9 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kerangka Teori

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Kerangka Teori
Pada bab 2 ini akan dibahas tentang teori-teori dan studi pustaka yang dipakai
dalam penelitian ini.
2.1.1. Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.1.1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Nawawi (2005:39) di dalam bukunya yang berjudul “Manajemen
Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif” menjelaskan bahwa jika
dilihat dari struktur kata-katanya “manajemen sumber daya manusia” memiliki dua
perkataan yang masing-masing kata memiliki konsep, yaitu manajemen dan sumber
daya manusia. Beliau mencantumkan pendapat George R. Terry dalam bukunya
tersebut yang mengatakan bahwa manajemen adalah pencapaian tujuan (organisasi)
yang sudah ditentukan sebelumnya dengan mempergunakan bantuan orang lain.
Pengertian ini secara eksplisit menyatakan unsur SDM dengan menyebutkan
“bantuan orang lain”. Sedangkan pengertian sumber daya manusia itu sendiri adalah
manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga
kerja, pekerja atau karyawan). Pengertian manajemen sumber daya manusia yang
lainnya juga bisa dilihat dalam buku yang berjudul “Manajemen Sumber Daya
Manusia Pendekatan Non Sekuler” oleh Hasibuan (2000:1) yang mendefinisikan
manajemen sumber daya manusia sebagai suatu penyiapan dan pelaksanaan suatu
rencana yang terkoordinasi untuk menjamin bahwa sumber daya manusia yang ada
dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan organisasi.
Dessler (2013:30) di dalam bukunya yang berjudul “Human Resource
Management” mengartikan manajemen sumber daya manusia sebagai kebijakan dan
cara-cara yang dipraktekkan dan berhubungan dengan pemberdayaan manusia atau
aspek-aspek sumber daya manusia dari sebuah posisi manajemen termasuk
perekrutan, seleksi, pelatihan, penghargaan dan penilaian. Beliau mengatakan bahwa
dengan mengelola sumber daya manusia juga akan menentukan orang-orang seperti
apa yang harus dipekerjakan, direkrut, dipilih, dilatih dan dikembangkan, membuat
standar kinerja, mengevaluasi kinerja, dan mengkompensasi karyawan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan dari beberapa ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan proses mengatur,
9
10
memberdayakan dan mengelola sumber daya manusia di dalam suatu organisasi
secara efisien dan efektif guna mencapai tujuan organisasi (perusahaan).
2.1.1.2.
Alasan Mengapa Sumber Daya Manusia Penting Bagi Manajer
Dessler (2013:31) menyatakan beberapa alasan mengapa manajer perlu
memperhatikan manajemen sumber daya manusianya, antara lain:
1.
Menghindari kesalahan pekerja
Tentunya tidak ada manajer manapun yang mau terjadi kesalahan-kesalahan
yang terjadi yang berpengaruh terhadap kinerja perusahaannya. Misalnya saja
mempekerjakan orang yang salah, turnover perusahaan yang tinggi, karyawan yang
dimiliki tidak melakukan pekerjaannya dengan baik dan lainnya. Untuk itu maka
manajemen sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
organisasi.
2.
Meningkatkan keuntungan dan kinerja
Manajemen sumber daya manusia yang efektif akan membantu untuk
menghasilkan sesuatu yang baik melalui orang-orang yang dimiliki perusahaan.
Banyak manajer yang telah sukses walaupun memiliki organisasi, rencana atau
control yang tidak memadai. Mereka dapat sukses dikarenakan mereka telah berhasil
mempekerjakan orang-orang yang kompeten dan memotivasinya dalam bekerja, serta
mereka juga telah berhasil dalam mengembangkan pekerjanya.
2.1.2.
Dukungan Atasan
Dalam lingkungan kerja, perilaku bawahan dipengaruhi oleh cara dan perilaku
seorang atasan. Korsgaard et al (1995) dalam Ying-Pin Yeh (2014:96) menunjukkan
bahwa ketika perhatian yang lebih besar ditunjukkan bagi karyawan, maka karyawan
mampu mengembangkan rasa kepemilikan terhadap kelompok.
Bagaimana karyawan didukung dalam pekerjaannya juga merupakan kunci
untuk mengurangi turnover dalam suatu perusahaan. Salah satu yang berperan
penting dalam terciptanya kinerja yang baik dari karyawan adalah dukungan atasan.
Dukungan atasan menunjukkan sejauh mana atasan dipandang sebagai seseorang
yang peduli dan mampu memberikan bantuan emosional dan instrumental pada saat
dibutuhkan (Bacharach & Bamberger, 2007). Dukungan atasan juga memiliki kaitan
erat dengan persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi, karena atasan sebagai
agen organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan
mengevaluasi kinerja bawahan. Eisenberger et al (2002), Stinglhamber &
Vandenberghe (2003) dalam Ying-Pin Yeh (2014:96) berpendapat bahwa ketika
11
atasan mendukung bawahannya maka akan menghasilkan rasa kewajiban dalam diri
bawahan untuk membantu atasan untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu,
Steinhardt et al (2008) dalam Okediji et al (2011:554) menyatakan bahwa dengan
adanya dukungan atasan maka stres kerja dari karyawan akan menurun yang malahan
membuat tingkat kepuasan kerja karyawan semakin meningkat. Botha (2007) dalam
Okediji et al (2011:554) juga mengatakan bahwa dukungan dari atasan dan rekan
kerja berkontribusi dalam mengurangi konflik, ambiguitas peran, dan peran yang
berlebihan yang mana hal tersebut dapat mengganggu tingkat kepuasan kerja
karyawan.
Adapun macam-macam bentuk dukungan yang bisa diberikan atasan kepada
bawahannya antara lain: (Ying-Pin Yeh, 2014:98-99)
a.
Menjadi pendengar yang baik ketika bawahan mengalami kesulitan
Kadangkala karyawan memiliki masalah-masalah tertentu dalam melaksanakan
tugasnya. Sebagai atasan yang baik sudah seharusnya dapat menjadi pendengar yang
baik bagi karyawannya.
b.
Memberikan motivasi
Ada kalanya seorang karyawan merasa semangat yang menyala-nyala dan ada
pula saat dimana karyawan merasa penat dan pikiran yang kacau. Pada saat mereka
down itulah dukungan seorang atasan dibutuhkan. Atasan bisa memberikan motivasi
yang dapat membangkitkan kembali semangat kerja dari karyawan, tetap mendorong
mereka untuk tetap semangat dalam bekerja. Tentu hal ini juga butuh teladan dari
atasan itu sendiri karena orang akan lebih memperhatikan tindakan daripada ucapan.
c.
Memberikan solusi jika bawahannya mengalami masalah
Kadangkala karyawan memiliki masalah-masalah tertentu dalam melaksanakan
tugasnya. Sebagai atasan yang sudah lebih matang dalam bidang pekerjaan tersebut
maka semestinya ia bisa memberikan kiat-kiat jitu dalam menyelesaikan masalah
tersebut.
d.
Memperlakukan karyawannya secara adil
Adil tidak harus bermakna sama, bersikap adil juga harus disesuaikan dengan
konteksnya. Untuk menjadi seorang pemimpin yang adil memang tidak mudah,
sebab meskipun pemimpin telah bersikap seadil mungkin tetapi boleh jadi ada
karyawan yang menganggapnya tidak adil. Untuk itu pemimpin harus tanamkan
kepada karyawannya pengertian adil agar mereka tidak salah dalam memaknainya.
12
2.1.2.1. Hubungan Atasan Dengan Karyawan
Mungkin hubungan atasan - karyawan yang terbaik dirasakan dan dipahami
sebagai garis yang ada di antara keduanya, semacam saluran psikologis di mana
semua komunikasi, reaksi, dan perasaan harus mengalir bolak-balik.
Berikut adalah tiga karakteristik hubungan atasan dan karyawan menurut
Cliff Goodwin, Ed.D. & Daniel B. Griffith, J.D., SPHR (2008:69-70) di dalam
bukunya yang berjudul Supervisor’s Survival Kit:
Gambar 2.1 Tiga Karakteristik Hubungan Supervisor dan Karyawan
Sumber : Supervisor’s Survival Kit 11th Edition, 2008:69
1. Komunikasi dua arah
Baik atasan maupun karyawan harus bisa membangun sebuah hubungan yang
hidup dan sehat melalui dialog yang terbuka. Dibutuhkan juga umpan balik dalam
hubungan tersebut, bukan hanya umpan balik dari atasan kepada bawahan saja,
tetapi juga dari bawahan kepada atasan.
2. Mutual Reward Theory (MRT)
MRT mengatakan bahwa hubungan antara atasan dan karyawan ditingkatkan
ketika ada pertukaran penghargaan/imbalan yang baik terjadi di antara mereka.
Sebagai contoh: atasan dapat memberikan karyawan kebebasan untuk bekerja
dengan pengawasan minimum, pengakuan pribadi dan keterlibatan dalam
pengambilan keputusan. Sebagai imbalannya, karyawan dapat memberikan
produktivitas yang tinggi pribadi, kehandalan, dan kerja sama dengan rekan kerja.
Karyawan senang dengan pekerjaannya dan reputasi pengawas ditingkatkan
13
karena kemampuannya untuk mengarahkan dan memberi dukungan pada
karyawan.
3. Kehadiran emosi
Perasaan emosional yang ekstrim baik dari karyawan atau atasan kadang-kadang
bisa masuk dalam garis hubungan dan membuat itu sulit untuk ditangani. Percikan
yang dihasilkan oleh emosi yang tidak terkendali ini berbahaya bagi hubungan
antara atasan dengan karyawan. Meskipun kedua belah pihak berbagi tanggung
jawab ini, namun atasanlah yang harus bisa mengontrol emosinya dan
memberikan respon yang tepat ketika emosi karyawan mulai tinggi.
2.1.3.
Pemberdayaan Karyawan
2.1.3.1. Pengertian Pemberdayaan Karyawan
Tren yang menjanjikan dalam suatu organisasi saat ini berpusat pada hal
memberikan kesempatan kepada karyawan mereka untuk memiliki suara yang lebih
besar di tempat kerja. Pemberdayaan karyawanpun memainkan peran penting dalam
meningkatkan kinerja perusahaan (Elnaga & Imran, 2014:24). Hal ini bisa berupa
berbagai macam bentuk, seperti high-involvement management dan participative
management. Participative management itu sendiri berarti proses dimana karyawan
memainkan peran langsung dalam menentukan tujuan, membuat keputusan,
memecahkan masalah dan membuat perubahan dalam organisasi. Para pendukung
participative management ini mengklaim bahwa partisipasi karyawan akan
meningkatkan kepuasan karyawan, komitmen dan kinerja. Selain itu participative
management juga meningkatkan motivasi karena membantu karyawan memenuhi
tiga kebutuhan dasarnya yaitu kemandirian, kebermaknaan dari pekerjaan dan kontak
interpersonal. Terlepas dari bentuk-bentuk itu semua, hal pentingnya adalah semua
karyawan memiliki kontrol yang lebih besar dalam kehidupan kerja mereka (Kreitner
& Kinicki, 2010:445). Sedangkan high-involvement management/job involvement
didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang disibukkan dan dilibatkan
dengan
pekerjaannya saat ini (Kreitner & Kinicki, 2010:169). Beliau juga mengatakan
bahwa dengan adanya job involvement maka itu akan berkaitan dengan job
satisfaction, organizational commitment, dan motivasi intrinsic serta secara negative
mengurangi peluang untuk keluar dari pekerjaan.
Seorang konsultan manajemen sekaligus penulis bernama W. Alan Radolph
dalam Kreitner & Kinicki (2010:445) mendefinisikan pemberdayaan sebagai
mengenali dan mengeluarkan kekuatan seseorang dalam hal pengetahuan yang
14
berguna, pengalaman dan motivasi internal. Steve Kerr yang menjabat sebagai Chief
Learning Officer di General Electric and Goldman Sachs dalam Kreitner & Kinicki
(2010:445) mendefinisikan pemberdayaan sebagai menggerakkan pengambilan
keputusan sampai ke tingkat terendah di mana keputusan yang kompeten dapat
dibuat. Ketika karyawan diberdayakan, tingkat kepercayaan diri dan kemandirian
mereka akan meningkat. Keyakinan ekstra ini adalah hal yang baik karena dapat
menciptakan kepuasan kerja dan tingkat produktivitas yang tinggi (Elnaga & Imran,
2014:14).
Wibowo (2013:413) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Kinerja”
mengatakan bahwa cara meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang
dilakukan melalui pembinaan sumber daya manusia, seperti pelatihan dan
pengembangan, secara bertahap mulai ditinggalkan. Beliau mengatakan bahwa
pendekatan baru yang lebih digunakan saat ini adalah pemberdayaan sumber daya
manusia. Dalam bukunya itu juga beliau mencantumkan beberapa definisi
pemberdayaan dari berbagai ahli, di antaranya Robbins yang mendefinisikan
pemberdayaan sebagai menempatkan pekerja bertanggung jawab atas apa yang
mereka kerjakan, sedangkan Greenberg & Baron mendefinisikannya sebagai suatu
proses dimana pekerja diberi peningkatan sejumlah otonomi dan keleluasaan dalam
hubungannya dengan pekerjaan mereka. Wibowo juga menjelaskan bahwa dengan
adanya pemberdayaan akan membantu menghilangkan kondisi yang menyebabkan
ketidakberdayaan sambil meningkatkan perasaan self-efficacy (perasaan dimana
seseorang merasa mampu menyelesaikan pekerjaan apa saja yang diberikan
kepadanya yang tentu harus didukung dengan kemampuan aktual) pekerja.
Gibson (1991) dalam Ying-Pin Yeh (2014:96) menunjukkan bahwa
pemberdayaan karyawan adalah suatu proses sosial mengenali, mempromosikan dan
meningkatkan kemampuan karyawan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri,
memecahkan masalah mereka sendiri dan memobilisasi sumber daya yang
diperlukan untuk mengontrol layanan mereka. Selain itu, masih di dalam pengarang
yang sama, Pitt & Foreman (1999) mengatakan bahwa dengan pemberdayaan
karyawan maka karyawan akan menjadi lebih termotivasi dan memiliki pemahaman
yang baik tentang sifat bisnis perusahaan dan masalah. Pemberdayaan karyawan
memerlukan menciptakan lingkungan kerja di mana karyawan diizinkan untuk
membuat keputusan tentang situasi yang berhubungan dengan pekerjaan tertentu
(Sarwar & Khalid, 2011). Keputusan bisa besar atau kecil. Logika di balik
15
pemberdayaan karyawan adalah untuk meningkatkan tanggung jawab karyawan,
untuk membangun semangat kerja karyawan dan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan kerja karyawan. Idealnya, ketika seorang karyawan merasa berada di
tangan sebuah organisasi, ia akan lebih produktif, setia dan lebih percaya diri (Elnaga
& Imran, 2014:16).
Menon (2001:156) dalam Applied Psychology: An International Review
yang berjudul “Employee Empowerment: An Integrative Psychological Approach”
mengatakan bahwa memberdayakan karyawan berarti melibatkan pemindahan
otoritas pengambilan keputusan ke bawah dari hirarki organisasi dan memberikan
kesempatan pada karyawan untuk secara signifikan mempengaruhi hasil organisasi.
Masih dalam jurnal yang sama, Menon mengutip pernyataan Spreitzer (1995),
berdasarkan pendekatan Thomas & Velthouse (1990), yang mendefinisikan
pemberdayaan sebagai peningkatan motivasi intrinsik yang diwujudkan dalam empat
kognitif: value (nilai dari tujuan kerja), competence (efektivitas diri), selfdetermination (otonomi dalam inisiasi dan kelanjutan dari perilaku kerja) dan impact
(pengaruh pada hasil kerja).
Elnaga & Imran (2014:16-17) menyatakan ada tiga elemen penting dalam
memberdayakan karyawan:
a)
Akurasi dan Kejelasan
Langkah pertama dalam memberdayakan karyawan untuk memperjelas tujuan
dan harapan. Orang-orang hanya bisa mencapai kemajuan di tempat kerja jika
mereka memiliki gambaran lengkap tentang apa hasil yang mereka diharapkan untuk
memberikan. Ini berarti para manajer harus jelas mendefinisikan hasil yang
diharapkan dan berkomunikasi dengan karyawannya sesering mungkin sehingga
setiap orang memahami tanggung jawab mereka.
b)
Dorongan dan Dukungan
Elemen penting yang kedua dalam memberdayakan karyawan adalah
mendukung mereka dengan menyediakan bantuan dan sumber daya yang mereka
butuhkan untuk kemajuan dan menghilangkan hambatan yang mungkin menghambat
kemajuan. Manajer memberdayakan karyawan dengan melayani kebutuhan mereka.
Hal ini membutuhkan tidak hanya menyediakan waktu, sumber daya, dan dorongan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan, tetapi juga secara aktif bekerja untuk
meminimalkan hambatan untuk sukses.
16
c)
Otonomi dan Kebebasan
Elemen terakhir yaitu otonomi dan kebebasan. Ini berarti memberi mereka
otonomi penuh yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka. Setelah
karyawan tahu apa yang diharapkan untuk mereka lakukan dan mendapatkan
dukungan yang mereka butuhkan dalam melakukan pekerjaan, hal terbaik yang dapat
manajer lakukan adalah keluar dari jalan mereka dan mempercayai karyawan dalam
menyelesaikan pekerjaan mereka.
Dari beberapa defenisi pemberdayaan di atas maka dapat diambil berbagai
hal penting yaitu pemberian tanggung jawab dan wewenang kepada karyawan,
menciptakan kondisi saling percaya antar manajemen dan karyawan, adanya
employee involvement yaitu melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan,
membuat perubahan, dan lain sebagainya.
2.1.3.2. Perlunya Pemberdayaan
Wibowo (2013:417-418) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen
Kinerja” mengatakan bahwa pemberdayaan merupakan hal yang vital dalam
lingkungan bisnis modern karena dengan pemberdayaan maka bisnis dapat lebih
dekat dengan pelanggan, dapat memperbaiki pelayanan pengiriman barang,
meningkatkan produktivitas dan memenangkan kompetisi. Dalam bukunya tersebut
beliau juga mengutip pernyataan dari Jane Smith (2000:5) yang berpendapat bahwa
ada dua hal yang menyebabkan perlunya pemberdayaan, yaitu:
1.
Karena lingkungan eksternal telah berubah sehingga mengalihkan cara bekerja
dengan orang di dalam organisasi
2.
Karena orang di dalam organisasi itu yang berubah. Karena manajer memandang
bahwa orang sebagai sumber daya paling berharga maka keamanan dan sukses
ke depan suatu organisasi bergantung pada bakat dan kecerdasan orang yang
dimiliki daripada faktor lain seperti tanah, bangunan, pabrik dan mesin.
2.1.3.3. Manfaat Pemberdayaan
Wibowo
(2013:418-419) berpendapat
bahwa jika
suatu
organisasi
menjalankan pemberdayaan terhadap karyawannya, maka karyawannya akan merasa
bahwa mereka adalah bagian dalam organisasi tersebut. terdapat pula perasaan
dimana mereka telah melakukan sesuatu yang berharga dan memperoleh kesenangan
dalam melakukan komunikasi dan kerja dengan orang lain.
Dengan demikian pemberdayaan akan meningkatkan kepercayaan diri
karyawan dalam melakukan tugasnya. Dari kepercayaan diri itu maka akan terjadi
17
peningkatan kepuasan kerja, kerja sama yang baik dengan rekan, bekerja dengan
tujuan yang lebih jelas dan mendapatkan prestasi apabila tujuannya tercapai.
2.1.3.4. Keuntungan dan Kerugian Pemberdayaan
Elnaga & Imran (2014:17-18) mengatakan bahwa melakukan pemberdayaan
karyawanpun memiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri. Semakin banyak orang
yang terlibat dalam pengambilan keputusan maka prosesnya pasti akan melambat.
Selain itu beberapa kerugian lainnya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang
diberikan pada karyawan, terlalu banyak tanggung jawab yang diberikan pada
karyawan sehingga pekerjaan menjadi kurang fokus dan tidak semua karyawan dapat
membuat keputusan bisnis yang baik.
Namun pemberdayaan karyawan memang sangat dibutuhkan dalam dunia
bisnis sekarang ini karena dengan memberdayakan karyawan akan memberikan hal
positif bagi perusahaan itu sendiri. Elnaga & Imran (2014:17-18) menyatakan bahwa
dengan memberdayakan karyawan maka perusahaan akan memiliki respon yang
cepat kapada pelanggan karena berhubungan langsung dengan perusahaan melalui
karyawan yang dimiliki, meningkatkan kontribusi karyawan, meningkatkan rasa
hormat antar karyawan, peningkatan kepuasan kerja, tim kerja yang lebih efektif
serta mengurangi turnover.
2.1.4. Advokasi Karyawan
Urban (2004) dalam Ying-Pin Yeh (2014:95) mengatakan bahwa advokasi
karyawan/employee advocacy mengacu pada transparansi kebijakan ketenagakerjaan
dan kemauan perusahaan untuk bertindak dalam kepentingan terbaik bagi karyawan.
Eisenberger et al (1986) dalam Ying-Pin Yeh (2014:95) menyatakan bahwa advokasi
karyawan menyangkut persepsi karyawan dari sejauh mana organisasi menghargai
kontribusi mereka dan peduli tentang kesejahteraan mereka. Dengan demikian,
karyawan cenderung mencari keseimbangan dalam hubungan pertukaran dengan
organisasi/perusahaan di mana mereka bekerja dengan mendasarkan sikap dan
perilaku mereka pada komitmen atasan mereka kepada mereka.
Masih di dalam jurnal yang sama, Ying-Pin Yeh (2014:98) menyatakan bahwa
advokasi karyawan dapat memperkuat persepsi karyawan bahwa organisasi merasa
puas dengan karyawan tersebut bertindak sesuai dengan norma-norma dan kebijakan
yang ditetapkan, sehingga memperoleh persetujuan sosial mereka dalam organisasi.
Advokasi
karyawan
meningkatkan
harapan
hasil
usaha
karyawan,
yang
menyebabkan karyawan percaya bahwa usaha mereka akan dihargai di masa depan.
18
2.1.5. Kepuasan Kerja
2.1.5.1. Pengertian Kepuasan Kerja
Setiap karyawan yang bekerja dalam suatu organisasi pasti mengharapkan
untuk mendapat kepuasan dari tempatnya bekerja. Kepuasan kerja itupun akan
mempengaruhi produktivitas yang sangat diharapkan oleh organisasi. Untuk itu
kepuasan kerja seorang karyawan merupakan salah satu hal yang sangat penting
dalam suatu organisasi.
Wibowo (2013:501) mengutip pendapat Robbins yang mengatakan bahwa
kepuasan kerja merupakan sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang
menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima dan jumlah yang
mereka yakini seharusnya mereka terima. Beliaupun mencantumkan beberapa
pengertian dari kepuasan kerja yang lainnya,yaitu; menurut Greenberg dan Baron
yang mendefinisikannya sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual
terhadap pekerjaan mereka, sedangkan menurut Gibson kepuasan kerja adalah sikap
yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan mereka, hal ini merupakan hasil dari
persepsi mereka tentang pekerjaannya. Okedji et al (2011:544-545) menyatakan
bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari berbagai sikap yang dimiliki oleh
seorang karyawan. Sikap ini terkait dengan pekerjaan dan berkepentingan dengan
faktor-faktor tertentu seperti upah, pengawasan, kemantapan kerja, kondisi kerja,
peluang kemajuan, pengakuan kemampuan, evaluasi yang adil dari pekerjaan,
hubungan sosial pada pekerjaan, penyelesaian yang cepat terhadap keluhan dan
perlakuan yang adil dari perusahaan. Ada juga faktor-faktor lain seperti usia
karyawan, kesehatan, temperamen, keinginan, tingkat aspirasi, hubungan keluarga,
status sosial dan tenaga kerja atau kegiatan murni sosial (Obi-Keguna, 2004).
Kreitner & Kinicki (2010:170) mengatakan bahwa kepuasan kerja secara
esensial menunjukkan sejauh mana individu menyukai pekerjaannya. Secara formal,
kepuasan kerja didefinisikan sebagai respon emosional terhadap berbagai aspek
pekerjaan seseorang. Sedangkan Colquitt & kawan-kawan (2013:96) dalam bukunya
yang berjudul Organizational Behavior mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu
keadaan emosional yang menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian seseorang
terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja. Karyawan yang memiliki tingkat
kepuasan kerja yang tinggi maka akan memiliki perasaan yang positif saat ambil
bagian dalam aktivitas kerja, sedangkan sebaliknya, karyawan yang memiliki tingkat
19
kepuasan kerja rendah akan memiliki perasaan negative saat ambil bagian dalam
aktivitas kerja.
Dalam Journal of Air Transport Management berjudul “Exploring the
impacts of employee advocacy on job satisfaction and organizational commitment:
Case of Taiwanese airlines” Ying-Pin Yeh (2014:95) mencantumkan beberapa
pendapat para ahli. George & Jones (1996) berpendapat bahwa kepuasan kerja
mencerminkan sikap karyawan dan struktur pemahaman terhadap organisasi dimana
ia bekerja. Lyons et al (2003) mengajukan bahwa lebih efektif jika meningkatkan
kepuasan kerja karyawan dengan menggunakan faktor pemasyarakatan implisit
(seperti pertumbuhan pribadi, keterampilan yang berguna dan lain sebagainya)
dibandingkan dengan menggunakan faktor yang mendorong eksplisit (seperti upah).
Harapan pekerjaan karyawan juga mempengaruhi emosi mereka sehubungan dengan
kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Carr, 2000). Ketika harapan seorang
karyawan tidak sesuai dengan kenyataan maka hal itu dapat menyebabkan
ketidakpuasan dan kurangnya komitmen pada organisasi (Rousseau, 1998).
Karyawan mengharapkan organisasi untuk mendukung mereka dan sebagai gantinya
mereka memberikan kontribusi perilaku yang bermanfaat bagi organisasi. Tindakan
seperti balasan dan pertukaran mempengaruhi sikap karyawan terhadap organisasi
dan pekerjaan mereka (Shore & Tetrick, 1991).
2.1.5.2. Penyebab dan Korelasi Kepuasan Kerja
Kreitner
&
Kinicki
(2010:171)
dalam
bukunya
yang
berjudul
“Organizational Behavior” menegaskan bahwa ada lima faktor yang dapat
memengaruhi kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut:
a. Need Fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan yang memberikan
kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
b. Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih
besar dari apa yang diterima makan individu tidak akan merasa puas. Begitu juga
sebaliknya, individu akan merasa puas jika apa yang diterima melebihi
harapannya.
20
c. Value Attainment (pencapaian nilai)
Gagasan ini mengatakan bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan
memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
d. Equity (keadilan)
Gagasan ini mengatakan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil
individu diperlakukan di tempatnya bekerja.
e. Genetic Components (komponen genetik)
Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan
fungsi sifat pribadi dan faktor genetik.
Dalam bukunya itu juga Kreitner & Kinicki mengatakan bahwa ada
beberapa korelasi kepuasan kerja, di antaranya:
a. Motivation
Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi
dengan
kepuasan
kerja
karyawan
sehingga
para
manajer
disarankan
mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka terhadap bawahan memengaruhi
kepuasan kerja bawahannya.
b. Job Involvement
Dengan melibatkan karyawan dalam suatu pekerjaan makan itu akan membuat
karyawan merasa perannya dibutuhkan dalam suatu organisasi. untuk itu manajer
didorong untuk menciptakan lingkungan kerja yang memuaskan dengan
mendorong keterlibatan kerja pekerja.
c. Absenteeism (kemangkiran)
Kemangkiran merupakan suatu momok yang serius dalam suatu organisasi dan
para manajer sudah seharusnya mencari cara untuk mengurangi kemangkiran para
karyawannya. Beliau juga mengatakan bahwa apabila kepuasan meningkat maka
kemangkiran akan turun, begitu juga sebaliknya, jika kepuasan menurun maka
kemangkiran akan naik.
d. Turnover
Selain absenteeism yang menjadi momok lainnya dalam organisasi adalah
turnover. Turnover sangat mengganggu kontinuitas suatu organisasi dan
memerlukan biaya yang mahal. Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kepuasan dengan turnover sehingga manajer harus mampu meningkatkan
kepuasan
kerja
perusahaannya.
karyawannya
sehingga
meminimalisir
turnover
dalam
21
e. Job Performance (kinerja)
Ada yang mengatakan bahwa kepuasan kerja memengaruhi kinerja, namun ada
juga yang berpendapat bahwa kinerja memengaruhi kepuasan kerja. Pada
akhirnya ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang
posotif rendah antara kepuasan dengan kinerja.
2.2. Kerangka Pemikiran
Dukungan Atasan (X1)
Advokasi Karyawan
Kepuasan Kerja (Z)
(Y)
Pemberdayaan Karyawan
(X2)
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Sumber: Penulis, 2014
2.3. Hipotesis
Hipotesis penelitian berdasarkan tujuan penelitan adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis T-1
Hipotesis pertama yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai
dengan tujuan 1 adalah sebagai berikut:
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Dukungan Atasan (X1) terhadap
Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan
Mal Taman Anggrek
Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Dukungan Atasan (X1) terhadap
Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan
Mal Taman Anggrek
2. Hipotesis T-2
Hipotesis kedua yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai
dengan tujuan 2 yaitu sebagai berikut:
22
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2)
terhadap Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park
Mal dan Mal Taman Anggrek
Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap
Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan
Mal Taman Anggrek
3. Hipotesis T-3
Hipotesis ketiga yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai
dengan tujuan 3 yaitu sebagai berikut:
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan Dukungan Atasan (X1) terhadap
Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal
Taman Anggrek
Ha = Ada pengaruh yang signifikan Dukungan Atasan (X1) terhadap Kepuasan
Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman
Anggrek
4. Hipotesis T-4
Hipotesis keempat yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai
dengan tujuan 4 yaitu sebagai berikut:
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2)
terhadap Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal
dan Mal Taman Anggrek
Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap
Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal
Taman Anggrek
5. Hipotesis T-5
Hipotesis kelima yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai
dengan tujuan 5 yaitu sebagai berikut:
H0 = Tidak ada pengaruh signifikan dari Advokasi Karyawan (Y) terhadap
Kepuasan Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal
Taman Anggrek
Ha = Ada pengaruh signifikan dari Advokasi Karyawan (Y) terhadap Kepuasan
Kerja (Z) di Toko Buku Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman
Anggrek
23
6. Hipotesis T-6
Hipotesis keenam yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai
dengan tujuan 6 yaitu sebagai berikut:
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Dukungan Atasan (X1) terhadap
Kepuasan Kerja (Z) melalui Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia
cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek
Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Dukungan Atasan (X1) terhadap
Kepuasan Kerja (Z) melalui Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia
cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek
7. Hipotesis T-7
Hipotesis ketujuh yang juga akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai
dengan tujuan 7 yaitu sebagai berikut:
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2)
terhadap kepuasan kerja (Z) melalui Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku
Gramedia cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek
Ha = Ada pengaruh yang signifikan dari Pemberdayaan Karyawan (X2) terhadap
kepuasan kerja (Z) melalui Advokasi Karyawan (Y) di Toko Buku Gramedia
cabang Central Park Mal dan Mal Taman Anggrek
24
Download