KECACINGAN PADA KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus) DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO / B04100036 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kecacingan pada Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Muhammad Mirzan Adi Wibowo NIM B04100036 ABSTRAK MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO. Kecacingan pada Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan R. P. AGUS LELANA. Medik konservasi merupakan disiplin ilmu baru yang erat kaitannya dengan manusia dan kesehatan hewan, kesehatan ekosistem, dan perubahan lingkungan global. Dewasa ini, Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) merupakan satwa primata yang banyak diburu, sehingga populasi di alam terus berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan derajat kecacingan cacing saluran pencernaan pada kukang Jawa serta derajat kecacinganya berdasarkan sampel kelompok di laboratorium diagnostik YIARI pada periode Febuari-Mei 2014. Sebanyak 11 sampel kelompok kandang berbeda yang diulang sebanyak enam kali pengambilan. Metode pemeriksaan menggunakan modifikasi McMaster, Flotasi sederhana, dan saringan bertingkat. Dari sebelas kelompok sampel yang diperiksa dinyatakan 100% positif mengalami kecacingan. Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa semua sampel terinfeksi oleh dua tipe cacing: nematoda dan cestoda antara lain Ascaris, Strongyloides, Strongylid dan Hymenolepis sp.. Kata kunci: kecacingan, medik konservasi, Nycticebus javanicus ABSTRACT MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO. Javan Slow Loris’s (Nycticebus javanicus) Helminthiasis in Pimate Rehabilitation Center of International Animal Rescue Indonesia. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and R. P. AGUS LELANA. Conservation medicine is an emerging discipline that links to human and animal health, ecosytem health, and global environmental change. Recently, Javan Slow Loris is an endemic primates which is continuously hunted, which lead to decline of its population in its natural habitat. The goal of this research is to study the gastrointestinal helminths infection of Javan Slow Loris and infection intensity from pooled fecal samples in diagnostic laboratory of International Animal Rescue Indonesia from February-May 2014. Eleven pooled fecal samples from different cages are collected for 6 times were used. Samples were examined using the modified McMaster, flotation, and the modified sedimentation techniques was used to determine the intensity of helminth infections among the cages.Numerous well preserved eggs were examined from the point of view of morphology. Our result showed that all of cages were infected by two types of helminths: cestode and nematode including Hymenolepis sp., Ascaris, Strongyloides, and Strongylid. Keywords: concervation medicine, helminthiasis, Nycticebus javanicus KECACINGAN PADA KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus) DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO / B04100036 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Kecacingan pada Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI)” ini berhasil diselesaikan. Selama empat tahun penulis menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor memberikan banyak pengetahuan serta pengalaman yang berharga, terutama beberapa bulan terakhir selama proses penyususunan karya ilmiah ini. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr Drh Elok Budi Retnani, MS. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, nasehat, serta dukungannya. 2. Dr Drh R. P. Agus Lelana, SpMP. MSi. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, nasehat, serta dukungannya. 3. Drh Herwin Pisestyani, MSi. selaku dosen pembimbing akademik atas segala kesabaran, nasehat, dan pengarahannya. 4. Drh Prameswari Wendi serta Drh Nur Purba Priambada dari YIARI atas segala kritik dan masukannya. 5. Seluruh staf YIARI yang selama ini sanagat berjasa dalam membantu proses penelitian ini. 6. Laboran dan karyawan Lab. Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan Kesmavet atas ilmu serta bantuan yang telah diberikan. 7. Keluargaku tercinta: Ayah, ibu, kakak, dan adik yang selalu menyemangati, memberi do’a, kritikan, masukan, dan memberi dukungan baik moril maupun materil. 8. Teman-teman seperjuangan Asfi, Ica, Maya, Riris, Anang, dan Yoga, terima kasih atas pengertian, dukungan, dan kerja sama yang diberikan kepada penulis. 9. Rekan-rekan angkatan 47 Fakultas Kedokteran Hewan IPB, terima kasih atas masukan, kebersamaan, bantuan empat tahun ini. 10. Dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis, terima kasih atas bantuanya selama ini. Semoga Allah SWT membalas semua dengan keberkahan. Penulis berharap keritik dan masukan untuk perbaikan karya ilmiah ini kedepannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2014 Muhammad Mirzan Adi Wibowo DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xi PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) 3 Morfologi dan Klasifikasi 3 Ditribusi Geografi dan Status Konservasi 3 Pakan Alami 4 Tingkah Laku 4 Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata 4 Medik Konservasi 5 Pusat Rehabilitasi Satwa Primata YIARI 6 METODE Tempat dan Waktu 6 Alat dan Bahan 6 Rancangan Penelitian 7 Teknik Parasitologi 7 Teknik Sampling Feses 7 Modifikasi McMaster 7 Flotasi Sederhana 7 Saringan Bertingkat 8 Prosedur Analisis 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan Cacing Saluran Pencernaan 8 Ascaris 9 Strongyloides 9 Strongylid 9 Hymenolepis sp. Prevalensi Kecacingan Kandang Sanctuary dan Non-Sanctuary 10 10 Prevalensi tiap jenis cacing 10 Infeksi kecacingan 11 Derajat Kecacingan Kelompok Kandang 12 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 13 Saran 13 DAFTAR PUSTAKA 14 LAMPIRAN 17 RIWAYAT HIDUP 18 DAFTAR TABEL Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata Prevalensi kecacingan pada kandang Sanctuary dan non-sanctuary Data sebaran infeksi cacing saluran pencernaan di tiap kandang Telur tiap gram feses (TTGT) setiap telur cacing 5 10 11 12 DAFTAR GAMBAR Nycticebus javanicus Temuan telur cacing saluran pencernaan 3 8 LAMPIRAN Denah peta kandang kukang di YIARI 17 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari lima pulau besar dan ribuan pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh perairan yang luas. Hal tersebut mendukung keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia, baik flora maupun fauna. Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) adalah bagian dari satwa liar endemik Indonesia. Masyarakat sering tertukar satwa jenis ini dengan Kus-Kus atau Phalanger sp. Tercatat lima spesies dari genus Nycticebus yaitu N. coucang, N. pygmaeus, N. bengalensis, N. javanicus, dan N. menagensis (Roos 2003; Chen et al. 2006). Namun dewasa ini telah terjadi penurunan populasi Kukang Jawa di alam. Penurunan populasi dikarenakan pemburuan liar, diperdagangkan sebagai satwa eksotik, atau diburu untuk dijadikan obat tradisional (Nursahid dan Purnama 2007). Oleh sebab itu sejak tahun 1973 kukang jawa dilindungi oleh undang-undang melalui Keputusan Mentri Pertanian tanggal 14 Febuari 1973 no. 66/Kpts/Um2/1973 (Nursahid dan Purnama 2007). Balai konservasi sering menjadi pilihan sebagai tempat rehabilitasi kukang yang disita dari masyarakat. Oleh sebab itu manajemen yang baik di suatu balai konservasi merupakan hal yang penting untuk menjamin kelestarian satwa ini. Satwa yang akan dilepasliarkan harus memenuhi kriteria International Union for Conservation of Nature (IUCN), termasuk didalamnya bebas dari penyakit baik yang menular maupun yang tidak menular. Balai konservasi rujukan untuk rehabilitasi kukang di Indonesia diantaranya adalah Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Program kerja YIARI fokus pada penyelamatan primata di Indonesia yang berlandaskan medik konservasi. Fasilitas yang ada pada lembaga konservasi YIARI meliputi kantor, klinik, laboratorium, kandang rehabilitasi, kandang karantina, dan tempat penyimpanan makanan. Kecacingan pada saluran pencernaan merupakan penyakit yang paling sering diderita oleh ordo primata, termasuk didalamnya Kukang Jawa. Telur cacing sebagai sumber infeksi dapat ditemukan pada feses segar kukang yang berada di dalam kandang. Gejala klinis yang ditimbulkan dari manifestasi cacing didalam saluran pencernaan umumnya jarang terlihat. Namun demikian infeksi cacing saluran pencernaan mampu menyebabkan penurunan penyerapan nutrisi dan dehidrasi. Infeksi kecacingan juga dapat menyebabkan penurunan kekebalan tubuh yang berdampak pada infeksi sekunder oleh berbagai agen penyakit dalam jangka panjang (Muller 2002). Perumusan Masalah YIARI berfungsi sebagai rujukan pusat rehabilitasi satwa primata termasuk Kukang Jawa. Kukang yang dilepasliarkan harus bebas dari berbagai agen penyakit seperti kecacingan. Apabila kukang yang dilepasliarkan terinfeksi suatu penyakit, akan berpotensi sebagai agen penyebar di alam. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kecacingan saluran pencernaan di YIARI. 2 Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan yang menginfeksi Kukang Jawa di pusat rehabilitasi satwa primata YIARI berdasarkan sampel kelompok. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan mampu memberi tambahan pengetahuan mengenai keragaman jenis cacing yang dapat menginfeksi Nycticebus javanicus serta memberi rekomendasi manajemen satwa yang sesuai medik konservasi di pusat rehabilitasi satwa primata YIARI. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian berlangsung selama bulan Februari hingga Mei 2014 di Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Penelitian ini bersifat noninvansif yang bertujuan untuk mengetahui infeksi cacing saluran pencernaan melalui analisis sampel feses. Hasil analisis sampel feses di laboratorium akan memberikan jenis dan intensitas infeksi cacing saluran pencernaan pada Kukang Jawa. Temuan jenis-jenis cacing dan derajat infeksinya merupakan landasan menyusun strategi pengendalian yang disertai dengan perbaikan manajemen. 3 TINJAUAN PUSTAKA Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) Morfologi dan Klasifikasi Kukang Jawa (Nycticebus javanicus), biasa disebut Malu-Malu, merupakan salah satu primata endemik Indonesia yang berukuran kecil. Primata ini memiliki ciri-ciri pola rambut berupa garis garpu berwarna coklat yang berada di kepala, memiliki panjang tubuh berkisar 320-380 mm, serta ekor yang pendek dan melingkar sepanjang 10-20 mm. Berat tubuh primata ini berkisar antara 565-798 gram (Nekaris dan Shekelle 2008). Kukang Jawa memiliki pola lingkaran berbentuk cincing di sekitar mata dengan rambut pada wajah yang berwarna coklat pucat dengan tanda yang berwarna lebih gelap (Gambar 1). Kukang Jawa memiliki ciri khas berupa garis di bagian dorsal tubuh berwarna coklat gelap yang membentang dari belakang hingga kepala membentuk pola trisula (Choudhury 1992). Gambar 1 Nycticebus javanicus (Photo by Wahyuni 2011) Klasifikasi Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Lorisidae Genus : Nycticebus : Nycticebus javanicus E Spesies Geoffroy, 1812 ( Nekaris dan Shekelle 2008 ) Distribusi Geografis dan Status Konservasi Habitat Nycticebus sp. pada umumnya berada di kanopi utama hutan hujan tropis, hutan primer, hutan sekunder dan hutan bambu (Supriatna 2000). Di Pulau Jawa penyebaran Kukang Jawa meliputi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Wirdateti 2005). Kerusakan hutan di Pulau Jawa, diduga menjadi 4 penyebab utama berkurangnya populasi primata ini di alam liar. Selain faktor alam, aktivitas manusia seperti perdagangan primata ini juga turut berperan. Saat ini status konservasi critically endangered ditetapkan oleh IUCN, artinya primata ini sedang menghadapi resiko tinggi kepunahan di alam atau habitat aslinya. Tahun 2007 seluruh spesies dari genus Nycticebus dimasukan ke dalam The Convension on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) Appendix 1 yang berarti fauna tersebut dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional (Nekaris dan Nijiman 2007). Di Indonesia kukang telah dilindungi oleh Undang-Undang sejak tahun 1973 melalui Keputusan Mentri Pertanian no. 66/Kpts/Um2/1973, kemudian diperkuat oleh Undang-Undang no. 7 tahun 1999 mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, serta Undang-Undang no. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistem (Wahyuni 2011). Pakan Alami Satwa yang termasuk Lorisidae, termasuk kukang, umumnya mengonsumsi pakan yang mengandung energi tinggi seperti buah-buahan, getah, dan serangga. Meskipun getah dan buah dapat dikesampingkan, namun setiap jenis Lorisidae akan memakan hewan tangkapannya (Smuts et al. 1987). Wiens (2002) menemukan beberapa bagian sisa pakannya yaitu bunga, buah-buahan, dan antrophoda antara lain Coleoptera, Orthoptera, Lepidoptera, dan Hymenoptera. Tingkah Laku Kukang digolongkan dalam family Lorisidae. Ciri utama famili ini bersifat nokturnal dan arboreal sejati (Rasmussen dan Nekaris 1998). N. Coucang pernah teramati melakukan aktifitas paling awal 2 menit sebelum matahari terbenam dan aktifitas terakhir 14 menit sebelum matahari terbit (Wiens 2002). Penelitian lainnya yang dilakukan di hutan Bodogol TNGGP, kukang mulai aktif segera setelah matahari tenggelam dengan puncak aktifitas pada pukul 20.00-21.00 WIB dan mengalami penurunan aktifitas pada pukul 22.00-00.00 WIB (Pambudi 2008). Kukang merupakan satwa primata yang tergolong arboreal sejati (Choudhury 1992). Hampir seluruh kegiatan hidupnya dilakukan di atas pohon, seperti grooming, makan, defekasi, dan kegiatan seksual. Walaupun satwa ini tergolong arboreal sejati, namun sesekali dia akan turun ke tanah untuk menuju pohon yang tidak dapat dijangkaunya (Haldik 1970). Ballenger (2000) mengemukakan bahwa tidak pernah ditemukan kukang jauh dari puncak pohon, sehingga walaupun dengan keadaan terdesak harus berada di tanah satwa ini akan segera bergerak naik ke atas pohon kembali. Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata Infeksi cacing saluran pencernaan dapat terjadi akibat adanya sumber infeksi dan inang yang peka pada suatu tempat dan waku tertentu. Salah satu faktor penyebabkan infeksi cacing saluran pencernaan pada satwa liar terutama primata adalah banyak feses yang menyebar secara tak beraturan. Hal tersebut dapat menyebabkan infeksi silang antar individu di alam. Selain itu, regulasi satwa baru dan lama di suatu balai konservasi yang tidak baik dapat menjadi faktor infeksi satwa oleh cacing saluran pencernaan. 5 Beberapa jenis cacing yang dapat menginfeksi satwa primata dari jenis trematoda, nematoda dan cestoda telah banyak teliti dan dipublikasi secara luas. Schistosoma sp. merupakan salah satu cacing trematoda yang tercatat mampu menginfeksi baboon (Appleton dan Henzi 1993). Cacing jenis ini banyak ditemukan di Asia Tenggara seperti Indonesia, RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, dan Malaysia. Di Indonesia daerah penyebaran cacing jenis ini terutama Schistisoma japonicum banyak ditemukan di Sulawesi Tengah terutama di sekitar Danau Lindu dan Lembah Napu (Kusumamihardja 1995). Trichuris sp. termasuk ke dalam jenis nematoda yang banyak ditemukan pada satwa primata. Tercatat cacing jenis ini pernah menginfeksi Rhesus monkey, Mandrillus sphinx, dan Colobus guereza (Melfi dan Poyser 2007, Phillippi dan Clarke 1992, Setchell et al. 2007). Data temuan cacing saluran pencernaan pada satwa primata tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1 Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata No. Jenis Cacing Saluran Pencernaan Nematoda Spesies Satwa Primata 1 Ascaris Rhesus monkey, Lagothric lagothrica, Macaca fasicularis 2 Hookworm Pongo pygmaeus, Macaca fasicularis. 3 Trichuris sp. Rhesus monkey, Mandrillus sphinx, Colobus guereza, Macaca fasicularis 4 Strongyloides sp. Alouatta caraya, Aotus Azarai Azarai, Rhesus monkey 5 Enterobius Baboon, Orangutan Sumber Michaud et al. 2003, Phillippi dan Clarke 1992, Chrisnawaty 2008 Labes et al. 2010, Chrisnawaty 2008. Melfi dan Poyser 2007, Phillippi dan Clarke 1992, Setchell et al. 2007, Chrisnawaty 2008. Milozzi et al. 2012, Perea-Rodriguez 2010, Phillippi dan Clarke 1992. Appleton dan Henzi 1993, Chapman et al. 2005, Mul et al. 2007. Cestoda 6 Hymenolepis sp. Chimpanzee, Aotus vosiferans, Rhesus monkey, Squirrel monkey, Macaca fasicularis Joslin 2003, Mul et al. 2007, Crisnawaty 2008. Baboon, Macaca fasicularis Appleton dan Henzi 1993, Chrisnawaty 2008. Trematoda 7 Schistosoma sp. Medik Konsevasi Medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan mengedepankan kaitan antara kesehatan manusia dan hewan dengan perubahan kesehatan ekosistem dan lingkungan global (Aguirre dan Gomez 2009). Prinsip utama dari disiplin ini adalah kesehatan menghubungkan semua spesies, oleh 6 karena eratnya hubungan proses ekologik yang menguasai kehidupan di planet bumi (Aguirre et al. 2002). Konsep medik konservasi perlu diperkenalkan ke dalam bidang kesehatan hewan terutama penelitian dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan. Hal ini dilandasi oleh perubahan mendasar dalam pola pikir dari penekanan kepada pengobatan (treatment) ke pencegahan (prevention) (Aguirre dan Gomez 2009). Sejak tahun 1990-an, bidang kesehatan hewan di dunia telah berkembang ke arah pentingnya kesehatan ekosistem dalam konteks kesehatan dan kesejahteraan hewan dan manusia (Walter-Toews 2009). Pusat Rehabilitasi Satwa Primata YIARI Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penyelamatan satwa di Indonesia. YIARI berdiri sejak tanggal 29 Januari 2007. Kegiatan utama yang dilakukan oleh YIARI adalah 3R yaitu rescue, rehabilitation, dan release. Rescue (penyelamatan) yaitu menyelamatkan satwa-satwa baik yang berada di alam liar maupun sudah dipelihara manusia. Satwa dapat berasal dari hasil sitaan maupun transfer dari balai konservasi lain. Rehabilitation (rehabilitasi) yaitu segala upaya yang dilakukan YIARI baik penangan secara medic dan non-medic dalam rangka mengembalikan sifat alami satwa untuk dapat dilepasliarkan ke alam. Release (pelepasliaran) merupakan upaya akhir dari proses penyelamatan satwa liar untuk dikembalikan ke alam liar. Saat ini YIARI memfokuskan kegiatannya pada satwa primata yaitu kukang, monyet ekor panjang, dan beruk. METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Pusat Rehabilitsi Satwa Primata YIARI di jalan Curug Nangka Blok Pasir Loji Rt 04 Rw 05 Kampung Sinar Wangi, Kelurahan Sukajadi Kecamatan Taman Sari Ciapus – Bogor, Indonesia selama bulan Febuari-Mei 2014. Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu pengumpulan sampel dan analisis laboratorik yang dilakukan di Laboratorium Diagnostik YIARI. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu es balok, jelly pack beku, feses Nycticebus javanicus, air, dan larutan gula garam jenuh. Alat yang digunakan yaitu kantung plastik ukuran ½ kg, spidol permanen, label nama, cooler box, tisu gulung, pipet, dan kamera digital, timbangan digital, gelas plastik, saringan, sendok, penyemprot, filter bertingkat (45, 100, dan 400 µ), mikroskop cahaya, syringe, pipet, label nama, kamar hitung McMaster, gelas Baermann, dan lemari es. 7 Rancangan Penelitian Sampel feses diperoleh dari sebelas kandang berbeda dengan pengulangan sebanyak enam kali. Kesebelas kandang tersebut terdiri dari dua tipe kandang yaitu non-sanctuary dan kandang sanctuary. Kandang non-sanctuary terdiri dari 9 kandang berbeda (NS 1-9) sedangkan kandang sanctuary terdiri dari 2 kandang (S 1-2). Masing- masing kandang berisi individu rata-rata 3 ekor Kukang Jawa. Kandang non- sanctuary berukuran 2x2x3 (pxlxt), sedangkan kandang sanctuary berukuran 3x4x5 dengan jaring kawat sebagai pemisah antar kandang. Pemeriksaan sampel mengunakan metode modifikasi McMaster, flotasi, dan saringan bertingkat untuk mengetahui morfologi serta jumlah telur cacing sehingga didapatkan jenis-jenis cacing, prevalensi kecacingan, dan derajat infeksi kecacingan. Teknik Parasitologi Teknik Sampling Feses Sampel feses diambil adalah sampel segar yang baru didefekasikan atau yang berumur tidak lebih dari dua jam, untuk menghindari telur cacing yang menetas dan kemungkinan terjadi kontaminasi. Sampel tersebut dimasukan ke dalam botol penampung dan diberi label kemudian disimpan dalam cooler box yang berisi jelly pack beku. Kemudian sampel disimpan ke refrigerator untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium. Modifikasi McMaster Tiga gram feses ditambahkan ke dalam 57 ml larutan gula garam jenuh. Selanjutnya dihomogenkan, disaring dan dihomogenkan kembali. Suspensi yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet. Setelah 10-15 menit, maka telur akan terapung. Kamar hitung diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 x dan jumlah telur tiap gram feses (TTGT) diperoleh dengan rumus : Keterangan : n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung Vk : volume kamar hitung (0,3 ml) Vt : volume sampel total Bf : berat feses (1 g) (Whitlock 1948) Flotasi Sederhana Feses dihomogenkan dengan larutan gula garam jenuh menggunakan mortar kemudian disaring menggunakan saringan teh. Suspensi dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga permukaannya cembung dan ditutup dengan cover glass. Setelah 15 menit cover glass diangkat kemudian diperiksa di bawah mikroskop cahaya untuk diperiksa telurnya (Shaikenov et al. 2004). 8 Saringan Bertingkat Metode ini bertujuan untuk melihat adanya telur trematoda dalam feses. Feses sebanyak tiga gram dihomogenkan dengan menggunakan 57 ml air dan disaring dengan menggunakan saringan teh. Filtrat disaring menggunakan saringan bertingkat (diameter 45, 100, dan 400 µm). Proses penyaringan juga dibantu menggunakan penyemprot yang berisi akuades. Residu yang tersaring pada ukuran 100 µm dan 45 µm dibilas dengan akuades dan dimasukkan ke dalam modifikasi gelas Baermann, kemudian diambil menggunakan pipet dan dimasukan ke dalam objek glass yang telah dimodifikasi untuk diperiksa di bawah mikroskop cahaya (Willingham et al. 1998). Prosedur Analisis Data Jenis-jenis cacing yang ditemukan, prevalensi kecacingan, serta derajat infeksi kecacingan (menurut total, kandang sanctuary dan kandang nonsanctuary) dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan Cacing Saluran Pencernaan Berdasarkan identifikasi morfologi telur cacing dari 11 sampel kelompok yang diambil selama 6 hari ditemukan dua tipe cacing yaitu Cestoda dan Nematoda (Gambar 2). Cacing tipe Cestoda yang ditemukan diduga telur Hymenolepis sp., sedangkan tipe Nematoda yang ditemukan ada tiga jenis yaitu Ascaris, Strongyloides, dan Strongylid. Pada penelitian tidak ditemukan cacing tipe Trematoda walaupun sudah menggunakan metode saringan bertingkat. Cacing Ascaris, Strongyloides, Strongylid, dan Hymenolepis sp. pernah dilaporkan menginfeksi satwa primata oleh Milozzi et al. (2012), Phillips et al. (2004), Vitazkova dan Wade (2006, 2007), Perea-Rodriguez et al. (2010), dan Gillespie et al. (2004). Gamabar 2 Telur Cacing Saluran Pencernaan di YIARI Keterangan: A. Telur Ascaris (100X), B. Telur Strongyloides (100X), C. Telur Strongylid (100X), D. Telur Hymenolepis sp. (100X). 9 Pada primata infeksi kecacingan saluran pencernaan umumnya melalui dua rute transmisi yaitu oral dan transkutan. Ascaris sp. dan Trichuris sp. merupakan salah satu cacing saluran pencernaan yang dapat menginfeksi satwa primata melalui rute oral. Strongyloides dan Ancylostoma sp. merupakan cacing yang mampu menginfeksi melalui rute transkutan (Pourrut et al. 2010). Dari hasil pengamatan di kandang, aktivitas kukang merata antara di atas pohon (arboreal) dan beraktivitas di tanah (terestrial). Hal ini memungkinkan kukang jawa terinfeksi cacing. Secara alami kukang memiliki tiga tipe habitat utama, yaitu hutan primer, hutan yang terdapat penebangan, serta padang savana (Wiens 2002). Ascaris Telur Ascaris yang ditemukan dalam feses berwarna kuning kecoklatan dengan bentuk bulat, memiliki lapisan albumin yang tebal, dan memiliki tepian bergelombang. Gambaran telur yang ditemukan dalam feses disajikan pada Gambar 2A. Secara morfologi telur Ascaris dapat dibedakan menjadi telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berbentuk bulat berwarna kecoklatan dengan lapisan albumin yang tebal. Telur yang tidak dibuahi tidak memiliki bentuk spesifik dapat berbentuk lonjong, segitiga, menyerupai ginjal dan memiliki lapisan luar yang cukup tipis (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2002). Penyebaran cacing jenis ini dapat ditemukan hampir di seluruh dunia (kosmopolit). Penyebaran utamanya adalah daerah daerah yang memiliki iklim tropis dengan kelembaban yang tinggi (Kusumamihardja 1995). Temuan telur cacing Ascaris pernah dilaporkan sebelumnya menginfeksi satwa primata seperti Lagothric lagothica dan Rhesus monkey (Chrisnawaty 2008, Michaud et al. 2003, Phillippi dan Clarke 1992). Strongyloides Telur Strongyloides yang ditemukan dalam feses Kukang Jawa berwarna kecokelatan dengan ciri morfologi yang khusus yaitu memiliki dinding lapisan albumin yang tipis dan terdapat larva didalamnya. Pada sampel feses segar dapat ditemukan telur berbentuk oval dengan dinding yang tipis berisikan larva di dalamnya. Ciri tersebut sesuai dengan gambaran telur yang pernah disampaikan oleh Viney dan Lok (2011). Gambaran telur ini disajikan pada Gambar 2B. Strongyloides dapat ditemukan di daerah tropikal maupun subtropikal, termasuk daerah yang memiliki suhu yang tinggi (Nunn dan Altizer 2006). Milozzi et al. (2012) menemukan bahwa telur Strongyloides dapat ditemukan di daerah yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Telur tipe ini pernah ditemukan pada primata lainnya seperti Alouatta caraya, Aotus Azarai Azarai dan Rhesus monkey (Milozzi et al. 2012, Perea-Rodriguez et al. 2010, Phillippi dan Clarke 1992). Strongylid Telur Strongylid yang ditemukan dalam feses memiliki bentuk menyerupai elips dengan dinding telur yang tipis dan terdapat sel berwarna keabuan (morula) di dalamnya. Sel tersebut dapat berjumlah 4, 8, 16 dan seterusnya. Telur yang 10 ditemukan berwarn kuning kecoklatan. Gambaran telur ini disajikan pada Gambar 2C. Telur ini ditemukan hanya pada feses yang berasal dari kandang NS8, sehingga belum dapat dipastikan apakah telah terjadi transmisi pada kandang lainnya. Telur jenis ini dapat berkembang dengan baik pada kondisi tanah yang lembab. Penyebaran cacing jenis ini dilaporkan terdapat di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan (Soulsby 1982). Terdapat tiga jenis cacing Strongylid yang pernah dilaporkan menginfeksi satwa primata yaitu Ancylostoma sp., Necator sp., dan Oesophagostomum sp. (Chrisnawaty 2008, Pourrut et al. 2010). Hymenolepis sp. Telur yang ditemukan berbentuk bulat dengan lapisan albumin yang tebal. Telur jenis ini berwarna kuning kecoklatan dengan ciri khusus adanya oncosphere, embrio berkait enam, serta adanya filament di kedua kutub telur. Gambaran dari telur ini disajikan pada Gambar 2D. Hasil pengamatan morfologi telur Cestoda yang ditemukan diduga merupakan telur cacing Hymenolepis nana. Ash dan Oriel (1990) menggambarkan bahwa telur Hymenolepis nana memiliki bentuk telur bulat atau lonjong, dengan oncosphere berkait enam, serta adanya filament pada kedua kutub telur. Cacing jenis ini pernah dilaporkan menginfeksi satwa primata lainnya seperti Aotus vosiferan, Chimpanzee, Rhesus Monkey, dan Squirrel monkey (Joslin 2003, Mul et al. 2007). Penyebarannya cacing ini tergolong kosmopolit atau tersebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal ini memperkuat dugaan telur cacing yang ditemukan dalam sampel feses Kukang Jawa merupakan telur cacing Hymenolepis nana. Prevalensi Kecacingan Kandang Sanctuary dan Non-sanctuary Prevalensi tiap jenis cacing Berdasarkan jenis telur cacing yang telah ditemukan (Tabel 2), dapat dihitung bahwa prevalensi kecacingan pada kedua tipe kandang adalah 100%. Tingkat prevalensi dari yang tertinggi sampai yang terendah di tipe kandang nonsanctuary adalah Strongyloides (100%), kemudian Ascaris (33,33%) dan Hymenolepis sp. (33,33%), serta Strongylid (11,11%). Prevalensi kecacingan untuk kandang sanctuary prevalensi adalah Ascaris (50%), Strongyloides (50%), Hymenolepis sp. (50%), dan Strongylid (0%). Data tersebut menjelaskan bahwa untuk kandang non-sanctuary seluruh kandang terinfeksi cacing Strongyloides. Tabel 2 Prevalensi kecacingan pada kandang Sanctuary dan Non-Sanctuary n (Jumlah Kandang) Ascaris Strongyloides Strongylid Hymenolepis sp. NonSanctuary 9 33,33 100 11,11 33,33 Sanctuary 2 50,00 50,00 0 50,00 Kandang Prevalensi (%) 11 Infeksi kecacingan Hasil pemeriksaan sebelas kandang yang diulang sebanyak enam kali ditemukan dua tipe cacing yaitu Nematoda dan Cestoda. Cacing Nematoda terdiri dari Ascaris, Strongyloides, dan Strongylid, tipe Cestoda adalah Hymenolepis sp.. Distribusi infeksi setiap jenis cacing di tiap kandang tersaji dalam Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa penyebaran tertinggi yang ditemukan adalah telur tipe Strongyloides. Dari sebelas kelompok kandang yang diambil sampel fesesnya 10 diantaranya positif ditemukan telur Strongyloides. Apabila melihat siklus biologi dari cacing jenis ini, cacing jenis ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan jenis nematoda lainya. Strongyloides memiliki dua fase hidup yaitu fase parasitik dan fase hidup bebas. Pada fase parasitik terdapat cacing betina dewasa yang mampu menghasilkan telur yang mengandung larva melalui proses partenogenesis yang akan dikeluarkan bersama feses. Pada fase hidup bebas telur berlarva yang dilepaskan di alam dapat berkembang menjadi bentuk jantan dan betina dewasa serta mampu menghasilkan telur infektif berlarva (Urquhart et al. 1996). Telur Strongyloides mampu bertahan hidup dengan baik di lingkungan tanah yang sedikit berpasir serta tanah yang lembab namun pada lingkungan tanah yang berpasir serta tanah liat telur ini tidak dapat berkembang (Soulsby 1982). Oleh sebab itu penyebaran dari telur jenis ini sangat mudah tersebar dan menginfeksi individu yang berada di sekitarnya. Tabel 3 Distribusi infeksi setiap jenis cacing saluran pencernaan di tiap kandang No Jenis Cacing 1 2 3 4 Ascaris Strongyloides Strongylid Hymenolepis sp. 1 2 3 Non Sanctuary 4 5 6 7 8 9 Sanctuary 1 2 Uraian di atas sesuai dengan lingkungan alas kandang yang ada di YIARI yaitu cukup lembab. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab tingginya penyebaran telur Strongyloides di hampir tiap kandang, serta adanya kemungkinan transmisi yang terjadi di antara kandang melihat jarak antar kandang yang cukup berdekatan. Telur tipe Ascaris dan Cestoda yang ditemukan di empat kandang. Telur tipe Ascaris ditemukan pada kandang NS1, NS2, NS4, dan S1. Sedangkan telur tipe Hymenolepis sp. ditemukan pada kandang NS2, NS6, NS9, dan S2. Dalam pemeriksaan sampel feses juga ditemukan telur Strongylid pada kandang NS8. Data kelompok yang diperoleh dari hasil pemeriksaan sampel feses menunjukan bahwa rata-rata kukang Jawa yang berada di YIARI dalam satu kandang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis cacing. Kandang yang mengalami infeksi Ascaris, Strongyloides, dan Hymenolepis sp. adalah kandang NS2. Kandang yang tercatat mengalami infeksi Ascaris dan Strongyloides adalah kandang NS1, dan kandang NS4. Infeksi Ascaris dan Hymenolepis sp. dialami oleh kandang S1. Kandang NS6 dan kandang NS9 tercatat mengalami infeksi Hymenolepis sp. dan Strongyloides. Kandang NS8 yang mengalami infeksi campuran Strongyloides dan Strongylid. Selain itu, terdapat pula beberapa 12 kandang yang tercatat hanya mengalami infeksi satu tipe cacing Strongyloides yaitu kandang NS5, NS7, dan S2. Derajat Kecacingan Kelompok Kandang Metode McMaster merupakan salah satu teknik pemeriksaan kecacingan secara kuantitatif untuk melihat derajat infeksinya. Derajat infeksi merupakan tingkat kesakitan inang yang dapat diduga dari jumlah parasit dalam tubuhnya (Acrenaz 2003, Vitazkova dan Wade 2007). Ada tidaknya cacing dewasa atau telur cacing dalam feses satwa tidak selalu menjadi acuan utama dalam pemeriksaan, sebab apabila tidak ditemukan cacing dewasa atau telur cacing dalam feses ada kemungkinan sampel belum mencapai masa prepaten cacing. Untuk mengetahui derajat infeksi kecacingan perlu dilakukan pemeriksaan telur tiap gram feses (TTGT). Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai TTGT seperti konsistensi feses, banyaknya feses yang dikeluarkan tiap hari, produksi telur cacing yang berbeda tiap jenisnya, perbedaan produksi telur cacing antara siang dan malam, perbedaan produksi telur cacing berdasarkan usia, dan distribusi telur cacing dalam feses (Kusumamihardja 1995). Sampel kelompok merupakan salah satu alternatif untuk mengetahui derajat infeksi kecacingan khususnya yang ditransmisikan melalui tanah (the soil transmitted helminths – STHs). Metode pengambilan sampel ini merupakan prosedur pemeriksaan yang cepat dan efisien dalam menangani kasus kecacingan (Mekonnen 2013). Berdasarkan Tabel 4 dapat dipelajari bahwa nilai TTGT kelompok tertinggi sampai terendah berturut-turut kandang NS1 (6250 TTGT), kandang S1 (975 TTGT), kandang NS4 (684 TTGT), kandang NS2 (433 TTGT), kandang NS7 (100 TTGT), kandang NS8 (83,3 TTGT), kandang NS6 (83 TTGT), kandang S2 (75,3 TTGT), kandang NS9 (67 TTGT), kandang NS5 (42 TTGT), dan kandang NS3 (33 TTGT). Tabel 4 Telur Tiap Gram Feses (TTGT) Setiap Telur Cacing Tipe Kandang Nonsanctuary Sanctuary Kode NS1 NS2 NS3 NS4 NS5 NS6 NS7 NS8 NS9 S1 S2 Ascaris 6208 (0-14200) 308 (0-650) 0 642 (0-1100) 0 0 0 0 0 933 (0-1550) 0 TTGT Tiap Jenis Cacing Strongyloides Strongylid 42 (0-250) 0 33 (0-100) 42 (0-150) 25 (0-50) 83 (0-200) 75 (0-250) 42 (0-150) 50 (0-100) 0 67 (0-150) 0 0 0 0 0 0 0 8,3 (0-50) 0 0 0 Hymenolepis sp. 0 125 (0-750) 0 0 17 (0-100) 0 25 (0-100) 33 (0-100) 17 (0-100) 42 (0-250) 8,3 (0-50) Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat infeksi setiap jenis cacing pada setiap kandang. Infeksi Ascaris dapat terlihat pada kandang NS1, NS2, NS4, dan S1 dengan rataan TTGT sebesar 6208 TTGT, 308 TTGT, 642 TTGT, dan 933 TTGT. Rataan derajat infeksi Strongyloides terdapat pada kandang NS1, NS3, NS4, NS5, 13 NS6, NS7, NS8, NS9, dan S2 dengan nilai rataan 42 TTGT, 33 TTGT, 42 TTGT, 25 TTGT, 83 TTGT, 75 TTGT, 42 TTGT, 50 TTGT, dan 67 TTGT. Rataan derajat infeksi Strongylid terdapat pada kandang NS8 dengan nilai rataan 8,3 TTGT. Sedangkan infeksi Hymenolipis sp. terdapat pada kandang NS2, NS5, NS7, NS8, NS9, S1, dan S2 dengan nilai rataan 125 TTGT, 17 TTGT, 25 TTGT, 33 TTGT, 17 TTGT, 42 TTGT, dan 8,3 TTGT. Nilai derajat infeksi kecacingan saluran pencernaan pada kandang yang berdekatan seperti kandang NS1, NS2, NS4 dan S1 memiliki nilai TTGT terdahap telur Ascaris yang cukup tinggi. Hal ini diduga dekatnya jarak antar kandang dan sekat pembatas antar kandang yang memungkinkan cacing jenis ini menginfeksi kandang lainya. Aktivitas manusia juga diduga berpengaruh besar terhadap nilai derajat kecacingan, sebab keempat kandang tersebut berdekatan dengan aktivitas manusia. Penyebaran telur Hymenolepis sp. banyak ditemukan pada kandang yang berada dekat dengan pohon bambu tinggi seperti kandang NS5, NS6, dan NS7. Pohon bambu tersebut menyebabkan kandang tersebut tidak mendapatkan sinar matahari secara optimum. Dengan demikian untuk sementara dapat diduga bahwa letak kandang serta intensitas cahaya matahari mempengaruhi nilai derajat kecacingan secara tidak langsung. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil pemeriksaan sebanyak 9 sampel kandang non-sanctuary dan 2 sampel kandang sanctuary seluruhnya terinfeksi cacing saluran pencernaan. Prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada kandang non-sanctuary adalah Strongyloides (100%), kemudian Ascaris (33,33%), Hymenolepis sp. (33,33%), dan yang terakhir Strongylid (11,11%). Sedangkan untuk kandang sanctuary prevalensi Ascaris (50%), kemudian Strongyloides (50%), dan Hymenolepis sp. (50%). Infeksi Ascaris tertinggi pada kandang non-sanctuary 1 dengan rataan TTGT sebesar 6208 TTGT. Rataan derajat infeksi Strongyloides tertinggi terdapat pada kandang non-sanctuary 6 dengan nilai rataan 83 TTGT. Rataan derajat infeksi Strongylid terdapat pada kandang non-sanctuary 8 dengan nilai rataan 8,3 TTGT. Sedangkan infeksi Hymenolipis sp. tertinggi terdapat pada kandang nonsanctuary 2 dengan nilai rataan 125 TTGT. Saran 1. Perlu dipelajari lebih lanjut pola kejadian kecacingan dalam kurun waktu tertentu dengan metode epidemiologis yang lain pada Kukang Jawa di YIARI. 2. Perlu dilakukan uji individu terhadap infeksi kecacingan pada kukang Jawa di YIARI. 3. Perlu dipelajari lebih lanjut mengenai faktor resiko kecacingan yang terjadi di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata. 14 DAFTAR PUSTAKA Acrenaz M, Setchell JM, dan Curtis DJ. 2003. Handling, Anestesia, Health Evaluation and Biological Sampling. Di dalam: Setchell JM dan Curtis DJ, editor. A Practical Guide Field and Laboratory Methods in Primatology. United Kingdom: Cambrige University Press. Aguirre AA dan Gomez A. 2009. Essential veterinary education in conservation medicine and ecosystem health: a global prespective. Scientific and Technical Review of the Office International des Epizooties. 28(2):597-603. Aguirre AA, Ostfeld RS, Tabor GM, House C, dan Pearl M. 2002. Concervation Medicine: Ecological Health in Practice. Oxford University Press: Ney York. Appleton CC dan Henzi SP. 1993. Enviromental correlates of gastrointestinal parasitism in montane and mountain baboons in Natal, South Africa. International Journal of Primatology. 11(4): 623-635. Ash LR dan Orihel TC. 1990. Atlas of Human Parasitology. USA: ASCP Press. Ballenger L. 2000. Nycticebus coucang [internet]. [diunduh 2014 Februari 20]. Tersedia pada: www.species.net. Chapman CA, Glliespie TR, Spiers ML. 2005. Brief Report, Parasite prevalence and richness in sympatric Colobines: effect of host density. American Journal of Primatology. 67(1):259-266. Chen J, Pan D, Groves C, Wang Y, Narushima E, Fitch-Snyder H, Crow P, Thanh VN, Ryder O, Zhang H, Fu Y, dan Zhang Y. 2006. Molecular phylogeny of Nycticebus inferred from mitochondrial genes. International Journal of Primatology. 27(4):1187-1200. Choudhury AU. 1992. The Slow Loris (Nycticebus coucang) in North-east India. Primate Report. 34:77-83. Chrisnawaty D. 2008. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gillespie TR, Greiner EC, and Chapman AC. 2004. Gastrointestinal parasite of the Guenons of Westren Uganda. Journal of Parasitology. 90(6):1356-1360. Joslin JO. 2003. Other Primate Excluding Great Apes. Di dalam: Fowler ME editor. Zoo and Wild Animal Medicine Fifth Edition. Philadelphia: WB Saunders. hlm 372-374. Kusumamiharjda S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Peliharaan di Indonesia. Bogor: Pusat Antara Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Labes E, Hegglin D, Geimm F, Nurcahyo W, Harrison ME, Bastian ML, dan Deplazes P. 2010. Intestinal parasites of endangered orangutan (Pongo pygmaeus) in Central and East Kalimantan, Borneo, Indonesia. Journal of Parasitology. 137(1):123-135. Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G,penerjemah. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press. Mekonnen Z, Selima M, Mio A, Johannes B, Jozef V, dan Brunno L. 2013. Comparison of individual and pooled stool sampeles for the assessment of soil transmitted helminth infection intensity and drug efficacy. PLOS Neglected Tropical Diseases. 7(5): e2189. 15 Melfie V dan Poyser F. 2007. Trichuris burdens in zoo-housed Colobus guereza. International Journal of Primatology. 28(6):1449-1456. Michaud C, Tantalean M, Ique C, Montoya E, dan Gozalo A. 2003. A survey for helminthpParasites in feral new world non-human primate populations and Its comparation with parasitological data from man in the region. Journal of Medical Primatology. 32(6):341-345 Milozzi C, Gabriela B, Elisa C, Marta DM, dan Graciela TN. 2012. Intestinal parasites of Alouatta caraya (Primates, Ceboidea): premilinary study in semicaptivity and in wild in Argentina. Menzoda. Journal of Mastozoologia Neotropical. 19(2):271-278. Mul IF, Paembonan W, Singleton I, Wich SA, dan van Bolhuis HG. 2007. Intestinal parasites of free-ranging. semicaptive, and captive Pongo abelii in Sumatra, Indonesia. International Journal of Primatology.28(2):407-420. Muller R. 2002. Worm and Human Desease 2nd Ed. New York (US): CABI Publishing. Nekaris KAI dan Nijman V. 2007. Cites proposal highlights rarity of Asian nocturnal primates (lorisidae: Nycticebus). Folia Primatologica. 78:211–214. Nekaris KAI dan Shekelle, M. 2008. Nycticebus javanicus. Dalam: IUCN 2014. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.2 [internet]. [diunduh 2014 Februari 21]. Tersedia pada : http://www.iucnredlist.org/details/39761/0. Nunn C dan Altizer S. 2006. Diversity and Characteristic of Primates. Pp 22-56, dalam: Harvey PH dan May RM, editor. Infectious Deseases in Primates, Behavior, Ecology and Evolution. Oxford University Press: New York Nursahid R dan Purnama AR. 2007. Perdagangan Kukang (Nycticebus coucang) di Indonesia [internet]. [diunduh 2014 Maret 10]. Tersedia pada: http://www.profauna.or.id/indo/pressrelease/perdagangan-kukang.html. Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi Medik I Helmintologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pambudi JAA. 2008. Stidu Populasi, Perilaku, dan Ekologi Kukang Jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Perea-Rodriguesz JP, Milano AM, Osherov BE, and Fernandez-Duque E. 2010. Gastrointestinal parasites of Owl Monkey (Aotus Azarai Azarai) in the Argentinean Chaco. Neotropical Primates. 17(1):7-11. Permin A dan Hansen JW. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry Parasites. Rome: Food and Agriculture Organization of United States. Phillippi KM dan Clarke MR. 1992. Survey of parasites of Rhesus monkey housed in small social group. American Journal of Primatology. 27(2):293-303. Phillips KA, ME Hass, BW Grafton, and M Yrivarren. 2004. Survey of the gastrointestinal parasites of the primates community at Tambopata National Reserve, Peru. Journal of Zoology London. 264:149-151. Pourrut X, Diffo JLD, Somo RM, Bilong Bilong CF, Delaporte E, LeBreton M, and Gonzalez JP. 2010. Prevalence of gastrointestinal parasites in primate bushmeat and pets in Cameroon. Veterinary Parasitology. 5475:5. Rasmussen DT dan Nekaris KAI. 1998. Evolutionary history of the lorisiform primates. Folia Primatologica. 69:250-285. Roos C. 2003. Molekulare Phylogenie der Halbaffen, Schlankaffe und Gibbon [disertasi]. Munchen: Technische Universitat Munchen. 16 Setchell JM, Bedjabaga IB, Goossens B, Reed P, Wickings EJ, dan Knapp LA. 2007. Parasite prevalence, abundance, and diversity in a semi-free-ranging colony of Mandillus sphinx. International Journal of Primatology. 28(6):1345-1362. Shaikenov BS, Rysmukhambetova AT, Massenov B, Deplazes P, Mathis A, dan Torgerson PR. 2004. Shot Report : The use of a polymerase chain reaction to detect Echinococcus granulosus (G1 Strain) egg in soil sample. American Journal of Tropical Medicine Hygiene. 71(4): 441-443. Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham RW, dan Struhsaker TT. 1987. Primate Societies. Chicago (US): The University of Chicago. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Antropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindall. Supriatna J. 2000. Status Konservasi Satwa Primatadi Indonesia. Dalam Prosiding Seminar Primatologi Indonesia 2000, Konservasi Satwa Primata: Fesesuan Ekologi, Sosial Ekonomi Medis Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta, 7 September 2000. Yogyakarta: Fakultak Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology Thrid edition. USA: Blackwell Publishing Company. Urquhart GK, Armour J, Ducan JL, Dunn AM, dan Jennings FW. 1996. Veteriner Parasitology 2nd Ed. Scotland (EN): Blackwell Publishing Professional. Viney ME dan Lok JB. 2011. Strongyloides spp. Wormbook. Doi: 10.1895/wormbook.1.141.1. Vitazkova SK dan Wade SE. 2006. Parasites of free-ranging black howler monkey (Alouatta pigra) from Blize and Mexico. American Journal of Primatology. 68:1089-1097. Vitazkova SK dan Wade SE. 2007. The effect of ecology on the endo-parasites of Alouatta pigra. International Journal Primatology. 28:1327-1343. Wahyuni H. 2011. Pengaruh Pengayaan Pakan Alami Terhadap Prilaku Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Walter-Toews D. 2009. Commentary. Eco-health: a primer for veterinarians. Canadian Veterinary Journal 50:519-521. Whitlock HV. 1948. Some modification of McMaster helminth egg counting techniques and apparatus. Journal of The Council for Scientific and Industrial Research. 21(1):128-130. Wiens F. 2002. Behavior and Ecology of Wild Slow Loris (Nycticebus coucang): Social organisation, Infant Care System and Diet [disertasi]. Bayreuth: Bayreuth University. Willingham AL, Johansen MV, Barnes EH. 1998. A new technic for counting Schistosoma japonicum egg in pig feces. Southeast Asian Journal Tropical Medicine Public Health. 29(1): 128-130. Wirdateti. 2005. Pakan alami dan habitat kukang Nycticebus coucang dan tarsius Tarsius bancanus di hutan pasir panjang Kalimantan Tengah. Journal of Biological Indonesia. 3(9):360-370. 17 LAMPIRAN Denah Peta Kandang Kukang di YIARI NS6 NS5 NS6 NS5 Ruang Staf NS3 NS3 S1 S1 NS1 NS1 NS2 NS2 NS9 NS9 NS7 NS7 Keterangan: Kandang Nycticebus javanicus Kandang kukang lain Ruangan staf YIARI NS8 NS8 S2S2 NS4 NS4 18 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di kota Balikpapan, Kalimantan Barat pada tanggal 10 Maret 1992. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara kandung yang lahir dari pasangan suami istri M. A. B. Purwanto dan Sri Suryatiningsih. Penulis menempuh pendidikan di SMP Negeri 2 Cimahi pada tahun 20042007. Pada tahun 2007-2010 penulis meneruskan pendidikan di SMA Negeri 1 Cimahi. Kemudian pada tahun 2010, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi bendahara 2 Himpunan Profesi Satwa Liar (2012-2013), pengurus Komunitas Seni dan Teater IlmiahSTERIL (2012-2013), dan Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi Himpunan Profesi Satwa Liar (2013-2014). Penulis juga aktif menjadi panitia kegiatan dalam maupun luar kampus. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul: “Kecacingan pada Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI)” dibawah bimbingan Dr Drh Elok Budi Retnani, MS dan Dr Drh R. P. Agus Lelana, SpMP. Msi.