I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian Indonesia semakin membaik setelah krisis ekonomi tahun 1997, terutama sejak tahun 2000. Indikator makroekonomi nasional antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2008, seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita (Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita), kemiskinan, dan ketenagakerjaan menunjukkan trend meningkat. Sejak tahun 2005, ekonomi nasional selalu tumbuh di atas 5 persen dengan trend yang cenderung meningkat, yaitu 5,03 persen pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 6,01 persen pada tahun 2008, yang kemudian relatif menurun menjadi 4,55 persen pada 2009. Nilai PDB atas dasar harga berlaku per kapita juga mengalami peningkatan dari Rp. 6,8 juta per kapita pada tahun 2000 menjadi Rp. 24,3 juta per kapita pada tahun 2009. Sementara itu, tingkat kemiskinan menurun dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 14,15 persen pada tahun 2009. Sedangkan tingkat pengangguran menurun dari 9,86 persen pada tahun 2004 menjadi 7,87 persen pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik (BPS), Agustus 2009). Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB per kapita yang cukup tinggi di Indonesia tersebut ternyata masih belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran secara signifikan pada periode setelah krisis moneter tahun 1997, terutama setelah tahun 2000. Hal ini terlihat dari perbandingan antara tingginya nilai pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB per kapita dan rendahnya penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Tingkat kemiskinan dan pengangguran mengalami penurunan yang tipis, namun bila dilihat dari nilai nominalnya, nilai tingkat kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi. Dapat dinyatakan bahwa tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia lamban penurunannya (persistent). Hal tersebut menunjukkan terdapat fenomena baru dalam perekonomian Indonesia, terutama di awal Abad 21. Fenomena tersebut sering disebut dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas1 atau paradoks antara pertumbuhan dengan 1 Suara Karya, 2007, Pertumbuhan Ekonomi Tidak Berkualitas, Jum’at 13 Juli 2007. Dalam artikel tersebut, disebutkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas ditandai dengan pendapatan pajak yang cukup rendah oleh Departemen Keuangan RI 1 kemiskinan dan pengangguran2. Hal tersebut berbeda dengan kondisi sebelum krisis ekonomi tahun 1997, dimana pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi, tingkat kesempatan kerja tinggi (pengangguran menurun dengan relatif cepat), dan tingkat kemiskinan juga menurun dengan relatif cepat (Khan, 2005)3. Pada tahun 1994, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mampu menyerap sekitar 375.000 tenaga kerja (sebelumnya bahkan sampai 400.000 tenaga kerja). Dalam periode tahun 2000-2004, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan 215.000 lapangan kerja. Setelah itu, angkanya bahkan menurun lagi menjadi 178.000 tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi sejak awal tahun 2005 hingga pertengahan 2006 dapat dinyatakan semakin tidak bisa diandalkan untuk membuka lapangan kerja baru. Dalam periode tersebut, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya dapat menyerap tenaga kerja sebaganyak 40.000-50.000 tenaga kerja. Merujuk pada hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2005, Juli 2005, dan Februari 2006 bahwa sebelumnya penyerapan tenaga kerja 240.000-250.000 orang pada tahun 2003 dan sekitar 200.000 orang pada tahun 2004 untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 semakin tidak berkualitas dengan ditandai oleh melebarnya kesenjangan ekonomi antara daerah kaya dan daerah miskin, antara wilayah perdesaan dan perkotaan, serta tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi (Tinambunan, 2007)4. Kondisi tersebut membuat target penurunan angka pengangguran semakin tidak mudah karena Pemerintah sampai pada tahun 2009 yang masih menggunakan asumsi bahwa setiap satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan 600.000 tenaga kerja sebagai dasar penetapan target pengurangan tingkat pengangguran terbuka dari 9,5 persen pada tahun 2004 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009. Selain itu, upaya Pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan menjadi setengahnya (yaitu menjadi 7,55 persen) pada tahun 2015 dalam rangka pencapaian Tujuan 2 Siregar, Hermanto, 2007, Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, bahan presentasi, IPB dan Brighten Institute, Bogor 3 Khan, Azizur Rahman, 2005, Growth, Employment, and Poverty: An Analysis of the Vital Nexus Based on Some Recent UNDP and ILO/SIDA Studies, Issues in Employment and Poverty Discussion Paper, UNDP, New York, October 2005 4 Tinambunan, Aryanto, 2007, Analisis Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas, Jakarta 2 Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals-MDG’s)5 di Indonesia juga semakin sulit. Salah satu kebijakan yang diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, mengatasi kemiskinan dan pengangguran adalah pemberdayaan dan pengembangan sektor usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKM dan koperasi). Sektor UMKM dan koperasi memiliki peranan yang cukup dominan dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut terlihat dari kontribusi sektor UMKM dan koperasi dalam pembentukan PDB nasional, pertumbuhan ekonomi, jumlah unit usaha, dan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar bila dibandingkan dengan kontribusi sektor usaha besar (UB). Pada tahun 2007, sektor UMKM dan koperasi berkontribusi sekitar 53,6 persen terhadap PDB atas dasar harga berlaku Indonesia. Pertumbuhan PDB untuk sektor UMKM dan koperasi juga selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan UB, dimana pada tahun 2007 sektor UMKM dan koperasi berkontribusi sebesar 3,57 persen dan sekor UB berkontrubusi sebesar 2,74 persen terhadap pertumbuhan PDB yang sebesar 6,32 persen. Peranan sektor UMKM dan koperasi yang sangat besar juga dapat dilihat dari jumlah unit usahanya, dimana sekitar 99,99 persen dari unit usaha yang ada di Indonesia pada tahun 2007 merupakan UMKM dan koperasi, sedangkan yang 0,01 persen berupa UB (BPS, 2008). Masih pada tahun 2007, UMKM berjumlah 49.840.489 unit (sekitar 99,99 persen dari jumlah unit usaha total) dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 91.752.318 orang (sekitar 97,33 persen dari penyerapan tenaga kerja nasional). Sedangkan koperasi pada tahun 2007 berjumlah 149.793 unit yang terdiri dari 104.999 unit koperasi yang aktif (sekitar 70,10 persen dari jumlah total koperasi) dan 44.794 unit koperasi yang tidak aktif (sekitar 29,90 persen dari jumlah total koperasi) dengan anggota sebanyak 28.888.067 orang dan penyerapan tenaga kerja di koperasi yang aktif sebanyak 369.302 orang (yang terdiri dari 330.768 orang karyawan dan 38.534 orang manajer) (Departemen Koperasi dan UKM, 2008). 5 Pengurangan tingkat kemiskinan menjadi setengahnya pada 2015 merupakan salah satu tujuan dan komitmen Indonesia dalam pencapaian MDG’s diantara 7 (tujuh) tujuan yang lain, yaitu pendidikan untuk semua, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, menjamin kelestarian lingkungan berkelanjutan, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan (www.targetmdgs.org) 3 Di sisi lain, UMKM juga memiliki berbagai permasalahan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-20096 merinci permasalahan yang dihadapi oleh sektor UMKM dan koperasi, yaitu: (i) rendahnya produktivitas; (ii) terbatasnya akses UMKM kepada sumberdaya produktif; (iii) masih rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi; (iv) tertinggalnya kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi; dan (v) kurang kondusifnya iklim usaha. Sementara itu, dalam RPJMN Tahun 2010-20147, disebutkan bahwa sektor UMKM dan koperasi juga masih menghadapi masalah dalam pengembangan produk dan pemasaran. Rincian permasalahan tersebut antara lain: (a) terbatasnya akses koperasi dan UMKM kepada teknologi dan lembaga Litbang; (b) kurangnya kepedulian koperasi dan UMKM mengenai prasyarat mutu, desain produk berkembanganya dan kebutuhan lembaga konsumen; pendukung (c) koperasi kurangnya dan insentif UMKM; (d) untuk belum terbangunnya prinsip kemitraan dalam satu kesatuan struktur/strategi pengembangan usaha bersama yang bersinergi sesuai dengan rantai nilai (value chain); serta (e) masih adanya gap antara kebutuhan pertumbuhan UMKM yang tinggi dan ketersediaan sumber daya. Peranan terbesar UMKM dan koperasi berasal dari sektor usaha mikro dan kecil (UMK). Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006, dari sekitar 22,5 juta unit UMK ternyata 48,5 persen UMK mengalami kesulitaan dalam menggerakkan usahanya8. Beberapa kendala yang dihadapi oleh UMK dalam menggerakkan usahanya adalah: (a) kesulitan modal (35,7 persen); (b) pemasaran (34,8 persen); (c) bahan baku (10,8 persen); (d) bahan bakar minyak (BBM)/energi (4,1 persen); (e) transportasi (2,8 persen); (f) keterampilan (1,2 persen); (g) upah buruh (0,8 persen); dan (h) lainnya (9,8 persen). Terkait dengan permodalan, sebagian UMK menggerakkan usahanya dengan modal milik sendiri. Hanya 15,6 persen UMK yang melakukan pinjaman dari pihak lain. Adapun UMK yang meminjam modal dari 6 Tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, yaitu Bab 20 tentang Pemberdayaan Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 7 Tertuang dalam Perpres No. 5 Tahun Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, yaitu Bab III tentang Ekonomi 8 Badan Pusat Statistik, 2007, Uraian Ringkas Perusahaan/Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia 2006, Hasil Sensus Ekonomi Tahun 2006, BPS, Jakarta 4 pihak lain, kebanyakan UMK tersebut meminjam pada teman, rentenir, pemberi modal di luar kerabat, dan lainnya yang bersifat perorangan. Permasalahan kekurangan modal baik untuk menggerakkan maupun mengembangkan usaha UMKM dan koperasi saat ini salah satunya diatasi dengan cara pemberian kredit untuk UMKM9. Industri perbankan saat ini telah memberikan kontribusi secara nyata dalam hal penyaluran kredit bagi pelaku usaha yang membutuhkan. Kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam pengembangan sektor UMKM telah dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil yang menganjurkan bank memberikan sebagian kreditnya kepada usaha kecil. Selain itu, upaya lainnya yang dilakukan BI antara lain melalui kebijakan moneter seperti penurunan BI rate agar tingkat suku bunga pinjaman (lending rate) di industri perbankan tidak menyulitkan sektor UMKM terutama terkait beban bunga pinjaman yang tinggi. Dengan adanya hal tersebut, pihak perbankan-pun banyak yang membuka program-program pembiayaan untuk sektor UMKM, seperti misalnya BRI Mikro, Danamon Simpan Pinjam (DSP), dan lain-lain. Pemerintah meluncurkan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada tanggal 5 November 200710 sebagai terobosan untuk mempermudah akses kredit mikro bagi rakyat kecil. Peluncuran tersebut merupakan tindaklanjut dari ditandatanganinya Nota Kesepahaman Bersama (MoU) pada tanggal 9 Oktober 2007 tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi antara Pemerintah11 dan Perbankan12. Selanjutnya, melalui Surat Keputusan Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM Nomor: KEP-07/M.EKON/01/2010 tertanggal 26 Januari 2010, 9 Menurut definisinya, kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kredit yang diberikan dengan batasan plafond sebesar Rp5 miliar kecuali kartu kredit. 10 Perguliran KUR dimulai dengan adanya keputusan Sidang Kabinet Terbatas yang diselenggarakan pada tanggal 9 Maret 2007 bertempat di Kantor Kementerian Negara Koperasi dan UKM dipimpin oleh Presiden RI 11 Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Perusahaan Penjamin (Perum Sarana Pengembangan Usaha dan PT. Asuransi Kredit Indonesia). KUR ini juga didukung oleh Kementerian Negara BUMN, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta Bank Indonesia. 12 Perbankan dalam hal ini awalnya adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri. 5 ditetapkan penambahan bank pelaksana KUR dari semula 6 bank menjadi 19 bank, yaitu dengan penambahan 13 bank daerah (provinsi). Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan jenis kredit spesifik yang mempunyai perbedaan mendasar dengan jenis kredit lainnya. Perbedaan itu terutama dalam hal adanya intervensi pemerintah dengan memberikan jaminan terhadap sebagian resiko kredit perbankan. Langkah ini diambil untuk mengatasi kebuntuan karena standard kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit, Tetapi, skema pembiayaan KUR khusus diperuntukkan bagi UMKM dan koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan perbankan. Sejak peluncuran sampai sekarang, implementasi kebijakan KUR tidak berjalan seperti yang diharapkan. Dalam aspek jumlah realisasi pembiayaan, dari total kredit mikro, kecil, dan menengah (MKM) yang disalurkan oleh perbankan sebesar Rp. 766,9 trilyun, hanya 37 persen yang merupakan kredit kecil dan hanya sebesar 33,3 persen yang merupakan kredit mikro. Sedangkan penyaluran KUR yang merupakan bagian dari kredit MKM tersebut hanya sekitar Rp. 17 trilyun dengan jumlah debitur sebanyak 2.062.547 atau rata-rata kredit per debitur adalah Rp. 8,24 juta13. Dari aspek ini terlihat jelas bahwa kontribusi KUR terhadap total kredit mikro masih sangat kecil, hanya 6,6 persen. Dua permasalahan pokok yang membuat kinerja KUR berjalan lamban adalah tingginya suku bunga KUR dan kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit. Padahal, sebenarnya minat konsumen untuk memperoleh KUR sangat tinggi. Pembenahan kinerja KUR pada khususnya dan program kredit mikro pada umumnya perlu terus dilakukan agar kontribusi terhadap perekonomian nasional semakin nyata. Namun, sebelum melakukan berbagai perbaikan ke depan, salah satu langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengetahui kondisi yang sebenarnya atau mengevaluasi peranan dari kredit produktif UMKM yang senilai KUR terhadap tujuan-tujuan pencapaian ekonomi nasional. Selain itu, perlu dilakukan analisis perbandingan terhadap peranan kredit produktif UMKM antara skema KUR dan non KUR. Studi ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam tentang peranan dari kredit produktif UMKM senilai KUR yang telah berjalan (yaitu 13 Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, Kementerian Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia 2009 (www.sentrakukm.com) 6 pada tahun 2008 dan 2009) terhadap perekonomian nasional dalam sisi makro dan kinerja usaha dalam sisi mikro. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, studi ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: a. Bagaimana kdampak redit produktif UMKM senilai alokasi KUR terhadap perekonomian secara makro, yang tercermin dalam peningkatan output dalam PDB, pendapatan pelaku ekonomi dan distribusinya, permodalan/kapital, dan penyerapan tenaga kerja?; b. Bagaimana dampak kredit produktif UMKM, baik KUR maupun non KUR terhadap perekonomian secara mikro (kinerja usaha), yang tercermin dalam peningkatan keuntungan usaha, pendapatan/omset usaha, permodalan usaha, dan tenaga kerja?; dan c. Bagaimana alokasi penyaluran kredit yang dapat mengoptimalkan besarnya dampak dan mengefektifkan kredit produktif UMKM khususnya KUR dalam mencapai tujuannya. 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka studi ini bertujuan untuk: a. Mengetahui peranan kredit produktif UMKM senilai alokasi KUR terhadap perekonomian secara makro (nasional), yang tercermin dalam peningkatan output dalam PDB atau pertumbuhan ekonomi nasional, pendapatan pelaku ekonomi dan distribusinya, permodalan/kapital, dan penyerapan tenaga kerja; b. Mengetahui dampak kredit produktif UMKM, baik KUR maupun non KUR terhadap perekonomian secara mikro (dalam hal ini kinerja usaha), yang tercermin dalam peningkatan keuntungan usaha, pendapatan/omset usaha, permodalan usaha, dan tenaga kerja; dan c. Mengetahui dan menemukan alternatif distribusi pengalokasian penyaluran kredit yang dapat mengoptimalkan besarnya dampak dan mengefektifkan kredit produktif UMKM khususnya KUR dalam mencapai tujuannya, yaitu meningkatkan kinerja perekonomian, meningkatkan pendapatan masyarakat, 7 dan mengurangi tingkat pengangguran, baik menurut sektor ekonomi maupun penerimanya (pelaku ekonomi). 1.4. Manfaat Penelitian Studi tentang peranan kredit produktif UMKM terhadap perekonomian nasional dan kinerja usaha ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia, terutama terkait dengan studi empirik mengenai peranan kredit produktif UMKM terhadap perekonomian nasional dan kinerja usaha; b. Menjelaskan dan menginformasikan kepada masyarakat umum tentang kondisi umum perekonomian nasional dan kebijakan pemerintah tentang kredit produktif UMKM; c. Mengetahui efektifitas kebijakan kredit produktif UMKM khususnya KUR dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mayoritas masyarakat; dan d. Menjadi salah satu acuan bagi para pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan dan menyelesaikan permasalahan terkait dengan perekonomian Indonesia serta memberikan saran dan rekomendasi kebijakan yang feasible untuk diimplementasikan dalam rangka memperbaiki pelaksanaan program KUR ke depan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Studi ini membahas secara mendalam tentang peranan kredit produktif UMKM terhadap perekonomian nasional dan kinerja usaha dengan ruang lingkup dan batasan penelitian sebagai berikut: a. Penjelasan bertumpu pada masalah kredit produktif UMKM khususnya KUR dan perekonomian Indonesia (nasional), sehingga tidak menyangkut masalah politik. Cakupan perekonomian yang dimaksudkan adalah pertumbuhan ekonomi, pendapatan, permodalan dan penyerapan tenaga kerja; b. Mencoba dengan analisa dan simulasi model Sistem Neraca Social Ekonomi Finansial (SNSEF) Indonesia untuk mengetahui dan mengukur peranan kredit produktif UMKM yang senilai KUR terhadap perekonomian nasional (secara makro) dan mencari alternatif terbaik dalam pengalokasian penyaluran kredit produktif UMKM yang berpola KUR; 8 c. Salah satu kelemahan model SNSEF adalah tidak dapat menangkap perbedaan antar berbagai jenis kredit (selain kredit investasi, modal kerja, dan konsumsi), sehingga dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa kredit produktif UMKM menggunakan nilai sebesar alokasi penyaluran KUR; d. Karena keterbatasan ketersediaan data SNSEF yang ada, dimana SNSEF yang ada adalah SNSEF Indonesia yang bersifat nasional dan ter-update-nya adalah SNSEF Indonesia tahun 2005 (dan baru dikeluarkan pada 2008) maka analisa akan dilakukan secara nasional dan tidak menurut daerah (baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota) dengan menggunakan SNSE Indonesia tahun 2005; e. Program KUR yang telah berjalan secara lengkap dua tahun yaitu tahun 2008 dan 2009, maka analisa dampak yang akan dilakukan adalah analisa dampak dari Program KUR pada tahun 2008 dan 2009; dan f. Analisis dengan menggunakan SNSE juga akan dilengkapi dengan analisis cross tab (tabulasi silang) dan analisa model ekonometrika dari sisi mikro dengan menggunakan data primer hasil survei di 6 wilayah Provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. 9