1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Masalah Setiap bangsa tentu pernah memiliki peristiwa-peristiwa ‘bencana’ yang tidak mengenakkan di dalam sejarah kehidupannya. Masa-masa suram ketika sebuah bangsa harus menelan ‘pil pahit’ kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu dapat disebabkan oleh manusia akibat dari suatu penindasan oleh bangsa lain ataupun oleh bangsa sendiri, karena kerakusan dan ketamakan terhadap manusia yang lain, ataupun akibat dari bencana alam yang menyebabkan kegelisahan suatu kelompok masyarakat atas berbagai polemik kehidupan yang harus dihadapinya itu. Bangsa Indonesia, adalah bangsa yang cukup banyak mengalami kegelisahan kehidupan dalam sebuah zaman krisis yang tak tentu arah. Di tengah situasi krisis, yang sering dikonotasikan dengan zaman edan, berbagai cobaan menantang kehidupan bangsa. Bukan hanya sekedar krisis ekonomi, termasuk juga krisis politik, hankam, bahkan moral, yang berujung pada krisis kepercayaan rakyat kepada penguasanya. Sampai hari ini, berbagai krisis masih terjadi dalam hidup bangsa ini. Artinya bahwa bangsa ini sudah mengalami krisis, baik secara sosial maupun struktural beserta sistem-sistem yang telah dibangun dan dikembangkan. Tak urung, di dalam kemelaratan ekonomi dan sosial itu, rakyat miskin menjadi taruhannya. “Sudah susah dibuat susah lagi”, demikian ungkapan banyak orang miskin di Indonesia ini, yang mengharapakan perubahan hidup secara inidividu beserta dunia sosialnya. Zaman penuh keragu-raguan, krisis melanda, kehidupan tak tentu arah, bencana datang silih berganti. Bencana-bencana besar, mulai dari gempa Nabire, gempa dan tsunami Aceh, gempa Nias, gempa Yogya, Lumpur Panas Sidoarjo, beserta kecelakaan-kecelakaan lain karena human eror tidak sedikit menyebabkan kematian. banyak nyawa melayang, kerugian tidak dapat ditaksirkan. Pada akhirnya, banyak manusia bangsa ini akan bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya terjadi? Kapan krisis ini berakhir? Siapa yang dapat mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan? Bukan tidak mungkin jika mereka juga berpikir tentang “yang ilahi” yang mengatasi kehidupan ini. Di manakah Tuhan? Adilkah dia atas semua yang telah terjadi? 1 2 Di tengah pertanyaan-pertanyaan tersebut, masyarakat menunggu jawaban. Mereka menantikan sosok figur yang mampu menjawab persoalan bangsa ini, ‘mesias’ yang diharapkan dapat melepaskan dan membebaskan bangsa ini dari berbagai persoalan lahir sekaligus batin. Tak urung, pada aras politik bermunculan tokoh-tokoh, entah yang mendaulat diri atau didaulat oleh masanya sebagai Ratu Adil. Legitimasi ‘pendaulatan’ itu bisa karena wangsit atau wahyu yang diterima oleh para pemimpin gerakan ataupun karena ideologi tertentu yang mendasari pergerakkannya.1 Pada aras ini, harapan akan munculnya sebuah pembebasan menjadi wacana pragmatis bagi sekelompok masyarakat tertentu. Dalam ranah agamapun muncul pula tokoh-tokoh yang mendaulat diri selaku Ratu Adil. Simak saja, beberapa tahun lalu pengakuan Lia Eden yang menyebut dirinya Imam Mahdi2 pada tahun 1998, yang menyatakan akan muncul di dunia sebelum hari kiamat untuk membawa keamanan dan keadilan di dunia. Selain itu, dia juga memanggil dirinya Bunda Maria, ibu Yesus Kristus, bahkan Lia juga mengatakan bahwa anaknya, Ahmad Mukti, adalah Yesus Kristus.3 Belakangan kita ketahui juga aliran Al-qiyadah Al-Islamiyah, pimpinan Ahmad Mushadeq yang mengklaim diri sebagai Rasul Allah yang bernama Al-Masih Al-Maw’ud pada masa sekarang ini.4 meskipun peristiwa-peristiwa demikian tidak selalu tepat dimasukkan dalam pengharapanpengharapan mesianis, namun cukup jelas bahwa hal ini berkaitan dengan keyakinan-keyakinan serupa yang berasal dari pengharapan-pengharapan Jawa akan impian suatu masyarakat yang adil.5 Dalam kaitan ini, Sartono Kartodirjo mengatakan bahwa pengharapan-pengharapan ini berkemampuan besar untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi baru, dengan amat mudah mengambil unsur-unsur baru dalam suatu situasi yang baru. Lebih lanjut, Kartodirjo mengatakan, kemampuannya untuk mengadakan adaptasi yang kreatif berarti bahwa, gerakan milenarian di Jawa 1 Lih.. Olaf Schumann, Ratu Adil Ataukah Tukang Wangsit?, dalam Peninjau No. 2, 1977, hlm. 131-138. Olaf Schumann mempersoalkan timbulnya gerakan Ratu Adil di Jawa, apakah soal-soal sosial berdasarkan ketidak adilan yang di derita oleh rakyat kecil ataukah jatuhnya wahyu atau pulung atas diri seseorang yang mengilhaminya dan menjadikan orang memandang dia sebagai seorang pemimpin yang akan membuka suatu periode (wangsa) yang baru. Menurutnya masalah sosial bukan merupakan dorongan utama untuk seorang oknum (pemimpin gerakan), meskipun periode peralihan itu biasanya memang disertai oleh kekacauan dan penderitaaan dalam kehidupan masyarakat dan kosmos. 2 Istilah dalam konteks Islam yang berarti ”pemimpin yang memperoleh petunjuk yang benar’ (lih.. Abdurahman Wahid, Mahdiisme dan Protes Sosial, dalam Prisma No.1, Januari, 1977, hlm. 63) bdk. Rasyidi, Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan, dalam Prisma, No. 1, Januari, 1977 yang mengartikan “pemimpin yang mendapatkan petunjuk Tuhan”. 3 Diperoleh dari http://www.wikipedia.org, up date 9 November 2007. 4 Diperoleh dari http://www.salman.web.id, up date 9 November 2007. 5 Bdk. A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Asia: Pandangan-pandangan Orang Kristen Asia mengenai Penderitaanpenderitaan dalamKemiskinan danKeberagaman Asia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, cet. 4, hlm.286 2 3 mampu mempertahankan popularitasnya tanpa batas. Perwujudan pengharapan-pengharapan Ratu Adil, terus-menerus di hidupkan sesuai dengan kondisi-kondisi yang berubah.6 Dalam konteks masyarakat Jawa, ada banyak mitos yang pernah hidup dan berkembang pada zamannya. Mitos menurut van Peursen ialah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Bagi Peursen, mitos tidak hanya terbatas pada semacam reportase mengenai peristiwa-peristiwa yang dahulu pernah terjadi, tetapi mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan pedoman untuk kebijakan manusia. Melalui mitos manusia dapat mengambil bagian atau partisipasi dalam kejadian-kejadian di sekitarnya. 7Salah satu mitos yang sampai hari ini masih digumuli dan menjadi bahasan yang menarik dalam kacamata pikiran orang Jawa adalah mitos Ratu Adil. Mitos tentang juru selamat (mesias) Jawa yang ditandai dengan munculnya Ratu Adil. Dalam kekuasaan Ratu Adil, keadilan akan ditegakkan di kalangan rakyat.8 Dalam mitos tersebut, orang Jawa menantikan akan munculnya seorang tokoh yang akan memimpin dan akan membebaskan kehidupan masyarakat Jawa dari penderitaan, penindasan, kemiskinan, kelaparan, dsb. Pada saat merasa tertindas itulah banyak orang mencari pelarian yang dapat menghibur diri. Salah satu pelarian klasik positif yang populer menurut Purwadi adalah harapan akan datangnya juru selamat, yang sering dikenal dengan julukan Ratu Adil9. Begitu melekatnya mitos Ratu Adil di kalangan masyarakat Jawa, mengakibatkan munculnya berbagai penafsiran yang beragam atas tradisi atas tradisi mitos ini. Menurut Sindhunata seperti dikutip Raymond Valiant, pemberontakan Pangeran Diponegoro (1825-1830) juga dilandasi motivasi mencari Ratu Adil untuk mengakhiri kondisi moral yang bangkrut saat itu. Demikian pula apa yang dinamakan gerakan petani Pulung (zaman tanam paksa, 1847), gerakan Kasan Mukmin (periode peralihan politik liberal ke politik etis, 1854-1904), gerakan Samin, dan gerakan mesianis di masyarakat Kristen pedesaan Jawa (Kiai Tunggul Wulung), juga dilatar belakangi oleh mitos 6 Sartono Kartodirjo, Ratu Adil, Sinar Harapan, Jakarta, 1984, hlm. 83. C.A van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius-BPK Gunung Mulia, Yogyakarta-Jakarta 1976, hlm. 37 8 Sartono Kartodirjo, Ratu Adil, hlm. 16. Abdurahman Wahid juga Rasyidi menyebutkan gerakan mesianisme Islam pertama-tama tidak timbul karena persoalan eskatologi, namun lebih berwatak politis. Perwatakan itu tetap lekat pada doktrin Imam Mahdi hingga sekarang ini, meskipun kemudian doktrin itu sendiri berkembang menjadi doktrin teologis yang bersifat eskatologis. (Abdurahman Wahid, Mahdiisme dan Protes Sosial, dalam Prisma No.1, Januari, 1977, hlm. 64 bdk. Rasyidi, Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan, dalam Prisma, No. 1, Januari, 1977, hlm. 45) 9 Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan: Sosiologi Mistik R. Ng. Ronggowarsito, Persada, Yogyakarta, 2003, hlm. 207 7 3 4 Ratu Adil. 10 Perkembangan politik Indonesia juga banyak diilhami dari mitos Ratu Adil. Munculnya presiden Soekarno, Soeharto, Megawati, Gus Dur pernah disangka sebagai satria piningit yang datang dan memimpin bangsa Indonesia dari keterpurukan dan penindasan. Singkatnya, karena melekatnya mitos Ratu Adil, menjadikan tokoh-tokoh tersebut dinantikan oleh masyarakat Jawa akan membawa ketentraman bagi negeri ini. Menurut Purwadi: Dari sebutannya Ratu Adil dapat ditafsirkan sebagai seorang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ratu Adil juga pasti mampu menjadi pelindung atau pengayom dari seluruh rakyat tanpa membedakan golongan, tanpa keberfihakan kecuali hanya berfihak kepada kebenaran yang hakiki yang bersifat universal. Dengan ciri ini, maka sulitlah kiranya Ratu Adil berasal dari salah satu kelompok kepentingan yang dibesarkan oleh kelompok kepentingan itu. Hal ini wajar karena seorang yang dibesarkan oleh suatu partai, tidaklah berlebihan jika sudah berkuasa juga akan memberikan balas budi kepada partai yang membesarkannya11. Lantas apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Apa perwujudannya bagi konteks masa kini? Banyak penafsiran muncul, bahkan sampai hari inipun, penafsiran dan refleksi tradisi Ratu Adil masih menjadi pembahasan yang menarik. Dari beragam penafsiran yang muncul, kekristenan Jawa juga menafsirkan ihwal tradisi Ratu Adil penghayatan orang Jawa tersebut. Hal ini dapat dilihat adanya gelar kristologi Ratu Adil yang dikenakan pada diri Yesus. Ungkapan Kristologi Ratu Adil tersebut, dapat kita cek di dalam teks lagu Kidung Pasamuwan Kristen (KPK) baik KPK yang lama maupun yang baru. Ada beberapa nomor lagu yang menyebutkan Kristologi Ratu Adil dalam KPK. KPK Lama yaitu, No. 139 : 1, 4 dan KPK Baru yaitu: KPK no.153 : 3; 158 : 4; 177 : 1; 235: 1, 2, 3, 4; 243 : 1; 272 : 1. Permasalahan Ratu Adil di atas yang akan menjadi pembahasan skripsi ini. I.2. Rumusan Permasalahan Pembahasan skripsi ini mengarah pada analisisis dan refleksi atas kristologi lokal. Kristologi lokal Dalam tulisan Yoseph Suban Hayon, adalah pembicaraan mengenai Yesus Kristus untuk menjawab persoalan-persoalan Gereja Lokal berdasarkan Tradisi Kristen. Uraian Hayon, Yesus Sang Guru,12 Yesus Ratu Adil merupakan contoh kristologi lokal. Kristologi lokal itu sendiri dapat dibuat salah 10 Raymond Valiant Ruritan, Pergerakan Sosial Politik Dibalik Pendirian GKJW, dalam 75 th GKJW Ditengah Proses Transformasi Sosial dan Alih Generasi, PHMA GKJW, Malang, 2006, hlm. 45 11 Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edanhlm. 208 12 Kristologi Yesus Sang Guru Telah dibahas secara mendalam oleh Banawiratma, yang mendialogkan pemahaman hubungan murid dengan guru dalam konteks Jawa dan pengalaman hubungan murid dengan guru dalam narasi Yohanes. Secara rinci, lih.. J.B, Banawiratma, Yesus Sang Guru: Pertemuan Kejawen dengan Injil, Kanisius, Yogyakarta, 1977 4 5 satunya dengan merefleksikan teks-teks lagu liturgis yang digunakan dulu dan sekarang.13 Dari uraian Hayon, penyusun merumuskan permasalahan skripsi ini seperti pertanyaan berikut: 1. Apakah makna Ratu Adil dalam konteks masyarakat Jawa? 2. Apakah makna Ratu Adil dalam Kidung Pasamuwan Kristen (KPK) BMGJ? 3. Makna dan relevansi apa yang dapat diperoleh ketika Yesus disapa Ratu Adil? I.3. Batasan Permasalahan Setelah masa hidup Yesus “hilang” dari panggung sejarah, mulailah berkembang sesuatu yang diistilahkan dengan “kristologi”. Para pendahulu pengikut Kristus (murid-murid) mulai memikirkan, mengkonseptualkan dan membahasakan Yesus melalui pengalaman hidupnya dengan Yesus. Zaman bergerak, dan Yesus dalam pergerakan zaman juga mengalami proses perubahan pemikiran, pemaknaan, pembahasaan sebagai refleksi atas peranan-Nya dalam karya penyelamatan Allah. Kristologi merupakan bagian teologi yang membahas pribadi, hidup dan karya Yesus Kristus. Tom Jacobs, membedakan antara kyriologi (khususnya dalam teologi Alkitabiah) yang memusatkan perhatian pada pribadi Kristus; dan soteriologi yang membicarakan karya keselamatan Allah sejauh yang terlaksana dalam diri Kristus. 14 Pembedaan ini juga di utarakan oleh C. Groenen. Menurutnya, titik tolak dalam kristologi adalah pengalaman paskah. Pengalaman paskah-lah yang mencetuskan kristologi. Saat hidup Yesus, mungkin saja sudah dipikirkan juga mengenai hal-hal yang menyangkut kepribadian dan karya-Nya, namun pemikiran itu belumlah mantap. Bagi Groenen, kematian Yesus adalah pengalaman yang terakhir, termasuk dalam eksistensi-Nya turut membentuk diri Yesus, turut menentukan kedudukan dan peranan-Nya. Apa yang terjadi sesudah “kebangkitan-Nya” menjadi unsur mutlak perlu bagi pemahaman tentang Yesus. Maka sebelum kematian Yesus, yang mungkin berkembang adalah semacam “Yesuologi”, tetapi suatu “Kristologi” belum juga mungkin.15 13 faktor-faktor lebih rinci guna membuat kristologi beserta contoh-contohnya secara rinci, lih.. HLM. Yoseph Suban Hayon, Membuat Kristologi Lokal: Metode dan Kriteria Evaluasi, dalam Spektrum, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2007, hlm. 7, 55-56. 14 Tom Jacobs, Paham Allah: dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 146. 15 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm. 32. 5 6 Mengacu pandangan Tom Jacobs dan Groenen, penyusun membatasi sejauh mana ‘kristologi’ diinterpretasi, direfleksikan, dan apa relevansi Yesus bagi kehidupan gereja? Titik penekanan, meminjam bahasa Groenen, bukan terletak pada “Yesuologi” tetapi pada “Kristologi”. Makna Relevansi akan dikaitkan dengan konteks Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Pertama, GKJW sebagai salah satu pengguna nyanyian KPK BMGJ. Kedua, latar belakang penyusun berasal dari Jawa Timur, dengan harapan sesuai dengan konteks, permasalahan serta pergumulan gereja Jawa di Jawa Timur, dalam hal ini GKJW. I.4. Judul, Penjelasan dan Alasan Pemilihannya I.4.1. Judul Dari uraian latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, dan batasan permasalahan di atas, penyusun memberi judul skripsi ini: GUSTI YESUS RATU ADIL (Sebuah Analisis Kristologi dalam Kidung Pasamuwan Kristen BMGJ) I.4.2. Penjelasan Judul • Kidung Pasamuwan Kristen, adalah Kidung dengan teks bahasa Jawa yang diterbitkan oleh Badan Musyawarah Gereja-gereja Jawa (BMGJ). Badan ini beranggotakan 4 sinode gereja: Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ), Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ), dan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU). I.4.3. Alasan Pemilihan Judul Penyusun memilih judul ini dikarenakan menarik. Bagi penyusun, tradisi mitos bukan sekedar dunia yang semu, tidak real, tetapi dunia yang diwarnai nilai-nilai dan semangat juang melampaui zamannya yang merupakan usaha yang terus menerus mempengaruhi kehidupan sosial. Justru disinilah nilainya, mitos bisa jadi merupakan sebuah semangat juang, yang memberikan pedoman dan arah tertentu bagi kehidupan selanjutnya. Di samping menarik, alasan lain adalah pemahaman kristologi merupakan pemahaman yang mendasar. Pertanyaan Yesus yang ditujukan kepada para murid: “Menurutmu siapakah Aku ini?” 6 7 (Mat. 16:15; Mrk. 8:27,29; Luk. 9:18) menjadi pertanyaan kemarin, hari ini, esok, yang mungkin akan terus bergema sepanjang zaman dalam konteks dan pergumulannya. I.5. Tujuan Penulisan Dalam proses berkristologi dengan mengambil kekayaan tradisi lokal beserta kenyataan lokal, Suban Hayon, menguraikan proses berkristologi, adanya proses dialektis antara Kristo-Praxis, yakni praxis mengikuti Yesus Kristus dalam pergulatan hidup sehari-hari di suatu tempat dan waktu, dan Kristo-Logi, yakni pembicaraan tentang praxis tersebut lewat kata, perbuatan dan kesaksian hidup. Berkristologi mulai dengan Kristo-Praxis yang dilaksanakan lewat inkulturasi, tindak pembebasan, dan hidup bersama dengan orang-orang lain secara baru. Tetapi Kristo-Praxis, sebenarnya sebetulnya didasari pada Kristo-logi tertentu. Oleh karena itu Kristo-logi yang dibuat sesudah Kristo-Praxis hendaknya merefleksikan Kristo-Logi yang sudah mendasari Kristo-Praxis, agar bisa lahir Kristo-Logi baru yang mendasari Kristo-Praxis yang baru pula.16 Mengacu pada pendapat Suban Hayon di atas, penyusunan skripsi ini memiliki tujuan mendialogkan praxis pergulatan konteks Jawa Timur sebagai basis GKJW dan mencari hubungan dialektis dengan Kristologi (Ratu Adil). Selanjutnya refleksi kristologi yang dibuat sesudah kristopraxis akan merefleksikan kristologi yang telah mendasarinya. Dengan demikian diharapkan adanya kesinambungan dalam merefleksikan pertanyaan: “Menurutmu, siapakah Aku ini?” pergumulan, pengalaman hidup terjalin dengan kontemplasi. Selebihnya tujuan di rumuskan seperti dibawah ini: a. Melihat bagaimana Ratu Adil dipahami dalam konteks masyarakat Jawa. b. Memperoleh pemahaman tentang ungkapan Kristologi (Gusti Yesus Ratu Adil) dalam Kidung Pasamuwan Kristen. c. Memperoleh makna dan relevansi dari ungkapan kristologi Ratu Adil dalam teks lagu KPK dibantu dengan Kitab Suci sebagai kekayaan tradisi Kristen yang inspiratif. 17 16 17 HLM. Yoseph Suban Hayon, Membuat Kristologi Lokal, hlm. 7-8. Tradisi Kristen secara inklusif dapat dimengerti sebagai keseluruhan iman Kristen yang diturunkan di dalam gereja, mulai dari Kristus dan rasul-rasul sampai sekarang ini. Kalau dimengerti secara demikian, naka Kitab Suci masuk dalam tradisi Kristen. Tradisi ini di lih. sebagai tradisi yang hidup dan berkembangdalam perpaduan unsur kebebasan manusia penuh rahmat (HLM. Yoseph Suban Hayon, Membuat Kristologi Lokal, hlm. 49) 7 8 I.6. Metode Pembahasan Metode yang dipakai untuk membahas penyusunan skripsi ini adalah dengan memaparkan permasalahan yang ada, kemudian menganalisa permasalahan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Bahan-bahan diperoleh melalaui penelitian literatur (kepustakaan), yakni dengan cara menelaah pustaka yang diperlukan. Di samping itu juga dokumen-dokumen atau data-data, web-site, serat-serat yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dan kemudian di deskripsikan lebih lanjut. I.7. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan Bab ini membahas mengenai latar belakang permasalahan, fokus permasalahan yang akan dibahas, batasan permasalahan, judul tulisan (penjelasan dan alasan pemilihannya, tujuan penulisan, metode pembahasan. Bab II : Ratu Adil dalam Konteks Jawa Bab ini membahas pemahaman tradisi mitos Ratu Adil dalam konteks dan situasi masyarakat Jawa beserta alasan dan sumber-sumber yang melatar belakangi munculnya mitos Ratu Adil tersebut. Tradisi Ratu Adil dalam bentuk ramalan, dan beberapa kategori mengenai gerakan Ratu Adil. Bab III : Kristologi Ratu Adil dalam Kidung Pasamuwan Kristen Bab ini membahas interpretasi dan analisis teks lagu KPK yang menyapa Yesus dengan gelar Ratu Adil. Interpretasi dibantu dengan teks Kitab Suci sebagai kekayaan inspiratif tradisi Kristen dan juga mencari hubungan dengan konsepsi Ratu Adil Jawa pada bab yang sudah diuraikan sebelumnya. Bab IV : Makna dan Relevansi Kristologi Ratu Adil bagi Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Bab ini membahas tinjauan dan refleksi teologis inspirasi dan implementasinya bagi hidup bergereja di Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) ketika Kristus dipahami sebagai Ratu Adil. 8 9 Bab V : Kesimpulan dan Penutup Bab ini membahas kesimpulan dari keseluruhan skripsi yang telah disusun, penutup sebagai akhir dari penyusunan skripsi. 9