kemungkinan memiliki resiko yang besar untuk mengalami jatuh (Nugraha, 2015). Studi lainnya juga menunjukkan bahwa BBS memiliki sensitivitas sebesar 82,5% dan spesifisitas sebesar 93%. Peneliti menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki skor BBS sebesar 50 cenderung memiliki resiko jatuh sebesar 10 % dan apabila skor BBSnya sebesar 38 atau kurang, maka lansia memiliki risiko jatuh sebesar 90%. Peneliti menjelaskan bahwa berdiri dengan satu kaki merupakan prediktor terbaik dalam memprediksi jatuh pada lansia (Lajole, 2004).