BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perusahaan dapat menggunakan beberapa cara untuk memperoleh pendanaan, baik yang berasal dari internal maupun eksternal perusahaan. Pendanaan internal dapat berasal dari laba perusahaan yang ditahan, sedangkan pendanaan eksternal dapat berarti segala dana yang diperoleh dari pihak luar perusahaan. Ketika perusahaan membutuhkan sejumlah dana, perusahaan dapat mengundang investor untuk menginvestasikan dana mereka dengan keuntungan di masa yang akan datang sebagai penggantinya, atau perusahaan dapat menjanjikan untuk membayar kembali dana dari investor beserta dengan tingkat bunga tertentu (Brealey, Myers, & Marcus, 2012). Selain itu, sebuah perusahaan yang membutuhkan modal, baik untuk kegiatan operasi maupun investasi, dapat memperoleh pendanaan dari publik melalui penerbitan saham maupun obligasi. Perusahaan yang menerbitkan saham untuk pertama kalinya disebut sebagai perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana, yang kemudian disebut IPO (Initial Public Offering). IPO merupakan salah satu cara yang dapat memungkinkan perusahaan untuk memperoleh modal dalam jumlah yang besar. Modal dalam jumlah yang besar merupakan hal yang vital bagi perusahaan untuk mempertahankan ekspansi dan pertumbuhan operasi yang berkelanjutan (Razafindrambinina & Kwan, 2013). Namun demikian, IPO juga menimbulkan kos bagi perusahaan. Beberapa kos yang mudah diamati diantaranya adalah kos untuk menyediakan informasi secara teratur kepada publik, kos audit, dan juga biaya underwriting. Kos tidak langsung bagi perusahaan yang melakukan IPO adalah waktu dan usaha manajemen yang digunakan untuk melakukan penawaran, serta dilusi. Dilusi sebagai kos ini diasosiasikan dengan penjualan saham pada harga penawaran, yang rata-rata, berada di bawah harga yang berlaku di pasar tidak lama setelah IPO berlangsung (Ritter, 1998). 1 IPO bukanlah suatu proses yang sederhana. Perusahaan yang akan melakukan IPO akan dihadapkan pada beberapa isu yang harus diselesaikan. Salah satu isu utama dari IPO adalah menentukan harga yang paling sesuai untuk saham yang diterbitkan. Perusahaan penerbit saham atau emiten merupakan pihak utama yang akan merasakan dampak paling besar dari kesalahan penetapan harga penawaran saham. Emiten yang menetapkan harga yang terlalu tinggi, dapat kehilangan sejumlah investor potensial yang tidak bersedia berinvestasi dalam jumlah yang lebih besar dari yang seharusnya. Hal sebaliknya akan terjadi apabila harga penawaran saham ditetapkan terlalu rendah, atau yang disebut sebagai IPO underpricing, yang akan mengurangi jumlah modal yang tersedia untuk menumbuhkan sebuah perusahaan setelah IPO, dan dari sudut pandang perusahaan, menurunkan jumlah sumber daya yang tersedia untuk ekspansi (Platt, 1995). Underpricing telah menarik perhatian dari banyak peneliti di dunia. Hal ini ditunjukkan oleh semakin berkembangnya penelitian mengenai fenomena underpricing dalam berbagai literatur. Rock (1986) mengemukakan bahwa underpricing muncul karena adanya informasi asimetris antara emiten dan investor potensial, dengan demikian harga penawaran dengan diskon ditawarkan untuk menarik para investor. Selain itu, Leland dan Pyle (1977) berpendapat bahwa underpricing digunakan oleh emiten untuk memberi sinyal mengenai kualitas dari saham yang diterbitkan. Beatty dan Ritter (1986) mengindikasikan bahwa tingkat underpricing yang lebih tinggi dilakukan oleh perusahaan yang memiliki tingkat ketidakpastian yang lebih besar. IPO adalah sebuah proses krusial dalam evolusi pemisahan antara kepemilikan dan kontrol (Brennan & Franks, 1997). Perusahaan yang memutuskan untuk melakukan IPO harus siap untuk dihadapkan pada perubahan besaran kontrol dari masing-masing pemilik perusahaan, dalam hal ini investor yang membeli saham yang diterbitkan, yang direpresentasikan oleh jumlah saham yang dimiliki oleh masing-masing investor tersebut. Menurut Lin dan Chuang (2011), ketika sebuah perusahaan memiliki banyak pemilik, masing-masing pemilik bisa tidak mempercayai satu sama lain untuk 2 menjadi bagian dari manajer tingkat atas yang memiliki kontrol terbesar dalam perusahaan. Oleh karena itu, untuk memitigasi konflik ini, sebuah perusahaan harus memiliki satu atau sedikit pemilik dominan, dan struktur kepemilikan menjadi terkonsentrasi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menemukan hubungan antara konsentrasi kepemilikan dengan fenomena underpricing. Brennan dan Franks (1997) menemukan bahwa pemegang saham yang memegang kontrol, secara strategis melakukan underpricing terhadap saham yang diterbitkan dengan tujuan menciptakan permintaan dalam jumlah yang besar. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk melakukan penjatahan diskriminatif untuk mencegah calon investor untuk membeli saham dalam jumlah yang besar dan mengancam hak kontrol dari pemegang saham mayoritas saat ini. Penelitian yang konsisten dengan penemuan tersebut dilakukan oleh Smart dan Zutter (2003), yang menemukan bahwa ketika kontrol menjadi isu yang sudah terselesaikan, tingkat underpricing berkurang secara signifikan. Sebagaimana Li dan Simerly (1998) berargumen, bahwa kepemilikan yang terkonsentrasi dianggap sebagai mekanisme pengawasan, sehingga kepentingan manajemen dan pemegang saham dapat diselaraskan, yang kemudian meningkatkan nilai perusahaan dan menguntungkan pemegang saham minoritas. Namun demikian, menurut Shleifer dan Vishny (1986), pemegang saham mayoritas dapat menggali keuntungan pribadi, yang menimbulkan kos bagi pemegang saham minoritas. Selain konsentrasi kepemilikan, penelitian ini akan berfokus kepada kepemilikan institusional, jumlah dewan komisaris independen, dan jumlah anggota dewan komisaris sebagai variabel independen untuk mengukur tingkat undepricing dari IPO yang dilakukan oleh perusahaan di Indonesia pada tahun 2006-2015. Investor institusional, seperti dana pensiun, reksa dana, dan korporasi biasanya memiliki pertaruhan kepentingan yang lebih besar dalam perusahaan dimana mereka berinvestasi, dibandingkan dengan investor individual. Hal ini meningkatkan insentif bagi para investor institusional tersebut untuk melakukan pengawasan terhadap manajer dari perusahaan (Connelly, Tiyanhi, Certo, & Hitt, 2010). Keberadaan investor 3 institusional diharapkan dapat memitigasi masalah keagenan yang berpotensi terjadi antara pemegang saham mayoritas yang memiliki kontrol terbesar terhadap perusahaan dan pemegang saham minoritas. Menurunnya masalah keagenan ini diharapkan dapat meningkatkan tata kelola perusahaan. Menurut Darmadi dan Gunawan (2013), adanya investor institusional dapat mengurangi terjadinya asimetri informasi antara emiten dan investor potensial baru, sehingga emiten tidak perlu menetapkan harga penawaran yang lebih rendah secara signifikan untuk memperoleh kesuksesan dalam proses IPO. Darmadi dan Gunawan (2013) menjelaskan bahwa berbagai mekanisme tata kelola perusahaan, termasuk dewan komisaris, memegang peran penting dalam memitigasi konflik keagenan, antara manajer dan pemegang saham, atau antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Para peneliti umumnya mempertimbangkan tiga karakteristik dari dewan komisaris, yaitu jumlah anggota dewan komisaris, jumlah dewan komisaris independen, dan dualitas peran. Namun, karena Indonesia mengadopsi struktur dewan komisaris twotier, dualitas peran tidak tampak menjadi sebuah isu karena adanya keanggotaan terpisah antara dewan komisaris dan dewan direksi. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang beragam mengenai hubungan antara jumlah anggota dewan komisaris dan tingkat underpricing. Hearn (2011) menemukan bahwa jumlah anggota dewan yang lebih banyak berasosiasi secara positif dengan tingkat underpricing, merefleksikan kos informasi asimetris yang timbul dari masalah-masalah koordinasi dan pengambilan keputusan. Sebaliknya hasil penelitian Certo et al. (2001) menunjukkan bahwa jumlah anggota dewan dan tingkat underpricing berhubungan secara negatif. Penemuan ini konsisten dengan penelitian Boone et al. (2007) yang mengemukakan bahwa jumlah anggota dewan yang lebih besar akan menimbulkan adanya pengawasan yang efektif. Penelitian ini diharapkan akan memperkuat penelitian sebelumnya mengenai pengaruh jumlah anggota dewan komisaris dengan tingkat underpricing di Indonesia. Mekanisme tata kelola perusahaan lain terkait dengan dewan komisaris yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah jumlah dewan komisaris independen. Menurut Weiscbach (1988), dewan komisaris secara luas 4 dipercaya untuk memegang peran penting dalam tata kelola perusahaan, salah satunya dalam mengawasi manajemen tingkat atas. Dewan komisaris diharapakan untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan manajemen, memberikan saran, dan mencegah keputusan-keputusan yang buruk. Weisbach berpendapat bahwa dewan komisaris adalah pertahanan terdepan pemegang saham terhadap manajemen yang inkompeten, dan dalam kasus ekstrem, akan menggantikan CEO yang terbukti tidak memiliki kinerja yang baik. Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa dewan komisaris yang didominasi oleh dewan komisaris independen akan membantu memitigasi isu-isu keagenan dengan mengawasi manajemen secara lebih efektif, sehingga kesejahteraan perusahaan tidak diambil alih dengan merugikan pemegang saham. Namun demikian, dewan komisaris yang didominasi oleh dewan komisaris independen juga dapat mengarah pada pengawasan secara berlebihan dan menahan terjadinya aksi-aksi strategis (Fama & Jensen, 1983). Penelitian ini diharapkan dapat menangkap pengaruh jumlah dewan komisaris independen dalam sebuah perusahaan dengan tingkat underpricing dalam proses IPO di Indonesia. 1.2. Rumusan Masalah IPO underpricing merefleksikan situasi dimana harga penawaran saham perdana yang diterbitkan oleh suatu perusahaan berada di bawah nilai aktual dari perusahaan tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah disusun dalam pertanyaan penelitian, yaitu apakah IPO underpricing dipengaruhi oleh struktur kepemilikan dan struktur dewan direksi perusahaan? Pengujian pengaruh struktur kepemilikan dan struktur dewan direksi perusahaan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan proksi yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian berikut, yaitu: 1. Apakah struktur kepemilikan perusahaan yang terkonsentrasi berpengaruh terhadap tingkat IPO underpricing? 2. Apakah kepemilikan institusional terhadap tingkat IPO underpricing? 5 perusahaan berpengaruh 3. Apakah jumlah anggota dewan komisaris berpengaruh terhadap tingkat IPO underpricing? 4. Apakah jumlah dewan komisaris independen berpengaruh terhadap tingkat IPO underpricing? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menguji pengaruh struktur kepemilikan perusahaan yang terkonsentrasi terhadap tingkat IPO underpricing. 2. Menguji pengaruh kepemilikan institusional perusahaan terhadap tingkat IPO underpricing. 3. Menguji pengaruh jumlah anggota dewan komisaris terhadap tingkat IPO underpricing. 4. Menguji pengaruh jumlah dewan komisaris independen terhadap tingkat IPO underpricing. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah kontribusi yang diuraikan sebagai berikut: 1. Kontribusi empiris Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam melihat tingkat underpricing yang terjadi dalam penawaran saham perdana di Indonesia melalui bukti empiris terkait dengan tata kelola perusahaan, yaitu struktur kepemilikan dan struktur dewan komisaris. Selain itu, dengan menguji sebuah model yang menghubungkan struktur kepemilikan dan struktur dewan komisaris pada sampel yang berbeda, penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian-penelitian selanjutnya dalam menentukan model yang terbaik untuk menentukan pengaruh tata kelola perusahaan terhadap tingkat IPO underpricing perusahaanperusahaan di Indonesia. 6 2. Kontribusi praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan dalam mengambil keputusan terkait dengan tata kelola perusahaan, seperti struktur kepemilikan dan struktur dewan komisaris, untuk meminimalisir kos yang muncul akibat adanya underpricing pada saham yang diterbitkan melalui penawaran saham perdana. 1.5. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian yang dilakukan, maka peneliti menyusun sistematika penulisan yang berisi tentang hal-hal yang dibahas dalam tiap bab sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesis, yang mencakup tinjauan teoritis mengenai konsep yang digunakan pada penelitian, penelitian terdahulu, dan pengembangan hipotesis. BAB III : Metode Penelitian, yang merupakan uraian metode yang digunakan pada penelitian untuk menjawab masalah penelitian. Pada bab ini pula akan diuraikan variabel yang digunakan pada regresi. Selain itu, penjelasan terkait prosedur statistik yang digunakan untuk menganalisis data dan menguji hipotesis akan dijabarkan. BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang memaparkan hasil empiris dan analisis yang akan menyajikan rangkuman statistik sebagai hasil dari regresi yang dilakukan. Hasil yang diperoleh kemudian akan dianalisa dan diinterpretasikan dengan melihat pada kerangka teori yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. BAB V : Simpulan dan Saran, yang merangkum keseluruhan penelitian ini disertai keterbatasan penelitian dan saran bagi penelitian selanjutnya. 7