Atep Mastur - UIN Sunan Gunung Djati Bandung

advertisement
PENDAPAT IMAM AL-SYAFI`I TENTANG HUKUMAN BAGI
PELAKU PEMBUNUHAN TERHADAP KHUNTSA
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Mendapat Bantuan Dana dari DIPA UIN SGD
Bandung Tahun Anggaran 2007
DRS. ATEP MASTUR
NIP. 150 217 966
LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2007
2
A. Identifikasi Masalah
Imam Al-Syafi`i berijtihad pada abad ke dua hijrah. Kondisi sosial pada
waktu sangat berbeda dengan yang ada sekarang. Pada waktu itu jenis kelamin
menjadi bahan pertimbangan yang amat dominan dalam setiap aspek penetapan
hukum yang diduga berhubungan dengan jenis kelamin. Pria, wanita dan khuntsâ
disimpan pada kotak yang berbeda dan diperlakukan berbeda, termasuk dalam
masalah hukuman karena pembunuhan.
Tampaknya, dewasa ini, membedakan bobot hukuman bagi pembunuh hanya
karena pertimbangan jenis kelamin merupakan suatu tindakan yang kurang tepat.
Karena, secara moral yang ia merupakan landasan bagi Hukum Islam, jiwa manusia
itu semuanya dihormati tanpa harus mempertimbangkan jenis kelamin, usia, ras dan
lain sebagainya.
Latar belakang masalah di atas menunjukkan bahwa tidak seperti dalam
Hukum Pidana Barat yang kini diaplikasikan di Indonesia yang mayoritas
penduduknya Muslim, dalam Hukum Pidana Islam jenis kelamin korban menjadi
faktor penentu dalam penentuan bobot hukuman. Dari latar belakang di atas telah
diketahui pula bahwa Imam Al-Syafi`i dalam karyanya Al-Umm (t.t., IX) sudah
membahas tentang hukuman bagi pelaku pembunuh khuntsâ. Penelitian tentang
pendapat ulama yang fokus utamanya pada aspek metodologis adalah merupakan
bagian dari disiplin ilmu yang penulis tekuni di jurusan Perbandingan Madzhab dan
Hukum.
Penelitian ini akan diarahkan kepada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Imam al-Syafi`i tentang hukuman bagi pelaku pembunuhan
terhadap khuntsâ baik dalam bentuk qishâsh maupun diyat?
3
2. Apa dasar hukum yang digunakan oleh Imam al-Syafi`i dalam menetapkan
hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ?
3. Bagaimana metode istinbâth hukum yang digunakan oleh Imam al-Syafi`i dalam
menetapkan hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ?
B. Metodologi Penelitian
Pemilihan metode penelitian yang akan digunakan dalam suatu penelitian
senantiasa bergantung kepada jenis penelitian itu sendiri, apakah penelitian yang
akan dilakukan termasuk penelitian lapangan, atau penelitian kepustakaan, atau
dilihat dari jenis datanya penelitian yang akan dilakukan itu termasuk penelitian
kualitatip, atau penelitian kuantitatip. Sesuai dengan judulnya, penelitian yang akan
penulis lakukan ini adalah penelitian normatip, yaitu penelitian yang menjadikan
norma-norma sebagai objek penelitian. Penelitian ini merupakan bagian dari
penelitian kepustakaan.
Karena penelitian ini akan menganalisis pendapat Ulama tentang suatu objek,
yakni pendapat Imam Al-Syafi`i tentang hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap
khuntsâ, maka berdasarkan litelatur-litelatur metode penelitian, metode yang paling
sesuai untuk digunakan dalam peneltian ini adalah metode deskriptif analitik.
Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer
dan sumber data sekunder. Keduanya bentuk kitab berbahasa Arab dan buku-buku
berbahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan sumber data primer di sini adalah babbab tertentu dari kitab-kitab yang secara langsung ditulis oleh Imam Al-Syafi`i,
yakni Al-Umm dan Al-Risâlah.
4
Sedangkan yang dimaksud dengan sumber data sekunder adalah kitab-kitab
dan buku-buku yang mengoleksi data-data dari tangan pertama atau dari sumber data
primernya. Yang dijadikan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah bab-bab
tertentu yang ditulis oleh para ulama Syafi`iyah (para pengikut Imam Syafi`i), antara
lain adalah (1) Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imâm al-Syâfi`i, karya Al-Syairazi, (2) AlMajmû` Syarh Muhadzdzab, karya Al-Nawawi, (3) Kifâyah al-Akhyâr karya Imam
Taqiyuddin, (4) Fiqh al-Syâfi`i, karya Ahmad Idris, (5) Al-Bâjuri Ibn al-Qâsim karya
Al-Bajuri, (6) Fath al-Wahhâb karya Zakaria Anshari, (7) Al-Muhadzdzab karya Abi
Ishak Ibrahim, (8) Al-Iqnâ` karya Muhammad Syarbini Khatib, (9) Sejarah
Keagungan Madzhab Syafi`i karya Sirajudin Abbas, (10) Fath al-Mu`in karya
Zainuddin ibn al-Aziz, (11) I`ânah al-Thâlibîn karya Thalib, dan kitab-kitab serta
buku-buku lainnya yang ditulis oleh para Ulama pengikut Imam Al-Syafi`i.
Penelitian yang menggunakan kitab-kitab dan buku-buku sebagai sumber
data, maka teknik pengumpulan data yang paling relevan untuk digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik survey buku (book survey). Berdasarkan atas kenyataan
bahwa penelitian seperti ini dilakukan di perpustakaan dimana buku-buku dan
dokumen itu dikoleksi, maka penelitian seperti ini dalam beberapa litelatur penelitian
sering pula disebut sebagai penelitian perpustakaan (library research). Lebih
jelasnya, dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan cara menelaah karya-karya
Imam Al-Syafi`i dan karya-karya para Ulama pengikut Imam Al-Syafi`i yang
relevan dengan masalah yang sedang diteliti.
Secara keseluruhan, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah datadata kualitatip. Oleh sebab itu, pendekatan yang akan digunakan dalam menganalisis
5
data adalah pendekatan kualitatip. Adapun teknik analisis yang akan digunakan
adalah teknik analsis isi (content analysis).
Dalam pelaksanaannya, penganalisisan data ditempuh melalui tahapantahapan sebagai berikut:
a. Mengkaji semua data yang terkumpul, baik dari sumber data primer maupun dari
sumber data sekunder;
b. Mengklasifikasikan seluruh data ke dalam satuan-satuan sesuai dengan pertanyaan
penelitian;
c. Mengkorelasikan data-data yang sudah diklasifikasikan dengan kerangka
pemikiran; dan
d. Menarik kesimpulan yang diperlukan dari data-data yang dianalisis
dengan
mengacu kepada perumusan masalah dan tujuan penelitian yang sudah
dirumuskan sebelumnya.
C. Hasil Penelitian
1. Hukuman Bagi Pembunuh Khuntsâ menurut al-Syafi`i
Al-Syafi`i dalam kitabnya Al-Umm (t.t., IX: 190) berpendapat bahwa
hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ musykîl dengan sengaja adalah
qishâsh, karena khuntsâ itu tidak dihitung laki-laki dan perempuan. Yang dimaksud
dengan khuntsâ musykîl menurut Al-Rabi sebagaimana dikutip oleh Ismail Yakub
(t.t., IX: 190) adalah “orang yang mempunyai kemaluan perempuan dan laki-laki”.
Kemudian, menurut Imam Al-Syafi`i (t.t., IX: 190) jika para wali menuntut
tebusan (diyat ), maka diyat-nya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian. Pertama,
jika khuntsâ-nya itu adalah khuntsâ musykîl, maka diyat-nya disamakan dengan
6
diyat-nya perempuan, karena itulah yang yakin; tidak disamakan dengan diyat-nya
laki-laki dan tidak ada tambahan atas diyat-nya perempuan, yakni setengah dari
diyat-nya laki-laki (Sabiq, 1990, X: 108), karena itu adalah meragukan (syak ).
Kedua, apabila khuntsâ yang dibunuh itu jelas memiliki kelamin laki-laki, maka
diyat-nya disamakan dengan laki-laki. Ketiga, jika yang dibunuh itu adalah khuntsâ
musykîl, namun setelah diteliti ternyata yang dominan adalah kelamin laki-lakinya,
maka diyat-nya disamakan dengan diyat-nya laki-laki (Al-Syafi`i, t.t., IX: 190),
yakni jika khuntsâ-nya itu adalah khuntsâ yang merdika dan muslim, 100 ekor unta
bagi pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2000 ekor domba bagi pemilik
domba, 1000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak, atau 200
setel pakaian bagi pemilik pakaian. Jenis apa pun yang ditunaikan oleh orang yang
terkena diyat, harus diterima oleh para wali si korban, menskipun para wali si korban
bukan pemilik dari barang tersebut, sebab si pelaku pembunuhan telah menunaikan
kewajibannya secara prinsip (Sabiq, 1990, X: 93).
2. Dalil-dalil yang Digunakan Imam al-Syafi`i dalam Menentukan Hukuman
bagi Pembunuh Khuntsâ
Dalam menentukan hukuman pengganti (diyat ) bagi pelaku pembunuhan
terhadap khuntsâ, Imam Al-Syafi`i menggunakan qiyâs sebagai sumber hukum atau
dalil (Al-Syafi`i, t.t., IX: 190-191). Ini dilakukan oleh Imam Al-Syafi`i karena
ketentuan hukuman tentang masalah tersebut tidak ditemukan dalam sumber-sumber
hukum lainnya yang harus lebih diprioritaskan dalam penggunaannya, yaitu AlQur’an, Al-Sunnah, dan Ijma` para Shahabat.
7
3. Metode Istinbâth Hukum yang Digunakan Imam Al-Syafi`i dalam
Menetapkan Hukuman bagi Pembunuh Khuntsâ
Diyat (hukuman pengganti) bagi pelaku pembunuhan terhadap waria atau
khuntsâ, oleh Imam Al-Syafi`i ditentukan melalui metode qiyâs. Dalam hal ini Imam
Al-Syafi`i mengqiyâskan khuntsâ sebagai korban pembunuhan kepada laki-laki atau
kepada perempuan bergantung kepada qarînah-qarînah atau tanda-tanda yang ada
pada korban pembunuhan tersebut. Jika kelamin yang dominan pada khuntsâ itu
adalah laki-laki, maka diyat-nya disamakan dengan laki-laki. Sebaliknya, jika
kelamin yang dominan pada khuntsâ tersebut adalah wanita, maka diyat-nya
disamakan dengan diyat-nya wanita. Dalam hal ini Imam Al-Syafi`i dalam Al-Umm
(t.t., VI; 26-27) mengatakan sebagai berikut:
“Jika dia pertama kali membuang air kecil sebagaimana laki-laki membuang
air kecil dan ada tanda-tanda kelaki-lakian padanya lebih kuat, maka saya hukumkan
baginya diyat laki-laki. Kemudian jika dia musykîl yang memiliki kelamin laki-laki
dan perempuan, kemidian tumbuh seperti kelamin perempuan atau sesuatu yang
menyerupainya, maka saya menggunakan kelebihan itu dari diyat wanita, kalau dia
buang air dari kedua kelamin itu tidak terdahulu salah satu keduanya dari yang lain
dan terputus (selesai buang air) bersama-sama antara keduanya. Jika terdahulu salah
satu dari keduanya dari yang lain, maka dihukumkan menurut yang lebih dahulu.
Jika keduanya saling dahulu, kemudian salah satu keduanya terputus sebelum yang
lain, maka yang digunakan sebagai qarînah dalam menentukan hukum adalah yang
ketinggalan, yakni yang paling lama terhenti air seninya”.
Pendapat Imam Al-Syafi`i di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga langklah
dalam mengqiyâskan khuntsâ kepada laki-laki atau perempuan. Langkah yang
8
pertama, melihat dengan mata kelamin yang dimiliki oleh khuntsâ, apakah yang
dominan itu kelaminnya laki-laki atau wanita. Jika yang lebih dominan itu adalah
kelaminnya laki-laki, maka disamakan kepada diyat-nya laki-laki, atau sebaliknya.
Langkah yang kedua, jika ternyata dilihat dari kelaminnya secara lahiriah sama,
yakni terdapat kelamin laki-laki dan perempuan dalam kadar yang sama, maka
dilihat fungsi dari kedua kelamin tersebut, mana yang lebih dominan. Kedominannya
ini dilihat dari kelamaannya dalam mengeluarkan air seni. Jika yang lebih lama
berfungsi dalam membuang air seni itu adalah kelamin laki-lakinya, maka disamakan
kepada diyat-nya laki-laki atau sebaliknya, yakni jika yang lebih lama berfungsi
dalam membuang air seni itu adalah kelamin wanita, maka disamakan kepada diyatnya wanita. Langkah ketiga, jika dilihat dari kelaminnya ternyata sama, ada kelamin
laki-laki dan wanita, juga fungsinya sama, yakni mulai dan berhenti mengeluarkan
air seni sama-sama, maka diyat-nya disamakan kepada diyat-nya wanita, karena yang
demikian menurut Imam Al-Syafi`i lebih jelas
4. Analisis
a. Analisis terhadap Pendapat Imam Al-Syafi’i tentang Bentuk Hukuman
bagi Pelaku Pembunuhan terhadap Khuntsâ
Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, Imam Al-Syafi`i
berpendapat bahwa hukuman bagi pembunuh khuntsâ musykîl dengan sengaja adalah
qishâsh, karena khuntsâ itu tidak dihitung laki-laki dan perempuan (t.t., IX: 190). Ini
dilakukan jika orang yang berhak menuntut atau memaafkan, yaitu ahli waris
`ashâbah bi nafsih (menurut Imam Malik) atau para ahli waris lainnya baik laki-laki
maupun perempuan (menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi`i, dan Imam Ahmad
9
bin Hanbal) menuntut qishâsh.
Hak ini menurut para ulama jatuh ke tangan
pemerintah (al-sulthân) jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali,
karena pemerintah adalah wali bagi mereka yang tidak memiliki wali (Djazuli, 1997:
149).
Menurut penulis, pendapat Imam Al-Syafi`i ini sangat tepat, karena dalam
Al-Qur’an Allah Swt. menjelaskan bahwa diberlakukan qishâsh
adalah untuk
memelihara jiwa (hifzh al-nafs). Penjelasan tersebut terdapat dalam surat Al-Baqarah
ayat 179 yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa (Soenarjo dkk., 1990: 44).
Dilihat dari aspek jiwa, khuntsâ itu tidak ada bedanya dari manusia lainnya,
baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu jiwanya harus dilindungi
sebagaimana jiwanya non-khuntsâ, dan pemeliharaan jiwa ini sebagaimana
dikemukakan dalam ayat Al-Qur’an di atas direalisasikan melalui pemberlakuan
qishâsh. Perlu ditekankan di sini mengenai pandangan orang Barat pada umumnya
yang mengatakan bahwa Hukum Pidana Islam Islam sangat kejam dan tidak
manusiawi. Ini adalah sebuah pandangan yang sangat keliru, bertentangan dengan
Al-Qur’an. Bahkan, secara empiris penerapan Hukum Pidana Islam di suatu negara
benar-benar telah terbukti mampu mengurangi angka kejatan di negara yang
bersangkutan. Di Saudi Arabia di mana Hukum Pidana Islam diterapkan misalnya,
menurut Tajul Arifin (1999: 97) rata-arata angka kejahatan dalam setiap tahun jauh
10
di bawah angka kejahatan rata-rata dunia. Jumlah pembunuhan rata-rata dunia dalam
setiap tahun 4 kali lebih tinggi dari yang terjadi di Saudi Arabia, sedangkan jumlah
pencurian rata-rata dunia 650 kali lebih tinggi dari yang terjadi di Saudi Arabia dan
angka kejahatan seksual rata-rata dunia 5 kali lebih tinggi dari yang terjadi di Saudi
Arabia. Secara lebih jelas, Tajul Arifin (1999: 97) menyatakan:
“ ... for murder, the world rate is about four times the rate in Saudi Arabia.
For property crimes, the world rate is about six hundred fifty times the rate in Saudi
Arabia. And for sexual offences, the world rate is about five times the rate in Saudi
Arabia ...”.
Yang kurang penulis setujui adalah pendapat Imam Al-Syafi`i jika hukuman
berpindah dari yang asal, yaitu qishah kepada diyat. Di mana sebagaimana telah
dikemukakan di atas Imam Al-Syafi`i berpendapat bahwa jika para wali menuntut
tebusan (diyat ), maka diyat-nya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian. Yang
pertama, jika khuntsâ-nya itu adalah khuntsâ musykîl, maka diyat-nya disamakan
dengan diyat-nya perempuan, karena itulah yang yakin; tidak disamakan dengan
diyat-nya laki-laki dan tidak ada tambahan atas diyat-nya perempuan (Al-Syafi`i, t.t.,
IX: 190), yakni setengah dari diyat-nya laki-laki (Sabiq, 1990, X: 108), karena itu
adalah meragukan (syak ). Yang kedua, apabila khuntsâ yang dibunuh itu jelas
memiliki kelamin laki-laki, maka diyat-nya disamakan dengan laki-laki. Yang ketiga,
jika yang dibunuh itu adalah khuntsâ musykîl, namun setelah diteliti ternyata yang
dominan adalah kelamin laki-lakinya, maka diyat-nya disamakan dengan diyat-nya
laki-laki (Al-Syafi`i, t.t., IX: 190).
Pendapat Imam Al-Syafi`i di atas mencerminkan patriarki masyarakat
Muslim pada waktu itu. Kaum wanita dianggap sebagai manusia kelas dua bukan
11
hanya dalam dunia sosial, tetapi juga di hadapan hukum. Dalam kaitannya dengan
masalah ini Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah-nya (1990, X: 108-109) mengutip
Hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a., Ali r.a., Ibnu Mas`ud r.a., dan Zaid Ibn
Tsabit r.a. dimana dia mengatakan sebagai berikut:
... Mereka telah berpendapat tentang diat perempuan adalah sebanyak
setengah diat lelaki. Dan ternyata tidak ada satu riwayat pun dari kalangan para
shahabat yang tidak sependapat dengan mereka, sehingga pendapat ini dikategorikan
sebagai ijma’ para shahabat. Dan lagi karena mengingat bahwa dalam pewarisan pun
orang perempuan menerima setengah dari bagian orang lelaki (Sabiq, 1990, X: 108109).
Keberatan penulis terhadap pendapat Imam Al-Syafi`i tentang hukuman
pengganti bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ dengan menyamakannya
kepada laki-laki atau perempuan berdasarkan argumen-argumen sebagai berikut:
Pertama, khuntsâ dan perempuan yang menjadi korban pembunuhan
dihadapan hukum tidak harus dibedakan dari laki-laki dalam hal jumlah diyat yang
harus dibayarkan, karena yang membedakan manusia di sisi Allah bukan jenis
kelaminnya melainkan taqwanya. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat
Al-Hujurat ayat 13:
Kedua, tujuan diberlakukannya hukuman seperti qishah dan penggantinya
adalah untuk memelihara jiwa dengan cara membuat para pelaku tindak kejahatan
pembunuhan jera. Ini sesuai dengan yang dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 179 sebagaimana telah dikutip di atas.
Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan sosial menunjukkan
bahwa semakin berat hukuman yang diancamkan, maka semakin berkurang jumlah
12
kejahatan. Sebagai ilustrasi, mengapa jumlah kejahatan yang berhubungan dengan
penyalahgunaan obat-obat terlarang di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan di
negara tetangga kita Malaysia. Salah satu jawabannya adalah karena hukuman yang
diancamkan di negara kita terhadap pelaku kejahatan yang sama lebih ringan
daripada yang diancamkan di Malaysia.
Jiwa kaum khuntsâ dan wanita sama harus dipelihara dengan jiwanya kaum
laki-laki. Mengapa diyat yang dikenakan kepada para pembunuhnya harus
dibedakan? Dengan pembedaan seperti ini, menurut penulis, tidak menutup
kemungkinan di negara-negara Islam yang menerapkan hukum Islam para kriminal
akan lebih mudah melakukan pembunuhan terhadap khntsa dan wanita daripada
kepada kaum laki-laki, karena diyat yang diancamkan lebih ringan, yakni setengah
dari yang diancamkan kepada pembunuh laki-laki.
Ketiga, alasan mengqiyâskan tentang pembedaan diyat yang diancamkan
kepada pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ dan wanita dari laki-laki kepada
masalah waris sebagaimana dalam ijma` shahabat di atas sangat tidak tepat. Dalam
masalah waris, laki-laki memperoleh dua kali perempuan, bukan semata-mata karena
jenis kelaminnya, melainkan karena tanggung jawabnya dalam rumah tangga yang
lebih besar daripada kaum wanita. Kaum laki-laki harus menanggung nafkah anakanak dan isterinya, sedangkan kaum wanita tidak. Ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat Al-Nisa ayat 34:
Jadi posisi laki-laki dan perempuan dalam masalah waris jelas berbeda,
sedangkan dalam hal jiwanya sama-sama harus dipelihara, dilindungi dari berbagai
kerusakan apa lagi kematian. Argumen ini akan semakin terasa ketepatannya jika
13
dihubungkan dengan firman Allah Swt. yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat
32:
Dalam ayat itu digunakan lafazh ‘âm,
yaitu orang. Secara jelas, dalam ayat
itu dikatakan bahwa orang yang membunuh seseorang, artinya baik dia itu adalah
laki-laki, perempuan atau khuntsâ, diidentikkan dengan membunuh ummat manusia
seluruhnya. Ini menggambarkan bahwa jiwa manusia semuanya harus dilindungi
dengan berbagai cara, dan salah satu caranya adalah mengancamkan hukuman yang
berat kepada pelaku pembunuhan.
b. Analisis terhadap Dalil-dalil yang Digunakan Imam Al-Syafi`i dalam
Menentukan Hukuman bagi Pelaku Pembunuhan terhadap Khuntsâ
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa dalam menentukan
hukuman pengganti (diyat ) bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ, Imam AlSyafi`i menggunakan qiyâs sebagai sumber hukum atau dalil (Al-Syafi`i, t.t., IX:
190-191). Langkah ini ditempuh oleh Imam Al-Syafi`i karena ketentuan yang qath`i
(pasti) tentang masalah ini tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijma`
para Shahabat.
Yang dimaksud dengan qiyâs di sini adalah salah satu dalil atau sumber
hukum yang digunakan oleh para Ulama dalam menentukan hukum. A. Djazuli dan
I. Nurol Aen (1997: 97) mendefinisikan qiyâs dengan “mempersamakan hukum
sesuatu waqî`ah/kasus yang tidak dinaskan dengan hukum waqi`ah lain yang
dinaskan karena persamaan illat hukum”.
Mengenai kehujjahan qiyâs, menurut A. Djazuli dan I. Nurol Aen (1997: 98111) para Ulama dapat dikelompokkan kepada dua kelompok. Kelompok pertama,
14
yaitu JumhÅ©r Ulamâ, mengatakan bahwa qiyâs adalah hujjah syara`. Sedangkan
kelompok yang kedua, yaitu para Ulama dari madzhab Nizhomiyah, Zhahiriyah,
Syi`ah Imamiyah, dan sebagian Mu`tazilah menolak qiyâs sebagai cara untuk
menetapkan hukum.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Jumhûr Ulama dalam mendukung
pendapat mereka antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam surat Al-Nisa ayat 59:
Menurut kedua Guru Besar Fakultas Syari`ah IAIN Sunan Gunung Djati
Bandung tersebut di atas, kata faruddûhu dalam ayat 59 surat Al-Nisa itu berarti
mengembalikan kepada Allah dan Rasulnya yang juga meliputi pengembalian
kepada kaidah-kaidah syara` yang umum dan mengembalikan hal-hal yang tidak
dinaskan kepada yang dinaskan karena ada persamaan illatnya. Dan ini, kata
keduanya berati menggunakan qiyâs (Djazuli dan Aen, 1997: 99).
Kedua, firman Allah Swt. dalam surat Al-Hasyr ayat 2:
Dalam ayat di atas, Allah Swt. mengemukakan apa yang telah menimpa Bani
Nazhir kemudian Allah menyatakan: fa`tabirû, yang berarti qiyâskanlah dirimu,
karena kamu juga adalah manusia seperti mereka. Jika kamu juga melakukan
perbuatan seperti yang mereka lakukan, maka kamu pun akan mengalami seperti
yang mereka alami (Djazuli dan Aen, 1997: 100).
Sebenarnya masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang oleh Jumhûr Ulama
dinilai sebagai argumen tentang kehujjahan qiyâs, seperti ayat 78-79 surat Yasin,
ayat 179 surat Al-Baqarah (tentang illat), ayat 37 surat Al-Ahzab (tentang illat), dan
ayat 7 surat Al-Hasyr (tentang illat) (Djazuli dan Aen, 1997: 100-101).
15
Ketiga, banyak Sunnah Nabi yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw.
menggunakan qiyâs, yang diantaranya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Nasa’i di bawah ini:
. !"#
“Dulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban, karena banyak orang
berkumpul. Maka sekarang boleh makan, menyimpan, dan menyedekahkannya”
(Hadits Riwayat Al-Nasa’i) (Djazuli dan Aen, 1997: 101).
Dalam Hadits di atas dikatakan bahwa banyaknya orang yang berkumpul
yang membutuhkan daging kurban menjadi illat dilarangnya menyimpan daging
kurban. Sebaliknya, jika tidak ada orang yang berkumpul, maka jadi boleh
menyimpan sebagian daging kurban. Jadi, hukum ada jika ada illatnya, dan hukum
tidak ada dalam arti mubah jika tidak ada illatnya. Dari sini muncul kaidah kaidah
ushul yang sangat populer:
$ % &$ ' “Hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya illat” (Djazuli dan Aen,
1997: 101).
Keempat, para shahabat pun menggunakan qiyâs. Abu Bakar r.a. misalnya,
mengkiyaskan kakek dengan bapak dalam hal warisan. Demikian pula Umar r.a.
memerintahkan kepada Musa al-Asy`ari r.a. dengan mengatakan:
16
() " $ * + ,-" ./0 1
2
“Pelajarilah perkara-perkara yang ada persamaan dan perserupaannya,
kemudian kiyaskanlah perkara-perkara tersebut” (Djazuli dan Aen, 1997: 102).
Kelima, qiyâs dapat dibuktikan kebenarannya dengan akal. Dalam
hubungannya dengan masalah ini, A. Djazuli dan I. Nurol Aen (1997: 103)
mengatakan sebagai berikut:
Pertama, Allah Swt. memberikan hukum demi untuk kemaslahatan hambahamba-Nya, apabila ada persamaan antara waqi`ah/kasus yang tidak dinaskan
dengan yang dinaskan di dalam illat gukumnya, maka adalah adil dan bijaksana
untuk mempersamakan hukumnya dalam rangka melaksanakan kemaslahatan tadi.
Adalah tidak pada tempatnya apabila khamr dilarang karena memabukkan
dalam rangka memelihara akal dan minum-minuman lain yang memabukkan
dibolehkan karena tidak dinaskan, padahal kedua-duanya sama memabukkan dan
menyebabkan tidak terpeliharanya akal.
Kedua, nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah jumlahnya terbatas, sedangkan
peristiwa dan perkembangan manusia terus terjadi. Maka, untuk memecahkan
masalah-masalah yang tidak dinaskan, penggunaan qiyâs sangatlah dibutuhkan asal
pemecahan tersebut masih di dalam ruang lingkup syari`at menuju kemaslahatan
manusia.
Dengan demikian, qiyâs pada hakikatnya tidak lain adalah pelaksanaan nashnash di dalam ruang lingkupnya yang luas, bukan menambah nash tapi
menafsirkannya.
17
Berdasarkan atas argumen-argumen di atas, dari aspek dalil yang digunakan,
penulis sangat setuju atas penggunaan qiyâs sebagai dalil oleh Imam Al-Syafi`i
dalam menetapkan hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap waria atau khuntsâ.
Karena pada bagian ini maksud penulis adalah untuk menunjukkan tentang
keabsahan qiyâs sebagai salah satu dalil, maka penulis di sini tidak perlu
mengemukakan dalil-dalil yang digunakan oleh para Ulama yang tidak mengakui
eksistensi qiyâs sebagai dalil. Tetapi sebagai gambaran umum, untuk membantu para
pembaca, para Ulama yang menolak qiyâs menggunakan beberapa ayat Al-Qur’an
al-Karim sebagai argumen penolakannya. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah ayat
49 surat Al-Maidah, ayat 38 dan 59 surat Al-An`am, ayat 89 surat Al-Nahl, dan ayat
6 surat Hud (Djazuli dan Aen, 1997: 105-106).
c. Analisis terhadap Metode Istinbâth Hukum yang Digunakan Imam AlSyafi`i dalam Menetapkan Hukuman bagi Pelaku Pembunuhan terhadap
Khuntsâ
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa hukuman pengganti
(diyat) bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ, oleh Imam Al-Syafi`i ditentukan
melalui metode qiyâs. Yakni, mengqiyâskan khuntsâ sebagai korban pembunuhan
kepada laki-laki atau kepada perempuan bergantung kepada qarînah-qarînah atau
tanda-tanda yang ada pada korban pembunuhan tersebut. Jika kelamin yang dominan
pada Khuntsâ itu adalah laki-laki, maka diyat-nya disamakan dengan laki-laki.
Sebaliknya, jika kelamin yang dominan pada khuntsâ tersebut adalah wanita, maka
diyat-nya disamakan dengan diyat-nya wanita.
18
Untuk melihat tepat atau tidaknya qiyâs yang dilakukan oleh Imam Al-Syafi`i
dalam menetapkan hukuman bagi pelaku pembunuh khuntsâ, di sini perlu terlebih
dahulu dikemukakan rukun qiyâs. Menurut A. Djazuli dan I. Nurol Aen (1997: 111115) rukun qiyâs itu ada empat.
Pertama, Ashal. Ialah sesuatu yang dinaskan hukumnya yang menjadi ukuran
atau tempat menyerupakan/mengkiyaskan yang dalam istilah ushul fiqh disebut
ashal, atau maqîs `alaih atau musyabbah bih. Menurut sebagian ahli ushul, ashal itu
harus berupa nash, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah atau Ijma`. Namun demikian,
menurut sebagian Ulama Malikiyah diantaranya Ibn Rusyd membolehkan qiyâs
dijadikan ashal untuk qiyâs yang lain. Akan tetapi, meluaskan ashal ini bisa jatuh
kepada hal-hal yang tidak pada tempatnya, disamping tidak ada faedahnya
menjadikan qiyâs sebagai ashal (Djazuli dan Aen, 1997: 112).
Kedua, Far`un/cabang. Ialah sesuatu yang tidak dinaskan hukumnya, yang
diserupakan atau diqiyâskan. Dalam istilah ushul fiqh disebut al-far`u, atau al-maqîs,
atau al-musyabbah. Cabang ini harus memenuhi syarat-syarat: (1) tidak mempunyai
hukum yang tersendiri, (2) illat yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada
pada ashal, (3) tidak lebih dahulu daripada ashal, dan (4) hukum cabang sama
dengan hukum ashal (Djazuli dan Aen, 1997: 112).
Ketiga, hukum ashal. Ialah hukum syara` yang dinaskan pada pokok yang
kemudian akan menjadi hukum pula pada cabang. Menurut para Ulama ahli ushul
fiqh, hukum ashal harus memenuhi syarat-syarat: (1) merupakan hukum syara` yang
amaliyah, (2) harus ma`qûlul ma`na dalam arti pensyari`tannya rasional, (3) bukan
hukum yang khusus, dan (4) masih tetap ada. Kalau hukum ashal sudah dimansukh,
maka tidak mungkin melakukan qiyâs (Djazuli dan Aen, 1997: 112-113).
19
Keempat, illat. Ialah sesuatu atau sifat yang ada pada ashal yang menjadi
landasan atau sebab adanya hukum dan dengan adanya sifat-sifat itulah diketahui
adanya hukum pada cabang-cabang. Dengan kata lain, illat adalah “sesuatu sifat yang
nyata dan tertentu yang bertalian (munâsabah ) dengan ada atau tidak adanya
hukum” (Djazuli dan Aen, 1997: 113).
Semua rukun qiyâs di atas tampaknya telah terpenuhi oleh Imam Al-Syafi`i
dalam menentukan hukuman pengganti (diyat ) bagi pembunuh khuntsâ dengan
sengaja.
Ashalnya adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap laki-laki atau
perempuan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 178.
Cabangnya adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap khuntsâ.
Hukum asalnya adalah membayar diyat 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200
ekor sapi bagi pemilik sapi, 2000 ekor domba bagi pemilik domba, 1000 dinar bagi
pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak, atau 200 setel pakaian bagi pemilik
pakaian, jika yang dibunuh itu adalah laki-laki Muslim yang merdika (Sabiq, 1990,
X: 93). Sedangkan jika yang dibunuh itu adalah perempuan, maka diyat-nya adalah
setengah dari diyat-nya laki-laki (Sabiq, 1990, X: 108).
Illatnya adalah kelamin atau fungsinya dalam membuang air seni. Jika
khuntsâ musykîl itu memiliki dua kelamin (laki-laki dan perempuan) dan ternyata
yang dominan adalah kelamin laki-lakinya, maka yang demikian disamakan kepada
laki-laki dan sebaliknya. Tapi, apabila kedua kelaminnya itu sama-sama besarnya,
dilihat mana yang paling befungsi dalam membuang air seni. Jika yang dominan
fungsinya adalah kelamin laki-lakinya maka dia disamakan kepada laki-laki dan
sebaliknya.
20
Metode istinbâth hukum yang digunakan oleh Imam Al-Syafi`i yaitu qiyâs
dalam menetapkan hukuman pengganti bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ
telah memenuhi rukunnya. Dengan demikian dapat diterima. Akan tetapi,
sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, yang penulis kurang
setujui adalah hukum asalnya, mengapa jika yang terbunuh itu diyat-nya setengah
dari diyat-nya laki-laki.
D. Kesimpulan
Berdasarkan atas uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis akhirnya dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap waria atau khuntsâ musykîl dengan
sengaja menurut Imam Al-Syafi`i adalah qishâsh. Jika para wali menuntut tebusan
(diyat), menurut dia, maka diyat-nya bisa tiga kemungkinan. Kemungkinan
pertama, jika khuntsâ-nya itu adalah khuntsâ musykîl, maka diyat-nya disamakan
dengan diyat-nya perempuan yaitu setengah diyat-nya laki-laki. Kemungkinan
kedua, jika khuntsâ yang dibunuh itu jelas memiliki kelamin laki-laki, maka diyatnya disamakan dengan laki-laki, yaitu 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200 ekor
sapi bagi pemilik sapi, 2000 ekor domba bagi pemilik domba, 1000 dinar bagi
pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak, atau 200 setel pakaian bagi
pemilik pakaian. Kemungkinan ketiga, jika yang dibunuh itu adalah khuntsâ
musykîl, namun setelah diteliti ternyata yang dominan adalah kelamin lakilakinya, maka diyat-nya disamakan dengan diyat-nya laki-laki atau sebaliknya.
2. Dalil atau sumber hukum yang digunakan oleh Imam Al-Syafi`i dalam
menentukan hukuman pengganti (diyat ) bagi pelaku pembunuhan terhadap
21
khuntsâ adalah qiyâs. Ini dilakukan oleh Imam Al-Syafi`i karena ketentuan
hukuman tentang masalah tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah,
dan Ijma` para Shahabat.
3. Dalam menentukan hukuman pengganti (diyat ) bagi pelaku pembunuhan terhadap
khuntsâ, Imam Al-Syafi`i menggunakan qiyâs sebagai metode istinbâth hukum.
Dalam hal ini Imam Al-Syafi`i mengqiyâskan khuntsâ sebagai korban
pembunuhan kepada laki-laki atau kepada perempuan bergantung kepada
qarînah-qarînah atau tanda-tanda yang dominan yang ada pada korban
pembunuhan tersebut.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajudin (1972), Sejarah Keagungan Madzhab Syafi`i, Pustaka Tarbiyah,
Jakarta.
Abdul Aziz, Zainuddin Ibn (t.t.), Fath al-Mu`in, Syirkah Al-Ma`arif wa al-Nayr,
Bandung.
Al-Aini, Muhammad Mahmud bin Ahmad (1990), Al-Binayah fi Syarh al-Hidayah,
Dar al-Fikr, Beirut.
Al-Bajuri, Ibn Qasim (t.t.), Al-Bajuri Ibn al-Qasim, Syirkah al-Nur, Asia, Indonesia.
Ali, Lukman dkk. (1995), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Al-Jarjani, Ali bin Muhammad (t.t.), Al-Ta`rifat, Al-Hadamin, Jiddah.
Al-Nasa’i, Al-Hafizh Abi Abdurrahman bin Sa`id (t.t.), Sunan Al-Nasa’i al-Mujtaba,
Jilid VIII, Syirkan Maktabah wa Mathba`ah Mushthafa al-Halabi, Mesir.
Al-Syafi`i, Muhammad bin Idris (t.t.), Al-Risâlah, Dar al-Fikr, Beirut.
Al-Syafi`i, Muhammad bin Idris (t.t.), Al-Umm, Jilid IX, Alih Bahasa Ismail Yakub,
Victory Agencie, Kuala Lumpur.
Al-Syairazi, Al-Syaikh al-Imam Abi Ishaq Ibrahim bin Ali ibn Yusuf al-Fairuzi
'Abadi (t.t.), Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi`i, Dar al-Fikr, Beirut.
Anonimous (1993), Ensiklopedi Islam, Vol. II dan IV, Ikhtiar Baru van Hoeve,
Jakarta.
Anshari, Abi Yahya Zakaria (t.t.), Fath al-Wahhab, Dar al-Ihya, Indonesia.
Arifin, Tajul (1999), “The Application of Shari’ah Law in Muslim Countries” dalam
Cik Hasan Bisri (ed.) Islamic Law in Muslim Countries. Research Center
State Institute for Islamic Studies Sunan Gunung Djati, Bandung: 85-104.
Audah Abdul Qadir (t.t.), Al-Tasyri` al-Jina`i al-Islami, Jilid II, Mu’assasah AlRisâlah, Beirut.
Cholil, Munawar (1992), Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Bulan Bintang,
Jakarta.
Djazuli, A. (1993), Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar, Orba Shakti, Bandung.
Djazuli, A. (1997), Fiqh Jinayah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
23
Djazuli, A. dan I. Nurol Aen (1997), Ushul Fiqh, Gilang Aditya Press, Tanjungsari.
Echols, John M. dan Hassan Shadily (1990), Kamus Indonesia Inggris, Gramedia,
Jakarta.
Hassan, A. (1994), Terjemah Bulughul Maram, Jilid II, Diponegoro, Bandung.
Idris, Ahmad (1969), Fiqh al-Syafi`i, Wijaya, Jakarta.
Marzuki (1982), Metodologi Riset, BP. Fakultas Ekonomi Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Nasution dan Thomas (1977), Buku Penuntun Membuat desertasi, Thesis, Skripsi,
Report, Paper, CV. Jemmars, Bandung.
Rusyd, Ibn (1990), Bidayah Al-Mujtahid, Jilid III, Alih bahasa M.A. Abd. alRahmanm dkk., Al-Syifa, Semarang.
Sabiq, Sayyid (1990), Fikih Sunnah, Jilid X, Alih Bahasa A. Ali, Al-Ma`arif,
Bandung.
Soenarjo dkk., (1990), Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penterjemah dan
Pentafsir Al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta.
Surakhmad, Winarno (1994), Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung.
Thalib (t.t.), ‘I`anah al-Thalibin, Usaha Keluarga, Semarang.
Download