BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kerangka Teori Pada bab 2 ini akan dibahas tentang teori-teori dan studi pustaka yang dipakai dalam penelitian ini. 2.1.1. Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1.1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Nawawi (2005:39) di dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif” menjelaskan bahwa jika dilihat dari struktur kata-katanya “manajemen sumber daya manusia” memiliki dua perkataan yang masing-masing kata memiliki konsep, yaitu manajemen dan sumber daya manusia. Beliau mencantumkan pendapat George R. Terry dalam bukunya tersebut yang mengatakan bahwa manajemen adalah pencapaian tujuan (organisasi) yang sudah ditentukan sebelumnya dengan mempergunakan bantuan orang lain. Pengertian ini secara eksplisit menyatakan unsur SDM dengan menyebutkan “bantuan orang lain”. Sedangkan pengertian sumber daya manusia itu sendiri adalah manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan). Pengertian manajemen sumber daya manusia yang lainnya juga bisa dilihat dalam buku yang berjudul “Manajemen Sumber Daya Manusia Pendekatan Non Sekuler” oleh Hasibuan (2000:1) yang mendefinisikan manajemen sumber daya manusia sebagai suatu penyiapan dan pelaksanaan suatu rencana yang terkoordinasi untuk menjamin bahwa sumber daya manusia yang ada dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan organisasi. Dessler (2013:30) di dalam bukunya yang berjudul “Human Resource Management” mengartikan manajemen sumber daya manusia sebagai kebijakan dan cara-cara yang dipraktekkan dan berhubungan dengan pemberdayaan manusia atau aspek-aspek sumber daya manusia dari sebuah posisi manajemen termasuk perekrutan, seleksi, pelatihan, penghargaan dan penilaian. Beliau mengatakan bahwa dengan mengelola sumber daya manusia juga akan menentukan orang-orang seperti apa yang harus dipekerjakan, direkrut, dipilih, dilatih dan dikembangkan, membuat standar kinerja, mengevaluasi kinerja, dan mengkompensasi karyawan. Berdasarkan pernyataan-pernyataan dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan proses mengatur, 9 10 memberdayakan dan mengelola sumber daya manusia di dalam suatu organisasi secara efisien dan efektif guna mencapai tujuan organisasi (perusahaan). 2.1.1.2. Alasan Mengapa Sumber Daya Manusia Penting Bagi Manajer Dessler (2013:31) menyatakan beberapa alasan mengapa manajer perlu memperhatikan manajemen sumber daya manusianya, antara lain: 1. Menghindari kesalahan pekerja Tentunya tidak ada manajer manapun yang mau terjadi kesalahan-kesalahan yang terjadi yang berpengaruh terhadap kinerja perusahaannya. Misalnya saja mempekerjakan orang yang salah, turnover perusahaan yang tinggi, karyawan yang dimiliki tidak melakukan pekerjaannya dengan baik dan lainnya. Untuk itu maka manajemen sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi. 2. Meningkatkan keuntungan dan kinerja Manajemen sumber daya manusia yang efektif akan membantu untuk menghasilkan sesuatu yang baik melalui orang-orang yang dimiliki perusahaan. Banyak manajer yang telah sukses walaupun memiliki organisasi, rencana atau control yang tidak memadai. Mereka dapat sukses dikarenakan mereka telah berhasil mempekerjakan orang-orang yang kompeten dan memotivasinya dalam bekerja, serta mereka juga telah berhasil dalam mengembangkan pekerjanya. 2.1.2. Dukungan Atasan Dalam lingkungan kerja, perilaku bawahan dipengaruhi oleh cara dan perilaku seorang atasan. Korsgaard et al (1995) dalam Ying-Pin Yeh (2014:96) menunjukkan bahwa ketika perhatian yang lebih besar ditunjukkan bagi karyawan, maka karyawan mampu mengembangkan rasa kepemilikan terhadap kelompok. Bagaimana karyawan didukung dalam pekerjaannya juga merupakan kunci untuk mengurangi turnover dalam suatu perusahaan. Salah satu yang berperan penting dalam terciptanya kinerja yang baik dari karyawan adalah dukungan atasan. Dukungan atasan menunjukkan sejauh mana atasan dipandang sebagai seseorang yang peduli dan mampu memberikan bantuan emosional dan instrumental pada saat dibutuhkan (Bacharach & Bamberger, 2007). Dukungan atasan juga memiliki kaitan erat dengan persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi, karena atasan sebagai agen organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan. Eisenberger et al (2002), Stinglhamber & Vandenberghe (2003) dalam Ying-Pin Yeh (2014:96) berpendapat bahwa ketika 11 atasan mendukung bawahannya maka akan menghasilkan rasa kewajiban dalam diri bawahan untuk membantu atasan untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu, Steinhardt et al (2008) dalam Okediji et al (2011:554) menyatakan bahwa dengan adanya dukungan atasan maka stres kerja dari karyawan akan menurun yang malahan membuat tingkat kepuasan kerja karyawan semakin meningkat. Botha (2007) dalam Okediji et al (2011:554) juga mengatakan bahwa dukungan dari atasan dan rekan kerja berkontribusi dalam mengurangi konflik, ambiguitas peran, dan peran yang berlebihan yang mana hal tersebut dapat mengganggu tingkat kepuasan kerja karyawan. Adapun macam-macam bentuk dukungan yang bisa diberikan atasan kepada bawahannya antara lain: (Ying-Pin Yeh, 2014:98-99) a. Menjadi pendengar yang baik ketika bawahan mengalami kesulitan Kadangkala karyawan memiliki masalah-masalah tertentu dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai atasan yang baik sudah seharusnya dapat menjadi pendengar yang baik bagi karyawannya. b. Memberikan motivasi Ada kalanya seorang karyawan merasa semangat yang menyala-nyala dan ada pula saat dimana karyawan merasa penat dan pikiran yang kacau. Pada saat mereka down itulah dukungan seorang atasan dibutuhkan. Atasan bisa memberikan motivasi yang dapat membangkitkan kembali semangat kerja dari karyawan, tetap mendorong mereka untuk tetap semangat dalam bekerja. Tentu hal ini juga butuh teladan dari atasan itu sendiri karena orang akan lebih memperhatikan tindakan daripada ucapan. c. Memberikan solusi jika bawahannya mengalami masalah Kadangkala karyawan memiliki masalah-masalah tertentu dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai atasan yang sudah lebih matang dalam bidang pekerjaan tersebut maka semestinya ia bisa memberikan kiat-kiat jitu dalam menyelesaikan masalah tersebut. d. Memperlakukan karyawannya secara adil Adil tidak harus bermakna sama, bersikap adil juga harus disesuaikan dengan konteksnya. Untuk menjadi seorang pemimpin yang adil memang tidak mudah, sebab meskipun pemimpin telah bersikap seadil mungkin tetapi boleh jadi ada karyawan yang menganggapnya tidak adil. Untuk itu pemimpin harus tanamkan kepada karyawannya pengertian adil agar mereka tidak salah dalam memaknainya. 12 2.1.2.1. Hubungan Atasan Dengan Karyawan Mungkin hubungan atasan - karyawan yang terbaik dirasakan dan dipahami sebagai garis yang ada di antara keduanya, semacam saluran psikologis di mana semua komunikasi, reaksi, dan perasaan harus mengalir bolak-balik. Berikut adalah tiga karakteristik hubungan atasan dan karyawan menurut Cliff Goodwin, Ed.D. & Daniel B. Griffith, J.D., SPHR (2008:69-70) di dalam bukunya yang berjudul Supervisor’s Survival Kit: Gambar 2.1 Tiga Karakteristik Hubungan Supervisor dan Karyawan Sumber : Supervisor’s Survival Kit 11th Edition, 2008:69 1. Komunikasi dua arah Baik atasan maupun karyawan harus bisa membangun sebuah hubungan yang hidup dan sehat melalui dialog yang terbuka. Dibutuhkan juga umpan balik dalam hubungan tersebut, bukan hanya umpan balik dari atasan kepada bawahan saja, tetapi juga dari bawahan kepada atasan. 2. Mutual Reward Theory (MRT) MRT mengatakan bahwa hubungan antara atasan dan karyawan ditingkatkan ketika ada pertukaran penghargaan/imbalan yang baik terjadi di antara mereka. Sebagai contoh: atasan dapat memberikan karyawan kebebasan untuk bekerja dengan pengawasan minimum, pengakuan pribadi dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Sebagai imbalannya, karyawan dapat memberikan produktivitas yang tinggi pribadi, kehandalan, dan kerja sama dengan rekan kerja. Karyawan senang dengan pekerjaannya dan reputasi pengawas ditingkatkan 13 karena kemampuannya untuk mengarahkan dan memberi dukungan pada karyawan. 3. Kehadiran emosi Perasaan emosional yang ekstrim baik dari karyawan atau atasan kadang-kadang bisa masuk dalam garis hubungan dan membuat itu sulit untuk ditangani. Percikan yang dihasilkan oleh emosi yang tidak terkendali ini berbahaya bagi hubungan antara atasan dengan karyawan. Meskipun kedua belah pihak berbagi tanggung jawab ini, namun atasanlah yang harus bisa mengontrol emosinya dan memberikan respon yang tepat ketika emosi karyawan mulai tinggi. 2.1.3. Pemberdayaan Karyawan 2.1.3.1. Pengertian Pemberdayaan Karyawan Tren yang menjanjikan dalam suatu organisasi saat ini berpusat pada hal memberikan kesempatan kepada karyawan mereka untuk memiliki suara yang lebih besar di tempat kerja. Pemberdayaan karyawanpun memainkan peran penting dalam meningkatkan kinerja perusahaan (Elnaga & Imran, 2014:24). Hal ini bisa berupa berbagai macam bentuk, seperti high-involvement management dan participative management. Participative management itu sendiri berarti proses dimana karyawan memainkan peran langsung dalam menentukan tujuan, membuat keputusan, memecahkan masalah dan membuat perubahan dalam organisasi. Para pendukung participative management ini mengklaim bahwa partisipasi karyawan akan meningkatkan kepuasan karyawan, komitmen dan kinerja. Selain itu participative management juga meningkatkan motivasi karena membantu karyawan memenuhi tiga kebutuhan dasarnya yaitu kemandirian, kebermaknaan dari pekerjaan dan kontak interpersonal. Terlepas dari bentuk-bentuk itu semua, hal pentingnya adalah semua karyawan memiliki kontrol yang lebih besar dalam kehidupan kerja mereka (Kreitner & Kinicki, 2010:445). Sedangkan high-involvement management/job involvement didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang disibukkan dan dilibatkan dengan pekerjaannya saat ini (Kreitner & Kinicki, 2010:169). Beliau juga mengatakan bahwa dengan adanya job involvement maka itu akan berkaitan dengan job satisfaction, organizational commitment, dan motivasi intrinsic serta secara negative mengurangi peluang untuk keluar dari pekerjaan. Seorang konsultan manajemen sekaligus penulis bernama W. Alan Radolph dalam Kreitner & Kinicki (2010:445) mendefinisikan pemberdayaan sebagai mengenali dan mengeluarkan kekuatan seseorang dalam hal pengetahuan yang 14 berguna, pengalaman dan motivasi internal. Steve Kerr yang menjabat sebagai Chief Learning Officer di General Electric and Goldman Sachs dalam Kreitner & Kinicki (2010:445) mendefinisikan pemberdayaan sebagai menggerakkan pengambilan keputusan sampai ke tingkat terendah di mana keputusan yang kompeten dapat dibuat. Ketika karyawan diberdayakan, tingkat kepercayaan diri dan kemandirian mereka akan meningkat. Keyakinan ekstra ini adalah hal yang baik karena dapat menciptakan kepuasan kerja dan tingkat produktivitas yang tinggi (Elnaga & Imran, 2014:14). Wibowo (2013:413) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Kinerja” mengatakan bahwa cara meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang dilakukan melalui pembinaan sumber daya manusia, seperti pelatihan dan pengembangan, secara bertahap mulai ditinggalkan. Beliau mengatakan bahwa pendekatan baru yang lebih digunakan saat ini adalah pemberdayaan sumber daya manusia. Dalam bukunya itu juga beliau mencantumkan beberapa definisi pemberdayaan dari berbagai ahli, di antaranya Robbins yang mendefinisikan pemberdayaan sebagai menempatkan pekerja bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan, sedangkan Greenberg & Baron mendefinisikannya sebagai suatu proses dimana pekerja diberi peningkatan sejumlah otonomi dan keleluasaan dalam hubungannya dengan pekerjaan mereka. Wibowo juga menjelaskan bahwa dengan adanya pemberdayaan akan membantu menghilangkan kondisi yang menyebabkan ketidakberdayaan sambil meningkatkan perasaan self-efficacy (perasaan dimana seseorang merasa mampu menyelesaikan pekerjaan apa saja yang diberikan kepadanya yang tentu harus didukung dengan kemampuan aktual) pekerja. Gibson (1991) dalam Ying-Pin Yeh (2014:96) menunjukkan bahwa pemberdayaan karyawan adalah suatu proses sosial mengenali, mempromosikan dan meningkatkan kemampuan karyawan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, memecahkan masalah mereka sendiri dan memobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk mengontrol layanan mereka. Selain itu, masih di dalam pengarang yang sama, Pitt & Foreman (1999) mengatakan bahwa dengan pemberdayaan karyawan maka karyawan akan menjadi lebih termotivasi dan memiliki pemahaman yang baik tentang sifat bisnis perusahaan dan masalah. Pemberdayaan karyawan memerlukan menciptakan lingkungan kerja di mana karyawan diizinkan untuk membuat keputusan tentang situasi yang berhubungan dengan pekerjaan tertentu (Sarwar & Khalid, 2011). Keputusan bisa besar atau kecil. Logika di balik 15 pemberdayaan karyawan adalah untuk meningkatkan tanggung jawab karyawan, untuk membangun semangat kerja karyawan dan untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja karyawan. Idealnya, ketika seorang karyawan merasa berada di tangan sebuah organisasi, ia akan lebih produktif, setia dan lebih percaya diri (Elnaga & Imran, 2014:16). Menon (2001:156) dalam Applied Psychology: An International Review yang berjudul “Employee Empowerment: An Integrative Psychological Approach” mengatakan bahwa memberdayakan karyawan berarti melibatkan pemindahan otoritas pengambilan keputusan ke bawah dari hirarki organisasi dan memberikan kesempatan pada karyawan untuk secara signifikan mempengaruhi hasil organisasi. Masih dalam jurnal yang sama, Menon mengutip pernyataan Spreitzer (1995), berdasarkan pendekatan Thomas & Velthouse (1990), yang mendefinisikan pemberdayaan sebagai peningkatan motivasi intrinsik yang diwujudkan dalam empat kognitif: value (nilai dari tujuan kerja), competence (efektivitas diri), selfdetermination (otonomi dalam inisiasi dan kelanjutan dari perilaku kerja) dan impact (pengaruh pada hasil kerja). Elnaga & Imran (2014:16-17) menyatakan ada tiga elemen penting dalam memberdayakan karyawan: a) Akurasi dan Kejelasan Langkah pertama dalam memberdayakan karyawan untuk memperjelas tujuan dan harapan. Orang-orang hanya bisa mencapai kemajuan di tempat kerja jika mereka memiliki gambaran lengkap tentang apa hasil yang mereka diharapkan untuk memberikan. Ini berarti para manajer harus jelas mendefinisikan hasil yang diharapkan dan berkomunikasi dengan karyawannya sesering mungkin sehingga setiap orang memahami tanggung jawab mereka. b) Dorongan dan Dukungan Elemen penting yang kedua dalam memberdayakan karyawan adalah mendukung mereka dengan menyediakan bantuan dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk kemajuan dan menghilangkan hambatan yang mungkin menghambat kemajuan. Manajer memberdayakan karyawan dengan melayani kebutuhan mereka. Hal ini membutuhkan tidak hanya menyediakan waktu, sumber daya, dan dorongan yang diperlukan untuk mencapai tujuan, tetapi juga secara aktif bekerja untuk meminimalkan hambatan untuk sukses. 16 c) Otonomi dan Kebebasan Elemen terakhir yaitu otonomi dan kebebasan. Ini berarti memberi mereka otonomi penuh yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka. Setelah karyawan tahu apa yang diharapkan untuk mereka lakukan dan mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dalam melakukan pekerjaan, hal terbaik yang dapat manajer lakukan adalah keluar dari jalan mereka dan mempercayai karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Dari beberapa defenisi pemberdayaan di atas maka dapat diambil berbagai hal penting yaitu pemberian tanggung jawab dan wewenang kepada karyawan, menciptakan kondisi saling percaya antar manajemen dan karyawan, adanya employee involvement yaitu melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, membuat perubahan, dan lain sebagainya. 2.1.3.2. Perlunya Pemberdayaan Wibowo (2013:417-418) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Kinerja” mengatakan bahwa pemberdayaan merupakan hal yang vital dalam lingkungan bisnis modern karena dengan pemberdayaan maka bisnis dapat lebih dekat dengan pelanggan, dapat memperbaiki pelayanan pengiriman barang, meningkatkan produktivitas dan memenangkan kompetisi. Dalam bukunya tersebut beliau juga mengutip pernyataan dari Jane Smith (2000:5) yang berpendapat bahwa ada dua hal yang menyebabkan perlunya pemberdayaan, yaitu: 1. Karena lingkungan eksternal telah berubah sehingga mengalihkan cara bekerja dengan orang di dalam organisasi 2. Karena orang di dalam organisasi itu yang berubah. Karena manajer memandang bahwa orang sebagai sumber daya paling berharga maka keamanan dan sukses ke depan suatu organisasi bergantung pada bakat dan kecerdasan orang yang dimiliki daripada faktor lain seperti tanah, bangunan, pabrik dan mesin. 2.1.3.3. Manfaat Pemberdayaan Wibowo (2013:418-419) berpendapat bahwa jika suatu organisasi menjalankan pemberdayaan terhadap karyawannya, maka karyawannya akan merasa bahwa mereka adalah bagian dalam organisasi tersebut. terdapat pula perasaan dimana mereka telah melakukan sesuatu yang berharga dan memperoleh kesenangan dalam melakukan komunikasi dan kerja dengan orang lain. Dengan demikian pemberdayaan akan meningkatkan kepercayaan diri karyawan dalam melakukan tugasnya. Dari kepercayaan diri itu maka akan terjadi 17 peningkatan kepuasan kerja, kerja sama yang baik dengan rekan, bekerja dengan tujuan yang lebih jelas dan mendapatkan prestasi apabila tujuannya tercapai. 2.1.3.4. Keuntungan dan Kerugian Pemberdayaan Elnaga & Imran (2014:17-18) mengatakan bahwa melakukan pemberdayaan karyawanpun memiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri. Semakin banyak orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan maka prosesnya pasti akan melambat. Selain itu beberapa kerugian lainnya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan pada karyawan, terlalu banyak tanggung jawab yang diberikan pada karyawan sehingga pekerjaan menjadi kurang fokus dan tidak semua karyawan dapat membuat keputusan bisnis yang baik. Namun pemberdayaan karyawan memang sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis sekarang ini karena dengan memberdayakan karyawan akan memberikan hal positif bagi perusahaan itu sendiri. Elnaga & Imran (2014:17-18) menyatakan bahwa dengan memberdayakan karyawan maka perusahaan akan memiliki respon yang cepat kapada pelanggan karena berhubungan langsung dengan perusahaan melalui karyawan yang dimiliki, meningkatkan kontribusi karyawan, meningkatkan rasa hormat antar karyawan, peningkatan kepuasan kerja, tim kerja yang lebih efektif serta mengurangi turnover. 2.1.4. Advokasi Karyawan Urban (2004) dalam Ying-Pin Yeh (2014:95) mengatakan bahwa advokasi karyawan/employee advocacy mengacu pada transparansi kebijakan ketenagakerjaan dan kemauan perusahaan untuk bertindak dalam kepentingan terbaik bagi karyawan. Eisenberger et al (1986) dalam Ying-Pin Yeh (2014:95) menyatakan bahwa advokasi karyawan menyangkut persepsi karyawan dari sejauh mana organisasi menghargai kontribusi mereka dan peduli tentang kesejahteraan mereka. Dengan demikian, karyawan cenderung mencari keseimbangan dalam hubungan pertukaran dengan organisasi/perusahaan di mana mereka bekerja dengan mendasarkan sikap dan perilaku mereka pada komitmen atasan mereka kepada mereka. Masih di dalam jurnal yang sama, Ying-Pin Yeh (2014:98) menyatakan bahwa advokasi karyawan dapat memperkuat persepsi karyawan bahwa organisasi merasa puas dengan karyawan tersebut bertindak sesuai dengan norma-norma dan kebijakan yang ditetapkan, sehingga memperoleh persetujuan sosial mereka dalam organisasi. Advokasi karyawan meningkatkan harapan hasil usaha karyawan, yang menyebabkan karyawan percaya bahwa usaha mereka akan dihargai di masa depan. 18 2.1.5. Kepuasan Kerja 2.1.5.1. Pengertian Kepuasan Kerja Setiap karyawan yang bekerja dalam suatu organisasi pasti mengharapkan untuk mendapat kepuasan dari tempatnya bekerja. Kepuasan kerja itupun akan mempengaruhi produktivitas yang sangat diharapkan oleh organisasi. Untuk itu kepuasan kerja seorang karyawan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi. Wibowo (2013:501) mengutip pendapat Robbins yang mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Beliaupun mencantumkan beberapa pengertian dari kepuasan kerja yang lainnya,yaitu; menurut Greenberg dan Baron yang mendefinisikannya sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual terhadap pekerjaan mereka, sedangkan menurut Gibson kepuasan kerja adalah sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan mereka, hal ini merupakan hasil dari persepsi mereka tentang pekerjaannya. Okedji et al (2011:544-545) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari berbagai sikap yang dimiliki oleh seorang karyawan. Sikap ini terkait dengan pekerjaan dan berkepentingan dengan faktor-faktor tertentu seperti upah, pengawasan, kemantapan kerja, kondisi kerja, peluang kemajuan, pengakuan kemampuan, evaluasi yang adil dari pekerjaan, hubungan sosial pada pekerjaan, penyelesaian yang cepat terhadap keluhan dan perlakuan yang adil dari perusahaan. Ada juga faktor-faktor lain seperti usia karyawan, kesehatan, temperamen, keinginan, tingkat aspirasi, hubungan keluarga, status sosial dan tenaga kerja atau kegiatan murni sosial (Obi-Keguna, 2004). Kreitner & Kinicki (2010:170) mengatakan bahwa kepuasan kerja secara esensial menunjukkan sejauh mana individu menyukai pekerjaannya. Secara formal, kepuasan kerja didefinisikan sebagai respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan seseorang. Sedangkan Colquitt & kawan-kawan (2013:96) dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu keadaan emosional yang menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian seseorang terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja. Karyawan yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi maka akan memiliki perasaan yang positif saat ambil bagian dalam aktivitas kerja, sedangkan sebaliknya, karyawan yang memiliki tingkat 19 kepuasan kerja rendah akan memiliki perasaan negative saat ambil bagian dalam aktivitas kerja. Dalam Journal of Air Transport Management berjudul “Exploring the impacts of employee advocacy on job satisfaction and organizational commitment: Case of Taiwanese airlines” Ying-Pin Yeh (2014:95) mencantumkan beberapa pendapat para ahli. George & Jones (1996) berpendapat bahwa kepuasan kerja mencerminkan sikap karyawan dan struktur pemahaman terhadap organisasi dimana ia bekerja. Lyons et al (2003) mengajukan bahwa lebih efektif jika meningkatkan kepuasan kerja karyawan dengan menggunakan faktor pemasyarakatan implisit (seperti pertumbuhan pribadi, keterampilan yang berguna dan lain sebagainya) dibandingkan dengan menggunakan faktor yang mendorong eksplisit (seperti upah). Harapan pekerjaan karyawan juga mempengaruhi emosi mereka sehubungan dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Carr, 2000). Ketika harapan seorang karyawan tidak sesuai dengan kenyataan maka hal itu dapat menyebabkan ketidakpuasan dan kurangnya komitmen pada organisasi (Rousseau, 1998). Karyawan mengharapkan organisasi untuk mendukung mereka dan sebagai gantinya mereka memberikan kontribusi perilaku yang bermanfaat bagi organisasi. Tindakan seperti balasan dan pertukaran mempengaruhi sikap karyawan terhadap organisasi dan pekerjaan mereka (Shore & Tetrick, 1991). 2.1.5.2. Penyebab dan Korelasi Kepuasan Kerja Kreitner & Kinicki (2010:171) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Behavior” menegaskan bahwa ada lima faktor yang dapat memengaruhi kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut: a. Need Fulfillment (pemenuhan kebutuhan) Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan yang memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. b. Discrepancies (perbedaan) Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar dari apa yang diterima makan individu tidak akan merasa puas. Begitu juga sebaliknya, individu akan merasa puas jika apa yang diterima melebihi harapannya. 20 c. Value Attainment (pencapaian nilai) Gagasan ini mengatakan bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. d. Equity (keadilan) Gagasan ini mengatakan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempatnya bekerja. e. Genetic Components (komponen genetik) Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Dalam bukunya itu juga Kreitner & Kinicki mengatakan bahwa ada beberapa korelasi kepuasan kerja, di antaranya: a. Motivation Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan kepuasan kerja karyawan sehingga para manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka terhadap bawahan memengaruhi kepuasan kerja bawahannya. b. Job Involvement Dengan melibatkan karyawan dalam suatu pekerjaan makan itu akan membuat karyawan merasa perannya dibutuhkan dalam suatu organisasi. untuk itu manajer didorong untuk menciptakan lingkungan kerja yang memuaskan dengan mendorong keterlibatan kerja pekerja. c. Absenteeism (kemangkiran) Kemangkiran merupakan suatu momok yang serius dalam suatu organisasi dan para manajer sudah seharusnya mencari cara untuk mengurangi kemangkiran para karyawannya. Beliau juga mengatakan bahwa apabila kepuasan meningkat maka kemangkiran akan turun, begitu juga sebaliknya, jika kepuasan menurun maka kemangkiran akan naik. d. Turnover Selain absenteeism yang menjadi momok lainnya dalam organisasi adalah turnover. Turnover sangat mengganggu kontinuitas suatu organisasi dan memerlukan biaya yang mahal. Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepuasan dengan turnover sehingga manajer harus mampu meningkatkan kepuasan kerja perusahaannya. karyawannya sehingga meminimalisir turnover dalam 21 e. Job Performance (kinerja) Ada yang mengatakan bahwa kepuasan kerja memengaruhi kinerja, namun ada juga yang berpendapat bahwa kinerja memengaruhi kepuasan kerja. Pada akhirnya ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang posotif rendah antara kepuasan dengan kinerja. 2.2. Kerangka Pemikiran Dukungan Atasan (X1) Advokasi Karyawan Kepuasan Kerja (Z) (Y) Pemberdayaan Karyawan (X2) Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Sumber: Penulis, 2014 2.3. Hipotesis Hipotesis penelitian berdasarkan tujuan penelitan adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis T-1 Hipotesis pertama yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan 1 adalah sebagai berikut: H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Dukungan Atasan (X1) terhadap Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Dukungan Atasan (X1) terhadap Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek 2. Hipotesis T-2 Hipotesis kedua yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan 2 yaitu sebagai berikut: 22 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek 3. Hipotesis T-3 Hipotesis ketiga yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan 3 yaitu sebagai berikut: H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan Dukungan Atasan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek Ha = Ada pengaruh yang signifikan Dukungan Atasan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek 4. Hipotesis T-4 Hipotesis keempat yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan 4 yaitu sebagai berikut: H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek 5. Hipotesis T-5 Hipotesis kelima yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan 5 yaitu sebagai berikut: H0 = Tidak ada pengaruh signifikan dari Advokasi Karyawan (Y) terhadap Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek Ha = Ada pengaruh signifikan dari Advokasi Karyawan (Y) terhadap Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek 23 6. Hipotesis T-6 Hipotesis keenam yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan 6 yaitu sebagai berikut: H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Dukungan Atasan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (Z) melalui Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Dukungan Atasan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (Z) melalui Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek 7. Hipotesis T-7 Hipotesis ketujuh yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan 7 yaitu sebagai berikut: H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap kepuasan kerja (Z) melalui Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap kepuasan kerja (Z) melalui Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek 24