Hubungan Laju Metabolik Istirahat Dan Faktor

advertisement
Hubungan Laju Metabolik Istirahat Dan Faktor-Faktor Lain Dengan
Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia Tahun 2014
I Gusti Agung Bayu Prabhawa Mukti, Asih Setiarini
Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara laju metabolik istirahat, aktivitas fisik, asupan zat
gizi, status merokok, dan tingkat stres dengan IMT pada mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia, tahun 2014. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan dilaksanakan pada bulan April
2014. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah mahasiswa laki-laki S1 Reguler Fakultas Ilmu Budaya
angkatan 2012 sebanyak 120 orang dari setiap jurusan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik selfadministrative dimana responden mengisi sendiri kuesioner yang diberikan, wawancara food recall 2x24 jam,
pengukuran berat badan dan tinggi badan, serta pengukuran laju metabolik istirahat. Analisa statistik
menggunakan uji korelasi dan uji t-independen. Hasil penelitian menunjukkan 39,2% responden masih
mengalami masalah terkait status gizi. Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara
laju metabolik istirahat dengan IMT dengan kekuatan korelasi (r = 0,861). Tingkat stres juga memiliki hubungan
yang signifikan dengan status gizi berdasarkan IMT dengan p-value = 0,006. Berdasarkan hasil tersebut
diharapkan mahasiswa, khususnya para remaja, dapat lebih memperhatikan keseimbangan energi antara energi
yang masuk melalui makanan yang dikonsumsi dengan energi yang dikeluarkan setiap hari yang berperan dalam
regulasi berat badan. Selain itu, mahasiswa juga diharapkan memiliki manajemen stres yang baik sehingga
membantu dalam mempertahankan atau mencapai status gizi yang ideal.
Resting Metabolic Rate and Other Factors In Relation To Body Mass Index In Male
Students of Faculty of Humanity University of Indonesia in 2014
Abstract
This study aims to determine the relationship between resting metabolic rate, physical activity, intake of
nutrients, smoking status, level of stress with nutritional status based on BMI in male students of Faculty of
Humanity, University of Indonesia, in 2014. This study used cross-sectional design and conducted in April 2014.
Samples used in the study were male students of Faculty of Humanity as many as 120 people from all study
program. Data collection was done by using self-administrative technique in which the respondent did the
questionnaire given by himself, 2x24 hour food recall interviews, measurements of weight and height, as well as
the measurement of resting metabolic rate. Statistical analysis that had been used is correlation test and tindependent test. The results indicated 39,2% of respondents experienced nutritional status issues, with 32,5%
had over nutrition status and 6,7% had under nutrition. The results of the bivariate analysis showed that there
was a significant and strong relationship (r = 0,861) between resting metabolic rate with BMI. Stress levels had
also showed a significant relationship with BMI (p-value = 0,0060). Based on the results college students,
especially teenagers, expected to pay more attention to the energy balance between energy intake through food
consumed with energy expended each day that play a role in body weight regulation. In addition, students are
also expected to have good stress management that helps in maintaining or achieving an ideal nutritional status.
Keywords : body mass index, resting metabolic rate, level of stress
1
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Pendahuluan
Masalah status gizi masih ditemukan di berbagai negara baik di negara miskin, negara
berkembang, maupun negara maju. Masalah terkait status gizi pada remaja di Indonesia terus
mengalami perubahan. Menurut Riskesdas (2013) prevalensi kejadian gizi lebih dan gizi
kurang pada penduduk usia ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 7,3% dan 9,4%. Provinsi DKI
Jakarta memiliki prevalensi gizi lebih dan gizi kurang lebih tinggi dibandingkan dengan
angka nasional dalam Riskesdas (2013). Masalah status gizi yang terjadi pada remaja
berkaitan dengan kebutuhan gizi yang tinggi yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan, gaya
hidup dan pola makan remaja, serta kerentanan remaja terhadap pengaruh dari lingkungan
sekitar (WHO, 2005). Status gizi lebih yang dialami remaja dapat meningkatkan risiko
timbulnya penyakit kardiovaskuler, seperti hipertensi, atherosclerosis (Maria, 2009), penyakit
jantung koroner, dan stroke (Baker, 2007). Disamping itu, status gizi kurang juga dapat
memberikan dampak negatif terhadap kesehatan, seperti terjadi penundaan pada pertumbuhan
dan kematangan fisik remaja (WHO, 2005) dan dapat menurunkan kapasitas kerja fisik
seseorang. Kapasitas kerja fisik yang rendah berkaitan dengan defisiensi zat besi dalam tubuh.
Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia yang berhubungan pada penurunan laju
transportasi oksigen (Haas, 2001).
Status gizi sangat erat kaitannya dengan keseimbangan energi (energy balance), yaitu antara
energi yang masuk (energy intake) dari asupan makanan dengan energi yang keluar (energy
expenditure) (Kurpad, 2005). Menurut Dunford (2012), total energi yang dikeluarkan dalam
sehari (total daily energy expenditure) ditentukan berdasarkan tiga komponen utama, yaitu
energi yang digunakan untuk aktivitas metabolisme tubuh (basal metabolik atau metabolisme
saat istirahat), efek termik makanan yang dikonsumsi, dan aktivitas fisik yang dilakukan.
Selain keseimbangan energi yang masuk dan keluar, status gizi juga dapat dipengaruhi oleh
gaya hidup seperti merokok dan tingkat stres. Beberapa studi cross-sectional menunjukkan
bahwa indeks massa tubuh pada perokok lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok
non-perokok (Williamson, 1991 & Chiolero, 2008). Stres juga dapat mempengaruhi status
gizi, dimana seseorang yang mengalami stres akan cenderung memilih makanan manis dan
berlemak tinggi (Dallman, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
laju metabolik istirahat (resting metabolic rate), aktivitas fisik, asupan zat gizi, status
merokok, dan tingkat stres dengan status gizi berdasarkan indeks massa tubuh.
2
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Tinjauan Teoritis
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat bantu yang paling sederhana untuk memantau
status gizi pada usia dewasa, terutama terkait status gizi kurang dan gizi lebih. IMT lebih
tepat digunakan dalam mengukur status gizi orang dewasa usia ≥ 18 tahun ke atas (Supariasa
et al., 2002). IMT diukur dengan membagi berat badan (dalam kg) dengan tinggi badan
(dalam m) yang dikuadratkan (Nooyens et al., 2007). IMT memiliki hubungan dengan persen
lemak tubuh yang dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, dan perbedaan etnis (Corazon
et al., 2004).
Pengeluaran Energi
Menurut Dunford (2012), total energy expenditure merupakan jumlah total energi yang
dibutuhkan tubuh dalam melakukan aktivitas selama satu hari (selama 24 jam). Umumnya
energi yang dikeluarkan dalam sehari disebut dengan total daily energy expenditure (TDEE).
Total energi yang dikeluarkan tubuh dalam sehari terdiri dari 3 komponen penting yaitu,
energi yang digunakan untuk aktivitas metabolisme tubuh (basal atau reting metabolic rate),
efek termogenesis dari makanan yang dikonsumsi, dan aktivitas fisik yang dilakukan. Laju
Metabolik menyumbang sekitar 70% dalam penggunaan energi dalam satu hari. Sedangkan
termogenesis makanan menggunakan kurang lebih 10% dan aktivitas fisik sebesar 20%. Laju
metabolik basal merupakan komponen terbesar dalam Total Energy Expenditure. Basal
Energy Expenditure (BEE) merupakan energi yang digunakan tubuh untuk mempertahankan
fungsi fisiologis tubuh dalam keadaan istirahat total. Resting Energy Expenditure (REE) lebih
besar 10% daripada BEE. Pengukuran Resting Metabolic Rate (RMR) umumnya dilakukan
pada responden dengan kondisi sadar penuh, dan 3 – 4 jam setelah makan atau setelah
melakukan aktivitas fisik (Dunford, 2012 & Insel, 2004).
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan pergerakan tubuh yang terjadi karena aktivitas otot-otot skeletal
sehingga menyebabkan terjadinya pengeluaran energi (Dugdill, 2009). Menurut Baecke
(1982) ada tiga aspek yang dapat menggambarkan tingkat aktivitas fisik seseorang, yaitu
kegiatan terkait pekerjaan, olahraga atau latihan fisik, dan kegiatan pada waktu luang.
Aktivitas fisik dan pola makan harus diperhatikan dalam usaha mempertahankan berat badan.
Asupan Zat Gizi
Untuk memelihara kesehatan dan mencapai status gizi optimal, tubuh perlu mengonsumsi
makanan sehari-hari yang mengandung zat gizi seimbang (Almatsier, 2006). Sebagian besar
3
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
energi berasal dari karbohidrat dan lemak, sedangkan protein digunakan untuk pertumbuhan
dan perbaikan sel yang rusak (Wiseman, 2002). Karbohidrat merupakan sumber energi utama
bagi manusia. Nilai energi karbohidrat adalah 4 kkal per gram, lemak dan minyak
menghasilkan 9 kkal per gram, sedangkan protein menghasilkan 4 kkal per gram (Almatsier,
2001). Keseimbangan energi antara energi yang masuk dari mengonsumsi makanan dengan
energi
yang
dikeluarkan
sangat
berperan
dalam
mempertahankan
berat
badan.
Ketidakseimbangan energi terjadi jika energi yang dikeluarkan (energy expenditure) lebih
besar daripada energi yang masuk melalui makanan (energy intake) yang disebut defisiensi
energi. Defisiensi yang dialami seseorang dapat berpengaruh pada penurunan berat badan
(Kurpad, 2005). Peningkatan berat badan terjadi karena penurunan pada penggunaan energy
(energy expenditure), peningkatan asupan energi (energy intake), atau keduanya (Pearcey,
2002).
Status Merokok
Rokok terbuat dari daun tembakau yang dikeringkan, berbagai macam zat adiktif, dan
penyaring. Rokok merupakan pabrik bahan kimia karena ditemukan lebih dari 5000 zat
terkandung di dalam sebatang rokok dan beberapa diantaranya merupakan zat karsinogen
(Aditama, 1992). Salah satu zat yang terdapat dalam rokok adalah nikotin. Nikotin dalam
rokok dapat meningkatkan energi yang digunakan saat istirahat (resting energy expenditure)
dan juga dapat menurunkan nafsu makan (Perkins, 1989). Oleh karena itu, perokok cenderung
memiliki berat badan lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok. Seseorang yang
berhenti merokok cenderung akan mengalami peningkatan berat badan (Williamson, 1991).
Peningkatan berat badan setelah berhenti merokok dapat disebabkan oleh peningkatan asupan
energi dan penurunan energy expenditure.
Stres
Stres merupakan salah satu faktor resiko seseorang dapat mengalami obesitas (Keith, 2006).
Selama stres, seseorang akan meningkatkan asupan kalori dan cenderung memilih makanan
yang tinggi karbohidrat dan lemak jenuh (Dallman, 2004). Menurut Epel (2001), stres dapat
meningkatkan reaktivitas kortisol yang dapat meningkatkan asupan kalori. Reaktivitas
kortisol ini berkaitan dengan hormon leptin, neuropeptide Y, sitokin, atau neurotransmiter
yang dapat mempengaruhi peningkatan nafsu makan. Selain itu, stres juga dapat
menyebabkan seseorang mengurangi asupan makannya akibat efek anorektik dari CRH
(Sapolsky, 1998).
4
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 120 mahasiswa S1 Reguler laki-laki dari setiap program studi di
Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2012. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan April tahun
2014. Sampel dipilih secara acak dan proporsional dari setiap program studi. Pengumpulan
data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik self-administrative, dimana
responden mengisi sendiri kuesioner yang diberikan. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian, yaitu timbangan digital (SECA), microtoise, BIA, Form Recall 2x24 jam, lembar
kuisioner. Variabel dependen yang diteliti adalah Indeks Massa Tubuh (IMT), sedangkan
variabel independen yang diteliti adalah laju metabolik istirahat, aktivitas fisik, asupan zat
gizi (energi, karbohidrat, lemak, protein), status merokok, dan tingkat stres. IMT diukur
dengan membagi berat badan (dalam kg) dengan tinggi badan (dalam m) yang dikuadratkan
(Nooyens et al., 2007). Laju metabolik istirahat diukur menggunakan BIA. Aktivitas fisik,
status merokok, dan tingkat stres diukur dengan menggunakan lembar kuisioner (Baecke,
1982; SKRRI, 2007; Nieuwenhuijsen, 2003). Untuk mengetahui asupan zat gizi responden
yang terdiri dari energi, karbohidrat, protein, dan lemak, dilakukan menggunakan teknik
wawancara Recall 2x24 jam yang dilakukan oleh peneliti dan enumerator (Almatsier,2006).
Dalam pengumpulan data primer, peneliti dibantu oleh 5 enumerator yang merupakan
mahasiswa gizi angkatan 2010 yang telah memiliki kemampuan dalam melakukan wawancara
recall 24 jam. Untuk analisis data dilakukan analisa univariat dan bivariat. Analisis univariat
digunakan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang
diteliti. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan dua uji yang
berbeda, yaitu uji korelasi dan uji t-independen.
Hasil Penelitian
Indeks Massa Tubuh
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Variabel
2
IMT (kg/m )
Mean
SD
Minimal-Maksimal
Median
23,79
5,56
15,48 – 43,42
22,26
Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa rata-rata IMT responden adalah sebesar 23,79 ±
5,56. Responden dengan IMT terendah adalah 15,48 dan IMT tertinggi adalah 43,42.
5
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)
Batas Ambang untuk
Laki-laki
< 17.0 kg/m2
17.0 – 23.0 kg/m2
23.0 – 27.0 kg/m2
> 27 kg/m2
Kurus
Normal
Kegemukan
Obesitas
Total
Sumber : Glosarium : Data & Informasi Kesehatan Depkes 2006
n
%
8
73
16
23
6,7
60,8
13,3
19,2
120
100
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa 39,2% responden mengalami massalah status gizi.
Responden yang memiliki status gizi lebih sebesar 32,5% dan status gizi kurang sebesar 6,7%.
Laju Metabolik Istirahat
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Laju Metabolik Istirahat (Resting
Metabolic Rate)
Variabel
Mean
SD
Minimal-Maksimal
Median
RMR (kkal)
1579
177
1199 – 2078
1550
Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa rata-rata laju metabolik istirahat responden adalah
sebesar 1579 ± 177. Responden dengan laju metabolik istirahat terendah adalah sebesar 1199
dan laju metabolik istirahat tertinggi sebesar 2078.
Aktivitas Fisik
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Total Skor Aktivitas Fisik Menurut
Kuisioner Baecke Physical Activity Scale
Variabel
Mean
SD
Minimal-Maksimal
Median
Aktivitas Fisik (skor)
7,95
1,11
4,87 – 10,87
7,94
Berdasarkan tabel 4, dapat dilihat bahwa rata-rata skor untuk aktivitas fisik responden adalah
sebesar 7,95 ± 1,11. Responden dengan skor untuk aktivitas fisik terendah adalah sebesar 4,87
dan skor untuk aktivitas fisik tertinggi sebesar 10,87.
6
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Asupan Zat Gizi
Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Zat Gizi
Variabel
Mean
SD
Minimal
Maksimal
Median
Energi (kkal)
1453
312
893
2149
1434
Karbohidrat (gram)
181,6
43,4
83,5
270,8
175,6
Lemak (gram)
57
17,3
25,7
104,1
55
Protein (gram)
51,3
12,8
23,4
85
50,6
Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat bahwa rata-rata asupan energi responden adalah sebesar
1453 ± 312 kkal. Asupan energi rata-rata terendah responden adalah sebesar 893 kkal dan
asupan energi rata-rata tertinggi responden sebesar 2149 kkal. Pada tabel 5 juga dapat dilihat
bahwa rata-rata asupan karbohidrat responden sebesar 181,6 ± 43,4 gram. Asupan karbohidrat
rata-rata terendah responden adalah sebesar 83,5 gram dan asupan karbohidrat rata-rata
tertinggi responden sebesar 270,8 gram. Sedangkan untuk rata-rata asupan lemak responden
sebesar 57 ± 17,3 gram. Asupan lemak rata-rata terendah responden adalah sebesar 25,7 gram
dan asupan lemak rata-rata tertinggi responden sebesar 104 gram. Begitu pula dengan ratarata asupan protein responden dapat dilihat pada tabel 5 yakni sebesar 51,3 ± 12,8 gram.
Asupan protein rata-rata terendah responden adalah sebesar 23,4 gram dan asupan protein
rata-rata tertinggi responden sebesar 85 gram.
Status Merokok
Status merokok dibagi menjadi dua kategori, yaitu merokok dan tidak merokok. Pada tabel 6
terlihat responden yang merokok sebanyak 50% dari total keseluruhan sampel. Selain status
merokok responden, hasil analisis juga menunjukkan bahwa rata-rata jumlah batang rokok
yang dihisap dalam satu hari adalah sebanyak 14 batang, sedangkan untuk usia pertama kali
responden merokok adalah pada usia 14 tahun.
Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Status Merokok
No.
1
2
Status Merokok
Merokok
Tidak merokok
Total
n
60
60
120
%
50
50
100
7
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Tingkat Stres
Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Skor Tingkat Stres
Variabel
Mean
SD
Minimal-Maksimal
Median
Tingkat Stres (skor)
15,82
5,76
0 - 40
16
Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata skor tingkat stres yang diperoleh responden setelah
sebesar 15,82 ± 5,76. Skor tingkat stres reponden yang terendah adalah sebesar 0 dan skor
tingkat stres reponden yang tertinggi sebesar 40. Stres kemudian dapat dikelompokkan ke
dalam 5 kategori seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.11:
Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Stres
No.
1
2
3
4
5
Tingkat Stres
Normal
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
Total
Sumber : Kuisioner DASS (Depression Anxiety Stress Scale).
Skor
0-14
15-18
19-25
26-33
>34
n
51
34
31
3
1
120
%
42,5
28,3
25,8
2,5
0,8
100
Pada tabel 8 terlihat bahwa responden yang berada dalam keadaan normal sebesar 42,5%
sedangkan 57,4% responden mengalami stres. Responden dengan tingkat stres ringan sebesar
28,3%, responden dengan tingkat stres sedang sebesar 25,8%, responden dengan tingkat stres
berat 2,5%, dan responden dengan tingkat stres sangat berat 0,8%.
Hubungan Laju Metabolik Istirahat dengan IMT
Tabel 9. Analisis Korelasi dan Regresi Laju Metabolik Istirahat dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT)
Variabel Independen
Variabel Dependen
r
R2
p-value
Laju Metabolik Istirahat
IMT
0,861
0,741
0,000
Berdasarkan tabel 9, dapat dilihat bahwa koefisien korelasi Pearson antara laju metabolik
istirahat dan indeks massa tubuh (IMT) adalah 0,861. Hubungan antara laju metabolik
istirahat dengan indeks massa tubuh menunjukkan korelasi yang positif dengan kekuatan
hubungan yang kuat (r = 0,861). Artinya, semakin tinggi laju metabolik istirahat maka indeks
massa tubuh juga akan semakin tinggi. Nilai R2 sebesar 0,741 menunjukkan variabel laju
8
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
metabolik istirahat dapat menjelaskan variabel indeks massa tubuh sebesar 74,1%. Selain itu,
korelasi antara laju metabolik istirahat dengan indeks massa tubuh bermakna secara statistik
ditunjukkan dengan nilai-p 0,000.
Gambar 1. Diagram Tebar Korelasi Antara Laju Metabolik Istirahat dengan IMT
Pada gambar 1, ditunjukkan persamaan garis (y = a + bx) hubungan antara laju metabolik
istirahat dengan indeks massa tubuh. Nilai untuk a adalah -18,78, sedangkan nilai untuk b
adalah 0,027, sehingga persamaan garis lurus yang didapat adalah :
Indeks Massa Tubuh = -18,78 + 0,027 (RMR)
Hubungan Aktivitas Fisik dengan IMT
Tabel 10. Analisis Korelasi Aktivitas Fisik dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Variabel Independen
Variabel Dependen
r
R2
p-value
Aktivitas Fisik
IMT
-0,045
0,002
0,628
9
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Tabel 10 memperlihatkan bahwa koefisien korelasi Pearson antara aktivitas fisik dengan
indeks massa tubuh (IMT) adalah sebesar –0,045. Hubungan antara laju metabolik istirahat
dengan indeks massa tubuh menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan hubungan yang
lemah (r = 0,045). Hasil tersebut menunjukkan jika semakin besar aktivitas fisik maka indeks
massa tubuh akan semakin kecil. Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa tidak ada korelasi
yang signifikan antara aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh (p-value = 0,628).
Hubungan Asupan Zat Gizi dengan IMT
Tabel 11. Analisis Korelasi Asupan Energi dan Zat Gizi Makro dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT)
Variabel Independen
Variabel Dependen
r
R2
p-value
Asupan Energi
Asupan Karbohidrat
Asupan Lemak
Asupan Protein
IMT
IMT
IMT
IMT
0,096
0,105
0,038
0,083
0,009
0,011
0,01
0,07
0,295
0,255
0,677
0,367
Korelasi antara asupan energi dengan indeks massa tubuh pada tabel 11 menunjukkan korelasi
dengan kekuatan yang rendah (r = 0,096) dan berpola positif. Hasil uji statistik menunjukkan
tidak terdapat korelasi yang bermakna antara asupan energi dengan indeks massa tubuh. (pvalue = 0,295).
Hasil uji statistik juga tidak menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara asupan
karbohidrat dan indeks massa tubuh (p-value = 0,255). Berdasarkan tabel 11, korelasi antara
variabel asupan karbohidrat dengan indeks massa tubuh memiliki korelasi dengan kekuatan
rendah ( r = 0,105) dengan pola positif.
Hasil uji statistik untuk asupan lemak juga tidak menunjukkan adanya korelasi yang
bermakna dengan indeks massa tubuh (p-value = 0,367). Pada tabel 11 ditunjukkan korelasi
antara variabel asupan protein dengan indeks massa tubuh dimana korelasi antar kedunya
memiliki kekuatan yang rendah (r = 0,038) dengan pola positif.
Berdasarkan tabel 11, korelasi antara variabel asupan protein dengan indeks massa tubuh
menunjukkan korelasi dengan kekuatan yang rendah ( r = 0,083) dan berpola positif. Hasil uji
statistik tidak menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara asupan protein dan indeks
massa tubuh (p-value = 0,367).
10
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Status Merokok
Tabel 12. Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) Responden Menurut Status Merokok
No.
1
2
Status Merokok
Merokok
Tidak Merokok
n
60
60
Mean IMT
23,87
23,71
SD
5,70
5,47
p-value
0,873
Berdasarkan tabel 12, terlihat bahwa terdapat 50% responden merokok dan mereka memiliki
rata-rata IMT sebesar 23,87 kg/m2. Sedangkan untuk responden yang tidak merokok memiliki
rata-rata IMT sebesar 23,71 kg/m2. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara merokok dan tidak merokok dengan IMT.
Tingkat Stres
Tabel 13. Distribusi Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) Responden Menurut Tingkat
Stres
No.
1
2
3
4
5
Tingkat Stres
Normal
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
n
51
34
31
3
1
%
42,5
28,3
25,8
2,5
0,8
Mean IMT
23,25
23,75
23,76
27,20
43,42
SD
5,16
4,52
5,82
10,60
-
p-value
0,006
Pada tabel 13 terlihat bahwa rata-rata IMT meningkat seiring dengan semakin meningkatnya
tingkat stres yang dialami responden. Responden yang berada dalam kondisi normal memiliki
rata-rata IMT sebesar 23,25 kg/m2. Sedangkan, responden dengan tingkat stres ringan ratarata IMT adalah 23,75 kg/m2, untuk tingkat stres sedang adalah 23,76 kg/m2, untuk tingkat
stres berat adalah 27,20 kg/m2, serta untuk tingkat stres sangat berat adalah 43,42 kg/m2. Hasil
uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada rata-rata IMT menurut
tingkat stres responden ( p-value = 0,006).
Pembahasan
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada mahasiswa laki-laki Fakultas Ilmu Budaya, masih
ditemukan kejadian status gizi lebih dan status gizi kurang. Prevalensi status gizi lebih sebesar
32,5% dimana 19,2% mengalami obesitas dan 13,3% kegemukan, sedangkan 6,7%. sampel
mengalami status gizi kurang. Jika dibandingkan dengan Riskesdas (2013), prevalensi
masalah gizi kurang di Fakultas Ilmu Budaya berada di bawah angka nasional, dimana
prevalensi penduduk usia >18 tahun dengan status gizi kurang sebesar 8,7%, sedangkan untuk
11
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
status gizi lebih, prevalensinya lebih besar dibanding angka nasional yaitu 28,9%. Masalah
status gizi yang terjadi pada remaja tersebut berkaitan dengan kebutuhan gizi yang tinggi
dalam masa pertumbuhan, gaya hidup dan pola makan remaja, serta kerentanan remaja
terhadap pengaruh dari lingkungan sekitarnya (WHO, 2005).
Laju Metabolik Istirahat
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laju metabolik istirahat memiliki hubungan yang
signifikan dengan indeks massa tubuh. Laju metabolik istirahat dengan indeks massa tubuh
memiliki hubungan yang kuat terlihat dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,861 dengan pola
positif yang berarti semakin tinggi laju metabolik istirahat maka indeks massa tubuh juga
akan semakin tinggi. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Ravussin (1982) dan
Zhang et al.(2008) yang menunjukkan bahwa laju metabolik istirahat lebih besar pada
kelompok yang obesitas disebabkan karena nilai VO2 yang lebih besar dan peningkatan massa
tak berlemak (fat free mass). Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan hasil yang kontras.
Menurut penelitian Ravussin (1993) dan Tatarani (2003), menunjukkan bahwa laju metabolik
istirahat memiliki korelasi negatif dengan indeks massa tubuh, dimana semakin rendah laju
metabolik istirahat maka berat badan akan semakin tinggi. Laju metabolik istirahat
merupakan komponen terbesar dari keseluruhan total energi yang dikeluarkan setiap harinya,
sehingga semakin tinggi laju metabolik istirahat maka akan semakin besar energi yang
dikeluarkan (Leibel, 1995).
Aktivitas Fisik
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
variabel aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh (p-value = 0,628). Namun, dari hasil
analisis menunjukkan bahwa aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh memiliki korelasi
negatif (r = -0,045), yang berarti semakin tinggi aktivitas fisik maka indeks massa tubuh akan
semakin rendah. Hasil tersebut konsisten dengan penelitian Lohman (2008) yang
menunjukkan adanya hubungan positif antara aktivitas fisik dengan kebugaran, dan juga
aktivitas fisik memiliki hubungan negatif dengan indeks massa tubuh. Penelitian longitudinal
yang dilakukan Rauner (2013) juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara aktivitas fisik
dan indeks massa tubuh. Selain itu, aktivitas fisik juga memiliki hubungan positif dengan
massa tak berlemak (fat free mass) dimana semakin tinggi aktivitas fisik maka massa tak
berlemak tubuh akan semakin besar. Studi meta-analisis yang dilakukan Speakman dan
Selman (2003) menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat meningkatkan laju metabolik
istiharat yang disebabkan oleh peningkatan massa tubuh tak berlemak (fat free mass).
12
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Asupan Energi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antara
asupan energi dengan indeks massa tubuh. Hal ini konsisten dengan penelitian Hermanussen
(2008), yang tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara asupan energi
dengan indeks massa tubuh. Selain itu, hasil analisis menunjukkan korelasi positif antara
asupan energi dengan indeks massa tubuh yang berarti semakin tinggi asupan energi maka
akan semakin tinggi indeks massa tubuh. Hasil yang kontras ditunjukkan dalam penelitian
Elliot et al.(2011) yang dilakukan pada 2460 laki-laki dan perempuan usia antara 5-17 tahun
di Queensland, Australia, yang menemukan bahwa adanya hubungan signifikan dengan pola
positif antara asupan energi dengan indeks massa tubuh. Selain itu, dalam penelitian Elliot et
al.(2011) juga menyatakan bahwa diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat dapat
menyebabkan akumulasi lemak tubuh yang berlebihan, walaupun total energi yang masuk
tidak berlebihan.
Asupan Karbohidrat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan
karbohidrat dengan indeks massa tubuh. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Hermanussen (2008) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat
dengan indeks massa tubuh. Hasil yang kontras ditunjukkan pada penelitian Krieger et
al.(2006) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara intake dari
karbohidrat dengan massa tubuh, dimana semakin rendah energi yang didapatkan dari
karbohidrat maka massa tubuh akan semakin turun. Menurut Fine & Feinman (2004), diet
rendah karbohidrat akan meningkatkan kebutuhan tubuh akan protein dan asam amino yang
digunakan dalam proses glukoneogenesis. Proses tersebut membutuhkan energi yang lebih
besar, sehingga akan terjadi defisit antara energi yang masuk dan yang dikeluarkan. Selain itu,
penelitian Jensen et al.(1989) menunjukkan bahwa penurunan lemak tubuh terkait diet rendah
karbohidrat dapat dihubungan terhadap perubahan yang terjadi pada konsentrasi insulin.
Kadar insulin yang sedikit akan mendorong terjadinya mobilisasi asam lemak bebas dari
sumber penyimpanan lemak tubuh. Namun, hasil berbeda ditunjukan dalam penelitian
Gaesser (2007), yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang siginifikan antara
karbohidrat dengan glikemik indeks rendah dengan indeks massa tubuh. Hasil tersebut
didukung penelitian yang dilakukan oleh Brand-Miller (2003), yang menunjukkan bahwa
peningkatan konsumsi makanan dengan indeks glikemik rendah dapat mencegah atau
membantu dalam penanganan masalah obesitas. Selain itu, hubungan negatif antara asupan
karbohidrat dengan indeks massa tubuh juga dapat disebabkan kandungan serat yang tinggi
13
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
pada makanan sumber karbohidrat. Menurut studi yang dilakukan Slavin (2005),
menunjukkan bahwa diet tinggi serat memiliki hubungan yang signifikan dengan penurunan
berat badan. Hal tersebut dikarenakan diet tinggi serat, yang dapat diperoleh dari konsumsi
buah dan sayuran, dapat menurunkan energy density dan mendorong timbulnya rasa kenyang
(satiety).
Asupan Lemak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antara
asupan lemak dengan indeks massa tubuh. Hal ini sejalan dengan Hermanussen (2008) yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan
indeks massa tubuh. Namun, hal tersebut kontras dengan penelitian yang dilakukan oleh
Astrup et al.(2000), yang menyatakan bahwa diet tinggi lemak memiliki hubungan yang
signifikan dengan indeks massa tubuh. disebabkan karena peningkatan jaringan adiposa
akibat peningkatan konsumsi dan kepadatan energi yang tinggi (energy density) dari lemak.
Penelitian Shah et al. (1994) pada perempuan yang mengalami obesitas menunjukkan bahwa
diet rendah lemak dapat menurunkan 4,6 kg berat badan, sedangkan dengan diet rendah energi
dapat menurunkan 3,7 kg. Diet rendah lemak memberikan hasil yang lebih besar dalam
penurunan berat badan dapat disebabkan karena faktor genentik (Heitmann et al., 1995) dan
kemapuan tubuh dalam oksidasi lemak (Thomas et al., 1992).
Asupan Protein
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan
protein dengan indeks massa tubuh. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Randi et al.
(2006) yang menunjukkan bahwa diet tinggi protein tidak memiliki hubungan yang signifikan
dengan IMT pada laki-laki. Hasil tersebut kontras dengan penelitian Hermanussen (2008)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan
indeks massa tubuh. Penelitian Noakes et al. (2005) menunjukkan penurunan berat badan
melalui diet tinggi protein berhubungan dengan penurunan yang terjadi pada kadar
triasilgliserol (triacylglycerol) pada wanita yang mengalami kelebihan berat badan dengan
kadar triasilgliserol yang tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Mikkelsen et al. (2000) yang menunjukkan bahwa penurunan berat badan pada penderita
obesitas akan lebih besar dengan diet tinggi protein disebabkan karena efek termogenik
protein yang lebih tinggi dibanding makronutrien lainnya. Efek termogenik dari diet tinggi
protein dapat meningkatkan penggunaan energi (energy expenditure).
14
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Status Merokok
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status
merokok dengan indeks massa tubuh. Hal tersebut kontras dengan penelitian yang dilakukan
oleh Perkins (1989), Williamson (1991), dan Dalloso (1984) dalam Chiolero (2008) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara status merokok dengan indeks
massa tubuh. Seseorang yang merokok akan cenderung memiliki indeks massa tubuh lebih
rendah dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Merokok dapat memberikan
efek anorektik sehingga perokok tidak merasa lapar (Jo Y.H, 2002). Selain itu, merokok juga
dapat menyebabkan penurunan berat badan karena terjadinya peningkatan laju metabolisme
istirahat, sehingga energi yang dikeluarkan tubuh akan meningkat. Penelitian Williamson
(1991) juga menunjukkan seseorang yang berhenti merokok akan lebih beresiko mengalami
peningkatan berat badan. Peningkatan berat badan setelah berhenti merokok disebabkan oleh
peningkatan asupan zat gizi serta penurunan energy expenditure (Chiolero, 2008).
Tingkat Stres
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat adanya korelasi positif yang signifikan antara
tingkat stres dengan indeks massa tubuh. Korelasi positif antara kedua variabel menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat stres yang dialami responden maka indeks massa tubuh juga
akan semakin tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Keith (2006)
yang menyatakan bahwa stres merupakan salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan
seseorang mengalami obesitas. Menurut Epel (2001) dan Torres (2007) stres berat yang
dialami seseorang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan asupan energi dan makanan
padat gizi yang nantinya akan berdampak pada terjadinya obesitas viseral. Namun, selain
dapat menyebabkan peningkatan asupan makanan, menurut Sapolsky (1998), stres yang
diderita seseorang dapat berpengaruh terhadap hormon CRH yang berakibat pada efek
anorektik dimana seseorang akan menjadi tidak nafsu makan. Disamping itu, seseorang yang
melakukan pembatasan terhadap asupan makannya dapat mengalami peningkatan asupan
makan saat mengalami stres (Habhab, 2009). Hal tersebut disebabkan karena seseorang yang
mengonsumsi makanan yang sedang dibatasi (berdiet), akan mendapatkan kepuasaan sesaat
saat mengonsumsi makanan tersebut yang digunakan sebagai upaya mengatasi stres.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada mahasiswa laki-laki Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia tahun 2014, 32,5% sampel mengalami status gizi lebih dan 6,7%
15
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
mengalami statusgizi kurang. Rata-rata laju metabolik istirahat (resting metabolic rate)
sampel adalah 1579 kkal. Rata-rata skor aktivitas fisik sampel adalah 7,95. Asupan zat gizi
sampel per hari untuk energi memiliki rata-rata sebesar 1453 kkal, asupan protein 51,3 gram,
asupan lemak 57 gram, dan karbohidrat 181,6 gram. Lebih banyak sampel yang mengalami
stres diabdingkan yang berada dalam kondisi normal. Setengah dari total sampel dalam
penelitian ini merupakan perokok. Terdapat hubungan yang signifikan antara laju metabolik
istirahat dengan IMT, dengan kekuatan korelasi yang kuat (r = 0,861) dan berpola positif.
Terdapat pula perbedaan yang signifikan antara tingkat stres yang dialami responden dengan
IMT, dengan p-value = 0,006 dan berpola positif, namun tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara aktivitas fisik, asupan energi dan zat gizi makro (karbohidrat, protein, dan
lemak), serta status merokok dengan IMT.
Saran
•
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian yang serupa dengan
jumlah sampel yang lebih besar.
•
Diharapkan adanya penelitian yang serupa dengan menggunakan responden
perempuan, sehingga diketahui hubungan laju metabolik istirahat dan faktor lainnya
dengan IMT pada perempuan.
•
Diharapkan adanya penelitian dengan menggunakan desain penelitian lain yang dapat
menggambarkan hubungan sebab akibat antara laju metabolik istirahat dan faktor
lainnya dengan Indeks Massa Tubuh (IMT).
•
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai keseimbangan
energi yang dibutuhkan dalam regulasi berat badan, sehingga mahasiswa,khususnya
para remaja, dapat lebih memperhatikan antara energi yang masuk melalui makanan
yang dikonsumsi dengan energi yang keluar melalui metabolisme tubuh (resting
metabolic) dan aktivitas fisik.
•
Pada mahasiswa diharapkan dapat lebih memperhatikan asupan makannya setiap hari,
khususnya bagi yang mengalami stres, agar tidak menggunakan makanan sebagai
upaya dalam mengatasi stres.
•
Diharapkan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dapat memberikan promosi
dan edukasi kepada seluruh mahasiswa mengenai pentingnya keseimbangan energi
(energy balance) dan stres manajemen dalam upaya mencapai status gizi ideal.
16
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Daftar Referensi
Aditama C.Y. (1992). Rokok dan Kesehatan. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Almatsier S. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
__________. (2006). Penuntun Diet Edisi Baru. Gramedia Pustaka Utama.
Astrup, Grunwald, Melanson, Saris, & Hill. (2000). The role of low-fat diets in body weight
control: a meta-analysis of ad libitum dietary intervention studies. International Journal
of Obesity, 24, 1545-1552.
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. (2007). BPS dan Macro International.
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007, Calverton, Maryland, USA.
Baecke, J.A.H., Burema, I., & Frijters, J.E.R. (1982). A Short Questionnaire For The
Measurement of Habitual Physical Activity in Epidemiological Studies. Am J Clin Nutr,
36 ,936-42.
Baker. J., Olsen. L., Sørensen, T. (2007). Childhood Body-Mass Index and the Risk of
Coronary Heart Disease in Adulthood. The New England Journal of Medicine, 357(23),
2329-2337.
Brand-Miller, Janette C. (2003). Glycemic Load and Chronic Disease. Nutrition Reviews,
61(5), s49.
Chiolero, A., Faeh, D., Paccaud, F., & Cornuz, J. (2008). Consequences Of Smoking For
Body Weight, Body Fat Distribution, and Insulin Resistance. Am J Clin Nutr, 87, 801-9.
Corazon, B., Tommaso, C., Jeffery, C. et al. (2004). Appropriate Body-Mass Index For Asian
Populations and Its Implications For Policy And Intervention Strategies. The Lancet,
363, 157.
Dunford, M., & Doyle, J.A. (2012). Nutrition for Sport and Exercise. (2nd ed.). Wadsworth,
Cengage Learning.
Dugdill, L., Crone, D., Murphy, R. (2009). Physical Activity & Health Promotion : EvidenceBased Approaches To Practice. Blackwell Publishing, Ltd. United Kingdom.
Elliot, S., Truby, H., Lee, A. et al. (2011). Associations of body mass index and waist
circumference with: energy intake and percentage energy from macronutrients, in a
cohort of australian children. Nutrition Journal, 10, 58.
17
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Epel, E., Lapidus, R., McEwen, B., & Brownell, K. (2001). Stress May Add Bite To Appetite
in Women: A Laboratory Study of Stress-Induced Cortisol and Eating Behavior.
Psychoneuroendocrinology, 26, 37–49.
Fine, E.J., & Feinman, R.D. (2004). Thermodynamics of weight loss diets. Nutrition &
Metabolism, 1, 15.
Gaesser, & Glenn, A. (2007) Carbohydrate Quantity and Quality in Relation to Body Mass
Index. J Am Diet Assoc,107, 1768-1780.
Haas, J.D. & Brwonlie, T. (2001). Iron Deficiency and Reduced Work Capacity: A Critical
Review of The Research to Determine A Causal Relationship. The Journal of Nutrition,
131, 676s-690s.
Habhab, S., Sheldon, J.P., & Loeb, R.C. (2009). The Relationship Between Stress, Dietary
Restraint, And Food Preferences in Women. Appetite, 52, 437–444.
Heitmann, Lissner, Sorensen, Bengtsson. (1995). Dietary fat intake and weight gain in women
genetically predisposed for obesity. Am J Clin Nutr, 61, 1213-7.
Hermanussen, M., Sichert-Hellert, W., & Kersting, M. (2008). Nutritional protein and body
mass index, the neglected correlation. acta medica lituanica, 1(15), 9-5.
Jensen, Caruso, Heiling, & Miles. (1989). Insulin Regulation of Lipolysis in Nondiabetic and
IDDM Subjects. Diabetes, 3, 1595.
Jo, Y.H., Talmage, D.A., & Role, L.W. (2002). Nicotinic Receptor-Mediated Effects on
Appetite and Food Intake. J Neurobiol, 53(4), 618–632
Keith, S.W., Redden, D.T., Katzmarzyk, P.T. et al. (2006). Putative Contributors To The
Secular Increase in Obesity: Exploring The Roads Less. International Journal of
Obesity, 30, 1585–1594.
Krieger, Sitren, Daniels, langkamp-Henken. (2006). Effects of variation in protein and
carbohydrate intake on body mass and composition during energy restriction: a metaregression. Am J Clin Nutr, 83, 260 –74.
Kurpad, A.V., Muthayya, S., & Vaz, M. (2005). Consequences of Inadequate Food Energy
and Negative Energy Balance in Humans. Public Health Nutrition, 8(7A), 1053-1076.
Leibel, R.L., Rosenbaum, M., & Hirsch, J. (1995). Changes in energy expenditure resulting
from altered body weight. The New England Journal Of Medicine, 332, 621-628.
18
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Lohman, T.G., Ring, K., & Pfeiffer, K. (2008). Relationships among Fitness, Body
Composition, and Physical Activity. Med Sci Sports Exerc, 40(6), 1163–1170.
Maria, P., & Evagelia, S. (2009). Obesity Disease. Health Science Journal, 3, 132-139.
Mikkelsen, P.B., Toubro, S., & Astrup, A. (2000). Effect of fat-reduced diets on 24-h energy
expenditure: comparisons between animal protein, vegetable protein, and carbohydrate.
Am J Clin Nutr, 72, 1135– 41.
Nieuwenhuijsen, K., Boer, Verbeek, et al. (2003). The Depression Anxiety Stress Scales
(DASS): Detecting anxiety disorder and depression in employees absent from work
because of mental health problems. Occupational and Environmental Medicine, i77-i82.
Noakes, Keogh, Foster, & Clifton. (2005). Effect of an energy-restricted, high-protein, low-fat
diet relative to a conventional high-carbohydrate, low-fat diet on weight loss, body
composition, nutritional status, and markers of cardiovascular health in obese women.
Am J Clin Nutr, 81, 1298-306.
Nooyens, A., Koppes, L., & Visscher, T., et al. (2007). Adolescent Skinfold Thickness is A
Better Predictor of High Body Fatness in Adults Than is Body Mass Index: The
Amsterdam Growth and Health Longitudinal Study. Am J Clin Nutr, 85, 1533–1539
Pearcey, S.M., & Castro, J.M. (2000). Food Intake and Meal Patterns of Weight-Stable and
Weight-Gaining Persons. Am J Clin Nutr, 76:107–12.
Perkins, K., Epstein, L.H, Stiller, R. et al. (1989). Acute effects of nicotine on resting
metabolic rate in cigarette smokers. Am J CIin Nutr, 50, 545-50.
Randi, G., Pelucchi C., Gallus S. et al. (2006). Lipid, protein and carbohydrate intake in
relation to body mass index: an Italian study. Public Health Nutrition, 10(3), 306–310.
Rauner, A., Mess, F., & Woll, A. (2013). The Relationship Between Physical Activity,
Physical Fitness And Overweight in Adolescents: A Systematic Review of Studies
Published in or After 2000. Pediatrics, 13, 19.
Ravussin, Eric. (1993). Energy Metabolism in Obesity. Diabetes Care. Vol 16, Supplement 1,
January.
___________, Burnand, B., Schutz, Y. et al. (1982). Twenty-four-hour energy expenditure
and resting metabolic rate in obese, moderately obese, and control subjects. Am J Clin
Nutr, 35, 566-573.
Riset Kesehatan Dasar 2013. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementrian Kesehatan.
19
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Sapolsky, R. (1998). Why Zebras don’t get Ulcers: An Updated Guide to Stress, Stressrelated Diseases, and Coping. Freeman and Co. New York, pp. 76–79.
Shah, McGovern, French, & Baxter. (1994). Comparison of a low-fat, ad libitum complexcarbohydrate diet with a low-energy diet in moderately obese women. Am J Clin Nutr,
59, 980-4.
Slavin, Joanne L. (2005). Dietary fiber and body weight. Nutrition, 21, 411-418.
Speakmen, J.R., & Selman, C. (2003). Physical activity and resting metabolic rate.
Proceedings of the Nutrition Society, 62, 621–634.
Supariasa, I.D.N., Bakri, B., & Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Tataranni, P.A., Harper, I.T., Snitker, S. et al. (2003). Body Weight Gain in Free-Living Pima
Indians: Effect of Energy Intake vs Expenditure. International Journal of Obesity, 27,
1578–1583.
Thomas, C.D., Peters, J.C., Reed, G.W. et al. (1992). Nutrient balance and energy expenditure
during ad libitum feeding of high-fat and high-carbohydrate diets in humans. Am J Clin
Nutr, 55, 934-42.
Torres, S.J., & Nowson, C.A. (2007). Relationship Between Stress, Eating Behavior, and
Obesity. Nutrition, 23, 887–894.
Williamson, D., Madans, J., Anda, R. et al. (1991). Smoking Cessation and Severity of
Weight Gain in National Cohort. N Engl J Med, 324, 739-45.
Wiseman, Gerald. (2002). Nutrition and Health. Taylor & Francis, London.
World Health Organization. (2005). Nutrition in adolescence - Issues and Challenges for the
Health Sector : Issues in Adolescent Health and Development.
Zhang, C.X., Chen, Y.M., Chen, W.Q. et al.(2008). Energy expenditure and energy intake in
10-12 years obese and non-obese chinese children in a Guangzhou bourding school.
Asia Pac J Clin Nutr, 17(2), 235-242
20
Universitas Indonesia
Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014
Download