4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Rumput Laut Nama “rumput laut” digunakan untuk menyebut tumbuhan laut yang hidup di dasar perairan (fitobentos), berukuran besar. Rumput laut sudah begitu populer, baik dalam kehidupan sehari – hari maupun dalam dunia perdagangan. Rumput laut atau sea weeds sudah lama dikenal dan dibutuhkan oleh manusia. Bangsa Cina telah mengenal tumbuhan ini sejak tahun 2700 SM. Mereka memanfaatkannya sebagai sayuran dan obat – obatan. Algae, demikian nama latin untuk rumput laut, tumbuh dan tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Tumbuhan ini sangat dibutuhkan karena mengandung agar – agar, keranginan, pospiral dan furcelaran. Karena kandungannya itulah rumput laut banyak dijadikan bahan baku untuk berbagai industri seperti industri makanan, industri farmasi dan industri kosmetik. (Anggadiredja etal, 2006) 2.1.1 Jenis Rumput Laut Alga laut atau rumput laut tergolong dalam devisi Thallophyta. Sifat khas devisi ini adalah primitive, artinya badannya sedikit atau tidak terbagi – bagi dalam alat vegetative, seperti akar yang sebenarnya, ranting atau cabang dan daun. Thallophyta (tumbuh – tumbuhan berthalus) terdiri atas empat kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga coklat (Phaeophyceae), alga merah (Rhodophceae), dan alga hijau biru (Myxophyceae). a. Alga Merah Alga merah (Rhodophceae) atau rumput laut merah merupakan kelas dengan spesies atau jenis yang paling banyak dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Tumbuhan ini hidup di dasar perairan laut dengan menancapkan atau meletakkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang hidup ataupun kayu. Di Indonesia alga 5 merah terdiri dari 17 marga dan 34 jenis, serta 31 jenis di antaranya telah dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Gambar. 2.1 Rumput Laut Jenis Alga Merah Hasil identifikasi terhadap jenis – jenis rumput laut merah yang tersebar di berbagai perairan Indonesia ditemukan sekitar 23 jenis yang dapat dibudidayakan, yaitu marga Eucheuma 6 jenis, marga Gelidium 3 jenis, marga Gracilaria 10 jenis dan marga Hypnea 4 jenis. Alga yang mengandung keraginan (karaginofit) adalah dari marga Eucheuma, Kappaphycus, dan Hypnea. Sedangkan yang mengandung agar – agar (agarofit) dari marga Gracilaria dan Gelidium. (Ghufran dan Kordi ,2011) b. Alga Hijau Sesuai dengan namanya, kelompok alga ini berwarna hijau. Di Indonesia terdapat sekitar 12 marga alga hijau atau rumput laut hijau. Sekitar 14 jenis telah dimanfaatkan, baik sebagai bahan konsumsi maupun untuk obat. Beberapa alga hijau, terutama dari marga Halimeda, menghasilkan kerak kapur (CaCO3) dan salah satu penyumbang endapan kapur di laut. Jenis rumput laut ini tumbuh melekat pada subtract, seperti batu, batu karang mati, cangkang moluska, dan ada yang tumbuh di atas pasir. (Ghufran dan Kordi ,2011) c. Alga Coklat Terdapat sekitar delapan marga kelas alga cokelat atau rumput laut cokelat di perairan Indonesia. Enam jenis di antaranya telah dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia, terutama untuk konsumsi langsung dan obat. Kelompok alga laut atau rumput laut penghasil algin (alginofit) berasal dari kelas ini, terutama jenis Sargassum sp, Cystoseira sp, dan Turbinaria sp. Pada terumbu, alga ini tubuh dengan baik melekat pada substrat keras. (Ghufran dan Kordi ,2011) 6 2.1.2 Rumput Laut Menjadi Komoditas Ekspor Rumput laut atau alga laut (sea weed) merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Indonesia menduduki posisi penting sebagai produsen rumput laut di dunia. Produksi rumput laut Indonesia berasal dari pengambilan di laut dan pembudidayaan, baik di laut maupun di tambak. Di samping potensi lahan (daerah pasang surut dan tambak) yang luas, kebutuhan rumput laut yang terus menunjukkan peningkatan, baik pasar domestik maupun pasar dunia, merupakan prospek bagi pengembangan rumput laut di Indonesia. Selama ini Indonesia masih merupakan penghasil bahan baku, berupa rumput laut kering yang diekspor ke berbagai negara. Negara – negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia antara lain Jepang, Hongkong, RRC, Filipina, Australia, Prancis, Jerman, Cili, Spanyol, Inggris Raya, dan lain – lain. (Ghufran dan Kordi ,2011) Spesies rumput laut yang diekspor Indonesia antara lain Eucheuma, Gracilaria, Gelidium, dan Hypnea. Rumput laut Eucheuma mendominasi produksi dan ekspor Indonesia. Indonesia bahkan merupakan pemasok nomor dua di dunia setelah Filipina untuk ruput laut Eucheuma. (Ghufran dan Kordi ,2011) 2.1.3 Metode Budi Daya Rumput Laut a. Metode Dasar Cara budi daya ruput laut metode dasar (bottom method) adalah cara paling mudah dan paling sederhana. Benih yang telah dipilih ditebar ke dasar perairan yang tenang. Biasanya para petani mengikatnya terlebih dahulu benih rumput laut ke batu – batu kecil agar dapat tenggelam dan menempel pada dasar perairan serta tidak mudah hanyut. Di Jepang metode dasar diterapkan pada budi daya rumput laut spesies Gelidium dengan cara meletakkan batu – batuan atau baloksemen, tempat bibit tanaman dikaitkan, kemudian dijejer teratur sehingga menjadi petak – petak. b. Metode Lepas Dasar Metode lepas dasar (off bottom method) merupakan penyempurnaan dari metode dasar. metode ini cocok diterapkan di lokasi yang memiliki substrat dasar 7 karang berpasir atau pasir dengan pecahan karang dan terlindung dari hempasan gelombang. Biasanya lokasi dikelilingi oleh karang penghalang (barrier reef) yang berfungsi sebagai pemecah gelombang. Lokasi untuk metode ini cocok pada kedalaman 0,3 m pada surut terendah dan 3 m pada saat pasang tertinggi. c. Metode Rakit Metode rakit adalah salah satu metode apung (floating method). Metode ini tidak berbeda dengan metode lepas dasar. Pada metode rakit atau metode tali gantung ini benih rumput laut diikatkan pada rakit sehingga selalu mengapung. Metode rakit cocok untuk lokasi dengan kealaman waktu surut > 60 cm. Keuntungan metode rakit antara lain (a) dapat diterapkan pada lokasi yang lebih dalam yang masih terlindung sehingga pemilihan lokasi lebih fleksibel, (b) tanaman lebih banyak menerima intensitas sinar matahari, dan (c) sirkulasi air lebih baik sehingga kandungan nutrisi pada air laut selalu tersedia sehingga mempermudah penyerapan nutrisi oleh rumput laut. Kelemahan metode rakit adalah (a) apabila tanaman muncul di permukaan, tanaman langsung terkena sinar matahari atau air hujan, (b) biaya produksi lebih tinggi dari pada sistem lepas dasar, dan (c) tanaman mudah diserang predator karena berada di perairan yang agak dalam dan mudah dilihat predator karena tergantung. d. Metode Tali Panjang Metode tali panjang (long line) dikenal juga sebagai metode rawai. Metode ini diterapkan pada perairan yang kedalamannya sekitar 1 m atau lebih dengan dasar perairan berupa pasir atau pasir berlumpur. Metod tali panjang atau rawai paling banyak diterapkan karena disamping fleksibel dalam pemilihan lokasi, mulai dari kedalaman 1 m hingga 15 m, penerapan metode ini juga tergolong murah. (Ghufran dan Kordi ,2011) 2.1.4 Umur Panen Rumput Laut Panen dan penanganan hasil menentukan mutu rumput laut yang dihasilkan. Dari mulai penanaman bibit dan pemeliharaan rumput laut berlangsung 45 hari atau 1,5 bulan. Pemanenan rumput laut yang dibudidayakan di laut dimulai dengan membersihkan rumput laut dari kotoran atau tanaman lain. 8 2.1.5 Cara Pengeringan Rumput Laut Pengolahan rumput laut menjadi bahan baku berupa rumput laut kering telah dilakukan petani dengan memanfaatkan panas di bawah sinar matahari. Tahap – tahap penjemuran adalah sebagai berikut. a. Rumput laut hasil panen dibersihkan dari kotoran, seperti pasir, batu – batuan, lumpur, dan pisahkan jenis yang satu dengan yang lain. b. Setelah bersih, rumput laut dijemur di atas alas selama 2-3 hari. Agar hasilnya lebih baik, rumput laut dijemur di atas para-para atau lantai beton dan tidak ditumpuk. Rumput laut yang kering ditandai dengan keluarnya garam. c. Setelah itu, rumput laut dicuci dengan air tawar bersih hingga benar-benar bersih, kemudian dijemur kembali selama 1-2 hari sampai benar-benar kering. Rumput laut yang telah kering perlu dibersihkan dari berbagai kotoran yang masih tertinggal. Caranya dengan diayak. (Ghufran dan Kordi ,2011) 2.1.6 Standar Mutu Rumput Laut Kering Rumput laut yang akan diekspor harus memenuhi standar mtu yang telah diterapkan terdiri dari kadar air, benda asing (kotoran), dan bau. Standar Nasional Indonesia (SNI) menyusun standar mutu untuk rumput laut kering seperti ditunjukan pada table 2.1 berikut: Tabel 2.1 Spesifikasi Syarat Mutu No 1 2 3 Jenis uji Bau Benda asing, b/b Kadar air, b/b Sumber : SNI 01-2690-1998 Satuan % % Euchema Khas Maks. 5 Maks. 35 Persyaratan Gellidium Gracillaria Hypnea Khas Khas Khas Maks. 5 Maks. 5 Maks. 5 Maks. 15 Maks. 25 Maks. 20 9 2.2 Prinsip Pengeringan Pengeringan merupakan proses evaporasi kandungan air dalam bahan dengan waktu tertentu sesuai dengan kondisi udara disekitarnya. Pada prinsipnya pengeringan merupakan suatu proses perpindahan panas dan perpindahan massa uap air secara simultan. Panas sensibel diperlukan untuk menaikkan temperatur material yang sedang dikeringkan, sedangkan panas laten diperlukan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat pada produk. Uap air dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas (Taib, Gumbira dan Wiraatmadja 1987). Proses pengeringan memiliki beberapa tahapan pemanasan yaitu terjadi kenaikan temperatur, tahap perubahan fase tidak terjadi kenaikan temperatur, dan tahap pembuangan uap, sebagaimana tampak pada diagram gambar 2.2: T Pemanasan Perubahan fase Pembuangan uap Gambar 2.2 T - S Diagram S Penjelasan : 1 Proses pemanasan, pada tahapan ini terjadi kenaikan temperatur substansi yang dipanaskan sebagai akibat adanya penambahan energi kalor dari luar. Sekalipun sebenarnya terjadi proses penambahan volume, namun karena perubahan volume yang terjadi sangat kecil maka dianggap bahwa kondisi volume konstan. Adapun energi yang ditambahkan pada proses ini adalah berupa sensible heat. 2. Proses perubahan fase, sekalipun pada tahapan ini memerlukan banyak energi, namun seluruh energi yang diterima oleh substansi tidak menimbulkan perubahan temperatur karena dimanfaatkan untuk tejadinya proses penguapan cairan yang terkandung di dalam substansi yang dipanaskan (perubahan fase dari cair menjadi uap air). 10 3. Proses pembuangan uap bersamaan dengan udara pengering, pada tahap ini uap air dibuang keluar ruangan pengering bersamaan dengan aliran udara pengering. Pada dasarnya rangkaian proses yang terjadi selama pengeringan meliputi dua proses sebagai berikut, yaitu : 1. Proses perpindahan panas. 2. Proses perpindahan massa. 2.2.1 Proses Perpindahan Panas Perpindahan panas (heat transfer) adalah ilmu yang mempelajari perpindahan energi panas sebagai akibat adanya perbedaan temperatur diantara benda dengan benda atau benda dengan fluida, energi panas tersebut akan berpindah dari medium bersuhu lebih tinggi ke medium yang bersuhu lebih rendah. Proses perpindahan panas dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu perpindahan panas konduksi, konveksi dan radiasi. (lncropera, de Witt 1996). 1. Perpindahan Panas Konduksi Proses perpindahan panas secara konduksi adalah suatu proses perpindahan energi panas dimana energi panas tersebut mengalir dari daerah yang bersuhu lebih tinggi ke daerah yang bersuhu lebih rendah dalam suatu medium padat atau fluida yang diam. Hal ini merupakan proses perpindahan panas dari partikel yang bertemperatur lebih tinggi menuju partikel yang bertemperatur lebih rendah pada sebuah benda sebagai akibat adanya interaksi diantara partikel-partikel benda tersebut. Partikel yang memiliki temperatur lebih tinggi memiliki sifat yang lebih energetic jika dibandingkan dengan partikel yang bertemperatur lebih rendah. Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perpindahan panas konduksi merupakan suatu proses perpindahan panas yang terjadi akibat gerak acak molekuler (molecullar random movement) dari molekul yang mempunyai temperatur dan energi lebih tinggi menuju molekul yang mempunyai temperatur dan energi lebih rendah pada suatu media padat atau fluida yang diam (Incropera, de Witt 1996). 11 Untuk dapat melakukan penghitungan laju perpindahan panas secara konduksi dipergunakan persamaan Fourier sebagai berikut : πΜ xkond = - k.A. (watt) (2.1) Dimana: πΜ xkond = Laju perpindahan panas secara konduksi (Watt). k = Konduktivitas termal bahan (W/m.K). A = Luasan bidang penampang perpindahan panas (m2). dT = Perbedaan temperatur (K) dx = Jarak perpidahan panas (m) = Gradien temperatur (K/m) (-) = Menandakan bahwa perpíndahan energi panas terjadi dari temperatur tínggí menuju ke temperatur rendah. 2. Perpindahan Panas Konveksi Proses perpindahan panas secara konveksi adalah perpindahan energi panas yang terjadi dari permukaan benda padat menuju fluida yang bergerak atau sebaliknya akibat adanya perbedaan temperatur díantara kedua medium tersebut. Konveksi dapat juga disebut sebagai proses perpindahan energi dengan kerja gabungan dari konduksi panas, penyimpanan energi dan gerakan mencampur yang sangat penting untuk terjadinya mekanisme perpindahan panas yang terjadi pada permukaan benda padat, cair atau gas (Kreith 1986). Ditinjau dari aliran fluida yang terjadi maka proses perpindahan panas secara konveksi ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: a. Konveksi paksa (Forced Convection), yaitu : proses perpindahan energi panas yang terjadi dari permukaan benda padat menuju fluida yang bergerak atau sebaliknya, dimana aliran fluida yang terjadi disebabkan oleh adanya gaya luar dari alat-alat pembantu. Contoh : fan, cerobong, pompa atau kipas angin. b. Konveksi alamiah (Natural Convetion), yaitu. proses perpindahan energi panas yang terjadi dari permukaan benda padat menuju fluida yang bergerak 12 atau sebalíknya, dimana aliran fluida yang terjadi disebabkan oleh adanya efek gaya apung (Bouyancy Forced Effect), yang timbul sebagai akibat dari adanya perbedaan density karena variasi temperatur pada fluida. Untuk dapat melakukan penghitungan laju perpindahan panas secara konveksi dipergunakan Hukum Pendinginan Newton (Newton 's Law of Cooling) sebagai berikut : πΜ konveksi = h.A.(Ts –Too) jika Ts > Too (Watt) (2.2) πΜ konveksi = h.A.(Too –Ts) jika Too > Ts (Watt) (2.3) dimana : πΜ x konv = Laju perpindahan panas secara konveksi (Watt) h = Koefisien perpidahan panas konveksi (W/m2.K) A = Luas bidang penampang perpindahan panas (m2) Ts = Temperatur permukaan material (K) T∞ = Temperatur fluida yang mengalir (K) 3. Perpindahan Panas Radiasi (Pancaran) Proses perpindahan panas secara radiasi (pancaran) adalah suatu proses perpindahan energi panas yang terjadi dari benda yang bertemperatur tinggi menuju benda dengan temperatur yang lebih rendah dengan tanpa melalui suatu medium perantara, misalkan benda-benda tersebut terpisah dalam ruang atau bahkan bila terdapat suatu ruang hampa udara diantaranya (Kreith 1986) Pada proses perpindahan energi panas secara radiasi ini semua permukaan pada temperatur tertentu mengemisikan energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik, proses perpindahan panas secara radiasi dapat pula terjadi pada dua media yang dibatasi oleh media yang bersuhu lebih dingin daripada keduanya Sehingga dapat disimpulkan ke dalam suatu pengertian bahwa perpindahan panas secara, radiasi adalah, mekanisme perpindahan panas yang terjadi melalui gelombang elektromagnetik yang terjadi pada suatu permukaan dengan emissivitas antara nol dan satu. (Cengel 1997). Untuk dapat melakukan penghitungan laju perpindahan energi panas secara radiasi dipergunakan persamaan laju perpindahan panas radiasi sebagai berikut : 13 4 πΜ ππππππ π = π. π. π΄. ππ π’π − ππ 4 ( Watt ) ( 2.4 ) Dimana : πΜ rad = Laju perpindahan panas secara radiasi (watt). π = Emisivitas permukaan benda. π = Konstanta Stefan – Boltzmann (5,67. 10-8 W/m2 . K4 ). A = Luas bidang permukaan perpindahan panas radiasi ( m2 ). Ts = Temperatur permukaan benda ( K ). Tsur = Temperatur surrounding ( K ). Laju perpindahan panas radiasi netto antara permukaan benda yang bertemperatur lebih tinggi menuju permukaan benda yang bertemperatur lebih rendah atau sebalik nya dinyatakan dengan : 4 ) πΜ ππππππ‘π‘π = π . π΄ . π (ππ 4 − ππ π’π ππππ ππ π’π < ππ ( 2.5 ) 4 πΜ ππππππ‘π‘π = π . π΄ . π (ππ π’π − ππ 4 ) ππππ ππ < ππ π’π ( 2.6 ) 2.2.2 Proses Perpindahan Massa Proses pengeringan utamanya ditentukan dari besarnya perpindahan massa yang terjadi dari produk yang hendak dikeringkan ke fluida pengering. Adapun proses perpidahan massa yang terjadi pada prinsipnya dipengaruhi oleh beberapa faktor utama sebagai berikut: 1. Koefisien perpindahan massa (hm). 2. Perbedaan konsentrasi air antara fluida pengering satu dan dua, dan material yang dikeringkan (βCA). Perpindahan massa pada material dapat terjadi secara difusi, yaitu proses perpindahan massa dari bagian dalam produk ke bagian permukaan produk dan dilanjutkan dengan perpindahan massa secara konveksi, yaitu proses perpindahan massa dari permukaan produk ke fluida pengering (udara) yang mengalir. Perpindahan massa yang berhubungan dengan proses pengeringan adalah secara konveksi. Sehingga dirumuskan perpindahan massa konveksi dicari dari pesamaan berikut: 14 Na = hm. A . (CAS - CA∞) (kmol/s) ( 2.7 ) Dimana: hm = Koefisien perpindahan massa konveksi (m/s) A = Luas permukaan produk/luas permukaan perpindahan massa (m2) CAS = Konsentrasi molar uap air permukaan produk (kmol/m3) CA∞ = Konsentrasi molar uap air di fluida pengering (kmol/m ) Laju pengeringan tergantung pada besarnya laju perpindahan massa konveksi dari permukaan produk menuju udara pengering. Laju perpindahan massa konveksi tergantung pada koefisien perpindahan massa konveksi (hm), dimana besar kecilnya hm tergantung pada temperatur rata-rata udara pengering dan kecepatan aliran fluida (udara) pengering. Makin besar kecepatan dan semakin tinggi temperatur udara pengering maka semakin besar hm, semakin besar pula laju perpindahan massa konveksi. 2.2.3 Suhu Udara Pengering Suhu dalam ruang pengering tidak betul – betul seragam. Bagian bawah yang terdekat sumber panas adalah yang paling tinggi, diikuti oleh bagian tengah, dan yang paling rendah adalah bagian atas. Hal ini karena udara di bagian bawah ruang pengering masih kering ( selain lebih dekat dengan sumber panas) dan bagian tengah dan atas ruang pengering telah basah (kaya dengan uap air). (Triyono, S. dkk, 2008) 2.2.4 Aliran Udara Pengering Pada proses pengeringan ini menggunakan proses aliran paksa yaitu dengan menggunakan tarikan cerobong sebagai penggerak aliran udara, sehingga laju aliran massa udara adalah dipengaruhi oleh gaya tarikan cerobong (draft force). Dengan laju aliran massa udara yang dibantu oleh tarikan cerobong memungkinkan udara pengering mencapai temperatur yang lebih tinggi, sehingga udara pengering dapat mengeringkan dengan lebih efisien. 15 Fungsi aliran udara dalam sistem pengeringan adalah: 1. Menyerap panas hasil proses pembakaran. 2. Sebagai perantara gelombang panas melintasi permukaan material, sehingga air yang terkandung pada material dapat diuapkan. 3. Membawa uap air yang telah diuapkan dari permukaan material menuju cerobong pembuangan udara bercampur uap. Pengukuran Kecepatan aliran udara dapat dilihat pada gambar 2.3: Gambar 2.3 Pengukuran Kecepatan Aliran Udara Dengan Pilot Tube Kecepatan aliran udara pengering dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan Bernoully, berdasarkan perbedaan antara tekanan stagnasi P0 dan tekanan statik P0 sebagai berikut: 2 p v p v2 ο« ο« Z ο½ ο― ο« ο― Zο― ο² .g 2.g ο² .g 2.g (2.8) Pada kondisi pengukuran tekanan di atas dimana titik o berimpitan dengan titik A, dimana titik o adalah titik stagnasi z - zo = 0, sehingga persamaan di atas 2 menjadi: p v p v2 ο« ο½ ο― ο« ο― ο² .g 2.g ο² .g 2.g (2.9) dalam keadaan stagnasi V0 = 0, maka persamaan 2.9, menjadi: p p v2 ο« ο½ ο― p.g 2.g p.g ο¦ p ο pοΆ ο¦ p ο pοΆ ο·ο· ο·ο· dimana οh ο½ ο§ο§ ο― V ο½ 2.g ο§ο§ ο― ο² . g ο² . g ο¨ οΈ ο¨ οΈ (2.10) 16 sehingga: V ο½ 2.gο.h (2.11) 2.2.5 Pengukuran Kecepatan Udara Pengering Untuk mengukur kecepatan aliran udara dengan menggunakan inclined manometer sebagaimana pada gambar 2.4, parameter yang dibutuhkan adalah pertambahan panjang fluida ukur (minyak tanah) yang dapat diamati dengan mistar. Jika inclined manometer dipasang dengan sudut kemiringan sebesar 15°, dan pertambahan panjang fluida ukur diberi notasi Ar, maka A/7 dapat ditentukan dengan menggunakan suatu persamaan matematis sebagaimana berikut ini: Gambar 2.4 Inclined Manometer Hubungan tekanan antara minyak tanah dengan udara adalah tampak sebagaimana persamaan berikut ini: ο² mt g.οhmt ο½ ο² udara.g.οhudara (2.12) Dari persamaan 2. 12, di.atas diperoleh : ο air ο½ ο² mt .g.οhmt ο² , dengan SGmt ο½ mt maka : ο² udara.g ο² udara οhair ο½ SGmt .οhmt (2.13) Selanjutnya, hubungan antara tekanan udara dengan tekanan air tampak dalam persamaan berikut ini: ο² udara g.οhudara ο½ ο² udara.g.οhudara ο½ ο² udara g.SGmt οhmt (2.14) 17 οhudara ο½ ο² udara .g .οhudara SGm t οhm t ο½ ο² udara .g SGudara Dengan οhmt ο½ rmt sin 15ο― maka : οhudara ο½ SGm t ο΄ rm t . sin 15ο― SGudara (2.15) Jika persamaan 2. 15 diatas, disubstitusikan ke dalam ο¦ SGmt οΆ V ο½ 2.g ο§ο§ xrmt .sin 15ο― ο·ο· ο¨ SGudara οΈ (m/s) (2.16) 2.2.6 Kelembaban Udara (Air Hutnidity ) Rumput laut pada waktu panen memiliki kadar air 95%. Oleh karena itu penting untuk dapat mengetahui tingkat kelembaban udara disekitarnya. ' Adapun macam-macam kelembapan udara, yaitu : 1 Kelembaban Udara Absolut (Absolute Humidit ,) Yaitu, nilai jumlah kandungan air dalam satu kilogram udara kering (massa uap air per kilogram udara kering). Kelembaban absolut ini sangat dipengaruhi oleh panas termal udara, namun demikian nilainya tidak mengalami perubahan saat mengalami pemanasan ataupun pendinginan. Pada temperatur tinggi, udara cenderung menghisap kelembaban (uap air). 2 Kelembaban Udara Relatif (Relative Humidity,) Yaitu, jumlah persentase kandungan uap air yang dihitung atas dasar udara berkandungan maksimum (udara jenuh). Kelembaban relatif pada udara jenuh harus selalu 100%. Kelembaban udara relatif akan menurun bila udara dipanaskan dan meningkat bila udara didinginkan. Dengan catatan bahwa kandungan air yang ada pada udara tidak mengalami perubahan. 18 3 Temperatur Udara ο Temperatur Bola Kering (Tbk), yaitu temperatur campuran uap dan udara yang terukur pada termometer. ο Temperatur Bola Basah (Tbb), yaitu temperatur campuran uap dan udara yang terukur oleh termometer yang permukaannya dibasahi 2.2.7 Stack Effect Stack efek adalah pergerakan udara ke dan dari cerobong asap, tumpukan gas buang, dan didorong oleh kemampuan mengapung. Gaya apung terjadi karena perbedaan tekanan antara dalam ruangan dengan kerapatan udara bebas yang disebabkan oleh perbedaan suhu dan kelembaban. Hasilnya adalah positif atau negatif (gaya apung). Semakin besar perbedaan termal dan ketinggian struktur, semakin besar kekuatan gaya apung, dan dengan demikian efek tumpukan yang disebut sebagai “efek cerobong asap” akan membantu mendorong ventilasi alami dan infiltrasi. βπ· πΉπ‘π = πΜ √2 π ( π.π + βπ ) (2.17) Keterangan: Ftc= Ketinggian cerobong (m) πΜ= Laju udara (kg/s) π = gravitasi D = diameter π = masaa jenis udara. Z = jarak zo – z1 2.2.8 Sistem Pengering Buatan Pada sistem pengering buatan ini proses pengeringan memanfatkan sumber energi panas dari pembakaran tungku biomassa. Sirkulasi gerakan dan arah angin yang mengandung energi panas udara yang mengalir baik proses aliran paksa maupun aliran alami, bila udara dalam ruangan terlalu lembab udara tersebut dapat di 19 buang melalui saluran pembuangan (Damper) untuk kemudian digantikan dengan udara baru yang tidak terlalu lembab ( Budianto, 1995). Sistem pengering buatan dibuat untuk mendapatkan beberapa nilai positif yang tidak dapat dicapai oleh sistem pengeringan alami, misalnya : 1. Pada proses pengeringan suhu dan kelembapan dapat terjaga, sehingga pengeringan dapat berlangsung dengan cepat tanpa menimbulkan kerusakan. 2. Sirkulasi udara lebih terjaga dengan adanya lubang udara dibagian atas dari ruang pengering sehingga dapat membantu pengaturan kondisi udara didalam ruangan. 3. Dengan singkatnya proses pengeringan, kapasitas pengeringan dapat ditingkatkan. 4. Bahan yang dikeringkan akan lebih aman dari gangguan lalat, hewan, debudebu, gangguan cuaca, dan lain-lain. Berikut ini adalah skematika daripada prinsip kerja alat pengering dengan menggunakan panas dari tungku biomassa: Udara bersih dari lingkungan Penerimaan panas oleh udara dari panas melalui pipa pada tungku biomassa Udara panas dialirkan ke dalam sistem pengering Air pada material yang dikeringkan terevaporasi akibat aliran udara panas yang melaluinya Uap air pada material terserap oleh aliran udara panas yang melaluinya sehingga kelembaban udara panas meningkat Udara berkelembaban tinggi terbuang ke luar bersama udara Lingkungan Gambar 2.5 Skema Prinsip Kerja Alat Pengering berbahan bakar biomassa. 20 Jika memperhatikan sistem kerja dari alat pengering di atas, tidak terbentuk adanya suatu siklus kerja yang tertutup. Udara di luar pengering harus selalu memiliki kelembaban yang lebih rendah dibandingkan udara yang terdapat di dalam alat pengering yang sudah dipergunakan untuk menyerap kandungan air pada material. Udara yang sudah jenuh ini kemudian dibuang ke luar dan digantikan dengan udara bersih yang baru untuk menyerap air pada material seperti sebelumnya, demikian terjadi secara terus menerus sampai material cukup kering untuk kemudian dikeluarkan dari alat pengering. 2.3 Energi Biomassa Unsur yang memegang peranan penting dalam suatu proses pembakaran adalah carbon. Pada bahan bakar padat presentase karbon yang cukup tinggi terdapat pada kayu, sekam, tempurung kelapa, dan arang kayu. Penggunaan bahan bakar padat dalam pembakaran telah diketahui manusia sejak mula bahwa ada bahan yang dapat dibakar. Di bidang teknologi penggunaannya sangat luas sekali dan digunakan dalam pembuatan batu kapur, pemanas ketel, sampai untuk peleburan logam. Cara pembakaran bahan bakar padat ini adalah dengan menggunakan tungku (furnace). 2.3.1 Jenis - Jenis Bahan Bakar Padat a. Kayu Kayu merupakan bahan bakar tertua yang dikenal oleh manusia dan bersifat terbatas. Analisis kimia pada kayu secara umum memberikan harga sebagai berikut: C .= 48-53% H2 = 5,6-6,3% O2 = 40-47% N2 = 0,04-0,10% Abu = 0,30-2,20% 21 Untuk mengetahui besarnya kandungan energi dalam kayu bakar digunakan bom kalorimeter. Rumus kimia kayu secara umum adalah C6H10O5. Nilai kalor atas kayu yang bebas resin dan dalam keadaan kering merentang antara. 7850 - 8300 Btu Btu sementara nilai kalor atas resin itu sendiri 16900 . Ib Ib b. Arang Kayu Pembuatan charcoal dilakasanakan dengan pemanasan kayu di ruang tanpa udara (tertutup). Kayu akan kehilangan berat sampai 75% dan volume sampai 50% pada proses pembuatan charcoal. Hal ini tergantung pada tingkat kebasahan kayu dan suhu proses. Arang kayu juga banyak digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga disamping bahan bakar industri rumah tangga (Widodo dan Harmadi, 1990). c. Sekam Sekam merupakan limbah industri mesin penggilingan gabah. Dalam proses pembakaran, komposisi kimia sekam sangat diperlukan untuk dapat menentukan kebutuhan udara pada proses pembakaran sshingga pembakaran sekam dapat berjalan dengan sempurna. Komposisi kimia sebagai berikut: C = 39,3% H = 5% O = 34,7% N = 2% Abu = 17,3% S = 0,1% air = 3,6% d. Tempurung Kelapa Tempurung merupakan lapisan keras yang terdiri dari lignin, selulosa, metoksil, dan berbagai mineral. Kandungan bahan-bahan tersebut beragam sesuai dengan jenis kelapanya. Struktur yang keras disebabkan oleh silikat (SiO2) yang 22 cukup tinggi kadarnya pada tempurung. Berat tempurung sekitar 15-19 % dari berat keseluruhan buah kelapa. Dengan bahan bakar tempurung kelapa, suhu ruang pengering lebih mudah dikontrol untuk mendekati 70 oC. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa tempurung menghasilkan suhu ruang pengering rata – rata 60oC, lebih tinggi dari suhu yang dihasilkan oleh kayu bakar 55oC. Di sisi lain, konsumsi bahan bakar tempurung juga lebih sedikit dan menunjukkan efisiensi energi yang lebih baik. Hal ini karena tempurung memiliki nilai energi lebih tinggi (17.260 kj/kg) dibandingkan kayu bakar (16.800 kj/kg). (Triyono, S. dkk, 2008) Tabel 2.2. Karakteristik Tempurung Kelapa Parameter Persentase (%) Kadar Air (moisture content) 7,8 Kadar Abu ( ash Conten) 0,4 Kadar Material Yang Menguap (Volatile Matter ) 80,80 Karbon (fixed carbon) 18,80 Sumber : http//www.pdii.lipi.go.id 2.3.2 Kebutuhan bahan bakar Secara kimiawi proses pembakaran yang terjadi pada tungku pembakaran merupakan reaksi oksidasi antara senyawa hidrokarbon dalam bahan bakar dengan oksigen dari udara. Reaksi tersebut akan berlangsung secara optimal jika jumlah oksigen dari udara yang dimasukkan kedalam tungku mencukupi. Komposisi gas hasil pembakaran dan keluaran panas pembakaran tergantung pada jumlah bahan bakar yang dibakar dalam tungku. π¬π΅π΅ = ππ΅π΅ . πΏπ»ππ΅π΅ (kJ) (2.18) dimana: mBB = massa bahan bakar (kg) LHVBB = Nilai kalor bawah bahan bakar ( kJ ) kg 23 2.3.3 Nilai kalor bahan bakar Nilai kalor kita definisikan sebagai energi panas yang dilepaskan pada waktu oksidasi unsur-unsur kimia yang terdapat dalam bahan bakar. Panas pembakaran dari suatu bahan bakar adalah panas yang dihasilkan dari pembakaran sempurna bahan bakar pada volume konstan. Panas pembakaran dari bahan bakar dapat dinyatakan dalam High Heating Value (HHV) dan dalam Heating Value (HV) HHV adalah nilai panas pembakaran dari bahan bakar yang didalamnya masih termasuk panas laten dari uap air hasil pembakaran. Nilai panas dan unsur karbon, hydrogen dan sulfur dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut (Widodo dan Harmadi,1990) . HHV = 33950 C + 144200(H2-O2/8) + 9400 (kJ) ( 2.19 ) LHV adalah Low Heating Value dimana merupakan panas pembakaran bahan bakar setelah dlkurangi panas laten dan uap air hasil pembakaran, sehingga. LHV = HHV - βhH2O . mH2O (kJ) ( 2.20 ) Tabel 2.3 Lower Heating Value (LHV) untuk bahan bakar Bahan Bakar Hi (kj/kg) Kayu (kering) 18.5 – 21.0 Peat (dry) 20.0 – 21.0 Arang 23.3 – 24.9 Minyak 40.0 – 42.3 Tempurung Kelapa 17.207 (Sumber: Wood Energy Brochure, 2004. www.btgworld.com) Udara pembakaran pada ruang bakar: 79 CO2 + H2O +21 π2 + abu + Energi BBpadat + udara BBpadat + ( O2 + 79 21 π2 ) πΆπ2 + π»2 π + 79 21 ( 2.21) π2 + πππ’ + πΈπππππ 24 2.4 Kesetimbangan Energi pada Sistem Eloss udara pengering= πΜπ’π . πΆππ’π (ππ’π − ππ’π ) Tu Eloss gas buang= πΜππ . πΆπππ (πππ − ππ ) Tu Tu Cerobong ruang pengaering Cerobong tungku πΜπ’π Ta Tgb Eloss Rak pengering Tt Est Tb Eup Tuo Er Ein=πππ . πΏπ»π Eg = Ein -Eloss Udara Tu in πΜππ Egas buang Pipa Heat transfer Est pengering = Eu - Elos Eup= πΜπ’ πΆππ’ (ππ’π − ππ’π ) Tungku Eabu Eu = Eg – Egas buang Eloss = Eradiasi + Esisa (abu) Gambar 2.6. Skematik kesetimbangan energi pada sistem Keterangan: 1 = Ruang pembakaran biomassa. 2 = Pipa – pipa penukar panas. 3 = Rak. 25 4 = Cerobong gas buang. 5 = Inclined manometer. 6 = Cerobong uap panas. Rumus kesetimbangan energi dari sistem : Ein = Est.pengering + Eloss abu + Eloss radiasi + Elos gas buang + Eloss udara pengering (2.22) Kehilangan energi pada udara panas terbuang. Eloss udara pengering = ππ’π . πΆππ’π (ππ’π − ππ’π ) (2.23) Keterangan : πππ = Massa bahan bakar (kg/s) ππ½ LHVbb = Nilai kalor bahan bakar (πΎπ) ππππ’ = Massa abu yang tersisa (kg/s) 1 σ = Konstanta stefan boltzmann = 5,67.10-8 (π⁄π2 . πΎ) ε = Emisivitas permukaan benda A = Luas permukaan (m2) πΜπ’ = Laju Aliran massa udara (kg/s) Cpu = Panas jenis udara (ππ½⁄ππ. πΎ ) Tuo = Temperatur udara panas keluar alat pemindah panas (K) Tuin = Temperatur udara panas masuk alat pemindah panas (K) πΜππ = Laju aliran massa gas buang (kg/s) cpgb = Panas jenis gas buang (kg/s) Tgb = Temperatur gas buang (K) Tu = Temperatur udara luar (K) πΜπ’π = Laju aliran udara panas keluar cerobong (kg/s) Cpup = Panas jenis udara pengering (ππ½⁄πΎπ. πΎ ) Tup = Temperatur udara pengering keluar cerobong (K) Ein adalah energi bahan bakar yang akan dibakar di dalam tungku. 26 Ein = πππ . πΏπ»πππ (kJ) 2 (2.24) Eg ( energi bangkitan ) : Jumlah energi yang dihasilkan dari proses pembakaran dikurangi energi yang hilang berupa sisa pembakaran dan radiasi. Eg = Ein – Elos (kJ) (2.25) Energi sisa pembakaran abu + Eradiasi Eabu = ππππ’ . πΏπ»πππ ( kJ ) (2.26) Energi Radiasi Er = π. π. βπ 4 . π΄ (W) (2.27) 3 Energi Udara pengering : udara panas yang dihisap dari lingkungan dan menyerap panas dari pipa perpindahan panas. Eup = πΜπ’ . πΆππ’ (ππ’ππ’π‘ − ππ’ππ ) (kJ/s) (2.28) = Eg – Elos gas buang 4 Energi buang gas pengering adalah jumlah energi yang terbuang ke udara luar cerobong asap akibat draft force. πΈπππ π πππ ππ’πππ = πΜππ . πΆπππ (πππ − ππ’ ) (kJ/s) (2.29) 2.5 Referensi dari penelitian yang lain Pengeringan dengan udara panas yang dihasilkan dari suatu alat pengering akan menghasilkan kopra bermutu tinggi. Persoalannya, hingga kini desain-desain alat pengering kopra belum banyak, apalagi yang bersekala kecil. Oleh karena itu perlu dicari suatu teknologi atau alat pengering sederhana yang mudah diadopsi oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun dan menguji coba alat pengering kopra tipe rak dengan memanfaatkan panas hasil pembakaran biomassa (limbah padat untuk industry skala kecil). (Triyono et al., 2008)