Hubungan Laju Metabolik Istirahat Dan Faktor-Faktor Lain Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Tahun 2014 I Gusti Agung Bayu Prabhawa Mukti, Asih Setiarini Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara laju metabolik istirahat, aktivitas fisik, asupan zat gizi, status merokok, dan tingkat stres dengan IMT pada mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2014. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan dilaksanakan pada bulan April 2014. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah mahasiswa laki-laki S1 Reguler Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2012 sebanyak 120 orang dari setiap jurusan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik selfadministrative dimana responden mengisi sendiri kuesioner yang diberikan, wawancara food recall 2x24 jam, pengukuran berat badan dan tinggi badan, serta pengukuran laju metabolik istirahat. Analisa statistik menggunakan uji korelasi dan uji t-independen. Hasil penelitian menunjukkan 39,2% responden masih mengalami masalah terkait status gizi. Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara laju metabolik istirahat dengan IMT dengan kekuatan korelasi (r = 0,861). Tingkat stres juga memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi berdasarkan IMT dengan p-value = 0,006. Berdasarkan hasil tersebut diharapkan mahasiswa, khususnya para remaja, dapat lebih memperhatikan keseimbangan energi antara energi yang masuk melalui makanan yang dikonsumsi dengan energi yang dikeluarkan setiap hari yang berperan dalam regulasi berat badan. Selain itu, mahasiswa juga diharapkan memiliki manajemen stres yang baik sehingga membantu dalam mempertahankan atau mencapai status gizi yang ideal. Resting Metabolic Rate and Other Factors In Relation To Body Mass Index In Male Students of Faculty of Humanity University of Indonesia in 2014 Abstract This study aims to determine the relationship between resting metabolic rate, physical activity, intake of nutrients, smoking status, level of stress with nutritional status based on BMI in male students of Faculty of Humanity, University of Indonesia, in 2014. This study used cross-sectional design and conducted in April 2014. Samples used in the study were male students of Faculty of Humanity as many as 120 people from all study program. Data collection was done by using self-administrative technique in which the respondent did the questionnaire given by himself, 2x24 hour food recall interviews, measurements of weight and height, as well as the measurement of resting metabolic rate. Statistical analysis that had been used is correlation test and tindependent test. The results indicated 39,2% of respondents experienced nutritional status issues, with 32,5% had over nutrition status and 6,7% had under nutrition. The results of the bivariate analysis showed that there was a significant and strong relationship (r = 0,861) between resting metabolic rate with BMI. Stress levels had also showed a significant relationship with BMI (p-value = 0,0060). Based on the results college students, especially teenagers, expected to pay more attention to the energy balance between energy intake through food consumed with energy expended each day that play a role in body weight regulation. In addition, students are also expected to have good stress management that helps in maintaining or achieving an ideal nutritional status. Keywords : body mass index, resting metabolic rate, level of stress 1 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Pendahuluan Masalah status gizi masih ditemukan di berbagai negara baik di negara miskin, negara berkembang, maupun negara maju. Masalah terkait status gizi pada remaja di Indonesia terus mengalami perubahan. Menurut Riskesdas (2013) prevalensi kejadian gizi lebih dan gizi kurang pada penduduk usia ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 7,3% dan 9,4%. Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi gizi lebih dan gizi kurang lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional dalam Riskesdas (2013). Masalah status gizi yang terjadi pada remaja berkaitan dengan kebutuhan gizi yang tinggi yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan, gaya hidup dan pola makan remaja, serta kerentanan remaja terhadap pengaruh dari lingkungan sekitar (WHO, 2005). Status gizi lebih yang dialami remaja dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardiovaskuler, seperti hipertensi, atherosclerosis (Maria, 2009), penyakit jantung koroner, dan stroke (Baker, 2007). Disamping itu, status gizi kurang juga dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan, seperti terjadi penundaan pada pertumbuhan dan kematangan fisik remaja (WHO, 2005) dan dapat menurunkan kapasitas kerja fisik seseorang. Kapasitas kerja fisik yang rendah berkaitan dengan defisiensi zat besi dalam tubuh. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia yang berhubungan pada penurunan laju transportasi oksigen (Haas, 2001). Status gizi sangat erat kaitannya dengan keseimbangan energi (energy balance), yaitu antara energi yang masuk (energy intake) dari asupan makanan dengan energi yang keluar (energy expenditure) (Kurpad, 2005). Menurut Dunford (2012), total energi yang dikeluarkan dalam sehari (total daily energy expenditure) ditentukan berdasarkan tiga komponen utama, yaitu energi yang digunakan untuk aktivitas metabolisme tubuh (basal metabolik atau metabolisme saat istirahat), efek termik makanan yang dikonsumsi, dan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain keseimbangan energi yang masuk dan keluar, status gizi juga dapat dipengaruhi oleh gaya hidup seperti merokok dan tingkat stres. Beberapa studi cross-sectional menunjukkan bahwa indeks massa tubuh pada perokok lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok non-perokok (Williamson, 1991 & Chiolero, 2008). Stres juga dapat mempengaruhi status gizi, dimana seseorang yang mengalami stres akan cenderung memilih makanan manis dan berlemak tinggi (Dallman, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara laju metabolik istirahat (resting metabolic rate), aktivitas fisik, asupan zat gizi, status merokok, dan tingkat stres dengan status gizi berdasarkan indeks massa tubuh. 2 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Tinjauan Teoritis Indeks Massa Tubuh (IMT) Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat bantu yang paling sederhana untuk memantau status gizi pada usia dewasa, terutama terkait status gizi kurang dan gizi lebih. IMT lebih tepat digunakan dalam mengukur status gizi orang dewasa usia ≥ 18 tahun ke atas (Supariasa et al., 2002). IMT diukur dengan membagi berat badan (dalam kg) dengan tinggi badan (dalam m) yang dikuadratkan (Nooyens et al., 2007). IMT memiliki hubungan dengan persen lemak tubuh yang dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, dan perbedaan etnis (Corazon et al., 2004). Pengeluaran Energi Menurut Dunford (2012), total energy expenditure merupakan jumlah total energi yang dibutuhkan tubuh dalam melakukan aktivitas selama satu hari (selama 24 jam). Umumnya energi yang dikeluarkan dalam sehari disebut dengan total daily energy expenditure (TDEE). Total energi yang dikeluarkan tubuh dalam sehari terdiri dari 3 komponen penting yaitu, energi yang digunakan untuk aktivitas metabolisme tubuh (basal atau reting metabolic rate), efek termogenesis dari makanan yang dikonsumsi, dan aktivitas fisik yang dilakukan. Laju Metabolik menyumbang sekitar 70% dalam penggunaan energi dalam satu hari. Sedangkan termogenesis makanan menggunakan kurang lebih 10% dan aktivitas fisik sebesar 20%. Laju metabolik basal merupakan komponen terbesar dalam Total Energy Expenditure. Basal Energy Expenditure (BEE) merupakan energi yang digunakan tubuh untuk mempertahankan fungsi fisiologis tubuh dalam keadaan istirahat total. Resting Energy Expenditure (REE) lebih besar 10% daripada BEE. Pengukuran Resting Metabolic Rate (RMR) umumnya dilakukan pada responden dengan kondisi sadar penuh, dan 3 – 4 jam setelah makan atau setelah melakukan aktivitas fisik (Dunford, 2012 & Insel, 2004). Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan pergerakan tubuh yang terjadi karena aktivitas otot-otot skeletal sehingga menyebabkan terjadinya pengeluaran energi (Dugdill, 2009). Menurut Baecke (1982) ada tiga aspek yang dapat menggambarkan tingkat aktivitas fisik seseorang, yaitu kegiatan terkait pekerjaan, olahraga atau latihan fisik, dan kegiatan pada waktu luang. Aktivitas fisik dan pola makan harus diperhatikan dalam usaha mempertahankan berat badan. Asupan Zat Gizi Untuk memelihara kesehatan dan mencapai status gizi optimal, tubuh perlu mengonsumsi makanan sehari-hari yang mengandung zat gizi seimbang (Almatsier, 2006). Sebagian besar 3 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 energi berasal dari karbohidrat dan lemak, sedangkan protein digunakan untuk pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak (Wiseman, 2002). Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia. Nilai energi karbohidrat adalah 4 kkal per gram, lemak dan minyak menghasilkan 9 kkal per gram, sedangkan protein menghasilkan 4 kkal per gram (Almatsier, 2001). Keseimbangan energi antara energi yang masuk dari mengonsumsi makanan dengan energi yang dikeluarkan sangat berperan dalam mempertahankan berat badan. Ketidakseimbangan energi terjadi jika energi yang dikeluarkan (energy expenditure) lebih besar daripada energi yang masuk melalui makanan (energy intake) yang disebut defisiensi energi. Defisiensi yang dialami seseorang dapat berpengaruh pada penurunan berat badan (Kurpad, 2005). Peningkatan berat badan terjadi karena penurunan pada penggunaan energy (energy expenditure), peningkatan asupan energi (energy intake), atau keduanya (Pearcey, 2002). Status Merokok Rokok terbuat dari daun tembakau yang dikeringkan, berbagai macam zat adiktif, dan penyaring. Rokok merupakan pabrik bahan kimia karena ditemukan lebih dari 5000 zat terkandung di dalam sebatang rokok dan beberapa diantaranya merupakan zat karsinogen (Aditama, 1992). Salah satu zat yang terdapat dalam rokok adalah nikotin. Nikotin dalam rokok dapat meningkatkan energi yang digunakan saat istirahat (resting energy expenditure) dan juga dapat menurunkan nafsu makan (Perkins, 1989). Oleh karena itu, perokok cenderung memiliki berat badan lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok. Seseorang yang berhenti merokok cenderung akan mengalami peningkatan berat badan (Williamson, 1991). Peningkatan berat badan setelah berhenti merokok dapat disebabkan oleh peningkatan asupan energi dan penurunan energy expenditure. Stres Stres merupakan salah satu faktor resiko seseorang dapat mengalami obesitas (Keith, 2006). Selama stres, seseorang akan meningkatkan asupan kalori dan cenderung memilih makanan yang tinggi karbohidrat dan lemak jenuh (Dallman, 2004). Menurut Epel (2001), stres dapat meningkatkan reaktivitas kortisol yang dapat meningkatkan asupan kalori. Reaktivitas kortisol ini berkaitan dengan hormon leptin, neuropeptide Y, sitokin, atau neurotransmiter yang dapat mempengaruhi peningkatan nafsu makan. Selain itu, stres juga dapat menyebabkan seseorang mengurangi asupan makannya akibat efek anorektik dari CRH (Sapolsky, 1998). 4 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 120 mahasiswa S1 Reguler laki-laki dari setiap program studi di Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2012. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan April tahun 2014. Sampel dipilih secara acak dan proporsional dari setiap program studi. Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik self-administrative, dimana responden mengisi sendiri kuesioner yang diberikan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian, yaitu timbangan digital (SECA), microtoise, BIA, Form Recall 2x24 jam, lembar kuisioner. Variabel dependen yang diteliti adalah Indeks Massa Tubuh (IMT), sedangkan variabel independen yang diteliti adalah laju metabolik istirahat, aktivitas fisik, asupan zat gizi (energi, karbohidrat, lemak, protein), status merokok, dan tingkat stres. IMT diukur dengan membagi berat badan (dalam kg) dengan tinggi badan (dalam m) yang dikuadratkan (Nooyens et al., 2007). Laju metabolik istirahat diukur menggunakan BIA. Aktivitas fisik, status merokok, dan tingkat stres diukur dengan menggunakan lembar kuisioner (Baecke, 1982; SKRRI, 2007; Nieuwenhuijsen, 2003). Untuk mengetahui asupan zat gizi responden yang terdiri dari energi, karbohidrat, protein, dan lemak, dilakukan menggunakan teknik wawancara Recall 2x24 jam yang dilakukan oleh peneliti dan enumerator (Almatsier,2006). Dalam pengumpulan data primer, peneliti dibantu oleh 5 enumerator yang merupakan mahasiswa gizi angkatan 2010 yang telah memiliki kemampuan dalam melakukan wawancara recall 24 jam. Untuk analisis data dilakukan analisa univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan dua uji yang berbeda, yaitu uji korelasi dan uji t-independen. Hasil Penelitian Indeks Massa Tubuh Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) Variabel 2 IMT (kg/m ) Mean SD Minimal-Maksimal Median 23,79 5,56 15,48 – 43,42 22,26 Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa rata-rata IMT responden adalah sebesar 23,79 ± 5,56. Responden dengan IMT terendah adalah 15,48 dan IMT tertinggi adalah 43,42. 5 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Batas Ambang untuk Laki-laki < 17.0 kg/m2 17.0 – 23.0 kg/m2 23.0 – 27.0 kg/m2 > 27 kg/m2 Kurus Normal Kegemukan Obesitas Total Sumber : Glosarium : Data & Informasi Kesehatan Depkes 2006 n % 8 73 16 23 6,7 60,8 13,3 19,2 120 100 Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa 39,2% responden mengalami massalah status gizi. Responden yang memiliki status gizi lebih sebesar 32,5% dan status gizi kurang sebesar 6,7%. Laju Metabolik Istirahat Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Laju Metabolik Istirahat (Resting Metabolic Rate) Variabel Mean SD Minimal-Maksimal Median RMR (kkal) 1579 177 1199 – 2078 1550 Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa rata-rata laju metabolik istirahat responden adalah sebesar 1579 ± 177. Responden dengan laju metabolik istirahat terendah adalah sebesar 1199 dan laju metabolik istirahat tertinggi sebesar 2078. Aktivitas Fisik Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Total Skor Aktivitas Fisik Menurut Kuisioner Baecke Physical Activity Scale Variabel Mean SD Minimal-Maksimal Median Aktivitas Fisik (skor) 7,95 1,11 4,87 – 10,87 7,94 Berdasarkan tabel 4, dapat dilihat bahwa rata-rata skor untuk aktivitas fisik responden adalah sebesar 7,95 ± 1,11. Responden dengan skor untuk aktivitas fisik terendah adalah sebesar 4,87 dan skor untuk aktivitas fisik tertinggi sebesar 10,87. 6 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Asupan Zat Gizi Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Zat Gizi Variabel Mean SD Minimal Maksimal Median Energi (kkal) 1453 312 893 2149 1434 Karbohidrat (gram) 181,6 43,4 83,5 270,8 175,6 Lemak (gram) 57 17,3 25,7 104,1 55 Protein (gram) 51,3 12,8 23,4 85 50,6 Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat bahwa rata-rata asupan energi responden adalah sebesar 1453 ± 312 kkal. Asupan energi rata-rata terendah responden adalah sebesar 893 kkal dan asupan energi rata-rata tertinggi responden sebesar 2149 kkal. Pada tabel 5 juga dapat dilihat bahwa rata-rata asupan karbohidrat responden sebesar 181,6 ± 43,4 gram. Asupan karbohidrat rata-rata terendah responden adalah sebesar 83,5 gram dan asupan karbohidrat rata-rata tertinggi responden sebesar 270,8 gram. Sedangkan untuk rata-rata asupan lemak responden sebesar 57 ± 17,3 gram. Asupan lemak rata-rata terendah responden adalah sebesar 25,7 gram dan asupan lemak rata-rata tertinggi responden sebesar 104 gram. Begitu pula dengan ratarata asupan protein responden dapat dilihat pada tabel 5 yakni sebesar 51,3 ± 12,8 gram. Asupan protein rata-rata terendah responden adalah sebesar 23,4 gram dan asupan protein rata-rata tertinggi responden sebesar 85 gram. Status Merokok Status merokok dibagi menjadi dua kategori, yaitu merokok dan tidak merokok. Pada tabel 6 terlihat responden yang merokok sebanyak 50% dari total keseluruhan sampel. Selain status merokok responden, hasil analisis juga menunjukkan bahwa rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap dalam satu hari adalah sebanyak 14 batang, sedangkan untuk usia pertama kali responden merokok adalah pada usia 14 tahun. Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Status Merokok No. 1 2 Status Merokok Merokok Tidak merokok Total n 60 60 120 % 50 50 100 7 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Tingkat Stres Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Skor Tingkat Stres Variabel Mean SD Minimal-Maksimal Median Tingkat Stres (skor) 15,82 5,76 0 - 40 16 Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata skor tingkat stres yang diperoleh responden setelah sebesar 15,82 ± 5,76. Skor tingkat stres reponden yang terendah adalah sebesar 0 dan skor tingkat stres reponden yang tertinggi sebesar 40. Stres kemudian dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.11: Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Stres No. 1 2 3 4 5 Tingkat Stres Normal Ringan Sedang Berat Sangat berat Total Sumber : Kuisioner DASS (Depression Anxiety Stress Scale). Skor 0-14 15-18 19-25 26-33 >34 n 51 34 31 3 1 120 % 42,5 28,3 25,8 2,5 0,8 100 Pada tabel 8 terlihat bahwa responden yang berada dalam keadaan normal sebesar 42,5% sedangkan 57,4% responden mengalami stres. Responden dengan tingkat stres ringan sebesar 28,3%, responden dengan tingkat stres sedang sebesar 25,8%, responden dengan tingkat stres berat 2,5%, dan responden dengan tingkat stres sangat berat 0,8%. Hubungan Laju Metabolik Istirahat dengan IMT Tabel 9. Analisis Korelasi dan Regresi Laju Metabolik Istirahat dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) Variabel Independen Variabel Dependen r R2 p-value Laju Metabolik Istirahat IMT 0,861 0,741 0,000 Berdasarkan tabel 9, dapat dilihat bahwa koefisien korelasi Pearson antara laju metabolik istirahat dan indeks massa tubuh (IMT) adalah 0,861. Hubungan antara laju metabolik istirahat dengan indeks massa tubuh menunjukkan korelasi yang positif dengan kekuatan hubungan yang kuat (r = 0,861). Artinya, semakin tinggi laju metabolik istirahat maka indeks massa tubuh juga akan semakin tinggi. Nilai R2 sebesar 0,741 menunjukkan variabel laju 8 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 metabolik istirahat dapat menjelaskan variabel indeks massa tubuh sebesar 74,1%. Selain itu, korelasi antara laju metabolik istirahat dengan indeks massa tubuh bermakna secara statistik ditunjukkan dengan nilai-p 0,000. Gambar 1. Diagram Tebar Korelasi Antara Laju Metabolik Istirahat dengan IMT Pada gambar 1, ditunjukkan persamaan garis (y = a + bx) hubungan antara laju metabolik istirahat dengan indeks massa tubuh. Nilai untuk a adalah -18,78, sedangkan nilai untuk b adalah 0,027, sehingga persamaan garis lurus yang didapat adalah : Indeks Massa Tubuh = -18,78 + 0,027 (RMR) Hubungan Aktivitas Fisik dengan IMT Tabel 10. Analisis Korelasi Aktivitas Fisik dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) Variabel Independen Variabel Dependen r R2 p-value Aktivitas Fisik IMT -0,045 0,002 0,628 9 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Tabel 10 memperlihatkan bahwa koefisien korelasi Pearson antara aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh (IMT) adalah sebesar –0,045. Hubungan antara laju metabolik istirahat dengan indeks massa tubuh menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan hubungan yang lemah (r = 0,045). Hasil tersebut menunjukkan jika semakin besar aktivitas fisik maka indeks massa tubuh akan semakin kecil. Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh (p-value = 0,628). Hubungan Asupan Zat Gizi dengan IMT Tabel 11. Analisis Korelasi Asupan Energi dan Zat Gizi Makro dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) Variabel Independen Variabel Dependen r R2 p-value Asupan Energi Asupan Karbohidrat Asupan Lemak Asupan Protein IMT IMT IMT IMT 0,096 0,105 0,038 0,083 0,009 0,011 0,01 0,07 0,295 0,255 0,677 0,367 Korelasi antara asupan energi dengan indeks massa tubuh pada tabel 11 menunjukkan korelasi dengan kekuatan yang rendah (r = 0,096) dan berpola positif. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara asupan energi dengan indeks massa tubuh. (pvalue = 0,295). Hasil uji statistik juga tidak menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara asupan karbohidrat dan indeks massa tubuh (p-value = 0,255). Berdasarkan tabel 11, korelasi antara variabel asupan karbohidrat dengan indeks massa tubuh memiliki korelasi dengan kekuatan rendah ( r = 0,105) dengan pola positif. Hasil uji statistik untuk asupan lemak juga tidak menunjukkan adanya korelasi yang bermakna dengan indeks massa tubuh (p-value = 0,367). Pada tabel 11 ditunjukkan korelasi antara variabel asupan protein dengan indeks massa tubuh dimana korelasi antar kedunya memiliki kekuatan yang rendah (r = 0,038) dengan pola positif. Berdasarkan tabel 11, korelasi antara variabel asupan protein dengan indeks massa tubuh menunjukkan korelasi dengan kekuatan yang rendah ( r = 0,083) dan berpola positif. Hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara asupan protein dan indeks massa tubuh (p-value = 0,367). 10 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Status Merokok Tabel 12. Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) Responden Menurut Status Merokok No. 1 2 Status Merokok Merokok Tidak Merokok n 60 60 Mean IMT 23,87 23,71 SD 5,70 5,47 p-value 0,873 Berdasarkan tabel 12, terlihat bahwa terdapat 50% responden merokok dan mereka memiliki rata-rata IMT sebesar 23,87 kg/m2. Sedangkan untuk responden yang tidak merokok memiliki rata-rata IMT sebesar 23,71 kg/m2. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara merokok dan tidak merokok dengan IMT. Tingkat Stres Tabel 13. Distribusi Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) Responden Menurut Tingkat Stres No. 1 2 3 4 5 Tingkat Stres Normal Ringan Sedang Berat Sangat berat n 51 34 31 3 1 % 42,5 28,3 25,8 2,5 0,8 Mean IMT 23,25 23,75 23,76 27,20 43,42 SD 5,16 4,52 5,82 10,60 - p-value 0,006 Pada tabel 13 terlihat bahwa rata-rata IMT meningkat seiring dengan semakin meningkatnya tingkat stres yang dialami responden. Responden yang berada dalam kondisi normal memiliki rata-rata IMT sebesar 23,25 kg/m2. Sedangkan, responden dengan tingkat stres ringan ratarata IMT adalah 23,75 kg/m2, untuk tingkat stres sedang adalah 23,76 kg/m2, untuk tingkat stres berat adalah 27,20 kg/m2, serta untuk tingkat stres sangat berat adalah 43,42 kg/m2. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada rata-rata IMT menurut tingkat stres responden ( p-value = 0,006). Pembahasan Indeks Massa Tubuh (IMT) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada mahasiswa laki-laki Fakultas Ilmu Budaya, masih ditemukan kejadian status gizi lebih dan status gizi kurang. Prevalensi status gizi lebih sebesar 32,5% dimana 19,2% mengalami obesitas dan 13,3% kegemukan, sedangkan 6,7%. sampel mengalami status gizi kurang. Jika dibandingkan dengan Riskesdas (2013), prevalensi masalah gizi kurang di Fakultas Ilmu Budaya berada di bawah angka nasional, dimana prevalensi penduduk usia >18 tahun dengan status gizi kurang sebesar 8,7%, sedangkan untuk 11 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 status gizi lebih, prevalensinya lebih besar dibanding angka nasional yaitu 28,9%. Masalah status gizi yang terjadi pada remaja tersebut berkaitan dengan kebutuhan gizi yang tinggi dalam masa pertumbuhan, gaya hidup dan pola makan remaja, serta kerentanan remaja terhadap pengaruh dari lingkungan sekitarnya (WHO, 2005). Laju Metabolik Istirahat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laju metabolik istirahat memiliki hubungan yang signifikan dengan indeks massa tubuh. Laju metabolik istirahat dengan indeks massa tubuh memiliki hubungan yang kuat terlihat dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,861 dengan pola positif yang berarti semakin tinggi laju metabolik istirahat maka indeks massa tubuh juga akan semakin tinggi. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Ravussin (1982) dan Zhang et al.(2008) yang menunjukkan bahwa laju metabolik istirahat lebih besar pada kelompok yang obesitas disebabkan karena nilai VO2 yang lebih besar dan peningkatan massa tak berlemak (fat free mass). Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan hasil yang kontras. Menurut penelitian Ravussin (1993) dan Tatarani (2003), menunjukkan bahwa laju metabolik istirahat memiliki korelasi negatif dengan indeks massa tubuh, dimana semakin rendah laju metabolik istirahat maka berat badan akan semakin tinggi. Laju metabolik istirahat merupakan komponen terbesar dari keseluruhan total energi yang dikeluarkan setiap harinya, sehingga semakin tinggi laju metabolik istirahat maka akan semakin besar energi yang dikeluarkan (Leibel, 1995). Aktivitas Fisik Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh (p-value = 0,628). Namun, dari hasil analisis menunjukkan bahwa aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh memiliki korelasi negatif (r = -0,045), yang berarti semakin tinggi aktivitas fisik maka indeks massa tubuh akan semakin rendah. Hasil tersebut konsisten dengan penelitian Lohman (2008) yang menunjukkan adanya hubungan positif antara aktivitas fisik dengan kebugaran, dan juga aktivitas fisik memiliki hubungan negatif dengan indeks massa tubuh. Penelitian longitudinal yang dilakukan Rauner (2013) juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara aktivitas fisik dan indeks massa tubuh. Selain itu, aktivitas fisik juga memiliki hubungan positif dengan massa tak berlemak (fat free mass) dimana semakin tinggi aktivitas fisik maka massa tak berlemak tubuh akan semakin besar. Studi meta-analisis yang dilakukan Speakman dan Selman (2003) menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat meningkatkan laju metabolik istiharat yang disebabkan oleh peningkatan massa tubuh tak berlemak (fat free mass). 12 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Asupan Energi Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan indeks massa tubuh. Hal ini konsisten dengan penelitian Hermanussen (2008), yang tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan indeks massa tubuh. Selain itu, hasil analisis menunjukkan korelasi positif antara asupan energi dengan indeks massa tubuh yang berarti semakin tinggi asupan energi maka akan semakin tinggi indeks massa tubuh. Hasil yang kontras ditunjukkan dalam penelitian Elliot et al.(2011) yang dilakukan pada 2460 laki-laki dan perempuan usia antara 5-17 tahun di Queensland, Australia, yang menemukan bahwa adanya hubungan signifikan dengan pola positif antara asupan energi dengan indeks massa tubuh. Selain itu, dalam penelitian Elliot et al.(2011) juga menyatakan bahwa diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat dapat menyebabkan akumulasi lemak tubuh yang berlebihan, walaupun total energi yang masuk tidak berlebihan. Asupan Karbohidrat Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat dengan indeks massa tubuh. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hermanussen (2008) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat dengan indeks massa tubuh. Hasil yang kontras ditunjukkan pada penelitian Krieger et al.(2006) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara intake dari karbohidrat dengan massa tubuh, dimana semakin rendah energi yang didapatkan dari karbohidrat maka massa tubuh akan semakin turun. Menurut Fine & Feinman (2004), diet rendah karbohidrat akan meningkatkan kebutuhan tubuh akan protein dan asam amino yang digunakan dalam proses glukoneogenesis. Proses tersebut membutuhkan energi yang lebih besar, sehingga akan terjadi defisit antara energi yang masuk dan yang dikeluarkan. Selain itu, penelitian Jensen et al.(1989) menunjukkan bahwa penurunan lemak tubuh terkait diet rendah karbohidrat dapat dihubungan terhadap perubahan yang terjadi pada konsentrasi insulin. Kadar insulin yang sedikit akan mendorong terjadinya mobilisasi asam lemak bebas dari sumber penyimpanan lemak tubuh. Namun, hasil berbeda ditunjukan dalam penelitian Gaesser (2007), yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang siginifikan antara karbohidrat dengan glikemik indeks rendah dengan indeks massa tubuh. Hasil tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Brand-Miller (2003), yang menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi makanan dengan indeks glikemik rendah dapat mencegah atau membantu dalam penanganan masalah obesitas. Selain itu, hubungan negatif antara asupan karbohidrat dengan indeks massa tubuh juga dapat disebabkan kandungan serat yang tinggi 13 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 pada makanan sumber karbohidrat. Menurut studi yang dilakukan Slavin (2005), menunjukkan bahwa diet tinggi serat memiliki hubungan yang signifikan dengan penurunan berat badan. Hal tersebut dikarenakan diet tinggi serat, yang dapat diperoleh dari konsumsi buah dan sayuran, dapat menurunkan energy density dan mendorong timbulnya rasa kenyang (satiety). Asupan Lemak Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan indeks massa tubuh. Hal ini sejalan dengan Hermanussen (2008) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan indeks massa tubuh. Namun, hal tersebut kontras dengan penelitian yang dilakukan oleh Astrup et al.(2000), yang menyatakan bahwa diet tinggi lemak memiliki hubungan yang signifikan dengan indeks massa tubuh. disebabkan karena peningkatan jaringan adiposa akibat peningkatan konsumsi dan kepadatan energi yang tinggi (energy density) dari lemak. Penelitian Shah et al. (1994) pada perempuan yang mengalami obesitas menunjukkan bahwa diet rendah lemak dapat menurunkan 4,6 kg berat badan, sedangkan dengan diet rendah energi dapat menurunkan 3,7 kg. Diet rendah lemak memberikan hasil yang lebih besar dalam penurunan berat badan dapat disebabkan karena faktor genentik (Heitmann et al., 1995) dan kemapuan tubuh dalam oksidasi lemak (Thomas et al., 1992). Asupan Protein Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan indeks massa tubuh. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Randi et al. (2006) yang menunjukkan bahwa diet tinggi protein tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan IMT pada laki-laki. Hasil tersebut kontras dengan penelitian Hermanussen (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan indeks massa tubuh. Penelitian Noakes et al. (2005) menunjukkan penurunan berat badan melalui diet tinggi protein berhubungan dengan penurunan yang terjadi pada kadar triasilgliserol (triacylglycerol) pada wanita yang mengalami kelebihan berat badan dengan kadar triasilgliserol yang tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mikkelsen et al. (2000) yang menunjukkan bahwa penurunan berat badan pada penderita obesitas akan lebih besar dengan diet tinggi protein disebabkan karena efek termogenik protein yang lebih tinggi dibanding makronutrien lainnya. Efek termogenik dari diet tinggi protein dapat meningkatkan penggunaan energi (energy expenditure). 14 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Status Merokok Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status merokok dengan indeks massa tubuh. Hal tersebut kontras dengan penelitian yang dilakukan oleh Perkins (1989), Williamson (1991), dan Dalloso (1984) dalam Chiolero (2008) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara status merokok dengan indeks massa tubuh. Seseorang yang merokok akan cenderung memiliki indeks massa tubuh lebih rendah dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Merokok dapat memberikan efek anorektik sehingga perokok tidak merasa lapar (Jo Y.H, 2002). Selain itu, merokok juga dapat menyebabkan penurunan berat badan karena terjadinya peningkatan laju metabolisme istirahat, sehingga energi yang dikeluarkan tubuh akan meningkat. Penelitian Williamson (1991) juga menunjukkan seseorang yang berhenti merokok akan lebih beresiko mengalami peningkatan berat badan. Peningkatan berat badan setelah berhenti merokok disebabkan oleh peningkatan asupan zat gizi serta penurunan energy expenditure (Chiolero, 2008). Tingkat Stres Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat adanya korelasi positif yang signifikan antara tingkat stres dengan indeks massa tubuh. Korelasi positif antara kedua variabel menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat stres yang dialami responden maka indeks massa tubuh juga akan semakin tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Keith (2006) yang menyatakan bahwa stres merupakan salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang mengalami obesitas. Menurut Epel (2001) dan Torres (2007) stres berat yang dialami seseorang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan asupan energi dan makanan padat gizi yang nantinya akan berdampak pada terjadinya obesitas viseral. Namun, selain dapat menyebabkan peningkatan asupan makanan, menurut Sapolsky (1998), stres yang diderita seseorang dapat berpengaruh terhadap hormon CRH yang berakibat pada efek anorektik dimana seseorang akan menjadi tidak nafsu makan. Disamping itu, seseorang yang melakukan pembatasan terhadap asupan makannya dapat mengalami peningkatan asupan makan saat mengalami stres (Habhab, 2009). Hal tersebut disebabkan karena seseorang yang mengonsumsi makanan yang sedang dibatasi (berdiet), akan mendapatkan kepuasaan sesaat saat mengonsumsi makanan tersebut yang digunakan sebagai upaya mengatasi stres. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada mahasiswa laki-laki Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun 2014, 32,5% sampel mengalami status gizi lebih dan 6,7% 15 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 mengalami statusgizi kurang. Rata-rata laju metabolik istirahat (resting metabolic rate) sampel adalah 1579 kkal. Rata-rata skor aktivitas fisik sampel adalah 7,95. Asupan zat gizi sampel per hari untuk energi memiliki rata-rata sebesar 1453 kkal, asupan protein 51,3 gram, asupan lemak 57 gram, dan karbohidrat 181,6 gram. Lebih banyak sampel yang mengalami stres diabdingkan yang berada dalam kondisi normal. Setengah dari total sampel dalam penelitian ini merupakan perokok. Terdapat hubungan yang signifikan antara laju metabolik istirahat dengan IMT, dengan kekuatan korelasi yang kuat (r = 0,861) dan berpola positif. Terdapat pula perbedaan yang signifikan antara tingkat stres yang dialami responden dengan IMT, dengan p-value = 0,006 dan berpola positif, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik, asupan energi dan zat gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak), serta status merokok dengan IMT. Saran • Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian yang serupa dengan jumlah sampel yang lebih besar. • Diharapkan adanya penelitian yang serupa dengan menggunakan responden perempuan, sehingga diketahui hubungan laju metabolik istirahat dan faktor lainnya dengan IMT pada perempuan. • Diharapkan adanya penelitian dengan menggunakan desain penelitian lain yang dapat menggambarkan hubungan sebab akibat antara laju metabolik istirahat dan faktor lainnya dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). • Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai keseimbangan energi yang dibutuhkan dalam regulasi berat badan, sehingga mahasiswa,khususnya para remaja, dapat lebih memperhatikan antara energi yang masuk melalui makanan yang dikonsumsi dengan energi yang keluar melalui metabolisme tubuh (resting metabolic) dan aktivitas fisik. • Pada mahasiswa diharapkan dapat lebih memperhatikan asupan makannya setiap hari, khususnya bagi yang mengalami stres, agar tidak menggunakan makanan sebagai upaya dalam mengatasi stres. • Diharapkan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dapat memberikan promosi dan edukasi kepada seluruh mahasiswa mengenai pentingnya keseimbangan energi (energy balance) dan stres manajemen dalam upaya mencapai status gizi ideal. 16 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Daftar Referensi Aditama C.Y. (1992). Rokok dan Kesehatan. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Almatsier S. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. __________. (2006). Penuntun Diet Edisi Baru. Gramedia Pustaka Utama. Astrup, Grunwald, Melanson, Saris, & Hill. (2000). The role of low-fat diets in body weight control: a meta-analysis of ad libitum dietary intervention studies. International Journal of Obesity, 24, 1545-1552. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. (2007). BPS dan Macro International. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007, Calverton, Maryland, USA. Baecke, J.A.H., Burema, I., & Frijters, J.E.R. (1982). A Short Questionnaire For The Measurement of Habitual Physical Activity in Epidemiological Studies. Am J Clin Nutr, 36 ,936-42. Baker. J., Olsen. L., Sørensen, T. (2007). Childhood Body-Mass Index and the Risk of Coronary Heart Disease in Adulthood. The New England Journal of Medicine, 357(23), 2329-2337. Brand-Miller, Janette C. (2003). Glycemic Load and Chronic Disease. Nutrition Reviews, 61(5), s49. Chiolero, A., Faeh, D., Paccaud, F., & Cornuz, J. (2008). Consequences Of Smoking For Body Weight, Body Fat Distribution, and Insulin Resistance. Am J Clin Nutr, 87, 801-9. Corazon, B., Tommaso, C., Jeffery, C. et al. (2004). Appropriate Body-Mass Index For Asian Populations and Its Implications For Policy And Intervention Strategies. The Lancet, 363, 157. Dunford, M., & Doyle, J.A. (2012). Nutrition for Sport and Exercise. (2nd ed.). Wadsworth, Cengage Learning. Dugdill, L., Crone, D., Murphy, R. (2009). Physical Activity & Health Promotion : EvidenceBased Approaches To Practice. Blackwell Publishing, Ltd. United Kingdom. Elliot, S., Truby, H., Lee, A. et al. (2011). Associations of body mass index and waist circumference with: energy intake and percentage energy from macronutrients, in a cohort of australian children. Nutrition Journal, 10, 58. 17 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Epel, E., Lapidus, R., McEwen, B., & Brownell, K. (2001). Stress May Add Bite To Appetite in Women: A Laboratory Study of Stress-Induced Cortisol and Eating Behavior. Psychoneuroendocrinology, 26, 37–49. Fine, E.J., & Feinman, R.D. (2004). Thermodynamics of weight loss diets. Nutrition & Metabolism, 1, 15. Gaesser, & Glenn, A. (2007) Carbohydrate Quantity and Quality in Relation to Body Mass Index. J Am Diet Assoc,107, 1768-1780. Haas, J.D. & Brwonlie, T. (2001). Iron Deficiency and Reduced Work Capacity: A Critical Review of The Research to Determine A Causal Relationship. The Journal of Nutrition, 131, 676s-690s. Habhab, S., Sheldon, J.P., & Loeb, R.C. (2009). The Relationship Between Stress, Dietary Restraint, And Food Preferences in Women. Appetite, 52, 437–444. Heitmann, Lissner, Sorensen, Bengtsson. (1995). Dietary fat intake and weight gain in women genetically predisposed for obesity. Am J Clin Nutr, 61, 1213-7. Hermanussen, M., Sichert-Hellert, W., & Kersting, M. (2008). Nutritional protein and body mass index, the neglected correlation. acta medica lituanica, 1(15), 9-5. Jensen, Caruso, Heiling, & Miles. (1989). Insulin Regulation of Lipolysis in Nondiabetic and IDDM Subjects. Diabetes, 3, 1595. Jo, Y.H., Talmage, D.A., & Role, L.W. (2002). Nicotinic Receptor-Mediated Effects on Appetite and Food Intake. J Neurobiol, 53(4), 618–632 Keith, S.W., Redden, D.T., Katzmarzyk, P.T. et al. (2006). Putative Contributors To The Secular Increase in Obesity: Exploring The Roads Less. International Journal of Obesity, 30, 1585–1594. Krieger, Sitren, Daniels, langkamp-Henken. (2006). Effects of variation in protein and carbohydrate intake on body mass and composition during energy restriction: a metaregression. Am J Clin Nutr, 83, 260 –74. Kurpad, A.V., Muthayya, S., & Vaz, M. (2005). Consequences of Inadequate Food Energy and Negative Energy Balance in Humans. Public Health Nutrition, 8(7A), 1053-1076. Leibel, R.L., Rosenbaum, M., & Hirsch, J. (1995). Changes in energy expenditure resulting from altered body weight. The New England Journal Of Medicine, 332, 621-628. 18 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Lohman, T.G., Ring, K., & Pfeiffer, K. (2008). Relationships among Fitness, Body Composition, and Physical Activity. Med Sci Sports Exerc, 40(6), 1163–1170. Maria, P., & Evagelia, S. (2009). Obesity Disease. Health Science Journal, 3, 132-139. Mikkelsen, P.B., Toubro, S., & Astrup, A. (2000). Effect of fat-reduced diets on 24-h energy expenditure: comparisons between animal protein, vegetable protein, and carbohydrate. Am J Clin Nutr, 72, 1135– 41. Nieuwenhuijsen, K., Boer, Verbeek, et al. (2003). The Depression Anxiety Stress Scales (DASS): Detecting anxiety disorder and depression in employees absent from work because of mental health problems. Occupational and Environmental Medicine, i77-i82. Noakes, Keogh, Foster, & Clifton. (2005). Effect of an energy-restricted, high-protein, low-fat diet relative to a conventional high-carbohydrate, low-fat diet on weight loss, body composition, nutritional status, and markers of cardiovascular health in obese women. Am J Clin Nutr, 81, 1298-306. Nooyens, A., Koppes, L., & Visscher, T., et al. (2007). Adolescent Skinfold Thickness is A Better Predictor of High Body Fatness in Adults Than is Body Mass Index: The Amsterdam Growth and Health Longitudinal Study. Am J Clin Nutr, 85, 1533–1539 Pearcey, S.M., & Castro, J.M. (2000). Food Intake and Meal Patterns of Weight-Stable and Weight-Gaining Persons. Am J Clin Nutr, 76:107–12. Perkins, K., Epstein, L.H, Stiller, R. et al. (1989). Acute effects of nicotine on resting metabolic rate in cigarette smokers. Am J CIin Nutr, 50, 545-50. Randi, G., Pelucchi C., Gallus S. et al. (2006). Lipid, protein and carbohydrate intake in relation to body mass index: an Italian study. Public Health Nutrition, 10(3), 306–310. Rauner, A., Mess, F., & Woll, A. (2013). The Relationship Between Physical Activity, Physical Fitness And Overweight in Adolescents: A Systematic Review of Studies Published in or After 2000. Pediatrics, 13, 19. Ravussin, Eric. (1993). Energy Metabolism in Obesity. Diabetes Care. Vol 16, Supplement 1, January. ___________, Burnand, B., Schutz, Y. et al. (1982). Twenty-four-hour energy expenditure and resting metabolic rate in obese, moderately obese, and control subjects. Am J Clin Nutr, 35, 566-573. Riset Kesehatan Dasar 2013. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan. 19 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014 Sapolsky, R. (1998). Why Zebras don’t get Ulcers: An Updated Guide to Stress, Stressrelated Diseases, and Coping. Freeman and Co. New York, pp. 76–79. Shah, McGovern, French, & Baxter. (1994). Comparison of a low-fat, ad libitum complexcarbohydrate diet with a low-energy diet in moderately obese women. Am J Clin Nutr, 59, 980-4. Slavin, Joanne L. (2005). Dietary fiber and body weight. Nutrition, 21, 411-418. Speakmen, J.R., & Selman, C. (2003). Physical activity and resting metabolic rate. Proceedings of the Nutrition Society, 62, 621–634. Supariasa, I.D.N., Bakri, B., & Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tataranni, P.A., Harper, I.T., Snitker, S. et al. (2003). Body Weight Gain in Free-Living Pima Indians: Effect of Energy Intake vs Expenditure. International Journal of Obesity, 27, 1578–1583. Thomas, C.D., Peters, J.C., Reed, G.W. et al. (1992). Nutrient balance and energy expenditure during ad libitum feeding of high-fat and high-carbohydrate diets in humans. Am J Clin Nutr, 55, 934-42. Torres, S.J., & Nowson, C.A. (2007). Relationship Between Stress, Eating Behavior, and Obesity. Nutrition, 23, 887–894. Williamson, D., Madans, J., Anda, R. et al. (1991). Smoking Cessation and Severity of Weight Gain in National Cohort. N Engl J Med, 324, 739-45. Wiseman, Gerald. (2002). Nutrition and Health. Taylor & Francis, London. World Health Organization. (2005). Nutrition in adolescence - Issues and Challenges for the Health Sector : Issues in Adolescent Health and Development. Zhang, C.X., Chen, Y.M., Chen, W.Q. et al.(2008). Energy expenditure and energy intake in 10-12 years obese and non-obese chinese children in a Guangzhou bourding school. Asia Pac J Clin Nutr, 17(2), 235-242 20 Universitas Indonesia Hubungan laju…, I Gusti Agung Bayu Prabhawa M , FKM UI, 2014