pendahuluan - IPB Repository

advertisement
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanfaatan akuarium untuk kegiatan budidaya perikanan telah banyak
dilakukan, terutama untuk jenis-jenis ikan hias. Semakin terbatasnya lahan untuk
budidaya dan kesulitan dalam memperoleh kualitas air yang sesuai, menjadi salah
satu alasan dipilihnya akuarium maupun bak untuk kegiatan budidaya. Namun
demikian, pemanfaatan akuarium sebagai tempat budidaya ikan, terutama dengan
kepadatan yang tinggi seringkali mengalami permasalahan berupa kematian ikan
yang baru dimasukkan ke dalam akuarium secara mendadak. Kematian ikan ini
biasanya terjadi walaupun kadar oksigen dalam perairan cukup, tanpa ada indikasi
serangan penyakit, dan biasanya terjadi pada wadah budidaya yang baru. Kondisi
inilah yang dikenal sebagai new tank syndrome. New tank syndrome terjadi pada
akuarium atau wadah budidaya yang baru digunakan, dimana kehadiran bakteri
nitrifikasi masih dalam jumlah yang sedikit, sementara ammonia yang
diekskresikan oleh ikan meningkat ke level toksik. Kondisi tersebut menyebabkan
kematian pada ikan, akibat ammonia perairan lebih tinggi daripada dalam tubuh
ikan. Hal ini terjadi karena bakteri tersebut tidak dalam jumlah yang cukup untuk
berkembang biak ke titik yang mampu bersaing dengan output limbah dari ikan.
Ikan seperti makhluk hidup lainnya, juga mengekskresikan sisa
metabolismenya ke dalam perairan. Ammonia merupakan limbah metabolisme
yang diekskresikan oleh ikan yang bersifat toksik bagi kebanyakan ikan (Affandi
dan Tang 2002), dapat menurunkan tingkat kelangsungan hidup, menghambat
pertumbuhan dan menyebabkan beragam disfungsi fisiologis (Tomasso 1994).
Menurut Weinstein dan Kimmel (1998), kadar ammonia dapat meningkat dengan
cepat pada sistem budidaya intensif. Pemberian pakan pada budidaya intensif juga
akan meningkatkan kandungan nitrogen di perairan (Durborow et al. 1997;
Avnimelech 2009). Peningkatan kadar ammonia yang cepat pada sistem budidaya
intensif, akan membuat ammonia mencapai tingkat toksik dalam jangka waktu
yang tidak terlalu lama.
2
Tingkat toksisitas ammonia yang dilaporkan dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan, menunjukkan hasil yang beragam. Avnimelech (2009),
melaporkan tingkat toksisitas ammonia berada pada kisaran 1-2 mg/L, tergantung
dari jenis ikannya. El-Sherif dan El-Feky (2008), melaporkan bahwa pada benih
ikan nila dengan berat rata-rata 19±1,0 g dapat dipelihara pada perairan dengan
konsentrasi ammonia antara 0,004 – 0,01 mg/L untuk menghasilkan performa
pertumbuhan yang optimal dan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi.
Sementara itu, Durborow et al. (1997) menyatakan tingkat toksisitas yang
menyebabkan kematian dimulai pada konsentrasi 0,6 mg/L. Biswas et al. (2006)
menunjukkan paparan terus menerus ammonia pada konsentrasi 0,1 mg/L
menyebabkan 100% kematian pada ikan mas (cyprinus carpio) yang diuji.
Ammonia di dalam air terdapat dalam dua bentuk, NH3 (yang tidak
terionisasi) dan NH4+ (terionisasi) atau ammonium. Pada konsentrasi yang sama,
ammonia yang bersifat toksik berasal dari bentuk yang tidak terionisasi (NH3).
Randall dan Tsui (2002) menyatakan ammonia yang masuk ke dalam tubuh
organisme berasal dari bentuk yang tidak terionisasi (NH3), dimana proporsi NH3
dan toksisitasnya lebih dipengaruhi oleh pH dibandingkan oleh perubahan tekanan
dan suhu. Spotte (1970) juga menyatakan toksisitas ammonia ini terutama
dipengaruhi oleh oksigen terlarut dan pH. Pada saat pH perairan lebih tinggi dari
pH dari cairan intraseluler (dalam darah), jaringan dengan pH yang lebih rendah
(dimana konsentrasi ion H+ lebih banyak) menarik NH3.
Menurut Lovell (1989), aliran NH3 dari sel epithelium insang dapat
terbalik pada saat konsentrasi NH3 air meningkat. Selanjutnya nitrogen ammonia
akan diikat oleh hemoglobin darah dan akan menjadi racun, serta dapat
mengganggu keseimbangan metabolisme ikan. Merkens dan Downing (1957)
melakukan penelitian terhadap ikan air tawar dalam rangka menguji hubungan
toksisitas ammonia dengan kandungan oksigen terlarut. Hasil penelitiannya
menunjukkan adanya peningkatan toksisitas ammonia seiring dengan menurunnya
kandungan oksigen terlarut di air.
3
Perumusan Masalah
Ammonia dapat diubah menjadi menjadi nitrat (yang bersifat tidak toksik
terhadap organisme akuatik) melalui proses nitrifikasi. Nitrifikasi sendiri
merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat yang dilakukan oleh
bakteri AOB (ammonia oxidizing bacteria) dan NOB (nitrite oxidizing bacteria).
Jenis bakteri yang berperan dalam nitrifikasi diantaranya adalah Nitrosomonas
dan Nitrobacter. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik,
yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi (Effendi, 2003). New
tank syndrome disebabkan karena belum tumbuhnya bakteri nitrifikasi pada
wadah budidaya, sehingga keadaan tersebut membuat ikan mengalami kematian
akibat level ammonia yang membuat stres yang tinggi pada ikan atau mencapai
tingkat toksik.
Pendekatan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
memberikan sumber energi bagi bakteri nitrifikasi, diharapkan bakteri nitrifikasi
tersebut dapat tumbuh secara mapan sehingga mampu mengubah ammonia
menjadi nitrit dan nitrit menjadi nitrat. Menurut Dwidjoseputro (2010), kebutuhan
bakteri nitrifikasi akan nitrogen diperoleh dari ion-ion NH4+ dan NO2-. Selain itu,
menurut Durborow et al. (1997) menjaga kelarutan oksigen tetap tinggi melalui
aerasi dapat mengurangi toksisitas ammonia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh penambahan ammonium
klorida dan sodium nitrit dalam mengatasi dampak new tank syndrome
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi alternatif dalam
mengatasi new tank syndrome yang mudah untuk diaplikasikan
Hipotesis
Apakah penambahan ammonium klorida dan sodium nitrit dapat
mengatasi dampak new tank syndrome pada ikan mas
Download