BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tingkat konsumsi masyarakat akan makanan olahan daging cepat saji (bakso, sosis dan nugget) semakin meningkat sehingga maraknya modus pencampuran bahan pangan olahan daging sapi dengan daging babi pun makin meningkat dengan alasan pertimbangan ekonomi, mengingat harga daging babi yang relatif lebih murah dibanding daging sapi serta warna dan bentuk kedua daging yang serupa (Ali et al., 2012). Kasus pencampuran daging sapi dengan babi marak diberitakan pada media massa baik cetak maupun elektronik. Salah satu contohnya pada Harian Republika tahun 2013 diberitakan mengenai adanya pencampuran daging sapi dengan daging babi dan adanya peredaran bakso yang berbahan dasar daging babi di daerah Kulon Progo, Yogyakarta. Dalam bidang kesehatan, daging babi diharamkan dengan berbagai alasan di antaranya adalah daging babi memiliki resiko zoonosis dari berbagai macam parasit (Trichinella spiralis dan Taenia solium) yang dapat membahayakan kesehatan manusia oleh lesi yang ditimbulkan. Selain itu daging babi mampu menyebabkan alergi, khirosis hati, hiperlipidemia yang beresiko pada gangguan jantung. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi karena 1 2 daging babi memiliki kandungan kolestrol dengan struktur kimia kompleks dan sifatnya yang merupakan lemak jenuh. Bahan-bahan aditif yang biasanya digunakan untuk pengolahan daging babi (pengasapan) seperti nitrit yang dikonversi menjadi nitrosamin bersifat karsinogenik (McAfee et al., 2010). Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahan pangan yang beredar di masyarakat harus sesuai hukum dan syariat Islam, harus ada perbedaan antara makanan yang halal dikonsumsi dan makanan yang haram untuk dikonsumsi. Oleh sebab itu, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) gencar dalam mengupayakan pemberantasan peredaran produk olahan yang telah tercemar daging babi. Akibat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, LPPOM menerapkan sistem deteksi makanan yang terkontaminasi daging babi. Selama ini metode yang telah digunakan di antaranya adalah metode analisa protein menggunakan enzym linked immunosorbent assay (ELISA), analisa kandungan lemak babi pada bahan olahan menggunakan fourier transform infrared spectofotometry (FTIR), dan metode lain yaitu dengan mendeteksi kandungan babi berdasarkan DNA menggunakan polymerase chain reaction (pcr) dan real-time polymerase chain reaction (Real-Time PCR) (Ballin, 2010; Hermanto et al., 2008). 3 Seiring dengan perkembangan teknologi, makin banyak pula metode deteksi yang digunakan. Di antara berbagai macam metode tersebut, high resolution melt analysis (HRMA) merupakan suatu metode deteksi yang termasuk baru dan potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Prinsip pelaksanaan HRMA dilakukan dengan menggunakan Real Time-PCR, yang proses amplifikasi DNAnya berlangsung sama seperti pada proses PCR, namun pada metode HRMA menggunakan pewarna yang dapat berpendar sebagai indikator hasil. Dengan demikian, pada metode HRMA tidak diperlukan adanya proses lanjutan seperti elektroforesis dan sekuensing DNA untuk mengetahui hasil dari amplifikasi sehingga metode ini lebih murah dan mudah dibandingkan PCR, serta cepat karena dapat secara akurat mendeteksi sampel dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat (Sharma et al., 2013). Perumusan Masalah 1. Apakah metode HRMA yang dikembangkan dapat digunakan untuk mendeteksi daging babi dan sapi pada produk olahan daging? 2. Apakah metode HRMA yang dikembangkan dapat digunakan untuk membedakan daging babi dan sapi pada produk olahan daging? 4 Tujuan Mengembangkan teknologi High Resolution Melt Analysis sebagai metode deteksi kandungan daging babi dalam berbagai macam produk olahan makanan. Manfaat 1. Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk mendeteksi produk olahan daging secara cepat, tepat, dan ekonomis. 2. Dapat digunakan oleh masyarakat luas melalui lembaga yang memiliki wewenang seperti LPPOM MUI.