3 3 II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Mori (2006), air di permukaan

advertisement
3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Mori (2006), air di permukaan bumi kira-kira 97,5% merupakan
air laut, 1,75% berbentuk es, dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air
danau, dan air tanah, dan hanya sekitar 0,001% saja dalam bentuk uap air. Air
kembali menguap dan berubah menjadi awan setelah melewati berbagai proses,
dan akan kembali ke permukaan bumi dalam bentuk hujan, salju, dan embun serta
bentuk-bentuk lainnya. Namun pada prosesnya, ada beberapa bagian dari air
tersebut tidak sampai ke permukaan bumi, karena tertahan oleh tutupan
lahan/intersepsi (seperti bangunan, pepohonan/tajuk tanaman, dll) yang dapat
menguap kembali ke udara, dan sebagian ada yang mengalir melalui batang dan
sampai ke tanah (trough fall dan stem flow).
Menurut Arsyad (2010), sumberdaya alam yang utama (tanah dan air) saat
ini telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan tersebut disebabkan
oleh hilangnya unsur hara tanah dan kandungan bahan organik, terjadinya
akumulasi garam-garam di daerah perakaran, dan erosi.
2.1 Vegetasi Penutup Lahan
Ada tiga jenis tanaman penutup tanah/lahan, yaitu : (1) tanaman penutup
tanah rendah yang biasanya dipakai dalam pola pertanaman rapat, dalam pola
pertanaman barisan, dan sebagai penguat teras serta saluran air; (2) tanaman
penutup tanah sedang yang biasanya ditanam teratur pada baris diantara tanaman
pokok, pada pola pertanaman pagar, atau sengaja ditanam diluar areal pertanaman
untuk sumber mulsa dan pupuk hijau; dan (3) tanaman penutup tanah tinggi atau
tanaman pelindung yang ditanam diantara baris tanaman utama, dipakai dalam
barisan, dan atau untuk penghutanan kembali. Pengaruh masing-masing vegetasi
terhadap pengendalian erosi berbeda-beda. Untuk tanaman penutup tanah rendah
yang ditanam rapat dapat melindungi tanah dari efek langsung pukulan butir
hujan, sehingga tanah tidak mudah tererosi ataupun terpadatkan. Sementara untuk
tanaman penutup tanah sedang yang ditanam dengan pola pagar dapat membantu
memperbaiki drainase tanah yang buruk, sedangkan untuk tanaman penutup tanah
tinggi dapat meningkatkan penutupan tanah dan melindungi tanah dari pukulan
butir hujan (Arsyad, 2010).
3
4
2.2 Lahan Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang membutuhkan curah
hujan yang cukup besar yaitu sekitar 1250-2500 mm per tahun, dengan tanpa
bulan kering yang nyata. Curah hujan di bawah 1250 mm dapat menjadi faktor
pembatas dalam pertumbuhan tanaman karena dapat menyebabkan defisit air dan
suplai hara terhambat. Tanaman kelapa sawit tumbuh optimum pada ketinggian
< 500 m dpl, serta tanah-tanah dengan kedalaman efektif yang tebal > 120 cm.
Kedalaman efektif tersebut diharapkan akan optimal untuk perkembangan akarakar kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit dapat menyesuaikan diri di berbagai
jenis tekstur tanah, diantaranya adalah lempung liat berpasir, liat berpasir,
lempung liat berdebu, dan lempung berdebu dengan kelas drainase baik hingga
sedang (Mangoensoekarjo, 2007).
Menurut Syahadat (2008), tanah lokasi gawangan (gawangan mati) pada
lahan pertanaman kelapa sawit mempunyai nilai bobot isi yang lebih rendah
dengan porositas yang lebih tinggi dikarenakan kondisi tanah pada lokasi tersebut
tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang dapat menyebabkan pemadatan
tanah. Selain itu juga, adanya rerumputan dapat menyebabkan banyaknya
perakaran yang dapat meningkatkan
porositas tanah, mengurangi energi
tumbukan butir hujan sehingga agregat tidak terpadatkan. Sedangkan dari hasil
penelitian Marieta (2011) pada kebun kelapa sawit di Desa Cimulang, bobot isi
pada gawangan lahan sawit menunjukkan kondisi lebih besar dibandingkan
dengan bobot isi pada lahan kebun campuran, hal tersebut dikarenakan lahan
kebun campuran mempunyai lapisan serasah yang cukup tebal. Sementara pada
gawangan (gawangan hidup) lahan kelapa sawit yang dijadikan sebagai jalan
menyebabkan nilai bobot isinya lebih besar daripada pada lahan kebun campuran
karena tingginya aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya pemadatan
tanah.
Menurut Setyamidjaja (1991) dalam Julianto (2012), keadaan air tanah
yang paling membutuhkan perhatian adalah pada daerah sekitar perakaran, yaitu
dari permukaan tanah sampai kedalaman kurang lebih 100 cm. Pada kondisi
normal perakaran sawit tidak lebih dari 30 cm, namun perakaran sawit akan terus
4
5
tumbuh sampai kedalaman 100 cm dan tidak jarang akar akan ditemui pada
kedalaman 100-140 cm jika ketersediaan air terganggu.
Ketersediaan air yang kurang dalam waktu lama dapat menyebabkan
peningkatan kerusakan vegetatif tanaman, yaitu terhambatnya pembukaan daun
muda sehingga menurunnya produksi daun yang nantinya mengakibatkan
pembentukan bakal bunga akan terganggu. Selain hal itu juga, ketersediaan air
yang buruk dapat menyebabkan produktivitas kelapa sawit menurun. Penurunan
produktivitas tersebut ditandai dengan kematangan tandan yang kurang baik,
dan gugurnya tandan bunga yang telah mekar (Marni, 2009).
2.3 Lahan Jeruk
Jeruk merupakan komoditas buah yang populer setelah anggur. Daerah
tumbuhnya membentang dari 40 derajat lintang utara sampai 40 derajat lintang
selatan. Total area pertanaman jeruk di seluruh dunia kurang lebih 1,5 juta hektar
(Sarwono, 1994). Tanaman jeruk ini dapat tumbuh pada ketinggian kurang lebih
650-2000 m dpl. Temperatur untuk pertumbuhan optimalnya adalah 25-30ºC.
Tanaman jeruk memerlukan sinar matahari yang cukup baik, sehingga jeruk yang
ditanam pada area terlindung pertumbuhannya kurang baik dan mendapat
serangan penyakit. Tanaman jeruk memerlukan air dalam jumlah cukup namun
tidak tergenang, sehingga diperlukan drainase yang baik (Pracaya, 1998).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan jeruk adalah tanah yang bertekstur
lempung sampai lempung berpasir dengan kadar hara dan air cukup
(seperti Andosol dan Latosol). Air tanah yang dirasa cukup optimal untuk
pertumbuhan jeruk adalah pada 150-200 cm di bawah permukaan tanah dengan
kandungan garam kurang dari 10%. Kelembaban udara optimum untuk
pertumbuhannya adalah 70-80%, dan tidak menyukai tempat yang terlindung dari
sinar matahari (http://www.dapurusaha.com, 2009).
2.4 Lahan Tegalan
Lahan tegalan merupakan salah satu sistem pertanian yang dilakukan
di lahan kering, atau yang kadang disebut juga sebagai perladangan. Pada musim
hujan lahan-lahan tegalan ini bisa juga dijadikan sawah, dan ditanami
palawija
saat
musim
kemarau.
Untuk
5
pulau
Jawa
dan
sekitarnya,
6
pengusahaan semacam ini banyak dilakukan tidak hanya pada dataran rendah
namun juga di dataran tinggi dimana padi dan palawija masih dapat tumbuh
(Soepomo dan Silvana, 1997).
Sumber air untuk pertanian lahan kering biasanya hanya bersumber
dari air hujan, sehingga sebaran dan pola hujan sangat menentukan pola tanam.
Ketersediaan air pada musim kering biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan seperti jenis tanah, iklim, serta usaha pengelolaan oleh manusia.
Musim tanam biasanya dimulai saat hujan, selama sepuluh hari berturut-turut
jumlah hujan mencapai lebih dari 50 mm. Persiapan lahan sudah dilakukan saat
musim kemarau, sehingga dalam setahun tidak terjadi kekosongan kegiatan
(Sabaruddin, 2003 dalam Febrianti, 2011).
2.5 Pergerakan Air Tanah
Pergerakan air tanah dapat juga didefinisikan sebagai aliran air tanah.
Beberapa pergerakan air tanah yang secara umum telah dikenal diantaranya
adalah infitrasi, dan aliran permukaan. Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses
masuknya air ke dalam tanah, yang biasanya (tidak selalu) secara vertikal atau
masuk merata pada seluruh permukaan tanah. Jika ketersediaan air pada suatu
tanah dalam keadaan yang cukup, maka air akan masuk ke bagian tanah yang
lebih dalam (perkolasi). Pada saat tanah dalam keadaan kering, dan baru terjadi
hujan, laju infiltrasi akan besar dan cepat, namun akan segera menurun hingga
konstan. Infiltrasi yang terjadi saat keadaan tanah tidak jenuh dipengaruhi oleh
adanya hisapan matriks. Pada saat terjadi infiltrasi, hisapan matriks ini akan terus
berkurang sampai tanah mencapai keadaan jenuh (Arsyad, 2010).
Aliran permukaan merupakan bagian dari air hujan yang tidak terinfiltrasi
atau masuk ke dalam tanah. Laju aliran permukaan ini akan meningkat dengan
menurunnya laju infiltrasi tanah. Pada awal kejadian hujan laju infiltrasi akan
tinggi, namun pada suatu periode saat tanah sudah tidak dapat menampung air
lagi, maka terjadilah aliran permukaan. Untuk daerah yang kedap air
(impermeable), jumlah aliran permukaan (run-off) dapat dikatakan sama dengan
jumlah hujan yang turun (Indarto, 2010).
Air tanah adalah salah satu komponen penting dalam siklus hidrologi,
serta merupakan sumber air yang sangat penting yang keberadaannya tidak
6
7
dipengaruhi oleh proses evaporasi yang terjadi di permukaan tanah. Air yang
tersimpan di dalam pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi dua jenis aquifer,
yaitu terbuka dan tertutup. Yang dimaksud dengan aquifer terbuka adalah aquifer
yang masih mendapat pengaruh dari atmosfer luar melalui pori-pori lapisan tanah,
sementara aquifer tertutup adalah aquifer yang dibatasi oleh lapisan kedap air
(aquiclude) sehingga tidak mendapat pengaruh dari atmosfer luar (Indarto, 2010).
Menurut Susanto (2005) dalam Handayani (2011), air yang tersedia bagi tanaman
adalah air yang berada antara titik layu permanen dan kapasitas lapang.
Kebutuhan air untuk masing-masing tanaman ditentukan oleh sifat dari tanaman
itu sendiri dan air pada profil tanah yang dapat dijangkau oleh akar tanaman
tersebut.
Dari hasil penelitian Sofyan (2006), laju infiltrasi pada lahan tegalan lebih
rendah jika dibandingkan dengan lahan hutan dan lahan yang diperuntukkan
sebagai lahan agroforesty. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya pori makro
pada lahan tegalan tersebut, karena kurangnya bahan organik dan tingginya
pengolahan tanah yang dapat mempercepat dekomposisi bahan organik. Dengan
demikian rendahnya kadar bahan organik dapat menjadi salah satu penyebab
rendahnya kemampuan tanah dalam melalukan air.
Di dalam tanah juga dapat terjadi aliran bawah permukaan. Aliran bawah
permukaan adalah aliran air yang masuk ke dalam tanah namun tidak cukup
dalam karena terhalangi oleh lapisan kedap. Aliran bawah permukaan tersebut
biasanya terdapat pada kedalaman 30-40 cm di bawah permukaan tanah kemudian
keluar ke permukaan tanah melalui bawah lereng atau mengisi sungai-sungai
(Arsyad, 2000).
7
Download