3 Gambar 1. Kinerja Keuangan BUMN (Kementerian BUMN, 2013) Berdasarkan beberapa aspek finansial seperti aset, ekuitas, pendapatan usaha, laba tahun berjalan (konsolidasi), dividen, serta pajak pada Badan Usaha Milik Negara secara konsisten mengalami peningkatan sejak 2008 hingga 2012. Sejalan dengan meningkatnya kinerja keuangan, kinerja operasional Badan Usaha Milik Negara pun turut meningkat terutama kualitas pelayanan publik. Peningkatan kinerja yang dicapai pada periode seperti yang tergambar sebelumnya tidak terjadi di tahun 2013. Berdasarkan hal tersebut, rapat internal dilakukan oleh Menteri BUMN dengan Direktur Utama seluruh BUMN, untuk membahas dan mengevaluasi kinerja dan laporan keuangan BUMN selama semester pertama dan kedua. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa pada semester pertama (periode Januari hingga Juni 2013) perolehan laba BUMN menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Hal yang sama terjadi pada semester kedua (periode juli hingga desember 2013). Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa kinerja BUMN di tahun 2013 memang mengalami 4 penurunan (Ariyanti, 2013; Dhany, 2013; JPNN, 2013). Penurunan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang bersifat eksternal maupun internal. Faktorfaktor eksternal yang menyebabkan menurunnya kinerja BUMN antara lain meliputi ketidakstabilan ekonomi global, gejolak kurs, anjloknya harga saham serta realisasi tender yang terhambat (Ariyanti, 2013; Dhany, 2013; JPNN, 2013). Sementara faktor-faktor internal meliputi kurangnya upaya perusahaan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki, kurangnya kemampuan pemimpin dan kurangnya pemahaman terhadap perusahaan termasuk seluk beluk bisnis yang dikendalikannya, kurangnya perusahaan dalam memperhatikan karyawan, dan kurangnya semangat sebagian karyawan dalam bekerja (Putra & Mohamad, 2013). Data dan gambaran sebagaimana tersebut sebelumnya menunjukkan bahwa beban yang dipikul Badan Usaha Milik Negara sangatlah berat. Kinerja menjadi fokus utama yang harus selalu ditingkatkan meskipun rentan dengan berbagai gejolak yang mungkin terjadi secara global. Kinerja yang unggul dapat dicapai melalui kinerja tinggi dari individuindividu seluruh karyawan, hal ini berdasarkan pada kinerja individu akan sangat mempengaruhi kinerja tim, sub-bagian, bagian, divisi dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja organisasi atau perusahaan. Dalam hal ini kinerja karyawan menjadi unsur yang penting dalam pencapaian tujuan perusahaan (Eoh, 2001). Becker, Huselid, dan Ulricjh (2006) menambahkan bahwa perbaikan kinerja karyawan secara individual akan secara otomatis meningkatkan kinerja organisasi. Pemahaman mengenai kinerja terbagi ke dalam dua definisi, yaitu kinerja didefinisikan sebagai tindakan yang menjadi cerminan hasil perilaku dan juga kinerja sebagai hasil kerja. Definisi kinerja yang dipandang sebagai hasil kerja menjelaskan hasil kerja sesuai dengan bidang pekerjaan secara spesifik sebagai manifestasi dari penggunaan kemampuan yang dimiliki, usaha yang dilakukan, dan kesempatan yang diperoleh (Bernadin & Russel, 1998) serta terkait dengan tujuan organisasi seperti kualitas, efisiensi, dan kriteria efektivitas lainnya yang dicapai selama periode tertentu melalui usaha yang membutuhkan kemampuan dan keterampilan serta pengalaman (Gibson, Ivancevich, & 5 Donnelly, 1997; Cascio, 2003; Robbins, 2005; Schermerhorn, 2005). Sementara definisi kinerja sebagai perilaku menjelaskan perilaku karyawan yang mengacu pada konteks pekerjaan yang menjadi tanggung jawab serta sesuai dengan relevansinya terhadap tujuan organisasi (Sonnentag & Frese, 2000; Sinha, 2012). Konsep mengenai kinerja ini dibedakan menjadi aspek perilaku dan aspek hasil (Sonnentag & Frese, 2000). Berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Borman dan Motowidlo (1993) bahwa kinerja sebagai perilaku yang dilihat berdasarkan task performance dan contextual performance. Task performance merupakan penguasaan individu terkait dengan tugas dan tanggung jawab yang ditunjukkan pada bagaimana karyawan melakukan kerja dalam rangka core business perusahaan juga sebagai kemampuan yang dimiliki dan digunakan dalam bekerja (Sonnentag & Frese, 2002). Kontribusi ini dapat bersifat langsung (seperti yang dilakukan pekerja dalam bidang produksi) maupun tidak langsung (seperti yang dilakukan pihak manajerial, termasuk staf personel dan manajer). Yang menjadi pengukuran dalam task performance ini adalah perilaku yang diperlukan dalam pelayanan kepada pelanggan (customer-oriented behavior), komunikasi baik lisan maupu tertulis, pengembangan bawahan, mengajukan saran dan melakukan inovasi (Borman & Motowidlo, 1993). Contextual performance merupakan aktivitas yang tidak berkontribusi dalam core business perusahaan tetapi sangat mendukung kegiatan perusahaan, lingkungan kerja, dan lingkungan psikologis yang mengiringi tercapainya tujuan perusahaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa contextual performance sebagai penerapan perilaku yang memiliki tujuan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dalam pencapaian target kinerja (objective outcomes) perusahaan saat ini dan juga perilaku proaktif yang bertujuan mengubah dan memperbaharui prosedur kerja dan proses kerja serta meningkatkan motivasi (Sonnentag & Frese, 2002). Selain perilaku dan motivasi, contextual performance juga termasuk mengajukan saran mengenai bagaimana meningkatkan prosedur kerja. Untuk mengukur contextual performance pada tingkat individu, dapat dilihat dari faktor-faktor seperti, membantu rekan kerja (helping coworkers), menjaga rahasia organisasi (protecting organization), 6 mengambil peran (taking charge), inisiatif individu (personal initiative), dan mengutamakan kepentingan orang lain yang memerlukan (altruism) (Borman & Motowidlo, 1993). Pengukuran kinerja lainnya yang kerap dilakukan dengan menggunakan metode-metode yang bersifat formal, seperti metode skala penilaian grafik, metode peringkatan alternasi, metode perbandingan berpasangan, metode distribusi paksa, metode insiden kritis, skala penilaian berjangkarkan perilaku (BARS : behaviorally anchored rating scale), formulir naratif (Grote, 1996; Dessler, 1997), assesment centre, management by objective (MBO), serta human asset accounting (Gomes, 2003). Berbicara mengenai kinerja adalah berbicara mengenai hasil yang harus dicapai dan hal ini sangat tergantung pada kualitas rencana strategis yang dipilih, kualitas proses yang dilakukan, serta sumber daya yang dimiliki termasuk di dalamnya kecukupan dan kapabilitas sumber daya manusia, dukungan teknologi informasi, organisasi yang lincah/gesit dan sumber daya lainnya. Mengacu pada Malcolm Baldridge yang menjadi tolak ukur dalam memotret kualitas dari suatu organisasi (Winn & Cameron, 1998), kinerja sangat ditentukan oleh 2 (dua) tried yaitu kepemimpinan (1, 2 dan 3) dan hasil (5, 6 dan 7). Gambar 2. Malcolm Baldrige Excellence Framework (Adaptasi dari NIST, 2014) 7 Uraian tersebut menunjukkan peranan leader menjadi sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya perusahaan. Kepemimpinan profesional diharapkan dapat berfokus pada rencana strategis dan pelanggan, yang pada akhirnya mampu menunjang ketercapaian kinerja yang unggul. Penjelasan tersebut berdasarkan pada data empirik yang menunjukkan bahwa kepemimpinan profesional mendukung peningkatan kinerja (Kearney, 1997). Kepemimpinan yang profesional menerapkan gaya kepemimpinan yang memiliki visi yang jauh ke depan, menunjukkan komitmen dan keterlibatan dalam proses kerja (Kearney, 1997), mampu memotivasi perubahan, menciptakan atmosfer yang mampu menggerakkan komitmen seluruh anggota organisasi dalam mengerahkan energi berupaya bekerja bersama (Cummings & Worley, 2005). Gaya kepemimpinan menentukan tercapainya kinerja dari karyawan (Gibson, Ivancevich, & Donelly, 1997; Schermerhorn 2005; Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2008; Kreitner & Kinicki, 2010), yang mana penerapan gaya kepemimpinan yang tepat mampu menstimuli karyawan untuk bekerja lebih baik. Beberapa karakteristik yang demikian menunjukkan karakteristik dari gaya kepemimpinan transformasional, yang mana dewasa ini telah banyak diterapkan di beberapa organisasi seperti organisasi pemerintahan dan non pemerintahan di Jamaika (Golding, 2003), berbagai organisasi di Cina utara (Wang et al., 2005), rumah sakit di Amerika (Spinelli, 2006), organisasi berbasis teknologi di wilayah barat dan selatan Amerika (Peterson et al., 2009), perusahaan multinasional milik Belanda yang bergerak di bidang produk kesehatan, material, industri kimia, maupun produk nutrisi (Woerkom & De Reuver, 2009), perusahaan penerbangan Prancis (Charbonnier-Voirin, Akremi, & Vandenberghe, 2010) yang mana secara empirik mampu meningkatkan kinerja (Wang et al., 2011). Menurut kajian literatur yang dilakukan oleh Enceng dan Riandi (2013), kinerja organisasi BUMN dapat ditingkatkan melalui kepemimpinan transformasional, karena gaya kepemimpinan ini selain dapat memunculkan kinerja yang nilainya jauh melebihi ekspektasi (Hartanto, 2009) juga berkaitan dengan adanya proses pertukaran nilai-nilai seperti integritas yang mampu menstimuli pembenahan. Secara garis besar gaya kepemimpinan transformasional ini tidak hanya dapat memaksimalkan kinerja, 8 melainkan juga dapat mengembangkan karyawan dengan memperhatikan kebutuhan individual yang berupa kebutuhan psikososial yang tidak memiliki wujud materiil (Hartanto, 2009). Kepemimpinan transformasional dalam praktiknya mengembangkan beberapa perilaku seperti diungkapkan oleh Bass sebagai berikut (Bass & Avolio, 1995), intellectual stimulation atau stimulasi intelektual yaitu perilaku pemimpin yang membangkitkan kesadaran karyawannya mengenai permasalahan yang dihadapi sekaligus mendorong munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam menanggapi masalah organisasi, memberikan pencerahan mengenai keyakinan dan tata nilai dari pemimpin dan karyawan dalam rangka menyelaraskan tata nilai bersama guna mengatasi permasalahan yang dihadapi saat ini dan di masa depan (Schermerhorn 2005; Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2008; Hartanto, 2009; Kreitner & Kinicki, 2010); inspirational motivation atau motivasi inspirasional merupakan perilaku pemimpin dalam memunculkan inspirasi positif, yang mana akan membangkitkan motivasi internal (etos kerja) karyawan untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi perusahaan; idealized influence atau idealisasi pengaruh sebagai tindakan pemimpin membangun profil ideal yang memunculkan kekaguman, penghormatan, dan kepercayaan dari karyawan; individualized consideration atau konsiderasi pribadi yang mana dalam hal ini pemimpin „memanusiakan‟ karyawan dengan menunjukkan perhatian dan perlakuan yang humanis terhadap karyawannya sehingga karyawan akan memunculkan kapabilitas terbaiknya dalam bekerja. Memotret sejauh mana penerapan gaya kepemimpinan transformasional yang berjalan di organisasi dilakukan dengan memotretnya berdasarkan persepsi karyawan, yang diawali dengan pengamatan secara langsung oleh para karyawan (Hogan & Kaiser, 2005; Robbins, 2005) kemudian diikuti dengan melakukan evaluasi penilaian terhadap pemimpinnya (Kaiser, Hogan, & Craig, 2008). Hasil penilaian ini berfungsi sebagai refleksi kemampuan yang bersifat subyektif dalam mengukur persepsi masing-masing karyawan terhadap keefektivitasan pemimpinnya (Martin, 2011). Sebagaimana persepsi yang terbentuk melalui serangkaian proses pengolahan berdasarkan observasi secara langsung terhadap 9 perilaku pemimpin dalam organisasi dan masyarakat menjadikan persepsi individu terhadap kepemimpinan dipandang sebagai persepsi mengenai gaya kepemimpinan yang efektif (Nohria & Khurana, 2010). Dalam hal ini yang dimaksud pemimpin dalam Malcolm Baldrige merupakan jajaran tim manajemen yang menjadi penanggung jawab utama dalam penyelesaian tugas organisasi (Steel, 2013). Kepemimpinan transformasional sebagai faktor eksternal secara empirik memiliki keunggulan yang membawa dampak yang luar biasa positif bagi organisasi dan anggota organisasi di dalamnya. Dalam konteks organisasi kepemimpinan transformasional tidak hanya mampu memunculkan iklim kerja intelektual yang ramah dan etikal (Hartanto, 2009) tetapi juga menciptakan desain lingkungan kerja yang sehat dan positif yang mendorong karyawan untuk produktif dalam bekerja (Tavfelin, Hyvo¨ nen, & Westerberg, 2014). Di samping itu kepemimpinan transformasional ini turut menciptakan suasana kerja yang interaktif, saling mendukung penciptaan stabilitas dalam organisasi (Tavfelin, Hyvo¨ nen, & Westerberg, 2014) yang mana dengan adanya stabilitas yang dirasakan karyawan menjadikan kualitas kehidupan kerja yang tidak hanya dipersepsikan sebagai pemenuhan kebutuhan materiil tetapi juga kebutuhan psikososial dari karyawan. Sementara itu dalam konteks hubungannya dengan karyawan, kepemimpinan transformasional memiliki keunggulan antara lain mampu mereduksi kondisi negatif yang banyak dialami karyawan (Avey et al, 2008) yang mana karyawan merasa lebih diberdayakan dan akan mampu lebih memberdayakan dirinya sehingga berdampak pada minimnya atau berkurangnya intensi individu karyawan untuk berhenti dari pekerjaan. Di samping itu kepemimpinan transformasional membuat karyawan termotivasi bekerja dengan lebih baik (Belle, 2013) yang mana hal ini semakin membentuk persepsi positif karyawan terhadap organisasi. Di samping itu, kepemimpinan transformasional menciptakan atmosfer citizenship yang kuat pada karyawan sehingga karyawan merasa memiliki keterikatan dengan organisasi (Song et al., 2012). Dampak dari kepemimpinan transformasional berupa iklim kerja intelektual yang ramah dan etikal, suasana kerja yang interaktif, desain lingkungan kerja positif dan bersifat 10 membangun, stabilitas, keterikatan dan rasa kepemilikan individu karyawan terhadap organisasi tempat bekerja inilah yang merupakan kebutuhan psikososial bersama dengan kebutuhan materiil yang dipersepsikan sebagai kualitas kehidupan kerja. Dengan demikian kepemimpinan transformasional menjadikan kualitas kehidupan kerja sebagai motivator eksternal dalam memberikan peranannya terhadap kinerja. Selanjutnya kinerja akan sangat ditentukan oleh fokus tenaga kerja dan fokus operasi. Sehingga dalam hal ini faktor sumber daya manusia menjadi sangat penting di dalam menjalankan fokus operasi perusahaan dan menentukan di dalam pencapaian hasil/kinerja perusahaan dan profesionalisme menjadi tuntutan agar perusahaan dapat menjamin pencapaian hasil sesuai dengan yang diharapkan bahkan melebihi ekspektasi. Pencapaian kinerja perusahaan sangat tergantung pada kualitas individu-individu yang bekerja di dalamnya. Individu yang berkompeten secara teknis tidaklah cukup, diperlukan individu yang memiliki sikap dan perilaku yang diperlukan dalam menghadapai tantangan dan lingkungan kompetisi yang sengit. Modal sikap dan perilaku inilah yang dikenal dengan modal psikologis (psychological capital) yang merupakan faktor internal yang dimiliki individu karyawan yang sangat menentukan keberhasilan karyawan dalam mencapai target kinerja yang tinggi (Avey, 2007; Luthans et al., 2007; Luthans, Youssef, & Avolio, 2007; Youssef & Luthans, 2007; Luthans et al., 2008; Gooty et al., 2009; Avey et al., 2010; Walumbwa et al., 2010; Roberts et al., 2011; Mortazavi et al., 2012). Modal psikologis atau psychological capital sebagai bentuk kontribusi dari penelitian psikologi positif yang berfokus pada membangun kekuatan individu (Sheldon & King, 2001; Peterson & Seligman, 2004). Luthans kemudian mengembangkan modal psikologis ini sebagai kapasitas psikologis (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007; Luthans et al., 2007; Luthans et al., 2008; Gooty et al., 2009; Avey et al., 2010) diimplementasikan oleh individu karyawan di tempat kerja yang menjadi prediktor pencapaian kinerja yang lebih baik (Luthans et al., 2006; Luthans et al., 2007; Luthans et al., 2008; Gooty et al., 2009; Gottschalk, 2010). 11 Kapasitas psikologis ini diuraikan ke dalam empat komponen yang kemudian menjadi aspek-aspek dalam modal psikologis. Modal psikologis atau psychological capital sebagai definisi yang terpadu dan menyeluruh, mengidentifikasi perkembangan keadaan positif dari individu secara psikologis yang menyoroti karakteristik-karakteristik sebagai berikut (1) kepercayaan diri (self-efficacy) dalam berupaya mencapai keberhasilan dalam menghadapi tugastugas yang menantang, (2) menciptakan atribusi positif terhadap keberhasilan yang dicapai saat ini dan untuk masa depan (optimism), (3) ketekunan dalam mengambil langkah yang diperlukan demi tercapainya tujuan (hope), (4) mampu bertahan dalam menghadapi masalah dan kesulitan serta memiliki kemampuan „daya lenting‟ untuk mencapai keberhasilan (resilience) (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Hope merupakan kondisi motivasional yang terbentuk dari 2 (dua) elemen yang secara interaktif yang berasal dari perasaan akan keberhasilan meliputi agency yaitu energi yang terarah pada tujuan atau keinginan serta pathways yaitu jalan atau perencanaan untuk mencapai tujuan (Synder & Lopez, 2005; Luthans, Youssef, & Avolio, 2007; Youssef & Luthans, 2007; Luthans et al., 2008). Self-efficacy atau yang lebih dikenal dengan efikasi diri merupakan kepercayaan yang bersumber dari dalam diri individu untuk menggapai kesuksesan (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) dan menaklukan tugas spesifik dalam konteks tertentu (Luthans et al., 2007; Luthans et al., 2008), serta keyakinan diri dalam menggerakkan motivasi dan sumber daya kognitif (Avey et al., 2010) sebagai bentuk usaha yang dilakukan sehingga berdampak pada hasil (Gottschalk, 2010). Resilience sebagai kapasitas psikologis individu secara positif untuk merekahkan ikhtiar ketika individu karyawan dihadapkan pada cobaan ataupun kegagalan, konflik, dan bahkan hal positif sekalipun seperti perkembangan dan peningkatan tanggung jawab (Coutu, 2002; Avey, 2007; Luthans et al., 2006; Luthans et al., 2007; Youssef & Luthans, 2007; Luthans et al., 2008). Optimism didefinisikan sebagai “membuat atribusi internal yang relatif stabil dan global terkait dengan hal-hal positif seperti pencapaian tujuan dan atribusi eksternal yang relatif tidak stabil dan penyebab tertentu mengenai kejadian negatif seperti kegagalan dalam mencapai tujuan (Seligman, 1998; 12 Luthans, Youssef, & Avolio, 2007; Luthans et al., 2007; Youssef & Luthans, 2007; Luthans et al., 2008) dan merupakan cara individu dalam mempersepsikan kejadian yang baik maupun kejadian buruk (Gooty et al., 2009), serta pandangan positif pada pekerjaan dan potensi kesuksesan (Gottschalk, 2010). Modal psikologis menjadi faktor internal yang mencerminkan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh individu (Lewis, 2011) secara empiris berhubungan dengan sikap karyawan, perilaku karyawan, dan kinerja yang mengarah pada tujuan pengembangan (Luthans, Luthans, & Avey, 2014). Modal psikologis yang dikembangkan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan kerja dan kinerja (Nguyen & Nguyen, 2012). Modal psikologis yang baik mendorong penciptaan kualitas kehidupan kerja yang baik. Dalam hal ini modal psikologis berfungsi sebagai personality trait yang dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan (Luthans et al., 2008) yang akan mempersepsikan kualitas kehidupan kerja secara lebih bermakna (Nguyen & Nguyen, 2012). Kualitas kehidupan kerja dipandang secara positif yang akan mendorong individu karyawan untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi sehingga menghasilkan kinerja yang optimal. Kualitas kehidupan kerja atau quality of work life melihat tingkat keefektifan organisasi dalam merespon kebutuhan-kebutuhan karyawan sebagai anggota organisasi (Walton, 1973), memotret kondisi yang menguntungkan dan lingkungan tempat kerja yang mendukung yang mana mampu meningkatkan kepuasan karyawan dengan menyediakan penghargaan, keamanan kerja, dan kesempatan pengembangan (May, Lau, & Johnson, 1999), strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan meningkatkan kondisi kerja karyawan dan perusahaan serta keuntungan untuk pemberi kerja (Lau, 2000), persepsi karyawan mengenai tidak hanya kesejahteraan fisik tetapi juga kesejahteran mental di tempat kerja diukur berdasarkan perasaan yang dimiliki karyawan terhadap pekerjaan mereka, rekan kerja, dan perusahaan yang berdampak pada peningkatan pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan, yang turut menunjukkan reaksi emosional positif dan sikap yang dimiliki individu terhadap pekerjaannya (Cascio, 2003), serta menjadi 13 filosofi atau seperangkat prinsip yang menyatakan bahwa individu dapat dipercaya, bertanggung jawab dan mampu berkontribusi bagi perusahaan (Rose et al, 2006). Selain itu kualitas kehidupan kerja sebagai perasaan dari individu karyawan yang dialami terkait dengan kondisi tempat kerja secara keseluruhan (Thapisa, 1989; Lau, 2000; Fitzsimmons, 2002; Markham, 2010; Shahbazi et al, 2011; Aketch et al., 2012), sehingga dalam hal ini kualitas kehidupan kerja menjadi potret kondisi yang dialami individu karyawan dalam perusahaan. Beberapa definisi tersebut membawa pada kesimpulan bahwasanya kualitas kehidupan kerja selaras dengan konsep kepemimpinan transformasional yang mengedepankan karyawan sebagai aset berharga di organisasi diwujudkan dalam bentuk adanya program pemenuhan kebutuhan karyawan. Program ini merupakan sekelompok praktek dan kondisi obyektif dari organisasi (Cascio, 2003) yang menjadi perwujudan organisasi dalam memperhatikan tidak hanya pada kebutuhan materiil karyawan tetapi juga kebutuhan psikososialnya (Hartanto, 2009) dalam rangka memotivasi karyawan untuk memaksimalkan kinerja. Penjabaran definisi yang telah dikemukakan tersebut membentuk model kualitas kehidupan kerja, sebagaimana yang diungkapkan oleh Herrick dan Maccoby (1970) dalam mengidentifikasi kualitas kehidupan kerja berdasarkan empat aspek, yang selanjutnya menjadi aspek dalam penelitian ini. Aspek pertama yaitu security yang memiliki indikator antara lain kesesuaian jam kerja dengan kondisi kerja, lingkungan kerja yang aman dan sehat atau keamanan kerja Selanjutnya aspek kedua yaitu equity yang dimaksudkan sebagai kewajaran atau keadilan dalam pengupahan yaitu pemberian kompensasi yang sesuai dengan kontribusi karyawan terhadap nilai produk atau layanan dan tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, serta kepuasan terhadap sistem pengupahan (Herrick & Maccoby, 1970; Darabi et al., 2013). Aspek berikutnya sebagai aspek ketiga yaitu individuation yang merupakan pertimbangan terhadap pengembangan dan pertumbuhan karyawan dari sisi kemampuan, keahlian, dan kapasitas untuk meningkatkan kualitas diri melalui pembelajaran yang diperoleh, kebermaknaan masa depan di tempat kerja, dan pengembangan karir pribadi melalui penawaran program training. Berangkat kepada aspek yang menjadi aspek terkhir yaitu 14 democracy, yang mana dalam aspek ini karyawan bebas dari ketakutan akan adanya tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kekusaan di perusahaan. Karyawan juga memandang perlunya diberikan kesempatan untuk didengarkan, dilibatkan dalam pengambilan keputusan serta mengutarakan pendapat yang relevan dengan peningkatan kualitas organisasi, selain sebagai bentuk demokrasi juga sebagai kapasitas karyawan untuk belajar dan mengembangkan diri (Robbins, 2005; Schermerhorn, 2005). Berdasarkan penjabaran sebelumnya menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti modal psikologis (Avey, 2007; Luthans et al., 2007; Luthans et al., 2008; Gooty et al., 2009; Avey ert al., 2010; Walumbwa et al., 2010; Roberts et al., 2011; Mortazavi et al., 2012), kepemimpinan transformasional (Wang et al., 2005; Woerkom & de Reuver, 2009; Charbonnier-Voirin et al., 2010; Wang et al., 2011), dan kualitas kehidupan kerja (Thapisa, 1989; Lau, 2000; Fitzsimmons, 2002; Schermerhorn, 2005; Aketch et al., 2012) menunjang kontribusi terhadap peningkatan kinerja. Di samping itu terdapat beberapa faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh terhadap kinerja seperti kompetensi (Mullins & Walker, 1996; Cooper, 2001), dukungan organisasi (Randall et al., 1999), budaya perusahaan (Ojo, 2009; Amran & Kusbramayanti, 2007; Bongso & Napitupulu, 2013), komitmen (Bongso & Napitupulu, 2013), kepuasan kerja (Argyle, 1972; Greene, 1982; Iaffaldano & Muchinsky, 1985; Judge et al., 2001; Bongso & Napitupulu, 2013), pengalaman (Labich, 1993), dan spiritualitas (Arnold, 2006). Penelitian tersebut telah terbukti secara empirik, namun lebih banyak terfokus di luar negeri. Dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa modal psikologis dan kepemimpinan transformasional yang dimediasi oleh kualitas kehidupan kerja mampu meningkatkan kinerja karyawan yang berdampak pada turut meningkatnya kinerja organisasi khususnya organisasi BUMN di Indonesia. Secara hipotetik seperti penjabaran sebelumnya, konseptual model penelitian dapat diilustrasikan melalui Gambar 3 sebagai berikut, 15 Gambar 3. Konseptual Model Penelitian Mengacu pada konseptual model penelitian pada Gambar 3, dikembangkan rumusan hipotesis penelitian sebagai berikut; 1 Terdapat pengaruh langsung positif modal psikologis dan kepemimpinan transformasional terhadap kinerja 2 Terdapat pengaruh langsung positif modal psikologis dan kepemimpinan transformasional terhadap kualitas kehidupan kerja 3 Terdapat pengaruh langsung positif kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja 4 Kualitas kehidupan kerja memediasi hubungan antara modal psikologis dan kepemimpinan transformasional terhadap kinerja Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan insight bagi organisasi BUMN dalam mengupayakan optimalisasi kinerja atau kinerja yang excellent bagi individu karyawan melalui modal psikologis, kepemimpinan transformasional, serta kualitas kehidupan kerja. METODE Subyek Penelitian Populasi karyawan berjumlah 373 subyek di PT PLN Persero Unit Distribusi Jawa Barat yang tersebar di Kantor Distribusi PT. PLN (Persero), APD, PT. PLN