perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Obesitas sentral Menurut WHO (2000), obesitas atau kegemukan merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak dalam jaringan adiposa. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: Obesitas I, Obesitas II, dan Obesitas III. Adapun berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas sentral dan obesitas umum. Untuk penduduk barat, seseorang dikatakan obesitas apabila IMT ≥ 30 kg/m2 atau lingkar perut ≥ 102 cm pada pria dan ≥ 88 cm pada perempuan, sedangkan untuk penduduk Asia, IMTnya > 25 kg/m2 atau lingkar perut ≥ 90 cm untuk pria dan ≥80 cm untuk perempuan. Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas (upper body obesity) dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body obesity). Obesitas tubuh bagian atas merupakan dominansi penimbunan lemak tubuh di trunkal. Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada trunkal, yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada commit to user 6 perpustakaan.uns.ac.id 7 digilib.uns.ac.id pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai android obesity. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler daripada obesitas tubuh bagian bawah. Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut gynoid obesity dan berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita (David, 2004). Obesitas sentral merupakan pertanda adanya bahaya bagi kesehatan. Obesitas terjadi karena bertambahnya ukuran dan jumlah sel jaringan adiposa yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme. Selain sebagai tempat penyimpanan lemak, sel adiposa merupakan organ yang memproduksi molekul biologi aktif (adipokin) seperti sitokin proinflamasi, hormone anti inflamasi dan substansi biologi lainnya. Obesitas sentral menyebabkan ekspresi sitokin proinflamasi meningkat di dalam sirkulasi sehingga mengakibatkan inflamasi dinding vaskuler (Nursalim, 2011). Obesitas, khususnya obesitas sentral (abdominal), berasosiasi dengan sejumlah gangguan metabolisme dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, antara lain: resistensi insulin, Diabetes Melitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, penyakit hati dan kandung empedu, bahkan beberapa jenis kanker (Wulandari, 2007). Obesitas sentral dapat terjadi karena adanya perubahan gaya hidup, seperti tingginya konsumsi minuman beralkohol kebiasaan merokok, tingginya konsumsi makanan berlemak, rendahnya konsumsi sayuran dan commit to user 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id buah, dan rendahnya aktivitas fisik. Selain itu, peningkatan umur, perbedaan jenis kelamin, dan status sosial ekonomi diduga juga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. (Riserus et al., 2007; Xu et al., 2007; Drapeau et al., 2004; Besson et al., 2009; Dekkers et al., 2004; Reynolds et al., 2007) Peningkatan prevalensi obesitas sentral berdampak pada munculnya berbagai penyakit degeneratif. Obesitas sentral berhubungan dengan peningkatan sindrom metabolik, aterosklerosis, penyakit kardiovaskuler, diabetes tipe 2, batu empedu, gangguan fungsi pulmonal, hipertensi dan dislipidemia (Shen et al., 2006; Lee et al., 2007; Wildman et al., 2005; Wang et al., 2005; Krishnan et al., 2007). Menurut Departemen Kesehatan (2007), dari 210 juta penduduk Indonesia pada tahun 2000, sekitar 36,75 juta (17,5%) penduduk diperkirakan mengalami overweight dan lebih dari 9,8 juta (4,7%) penduduk menderita obesitas. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi penduduk dewasa obesitas sebesar 15,4 %. Dengan uraian yaitu laki-laki dewasa (>18 tahun) pada tahun 2013 sebanyak 19,7 %, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%) serta perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%). Dapat disimpulkan bahwa setiap tiga tahun terdapat peningkatan penduduk yang mengalami obesitas. commit to user 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Di negara maju, obesitas sudah menjadi masalah penting dalam kesehatan masyarakat karena angka kejadian yang semakin meningkat dan timbulnya beberapa faktor risiko yang akan dihadapi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut WHO (2015), 1,4 milyar (35%) penduduk dunia usia ≥ 20 tahun mengalami overweight dan 11% nya mengalami obesitas, serta lebih dari 200 juta laki-laki dan hampir 300 juta perempuan pada tahun 2008. Lebih dari 40 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami overweight ataupun obesitas pada tahun 2012. Obesitas terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar dan merupakan akumulasi simpanan energi yang berubah menjadi lemak (Pritasari, 2006). Dengan meningkatnya usia kecepatan metabolisme juga mulai menurun pada usia 30 tahun, bila aktivitas fisik juga berkurang maka timbunan lemak menjadi obesitas. Penyebab lain obesitas menurut Syarif (2002) adalah multi faktorial, genetik dan lingkungan yang berinteraksi terus-menerus: a. Faktor Genetik Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua orangtua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orangtua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orangtua tidak obesitas, kejadian obesitas 14%. commit to user 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Faktor Lingkungan 1) Faktor Nutrisi Peranan nutrisi dimulai sejak dalam kandungan yaitu jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh berat badan ibu. Sedangkan kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh: waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi seperti makanan siap saji dan camilan. 2) Aktifitas Fisik Aktifitas fisik anak saat ini cenderung menurun karena lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar rumah. 3) Sosial Ekonomi Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup serta peningkatan pendapatan memengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Misnadiarly (2007) melaporkan bahwa terjadinya obesitas dapat dipengaruhi oleh faktor umur dan jenis kelamin. Meskipun sering terjadi pada semua umur, obesitas sering dianggap kelainan pada umur pertengahan. Obesitas yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan rangka yang cepat. Anak yang obesitas cenderung menjadi obesitas pada saat remaja dan dewasa. commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Jenis kelamin tampaknya ikut berperan dalam timbulnya obesitas. Meskipun dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause. Mungkin juga obesitas pada wanita disebabkan karena pengaruh faktor endokrin, karena kondisi ini muncul pada saat adanya perubahan hormonal tersebut di atas (Misnadiarly, 2007). Agoes dan Maria (2003) menyatakan bahwa bila remaja mengkonsumsi makanan dengan kandungan energi sesuai yang dibutuhkan tubuhnya maka tidak ada energi yang disimpan. Sebaliknya remaja dalam mengkonsumsi energi melebihi kebutuhan tubuh maka kelebihan enegi akan disimpan sebagai cadangan energi. Cadangan energi secara berkesinambungan ditimbun setiap hari yang akhirnya menimbulkan obesitas. Kondisi psikologis dan keyakinan seseorang berpengaruh terhadap asupan makanan. Faktor stabilitas emosi berkaitan dengan obesitas. Keadaan obesitas merupakan dampak dari pemecahan masalah emosi yang dalam, dan ini merupakan suatu pelindung bagi yang bersangkutan. Dalam kedaan semacam ini menghilangkan obesitas tanpa menyediakan pemecahan masalah yang tepat, justru akan memperberat masalah (Misnadiarly, 2007). Prinsip pencegahan obesitas adalah menurunkan berat badan dengan cara menciptakan defisit energi dengan mengurangi konsumsi energi atau menambah penggunaan energi melalui olahraga yang teratur (Soegih, 2009). commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Aktif berolahraga adalah salah satu cara menurunkan berat badan di samping diet mengurangi makanan berlemak dan gula. Tetapi remaja yang gemuk merasa malu mengikuti olahraga, dan sikap tersebut akan membuat badan tetap atau bertambah gemuk. Cara lain menurunkan berat badan adalah dengan cara diet, tetapi diet yang ketat juga berbahaya terhadap kesehatan karena selain mengurangi konsumsi energi juga mengurangi konsumsi zat-zat gizi lainnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan program diet, maka ahli gizi atau dokter perlu dimintakan nasihatnya (Depkes RI, 2000). Barasi (2007) menambahkan bahwa pencegahan obesitas dapat dilakukan dengan melalui pendekatan diet dan gaya hidup dengan mengintegrasikan : perubahan perilaku, pengaturan diet dan peningkatan aktivitas fisik. Pencegahan dapat dilakukan pada tingkat individu dan tingkat komunitas. Adapun pencegahan obesitas pada tingkat individu antara lain : a. Mengubah pemilihan makanan menjadi lebih sehat, dan berimbang b. Menurunkan asupan energi total sehingga sebanding dengan pengeluaran energi melalui pengurangan ukuran porsi makan c. Mengatur pemilihan kudapan yang lebih sehat d. Melakukan lebih banyak aktivitas fisik. commit to user 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sedangkan pencegahan obesitas pada tingkat komunitas berupa kebijakan yang mendukung upaya pencegahan tingkat individu, di antaranya adalah : a. Kebijakan tentang pencantuman label makanan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan makanan sehat b. Industri makanan memperkecil ukuran hidangan c. Membatasi iklan promosi makanan yang kurang menyehatkan d. Mendorong aktivitas berjalan, bersepeda, dan olahraga lain dengan memperhatikan keamanan/keselamatan di jalan raya dan lingkungan perkotaan. 2. Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia dengan jawaban pernah didiagnosis dokter sebesar 1,5 %, dan dengan diagnosis atau gejala sebesar 2,1 % yang meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung menurun. Prevalensi Diabetes Melitus pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Diabetes Melitus dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi glukosa akibat metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal dan berbagai komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Semua keadaan diabetes merupakan akibat suplai insulin commit to user 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id atau respons jaringan terhadap insulin yang tidak adekuat (Inzucchi, 2005). Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (2008), terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: a. Diabetes Tipe 1 DM tipe 1 (tergantung insulin), DM ini disebabkan kerusakan sekresi produksi insulin sel-sel beta pankreas, sehingga penurun insulin sangat cepat sampai akhirnya tidak ada lagi yang disekresi. Oleh karena itu dalam penatalaksanaannya substitusi insulin tidak dapat dielakkan (disebut diabetes yang tergantung insulin). b. Diabetes Tipe 2 DM tipe 2 (tak tergantung insulin), adalah DM yang lebih umum, penderitanya lebih banyak dibandingkan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95 % dari keseluruhan populasi penderita diabetes. DM tipe 2 sering terjadi pada usia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini di kalangan remaja dan anak-anak populasi penderita DM tipe 2 meningkat. Berbeda dengan DM tipe 1, pada tahap awal DM tipe 2 umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, di samping kadar glukosa yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena selsel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut resistensi insulin. Obesitas atau kegemukan sering dikaitkan dengan penderita DM tipe 2. commit to user 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Diabetes gestational DM ini adalah intoleransi glukosa yang mulai timbul atau mulai diketahui selama pasien hamil. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon disertai pengaruh metaboliknya terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan merupakan keadaan diabetogenik. d. Diabetes spesifik DM ini disebabkan defekasi genetik fungsi sel-sel beta, defekasi genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, DM karena obat, DM karena infeksi, DM imunologi dan sindrom genetik. Diabetes Melitus tipe 2 adalah DM yang lebih umum, penderitanya lebih banyak dibandingkan Diabetes Melitus tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95 % dari keseluruhan populasi penderita. DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin dan kekurangan insulin relatif (bukan absolut) sehingga biasanya penderita tidak memerlukan pengobatan insulin untuk bertahan hidup. Kebanyakan pasien dengan DM tipe 2 mengalami obesitas terutama obesitas sentral yang merupakan penyebab resistensi insulin (ADA, 2004). Diabetes Melitus tipe 2 sering tidak terdiagnosis selama bertahuntahun karena hiperglikemia yang meningkat secara bertahap dan pada tahap-tahap awal sering tidak cukup berat, sehingga salah satu gejala klasik diabetes pada pasien tidak dapat diketahui. Peningkatan glukosa commit user akan merangsang pankreas untukto melepas lebih banyak insulin untuk perpustakaan.uns.ac.id 16 digilib.uns.ac.id menyeimbangkan glukosa, tetapi pada penderita Diabetes Melitus terdapat gangguan fungsi insulin (resistensi insulin) sehingga terjadi hiperglikemia. Resistensi insulin dapat diperbaiki dengan penurunan berat badan dan atau pengobatan farmakologi, tetapi jarang kembali ke kondisi normal (ADA, 2004) Menurut Departemen Kesehatan, DM tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin). Resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas (Soegondo, 2009). Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Diabetes Melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin” (Teixeira, 2011). Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel beta langerhans secara autoimun seperti Diabetes Melitus tipe 1. Defisiensi fungsi insulin pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut (Anna, 2003). commit to user 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pada awal perkembangan Diabetes Melitus tipe 2, sel beta menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan selsel B pankreas. Kerusakan sel-sel beta pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. Diabetes Melitus tipe 2 dapat dicegah, ditunda kedatangannya atau dihilangkan dengan mengendalikan faktor risiko (Kemenkes, 2010). Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian DM tipe 2 antara lain: a. Umur Sujaya (2009) menemukan bahwa kelompok umur yang paling banyak menderita Diabetes Melitus adalah kelompok umur 45-52 tahun (47,5%). Peningkatan risiko diabetes seiring dengan umur, khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin. commit to user 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Riwayat keluarga Risiko menderita DM bila salah satu orangtuanya menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua orangtua memiliki DM maka risiko untuk menderita DM adalah 75% (Diabetes UK, 2010). c. Aktfivitas fisik Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar, tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes, 2010). d. Obesitas sentral Terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas abdominal (sentral) dengan peningkatan kadar gula darah puasa dan gula darah 2 jam postprandial. Terjadi peningkatan risiko Diabetes Melitus tipe 2 untuk setiap kenaikan 10 cm lingkar pinggang berdasarkan kadar gula puasa dan gula darah 2 jam postprandial adalah sebesar 2,1 dan 2,4 (Yuliasih, 2009). e. Tekanan darah Penelitian menurut Sujaya (2009) menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi mempunyai risiko 1,5 kali lebih commit to user 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id besar untuk mengalami diabetes dibanding individu yang tidak hipertensi. Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh hipertensi terhadap kejadian Diabetes Melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal ini akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi terganggu (Zieve, 2012). f. Stres Menurut penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Orang yang mengalami stres memiliki risiko 1,67 kali untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami stres (Adi et al., 2007). Adanya peningkatan risiko diabetes pada kondisi stres disebabkan oleh produksi hormon kortisol secara berlebihan saat seseorang mengalami stres. Produksi kortisol yang berlebih ini akan mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan darah merosot, yang kemudian akan membuat individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih. Oleh karena itu, ahli nutrisi biologis Shawn Talbott menjelaskan bahwa pada umumnya orang yang mengalami stres panjang juga akan mempunyai kecenderungan berat badan yang berlebih, yang merupakan salah satu faktor risiko Diabetes Melitus (Siagian, 2012). commit to user 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id g. Kadar kolesterol Kadar kolesterol tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas sehingga terjadi lipotoksisitas. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas yang akhirnya mengakibatkan DM tipe 2 (Kemenkes, 2010). Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar menunjukkan bahwa kolesterol tinggi memiliki hubungan dengan kejadian DM tipe II. Orang dengan kolesterol tinggi memiliki risiko 13,45 kali untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan yang kadar kolesterolnya normal (Adi et al., 2007). h. Jenis Kelamin Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan Indeks Massa Tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca menopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita Diabetes Melitus tipe 2 (Irawan, 2010). Perkumpulan Endokrin Indonesia (PERKENI) membagi alur diagnosis Diabetes Melitus (DM) menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala yang tidak khas DM di antaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus commit to user 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id vulvae (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal sekali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (Purnamasari, 2009). Selain itu, menurut standar pelayanan medis ADA 2010, diagnosis DM dapat ditegakkan melalui kriteria pada Lampiran 1. 3. Hubungan Rasio Lingkar Pinggang terhadap Tinggi Badan dengan Diabetes Melitus tipe 2 Penemuan dari Inggris mengenai Rasio Lingkar Pinggang terhadap Tinggi Badan (RLPTB), RLPTB mewakili obesitas sentral. Bila angka menunjukkan di atas 0,5, maka risiko terjadinya obesitas sentral meningkat. RLPTB dinyatakan sebagai prediktor yang lebih baik dalam memprediksi faktor risiko metabolik dibandingkan dengan BMI (Ashwell et al., 2011). Berdasarkan penelitian di Taiwan, Rasio Lingkar Pinggang terhadap Tinggi Badan secara signifikan lebih baik dari BMI atau lingkar pinggang untuk memprediksi diabetes, hipertensi, kolesterol total tinggi, trigliserida tinggi, dan kolesterol HDL rendah. Pasien perempuan maupun laki-laki dengan BMI atau lingkar pinggang normal tetapi RLPTB tinggi, memiliki faktor risiko lebih tinggi mengalami gangguan kardiometabolik dibandingkan dengan BMI atau lingkar pinggang normal tetapi RLPTB rendah ( Li et al., 2013). commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Rasio Lingkar Pinggang terhadap Tinggi Badan merupakan indeks antropometri alternatif dalam obesitas sentral untuk menghindari kekurangan pada pengukuran lingkar pinggang (Ashwell et al., 2005). Pertama, karena adanya tinggi badan ke dalam indeks, setiap potensial perancu risiko kardiometabolik yang berhubungan dengan tinggi badan dapat dihindari. Kedua, studi telah menemukan nilai cut off RLPTB untuk meningkatkan risiko kardiometabolik antara populasi Kaukasia dan Asia pada pria maupun wanita adalah sama (Ashwell et al., 1996b; Hsieh et al., 1995; Ho et al., 2003). Bahkan, nilai cut off RLPTB 0,5 telah diusulkan sebagai indikator risiko kardiometabolik di Jepang (Hsieh et al., 2003), Korea (Park et al., 2009), dan Inggris (Ashwell et al., 1996b) untuk pria dan wanita. RLPTB juga menunjukkan risiko kardiometabolik antara individu yang tidak obesitas menurut indeks antropometri lainnya (Park et al., 2009; Hsieh et al., 2000; Srinivasan et al., 2009). Terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas abdominal (sentral) dengan peningkatan kadar gula darah puasa dan gula darah 2 jam postprandial. Terjadi peningkatan risiko Diabetes Melitus tipe 2 untuk setiap kenaikan 10 cm lingkar pinggang berdasarkan kadar gula puasa dan gula darah 2 jam postprandial adalah sebesar 2,1 dan 2,4 (Yuliasih, 2009). Dalam sebuah studi prospektif diungkapkan bahwa obesitas tubuh bagian atas (obesitas abdominal) berhubungan lebih kuat dengan intoleransi glukosa atau Diabetes Melitus, hiperinsulinemia, hipertensi, commit to user 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hipertrigliseridemia, dan gout dibandingkan obesitas tubuh bagian bawah (Boivin, 2007). commit to user 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Kerangka Pemikiran Hipertensi Kadar kolesterol tinggi Usia Riwayat keluarga Olahraga C. Lemak abdominal Diabetes Melitus Tipe 2 ↑ Jenis Kelamin Obesitas Sentral = diukur = tidak diukur RLPTB = Rasio Lingkar Pinggang terhadap Tinggi Badan. Gambar 2. Kerangka Pemikiran D. Hipotesis Terdapat hubungan antara Rasio Lingkar Pinggang terhadap Tinggi Badan dengan kejadian Diabetes Melitus tipe 2 di RSUD Karanganyar. commit to user RLPTB ↑