Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

advertisement
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Seksio Sesarea
Seksio sesarea didefinisikan sebagai suatu metode persalinan dengan cara
melakukan insisi pada dinding abdomen (laparotomi) dan dinding rahim
(histerotomi). Pengangkatan janin dalam rongga abdomen dalam kasus rupturnya
uterus atau kehamilan ektopik tidak termasuk dalam definisi ini (Cunningham, et
al., 2010).
2.2.
Sejarah Seksio Sesarea
Asal-usul dari istilah caesarean masih belum jelas, dan ada tiga penjelasan
yang diajukan (Cunningham, et al., 2010). Pertama, menurut legenda, Julius
Caesar lahir dengan cara tersebut, sehingga prosedur tersebut disebut operasi sesar
(Caesarean operation). Namun ada beberapa kenyataan yang melemahkan
pernyataan ini. Pertama, ibu Julius Caesar hidup selama bertahun-tahun setelah
melahirkan pada tahun 100 SM, sementara hingga abad ke-17, operasi tersebut
hampir selalu berakibat fatal. Kedua, tindakan operasi tersebut, baik dilakukan
pada orang yang hidup atau mati, tidak disebutkan oleh penulis di bidang medis
sebelum abad pertengahan. Rincian sejarah mengenai asal-usul nama keluarga
Caesar dapat ditemukan di monografi yang ditulis oleh Pickrell (1935).
Penjelasan kedua menyatakan bahwa nama dari operasi sesar berasal dari
hukum Romawi, konon diciptakan pada abad ke-8 SM oleh Numa Pompilius,
yang memerintahkan supaya prosedur tersebut dilaksanakan pada wanita sekarat
yang sedang dalam minggu-minggu terakhir kehamilan dengan harapan untuk
menyelamatkan anaknya. Lex legia (aturan atau hukum raja) ini kemudian diubah
menjadi lex caesarea di bawah kekaisaran, dan operasi tersebut kemudian dikenal
sebagai operasi sesar. Istilah Jerman untuk operasi sesar, Kaiserschnitt (Kaiser
cut), mencerminkan pernyataan ini.
Penjelasan ketiga mengatakan bahwa istilah caesarean berasal dari bahasa
Latin pada abad pertengahan, caedere, yang artinya memotong. Penjelasan ini
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
5
tampaknya paling logis, tetapi kapan tepatnya penamaan ini digunakan untuk
pertama kalinya masih belum diketahui. Dikarenakan istilah section berasal dari
kata Latin seco, yang juga berarti memotong, istilah caesarean section sepertinya
berlebihan. Oleh sebab itu, maka mulai digunakanlah istilah caesarean delivery.
2.3.
Klasifikasi Seksio Sesarea
Klasifikasi seksio sesarea secara umum dibagi menjadi dua (NHS Choices,
2012), yaitu:
1. Seksio sesarea terencana (elektif), yaitu ketika kebutuhan akan operasi
mulai terlihat pada masa kehamilan.
2. Seksio sesarea emergensi, yaitu ketika kondisi pada masa persalinan
membutuhkan proses persalinan yang cepat.
Klasifikasi seksio sesarea berdasarkan orientasi (transversal atau vertikal)
dan letak (segmen bawah atau atas) dari insisi uterus (Mariman & Chou, 2008):
1. Insisi transversal bawah (Kerr)
2. Insisi vertikal bawah (Sellheim atau Kronig)
3. Insisi klasik (Sanger)
Sumber: Mayo Clinic
Gambar 2.1. Metode insisi pada seksio sesarea
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
6
2.4.
Indikasi Seksio Sesarea Terencana
1. Kelainan letak/malpresentasi janin

Presentasi bokong (breech presentation)
Sumber: Pitkin et al., 2003
Gambar 2.2. Jenis-jenis presentasi bokong
Sekitar 4% dari seluruh kehamilan pertama merupakan presentasi bokong
(NCC-WCH, 2011). Proporsi presentasi bokong pada janin berkurang sesuai
dengan peningkatan usia kehamilan: 3% pada bayi cukup bulan, 9% pada bayi
dengan usia kehamilan 33-36 minggu, 18% pada bayi dengan usia kehamilan 2832 minggu, dan 30% pada bayi dengan usia kehamilan di bawah 28 minggu
(Thomas, et al., 2001). Pelaksanaan seksio sesarea pada kehamilan cukup bulan
dengan presentasi bokong memiliki penurunan risiko absolut (absolute risk
reduction) kematian perinatal/neonatus atau morbiditas berat pada neonatus
sebanyak 3,4%, dengan demikian, untuk setiap 29 seksio sesarea pada kehamilan
cukup bulan dengan presentasi bokong, 1 bayi akan terhindar dari kematian
ataupun morbiditas yang serius (NCC-WCH, 2011).

Letak lintang (transverse lie)
Kelainan letak lintang merupakan kasus yang cukup jarang. Sekitar 1 dari
300 kelahiran merupakan kelainan letak lintang. Mortalitas perinatal meningkat
dengan kelainan letak lintang, oleh karena komplikasi prematuritas, kelainan
kongenital, prolaps tali pusat, dan trauma pada saat persalinan. Mortalitas dan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
7
morbiditas ibu juga meningkat dan biasanya berhubungan dengan infeksi pasca
seksio sesarea dan perdarahan. (Vadhera & Locksmith, 2004)
Kelainan letak lintang hampir selalu merupakan indikasi seksio sesarea
(Cunningham, et al., 2010). Versi sefalik eksternal juga dapat dilakukan, akan
tetapi keberhasilan versi eksternal tidak menjamin keberhasilan persalinan
pervaginam oleh karena penyebab kelainan letak lintang biasanya juga
mempengaruhi proses persalinan. (O'Grady & Fitzpatrick, 2008)
Sumber: Mayo Clinic
Gambar 2.3. Kelainan letak lintang
2. Kehamilan multipel
Kehamilan multipel merupakan indikasi utama dari 1% kasus seksio
sesarea. Sekitar 59% dari seluruh kehamilan kembar dilahirkan dengan seksio
sesarea. Angka seksio sesarea bervariasi berdasarkan usia kehamilan, 60% wanita
dengan kehamilan kembar yang cukup bulan melahirkan dengan metode seksio
sesarea, sedangkan pada wanita dengan usia kehamilan di bawah 28 minggu,
angka kejadian seksio sesarea di bawah 29%. Dari seluruh seksio sesarea
terencana untuk kehamilan multipel, presentasi bokong untuk anak kembar
pertama merupakan indikasi yang paling banyak dilaporkan (14%). (Thomas, et
al., 2001)
3. Kelahiran prematur
Kehamilan prematur merupakan penyebab kematian neonatus yang paling
sering (Jain & Fleming, 2004). Kehamilan prematur berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
8
peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatus. Akan tetapi, peran seksio sesarea
dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas masih belum diketahui dengan pasti,
dan oleh karena itu, maka NICE Clinical Guideline menganjurkan bahwa seksio
sesarea tidak dilakukan secara rutin selain untuk konteks penelitian (2004). Data
ini juga didukung oleh penelitian pada tahun 2009 di Genewa University Hospital
yang mendapatkan bahwa morbiditas dan mortalitas bayi dengan kelahiran
prematur berhubungan dengan usia kehamilan, dan kelahiran dengan seksio
sesarea terencana justru memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan persalinan pervaginam terencana (Luca, et al., 2009).
4. Kecil untuk masa kehamilan (small-for-gestational age)
Janin-janin kecil untuk masa kehamilan berisiko mengalami lahir mati
(stillbirth), lahir dengan hipoksia, komplikasi neonatus, dan gangguan
perkembangan saraf. Namun kebanyakan bayi cukup bulan yang kecil untuk masa
kehamilan tidak memiliki morbiditas dan mortalitas yang siknifikan (NCC-WCH,
2011). Berdasarkan Green-top Guideline No.31 tahun 2013, belum ada RCT
(Randomized Clinical Trial) mengenai metode persalinan pada janin-janin kecil
untuk masa kehamilan. Namun untuk janin-janin dengan umbilical artery with
absent or reversed end-diastolic velocities disarankan untuk dilakukan seksio
sesarea (Royal College of Obstetrics and Gynecologists, 2013).
5. Plasenta previa
Plasenta previa merupakan indikasi utama untuk 3% kasus seksio sesarea
(Thomas, et al., 2001). Mayoritas plasenta letak rendah yang dideteksi pada usia
kehamilan 20 minggu akan mengalami perbaikan sempurna (NCC-WCH, 2008).
Seksio sesarea biasanya dilakukan apabila plasenta menutupi ostium interna pada
minggu ke-36 kehamilan (NCC-WCH, 2011). Seksio sesarea untuk indikasi
plasenta previa memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kehilangan
darah lebih dari 1000 mL dibandingkan dengan seksio sesarea untuk indikasi lain
(Thomas, et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
9
Sumber: Scearce & Uzelac, 2007
Gambar 2.4. Jenis-jenis plasenta previa. A: Marginal; B: Parsial; C: Totalis
6. Disproporsi sefalopelvik (cephalopelvic disproportion)
Disproporsi sefalopelvik adalah suatu keadaan di mana kepala janin terlalu
besar untuk melewati pelvis ibu (EGC, 1998). Disproporsi sefalopelvik dapat
terjadi karena kapasitas pelvis yang kurang, bayi yang terlalu besar, ataupun
gabungan kedua hal tersebut (Cunningham, et al., 2010).
Adanya penyempitan diameter-diameter pelvis yang mengurangi kapasitas
pelvis dapat menyebabkan distosia pada saat persalinan, baik pada pintu atas
panggul (pelvic inlet), midpelvis, ataupun pintu bawah panggul (pelvic outlet).
Diameter normal pelvis dapat dilihat pada gambar 2.5 dan 2.6. (Cunningham, et
al., 2010)
Sumber: Cunningham, et al., 2010
Gambar 2.5. Pelvis wanita yang menunjukkan diameter interspina dari pintu tengah panggul
(midpelvis) serta diameter anteroposterior dan transversal dari pintu atas panggul (pelvic inlet)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
10
Sumber: Cunningham, et al., 2010
Gambar 2.6. Diameter-diameter pintu bawah panggul (pelvic outlet)
Fraktur
pelvis
dapat
menyebabkan
penyempitan
panggul
akibat
pembentukan kalus atau malunion. Trauma akibat kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab paling sering dari fraktur pelvis. Adanya riwayat fraktur
pelvis pada wanita hamil memerlukan pemeriksaan radiografi yang lebih lanjut.
(Cunningham, et al., 2010)
Faktor-faktor yang menyebabkan janin yang besar adalah diabetes, faktor
genetik, kehamilan postterm, dan mutiparitas. Ukuran janin sendiri masih belum
bisa digunakan untuk memprediksi kejadian disproporsi sefalopelvik karena
sebagian besar kasus disproporsi masih berada dalam batas normal. Oleh karena
itu, faktor lain seperti malposisi kepala janin, berperan dalam menghalangi
penurunan janin melalui jalan lahir. Berbagai cara telah dikemukakan untuk
memprediksi kejadian disproporsi sefalopelvik dari ukuran kepala janin, namun
belum ada yang memberikan hasil yang akurat. (Cunningham, et al., 2010)
7. Transmisi ibu ke anak (mother-to-child transmission/MTCT)
 HIV
Penelitian-penelitian baru mengenai HIV berdasarkan perbedaan viral load
dan pengobatan antiretroviral menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada
MTCT antara seksio sesarea terencana dengan persalinan pervaginam
(Warszawski, et al., 2008; Islam, et al., 2010; Townsend, et al., 2008), namun
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
11
pada satu penelitian pada pasien dengan viral load <400 kopi/mL didapati
penurunan MTCT sebanyak 80% (Boer, et al., 2010). Hasil ini diduga diakibatkan
oleh dimasukkannya ibu yang tidak mendapatkan terapi antiretroviral sebagai
subjek penelitian, dan oleh karena itu, NICE Clinical Guideline (2011)
merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea pada ibu hamil yang tidak
mendapatkan terapi antiretroviral. Selain itu, karena rendahnya kualitas penelitian
mengenai MTCT maka NICE Clinical Guideline (2011) juga merekomendasikan
untuk menawarkan ibu hamil yang menjalani terapi antiretroviral dengan viral
load >400 kopi/mL untuk melakukan seksio sesarea.
 Virus hepatitis B
Penemuan imunoglobulin dan vaksin hepatitis B menurunkan angka
kejadian MTCT (NCC-WCH, 2011). Kebanyakan MTCT terjadi pada saat lahir
atau postnatal. Transmisi pada saat lahir mungkin diakibatkan oleh mikroperfusi
darah ibu ke sirkulasi neonatus pada saat pemotongan placenta atau tertelannya
darah ibu, cairan amnion, atau sekret vagina pada saat persalinan pervaginam
(NCC-WCH, 2011). Berdasarkan systematic review yang dilakukan oleh Yang
dkk. (2008) didapati bahwa seksio sesarea terencana dapat menurunkan angka
MTCT dari virus hepatitis B (seksio sesarea elektif: 10,5%; pervaginam: 28,0%)
dan hasil tersebut signifikan menurut statistik (RR 0.41, 95% CI 0.28 to 0.60, P <
0.000001). Akan tetapi, kemungkinan biasnya cukup tinggi dikarenakan belum
adanya RCT untuk penelitian ini.
 Virus hepatitis C
Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa seksio sesarea tidak
mengurangi angka MTCT untuk ibu dengan virus hepatitis C dengan HIV negatif
(Cottrell, et al., 2013; Ghamar Chehreh, et al., 2011; European Paediatric
Hepatitis C Virus Network, 2001). Akan tetapi, penelitian secara prospektif di
Jepang mendapatkan hasil yang sebaliknya (Murakami, et al., 2012). Seksio
sesarea yang dilakukan pada ibu dengan hepatitis C dan HIV positif dapat
menurunkan kejadian MTCT (European Paediatric Hepatitis C Virus Network,
2001).
 Genital herpes simplex virus
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
12
Infeksi herpes simplex virus (HSV) genital merupakan suatu infeksi
menular seksual ulseratif yang dapat berulang dan berhubungan dengan
morbiditas fisik dan psikologis. HSV pada neonatus dapat menyebabkan penyakit
sistemik berat dan berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. HSV pada
neonatus dapat disebabkan oleh kontak antara bayi baru lahir dengan jalan lahir
ibu yang terinfeksi (NCC-WCH, 2011).
Adanya lesi pada daerah genital dan/atau tes positif untuk virus HSV pada
saat persallinan merupakan indikasi untuk seksio sesarea (Sauerbrei & Wutzler,
2007). NICE Clinical Guideline menganjurkan bahwa setiap infeksi genital HSV
primer yang berlangsung pada trimester ketiga untuk dilakukan seksio sesarea
terencana karena dapat menurunkan risiko infeksi HSV pada neonatus (NCCWCH, 2011).
8. Permintaan ibu
Secara umum, seksio sesarea merupakan prosedur yang aman, terutama
apabila sudah direncanakan sebelumnya. Angka seksio sesarea terus meningkat di
seluruh dunia, dengan peningkatan proporsi yang dilakukan atas permintaan ibu
dibandingkan dengan atas indikasi obstetri.
Dari berbagai studi dalam NICE Clinical Guideline, terdapat berbagai
alasan mengapa seorang ibu memilih untuk menjalani seksio sesarea. Dalam studi
tersebut, terdapat hubungan yang konsisten antara preferensi untuk seksio sesarea
dengan seksio sesarea sebelumnya, pengalaman buruk dalam persalinan
sebelumnya, komplikasi pada kehamilan saat ini, dan takut akan persalinan.
(NCC-WCH, 2011)
Diperkirakan sekitar 6-10% wanita hamil mengalami rasa takut akan
kehamilan. Rasa takut yang berhubungan dengan persalinan, seperti rasa sakit,
cedera obstetri, seksio sesarea tidak terencana, petugas kesehatan dan efek pada
kehidupan rumah tangga paling banyak dilaporkan pada wanita primipara dan
yang tidak menjalani pelayanan antenatal dibandingkan dengan wanita multipara.
Seksio sesarea terencana berhubungan dengan rawat inap yang lebih lama dan
angka ibu yang masih menyusui yang lebih sedikit pada bulan ketiga
dibandingkan dengan persalinan pervaginam terencana. (NCC-WCH, 2011)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
13
9. Kelainan kongenital
Dengan perkembangan teknologi ultrasound, semakin banyak kelainan
kongenital yang dapat dideteksi pada antenatal care. Dengan perkembangan
bedah neonatus dan angka kehidupan pada bayi dengan kelainan kongenital, maka
perlu ditentukan metode persalinan yang paling tepat apabila seorang janin diduga
abnormal (O'Grady & Fitzpatrick, 2008). Dalam pengambilan keputusan harus
dipertimbangkan apakah:

kelainan janin dapat mengakibatkan distosia.

mortalitas dan morbiditas janin ditingkatkan oleh persalinan pervaginam.

persalinan yang direncanakan dapat mencegah perburukan kondisi janin.

janin dapat bertahan hidup.

diperlukan intervensi medis atau bedah pada saat lahir.
Prognosis janin dengan kelainan kongenital tidak dapat diprediksi
sepenuhnya meskipun dengan evaluasi antepartum yang sangat baik sekalipun.
Dokter dan pasien lebih memilih persalinan perabdominal atas dasar
pertimbangan emosi dan ketidakpastian. Kondisi janin yang mungkin dapat
memperoleh manfaat dari seksio sesarea (O'Grady & Fitzpatrick, 2008):

hidrosefalus stadium lanjut dengan atau tanpa kelainan tabung saraf
(neural tube defect) terbuka

hernia diafragmatika

teratoma sacrococcygeal yang besar

aritmia jantung yang refrakter terhadap pengobatan

osteogenesis imperfecta

kembar siam

kelainan dinding abdomen (misalnya gastroschisis dan omphalocele)
10. Kelainan atau penyulit pada ibu
-
Obesitas
Obesitas merupakan penyebab berbagai morbiditas ibu (Cunningham, et
al., 2010). Weiss dkk. (2004) melaporkan bahwa risiko seksio sesarea pada wanita
obese kelas 1 (IMT: 30-35) sebesar 33,8% dan obese kelas 2 (IMT: 35-40) sebesar
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
14
47,8%. Selain itu, data dari Sebire dkk. (2001) menunjukkan bahwa wanita
overweight (IMT: 25-29,9) memiliki risiko 1,2 kali lebih besar untuk menjalani
seksio sesarea elektif dibandingkan dengan normal dan 1,4 kali lebih besar untuk
wanita obese (IMT>30).
-
Kelainan kardiovaskular
Pasien dengan kelainan kardiovaskular tidak dapat mentoleransi
perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada masa kehamilan. Umumnya, ibu
hamil dengan kelainan kardiovaskular masih dapat menjalani persalinan
pervaginam, tetapi harus dengan penanganan nyeri yang efektif dan alat bantu
baik forsep atau vakum untuk mempersingkat proses persalinan yang dapat
memperberat kondisi ibu. Seksio sesarea disarankan apabila terdapat indikasi
obstetri pada ibu. (Cunningham, et al., 2010)
Seksio sesarea direkomendasikan pada pasien dengan aneurisma serebri
atau malformasi arteri vena. Persalinan pervaginam dapat dilakukan setelah
perbaikan dari malformasi arteri vena apabila tidak terdapat hipertensi, dan perlu
penggunaan forsep atau vakum untuk mengurangi beban usaha pasien. Tidak
banyak data yang dapat mendukung rekomendasi tersebut dan masih belum ada
penelitian prospektif mengenai hal ini. (O'Grady & Fitzpatrick, 2008)
-
Kelainan jaringan ikat
Marfan syndrome merupakan suatu kelainan autosomal dominan pada
jaringan ikat dengan defek pada gen yang mengkode fibrillin pada kromosom 15
yang berhubungan dengan pembentukan elastin normal. Prevalensi Marfan
syndrome berkisar antara 7 sampai 17 dari 100.000 orang. Kelainan ini
bermanifestasi pada skeletal, okuler, dan kardiovaskular. Apabila tidak dijumpai
kelainan kardiovaskular, maka persalinan pervaginam dapat dilakukan dengan
anestesi epidural. Apabila dijumpai kelainan kardiovaskular, maka perlu
dilakukan seksio sesarea oleh karena risiko terjadinya diseksi aorta. (O'Grady &
Fitzpatrick, 2008)
Ehlers-Danlos syndrome (EDS) merupakan suatu kelainan autosomal
dominan pada jaringan ikat dengan defek pada gen yang mengkode kolagen atau
enzim yang memodifikasi kolagen. Insidensi dari EDS diperkirakan sekitar 1
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
15
dalam 100.000 kelahiran. Keparahan dari EDS pada kehamilan bergantung pada
tipenya. Pada kasus EDS tipe 4 yang parah di mana aborsi tidak dilakukan,
biasanya direncanakan untuk dilakukan seksio sesarea setelah minggu ke-32 untuk
menghindari ruptur uteri atau pembuluh darah akibat kontraksi uterus.
-
Kanker serviks
Metode persalinan yang tepat untuk kanker serviks masih kontroversial,
terutama untuk lesi stadium awal (stadium I dan II). Persalinan perabdominal
lebih disukai oleh karena adanya teori yang menyatakan bahwa tumor dapat
menyebar apabila terjadi robekan pada serviks. Selain itu, lesi yang besar dapat
mengalami
perdarahan
yang
siknifikan
dengan
persalinan
pervaginam.
(Cunningham, et al., 2010)
-
Cedera medulla spinalis (spinal cord injury)
Ibu hamil dengan lesi di atas T6 berisiko untuk mengalami autonomic
hyperreflexia. Pada kondisi ini, adanya stimuli (persalinan, kateterisasi urin,
pemeriksaan serviks atau rektum) dapat memicu refleks fokal yang tidak dihambat
oleh sistem saraf pusat, yang mengakibatkan stimulasi dari sistem saraf simpatis.
Diperlukan anestesi epidural untuk mengatasi kondisi tersebut. Pada beberapa
pasien
dengan
cedera
medulla
spinalis,
persalinan
pervaginam
masih
memungkinkan oleh karena kekuatan kontraksi uterus masih cukup untuk
mengeluarkan kepala janin sehingga dapat dilanjutkan dengan bantuan alat seperti
forsep ataupun vakum. (Malee, 2003)
-
Kelainan hematologis
Penanganan ibu hamil dengan autoimmune thrombocytopenia (ATP)
masih menjadi kontroversi. Dulu, seksio sesarea dilakukan pada semua wanita
dengan ATP karena adanya laporan-laporan perdarahan intrakranial yang
diakibatkan oleh persalinan pervaginam. Oleh karena risiko perdarahan pada janin
dengan jumlah platelet lebih dari 50.000 per mL sangat rendah, maka beberapa
ahli merekomendasikan seksio sesarea pada janin dengan jumlah platelet di bawah
50.000 per mL. (Malee, 2003)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
16
2.5.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Peningkatan Kejadian
Seksio Sesarea Terencana
Beberapa alasan yang mungkin menyebabkan peningkatan kejadian seksio
sesarea terencana adalah sebagai berikut.
Rata-rata umur ibu semakin meningkat dan wanita yang lebih tua,
terutama nullipara, memiliki risiko lebih tinggi terhadap seksio sesarea. Wanita
saat ini juga memiliki anak lebih sedikit, sehingga dari seluruh kelahiran, lebih
banyak di antaranya merupakan nullipara yang berisiko untuk menjalani seksio
sesarea (Cunningham, et al., 2010). Penelitian di Oman mendapatkan bahwa
77,2% dari ibu yang menjalani seksio seksarea berumur 25 tahun ke atas
(OR=1.42) (Al Busaidi, et al., 2012).
Seksio sesarea terencana semakin banyak dilakukan untuk berbagai
indikasi termasuk pertimbangan cedera dasar panggul yang berhubungan dengan
persalinan pervaginam, kelahiran prematur sebagai indikasi medis, mengurangi
risiko cedera janin, dan permintaan pasien. Hampir semua janin dengan presentasi
bokong dilahirkan dengan metode seksio sesarea. Berkurangnya penggunaan
forsep dan vakum, serta persalinan pervaginam pasca seksio sesarea (vaginal birth
after cesarean) juga berperan dalam peningkatan kejadian seksio sesarea.
(Cunningham, et al., 2010)
Prevalensi obesitas meningkat secara siknifikan di seluruh dunia. Obesitas
berhubungan dengan berbagai morbiditas ibu yang meningkatkan risiko seksio
sesarea, seperti diabetes mellitus, hipertensi, makrosomia, dan sebagainya.
(Cunningham, et al., 2010)
2.6.
Komplikasi Seksio Sesarea Terencana
Komplikasi pasca operasi yang dapat terjadi (Mariman & Chou, 2008):
1. Endomiometritis
a. Rata-rata insidensi endomiometritis adalah 34% sampai 40%
b. Faktor risiko termasuk status sosioekonomi rendah, persalinan yang
lama, ketuban pecah dini yang berlangsung lama, dan jumlah
pemeriksaan vagina.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
17
c. Etiologi infeksi biasanya polimikrobial.
d. Penggunaan antibiotik profilaksis pada saat pelaksanaan prosedur
mengurangi insidensi. Dengan penggunaan antibiotik spektrum luas,
insidensi dari komplikasi yang serius seperti sepsis, abses pelvis dan
septic thrombophlebitis, kurang dari 2%.
2. Infeksi saluran kemih
a. Infeksi saluran kemih merupakan komplikasi infeksi kedua terbanyak
pasca seksio sesarea setelah endomiometritis. Insidensi bervariasi dari
2% sampai 16%.
b. Risiko infeksi saluran kemih dapat dikurangi dengan persiapan pasien
yang baik dan meminimalisir durasi penggunaan kateter.
3. Infeksi pada luka (wound infection)
a. Insidensi infeksi pada luka pasca seksio sesarea berkisar antara 2,5%
sampai 16%.
b. Faktor risiko termasuk proses persalinan yang lama, ketuban pecah
dini, amnionitis, obesitas, anemia, dan diabetes mellitus.
c. Bakteri
yang
sering
diisolasi
adalah
Staphylococcus
aureus,
Escherichia coli, Proteus mirabilis, Bacteroides sp., dan streptokokus
grup B.
4. Kelainan tromboembolik
a. Insidensi kelainan tromboembolik sekitar 0,24% dari seluruh
kelahiran, dan deep vein thromboses terjadi tiga sampai lima kali lebih
sering setelah seksio sesarea.
b. Diagnosa dan penanganan sama dengan pada wanita yang tidak hamil.
Diagnosa dan penanganan yang cepat mengurangi risiko terjadinya
komplikasi emboli pulmonal sebanyak 4,5% dan kematian sebanyak
0,7%.
5. Cesarean hysterectomy
a. Histerektomi setelah seksio sesarea merupakan suatu prosedur
emergensi yang terjadi pada kurang dari 1% kasus seksio sesarea.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
18
b. Indikasinya meliputi uterus atonik (43%), plasenta akreta (30%),
ruptur uteri (13%), ekstensi dari insisi melintang rendah (low
transverse incision) (10%), leiomioma yang menghambat penutupan
uterus, dan kanker serviks.
6. Ruptur uteri pada kehamilan berikutnya
a. Risiko ruptur dari bekas operasi sesar (scar) sebelumnya bervariasi
bergantung pada lokasi insisinya.
i. Low transverse scar: kurang dari 1%
ii. Low vertical scar: 0,5% - 6,5%
iii. Classic scar: 10%
b. Pemisahan dari bekas operasi uterus dapat dikategorikan menjadi
dehiscence atau ruptur
i. Dehiscence merupakan suatu pemisahan scar asimptomatik yang
biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada saat seksio sesarea
berulang atau pada saat palpasi setelah kelahiran pervaginam.
ii. Ruptur uteri merupakan suatu kejadian yang mengancam jiwa
dengan pemisahan scar uterus secara tiba-tiba dan ekspulsi dari isi
uterus ke cavum abdomen. Gawat janin biasanya merupakan tanda
awal dari ruptur, diikuti dengan nyeri abdomen yang hebat dan
perdarahan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Download