BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengukuran Maloklusi Suatu kriteria untuk menetapkan tingkat kesulitan perawatan pada American Board of Orthodontic (ABO) adalah kompleksitas kasus. ABO mengembangkan teknik Discrepancy Index (DI) untuk mengevaluasi secara obyektif kompleksitas dan menunjukkan pengertian yang lebih baik tentang tingkat kesulitan. DI menggambarkan kompleksitas kasus maloklusi berdasarkan observasi dan pencatatan pengukuran pada studi model, foto panoramik dan foto sefalometri. Tiga kategori kompleksitas maloklusi: 9,10,11 1. Kategori rendah : total skor DI <16 2. Kategori sedang : total skor DI 16-25 3. Kategori tinggi : total skor DI >25 Beberapa penelitian terdahulu telah mencoba untuk menggunakan analisis Discrepancy Index. Walaupun metode ini masih baru tetapi dapat diimplementasikan karena indikatornya bersifat umum.9,10,11 Riolo (2005) melaporkan hasil penelitian bahwa keparahan kasus pada sampel yang dirawat di USA adalah 89%, maksila memiliki skor DI : 7, dengan judul penelitian ABO resident clinical outcomes study: Case complexity as measured by the discrepancy index. 6 Universitas Sumatera Utara 7 Deguchi (2005) melakukan perbandingan pengukuran dalam penelitiannya : Clinical assessment of orthodontic outcomes with the PAR, DI, OGS and CCA. Tujuan penelitian untuk menilai secara kuantitatif hasil perawatan pada Klinik Ortodonsia di Okayama University dan Indiana University. Hasilnya berupa skor DI rata-rata pada Okayama University 19.1 dan pada Indiana University skor DI 17,1. Sadikin (2007) dalam penelitiannya dengan judul Gambaran Maloklusi di Klinik Ortodonsia RSGM FKG UI menggunakan teknik pengukuran Discrepancy Index. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan persentase keparahan pasien yang dirawat. Desain penelitian deskriptif dan hasil penelitian : sebagian besar kasus maloklusi pasien yang dirawat tergolong memiliki kompleksitas tinggi (skor DI >25) yaitu sebesar 40,2%, dengan gambaran maloklusi Klas I DI = 17,99 : maloklusi Klas II DI = 26,95 : maloklusi Klas III DI = 22,20. 2.2. Manfaat Pengukuran DI Metode pencatatan dan pengukuran yang baik dari suatu maloklusi penting sebagai dokumentasi tentang prevalensi dan keparahan maloklusi dalam suatu kelompok populasi. Jenis data ini tidak hanya penting bagi epidemiologis, tetapi juga penting bagi perencana ketetapan perawatan ortodonsia di dalam masyarakat atau untuk pendidikan spesialis ortodonsia. Jika metode telah diterima dan digunakan secara umum, data yang dikumpulkan dari kelompok populasi yang berbeda dapat diperbandingkan.3,13,14 Universitas Sumatera Utara 8 Sebagian besar metode pengukuran terhadap keparahan maloklusi dikembangkan dari Tahun 1950-1960. DI merupakan suatu metode yang bermanfaat dalam menganalisa kasus dan untuk meringkaskan keadaan klinis kondisi pasien dengan suatu perhitungan. Metode DI selain untuk mengukur derajat maloklusi secara kuantitatif, juga dapat digunakan untuk memilih rencana perawatan. Semakin tinggi kompleksitas maloklusi akan semakin tinggi keterampilan yang dibutuhkan ortodontis dalam memilh rencana perawatan dan melakukan perawatan terhadap pasien.1,15,16,17 2.3. Landasan Teori Komponen parameter DI terdiri dari beberapa variabel antara lain : : overjet, overbite, anterior open bite, lateral open bite, crowding, oklusi, lingual posterior crossbite, buccal posterior crossbite, sudut ANB, IMPA dan SN-Go-GN. Semakin besar nilai parameter ini, semakin besar kompleksitas yang ada. 2.3.1. Overjet Besar overjet ditentukan oleh Iregularitas pada overjet abnormal posisi gigi anterior maksila dan mandibula. dikaitkan dengan fungsi lidah dan bibir yang atau ada diskrepansi ukuran gigi antara lengkung maksila dan mandibula anterior.18 Menurut Rakossi (1993), overjet adalah jarak antara tepi insisal bagian lingual gigi insisivus sentralis maksila ke tepi insisal bagian labial gigi insisivus sentralis mandibula (Gambar 2.1). Universitas Sumatera Utara 9 Gambar 2.1. Overjet 14 2.3.2. Overbite Lengkung gigi maksila lebih besar dibandingkan lengkung mandibula sehingga memungkinkan anterior maksila overlapping dengan anterior mandibula. Derajat overlapping dalam arah vertikal disebut overbite, dengan nilai normal berkisar 2-4 mm (Gambar 2.2). Kondisi dimana terjadi kelebihan overlapping secara vertikal dinamakan deepbite. Ada dua jenis deep bite12 : 1. Incomplete Deep Bite : Bila hubungan insisivus mandibula tidak beroklusi dengan insisivus maksila. 2. Complete Over Bite : Hubungan gigi insisivus mandibula berkontak dengan permukaan palatal insisivus maksila atau jaringan palatal ketika gigi dalam oklusi sentrik. Klasifikasi Deep Bite digolongkan ke dalam dua jenis yaitu skeletal deep bite dan dental deep bite. Pasien dengan skeletal deep bite memperlihatkan arah pertumbuhan yang horizontal, tinggi wajah anterior berkurang, jarak Universitas Sumatera Utara 10 interoklusal berkurang, pemeriksaan sefalometri seperti mandibula plane, F.H. plane, S.N. plane, paralel satu sama lain. Dentoalveolar deep bite terjadi disebabkan oleh over erupsi gigi anterior atau infra oklusi gigi-gigi molar.19 14 Gamabr 2.2. Overbite 2.3.3. Anterior Open bite Open bite merupakan maloklusi yang terjadi dalam arah vertikal, dengan karekteristik tidak terjadi vertikal overlapping antara gigi-gigi maksila dan mandibula (Gambar 2.3). Open bite diklasifikasikan sebagai18 : a. Skeletal anterior open bite Menunjukkan adanya pertambahan tinggi wajah mandibula, sudut mandibula plane curam, pasien memiliki bibir atas yang pendek dan insisivus maksila terlihat panjang, memiliki wajah yang panjang dan sempit, pemeriksaan sefalometri memperlihatkan rotasi mandibula ke bawah dan ke depan. Universitas Sumatera Utara 11 b. Dental anterior open bite Memperlihatkan karakteristik berupa proklinasi gigi anterior maksila, gigi maksila dan anterior mandibula tidak overlapping satu sama lain sehingga menghasilkan ruang antara maksila dan mandibula di bagian anterior. 14 Gambar 2.3. Anterior Open bite 2.3.4. Lateral Open bite Open bite lateral adalah suatu maloklusi dimana tidak adanya vertikal overlapping antara gigi posterior maksila dan mandibula (Gambar 2.4). Pada open bite jenis ini oklusi pada kedua sisi didukung hanya pada bagian anterior dan gigi molar permanen.18,19 Universitas Sumatera Utara 12 14 Gambar 2.4. Lateral Open bite 2.3.4. Crowding Klasifikasi crowding (Gambar 2.5) tergantung dari etiologi yaitu : a. Primary crowding penyebabnya adalah genetik yang terjadi oleh karena disproporsi ukuran gigi dan rahang. b. Secondary crowding adalah anomali yang didapat oleh karena pergeseran gigi posterior ke mesial setelah premature loss gigi desidui dalam segmen lateral. c. Tertiary crowding penyebabnya masih diperdebatkan karena terjadi pada umur 18 dan 20 tahun yang berhubungan dengan erupsi gigi molar ketiga.18 Gambar 2.5. Crowding 18 Universitas Sumatera Utara 13 2.3.6. Oklusi Penggolongan keadaan oklusi adalah sebagai berikut : a. Klas I Angle disebut juga neutro oklusi ditandai dengan tonjol mesiobukal dari molar pertama permanen maksila terletak pada bukal groove dari molar pertama permanen mandibula. Kaninus maksila terletak pada ruangan antara tepi distal dari kaninus mandibula dan tepi mesial dari premolar pertama mandibula (Gambar 2.6). 14 Gambar 2.6. Oklusi Klas I Angle b. Klas II Angle disebut juga disto oklusi yaitu tonjol mesio bukal dari molar pertama permanen maksila beroklusi pada ruangan antara tonjol mesio bukal dari molar pertama permanen mandibula dan tepi distal dari tonjol bukal premolar kedua mandibula (Gambar 2.7). Universitas Sumatera Utara 14 14 Gambar 2.7. Oklusi Klas II Angle c. Klas III Angle, memperlihatkan tonjol mesio bukal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada ruangan inter dental, di antara bagian distal dari tonjol distal molar pertama permanen mandibula dengan tepi mesial dari tonjol mesial molar kedua permanen mandibula (Gambar 2.8).18 14 Gambar 2.8. Oklusi Klas III Angle Universitas Sumatera Utara 15 2.3.7. Lingual Posterior x-bite Posterior cross bite terjadi akibat kurangnya koordinasi dalam dimensi lateral antara lengkung gigi maksila dan lengkung gigi mandibula. Lingual posterior x-bite merupakan keadaan kondisi maksila bagian posterior beroklusi sepenuhnya pada aspek lingual mandibula bagian posterior (Gambar 2.9).19 14 Gambar 2.9. Lingual Posterior x-bite 2.3.8. Buccal Posterior x-bite Bentuk posterior cross bite adalah gigi-gigi maksila bagian posterior beroklusi sepenuhnya pada aspek bukal gigi-gigi mandibula bagian posterior dinamakan bukal posterior x-bite (Gambar 2.10). Kondisi ini juga dinamakan sebagai scissors bite. Skeletal cross bite dapat terjadi karena malposisi atau malformasi rahang. Cross bite jenis ini biasanya akibat perkembangan embrio yang tidak sempurna juga dapat terjadi sebagai akibat pertumbuhan mandibula yang berlebihan dengan karakteristik lengkung maksila sempit. Dental cross bite disebabkan gangguan yang terlokalisir seperti erupsi ektopik gigi permanen atau over retained gigi desidui. Panjang lengkung gigi yang mengalami Universitas Sumatera Utara 16 diskrepansi dapat menyebabkan crowding dan posisi lingual gigi maksila menjadi dental cross bite. Functional cross bite adanya gangguan oklusal akan menyebabkan deviasi mandibula selama rahang menutup. Keadaan ini menyebabkan unilateral posterior cross bite19. 14 Gambar 2.10. Buccal Posterior x-bite 2.3.9. Penilaian sefalometri untuk : ANB, SN-GoGn , IMPA Sudut ANB terbentuk melalui perpotongan garis yang menghubungkan nasion ke titik A dan nasion ke titik B. Nilai rata-rata adalah 2°. Pertambahan sudut ini mengindikasikan tendensi Klas II skeletal, bila sudut berkurang dari nilai normal, nilainya menjadi negative yang menyebabkan hubungan skeletal Klas III.19 Universitas Sumatera Utara 17 a b c Gambar 2.11. Sudut ANB(a),SN-GoGn(b),IMPA(c) 14 Bidang mandibula di bentuk antara titik gonion (Go) dan gnathion (Gn). Sudut bidang mandibula dibentuk dengan menghubungkan bidang ini ke anterior cranial base (S-N). Rata-rata besar sudut adalah 32°. Sudut bidang mandibula yang bertambah besar atau kecil menandakan pola pertumbuhan yang tidak baik. Pola yang demikian mempengaruhi hasil perawatan, dan adalah bijaksana untuk mengantisipasi problem jika terjadi seperti ini.20 Sudut IMPA dibentuk oleh perpotongan aksis gigi insisivus mandibula dengan bidang mandibula. Nilai rata-rata adalah 90°. Peningkatan nilai sudut ini mengindikasikan proklinasi insisivus mandibula (Gambar 2.11).20 Universitas Sumatera Utara 18 2.3.10. Dan lain lain Dan lain lain adalah kategori untuk kondisi kelainan yang dapat mempengaruhi perawatan (karena tidak mungkin jika memasukkan semua gambaran klinis yang ada dalam suatu indeks), contohnya : agenesis, supernumerari, ektopik, transposisi, anomali ukuran dan bentuk gigi, pergeseran midline, kurva Spee yang dalam. 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep disusun berdasarkan pemeriksaan pada studi model, foto sefalometri, foto panoramik yang diukur pencapaian skor melalui overjet, overbite, anterior openbite, lateral openbite, crowding, oklusi molar, lingual posterior x-bite, buccal posterior x-bite, ANB, SN-GoGn, IMPA dan lain lain. Hasil pengukuran dan analisa setiap indikator dengan menggunakan metode DI merupakan penilaian tingkat kompleksitas maloklusi (Gambar 2.12.). Universitas Sumatera Utara 19 Komponen Parameter DI Overjet Overbite Anterior Open bite Skor DI Maloklusi Klas I Tingkat Kompleksitas Maloklusi Klas I: - Rendah - Sedang - Tinggi Lateral Open bite Crowding Oklusi Molar Skor DI Maloklusi Klas II Tingkat Kompleksitas Maloklusi Klas II: - Rendah - Sedang - Tinggi Skor DI Maloklusi Klas III Tingkat Kompleksitas Maloklusi Klas III: - Rendah - Sedang - Tinggi Variabel yang Dominan Lingual Posterior x-bite Buccal Posteriorx-bite ANB ,SN-GoGn, IMPA Dan Lain-lain (agenesis, supernumerari, ektopik, transposisi, anomali ukuran dan bentuk gigi, pergeseran midline, kurva Spee yang dalam) Gambar 2.12. Kerangka Konsep Penelitian Universitas Sumatera Utara