BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker kolon atau kanker kolorektal merupakan salah satu kasus kanker yang sering terjadi dan menduduki peringkat ketiga penyebab kematian di dunia akibat penyakit kanker (Li and Lai, 2009). Dari 100.000 populasi di Indonesia, terjadi insidensi kanker kolon sebesar 19,1% pada pria dan 15,6% pada wanita (Ferlay et al., 2010). Insidensi tersebut lebih besar dibandingkan dengan insidensi kanker kolon di Australia, Selandia Baru, dan Eropa Barat (Abdullah et al., 2012). Faktor risiko utama penyebab penyakit ini antara lain adanya peningkatan intensitas kontak zat-zat toksik dengan kolon. Selain itu, gaya hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan obesitas juga dapat meningkatkan insidensi penyakit ini (DeVita et al., 2011). Meningkatnya insidensi penyakit kanker kolon diketahui terkait dengan adanya mutasi pada sel kanker kolon. Sano et al. (1995) melaporkan bahwa lebih dari 80% kasus kanker kolon menunjukkan adanya peningkatan ekspresi COX-2 dibandingkan pada sel normal. Aktivitas COX-2 diketahui berperan dalam promosi tumor dan proses karsinogenesis. Ekspresi berlebih COX-2 pada sel kanker diketahui berkaitan dengan aktivasi NF-κB. Aktivasi NF-κB sangat berkontribusi dalam proses inflamasi pada gut mucosa (Wang et al., 2009). Jalur utama aktivasi NF-κB yaitu melalui fosforilasi IκB, suatu inhibitor protein yang terikat dengan NF-κB, oleh IKK (IκB kinase). Singh and Khar 1 2 (2006) melaporkan bahwa aktivasi NF-κB berkaitan erat dengan terjadinya kemoresisten pada sel kanker. Penghambatan NF-κB terbukti dapat menekan tumorigenesis dan metastasis serta menurunkan ekspresi VEGF pada beberapa sel kanker (Huang, 2001; Fujioka, 2003). Oleh karena itu, penghambatan aktivasi NF-κB pada karsinogenesis melalui pemhambatan aktivitas IKK atau COX-2 dapat menjadi salah satu target spesifik pada kemoprevensi kanker dan pencegahan resistensi sel kanker terutama pada kanker kolon. Pendekatan yang potensial dalam mengatasi adanya resistensi sel kanker adalah penggunaan agen kokemoterapi pada terapi kanker. Kokemoterapi merupakan metode yang diharapkan dapat memungkinkan penggunaan obat dosis rendah dengan aktivitas meningkat, sehingga toksisitas terhadap jaringan normal mengalami penurunan. Salah satu agen yang potensial digunakan dalam kombinasi dengan agen kemoterapi adalah agen kemoprevensi berbasis bahan alam (Tyagi et al., 2004). Salah satu tanaman yang diketahui mempunyai aktivitas sebagai agen kemoprevensi kanker adalah tanaman secang (Caesalpinia sappan). Kayu secang diketahui mempunyai efek sitotoksik terhadap sel kanker hati HepG2 dan Hep3B (Park et al., 2002). Selain itu, senyawa aktif pada kayu secang, brazilin dan brazilein, juga telah terbukti mempunyai efek sitotoksik pada enam kultur sel kanker yaitu HepG2, Hep3B, MDA-MB-231, MCF-7, A549, Ca9-22 (Yen et al., 2010). Wang et al. (2011) melaporkan bahwa ekstrak etanolik kayu secang dapat menurunkan ekspresi NF-κB/p65 dan COX-2 pada rheumatoid-arthritis yang 3 dimodelkan dengan tikus. Dengan demikian diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi kayu secang tersebut. Sejauh ini belum dilakukan penelitian mengenai aktivitas sitotoksik kayu secang (Caesalpinia sappan) pada sel kanker kolon WiDr. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas sitotoksik ekstrak etanolik kayu secang pada sel kanker kolon WiDr serta aplikasi kokemoterapi dalam bentuk kombinasi dengan agen kemoterapi 5-fluorourasil yang merupakan agen kemoterapi utama pada kanker kolon. Selain itu, dipelajari pula mekanisme yang memerantarai aktivitas sitotoksik ekstak etanolik kayu secang terhadap sel kanker kolon WiDr yang dimodelkan in silico terhadap protein target IKK dan COX-2. B. Rumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanolik kayu secang (Caesalpinia sappan) mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker kolon WiDr? 2. Apakah ekstrak etanolik kayu secang (Caesalpinia sappan) dapat meningkatkan sensitivitas sel kanker kolon WiDr terhadap 5-FU? 3. Apakah brazilein senyawa aktif Caesalpinia sappan, mempunyai afinitas penghambatan terhadap IKK dan COX-2 yang dipelajari melalui kajian in silico? C. Pentingnya Penelitian Dilakukan Penelitian ini dilaksanakan untuk mengeksplorasi bahan alam yang berpotensi dalam usaha penanganan kanker dengan target yang selektif, terkait 4 dengan permasalahan resistensi dan efek samping agen kemoterapi yang selama ini lazim digunakan yaitu 5-FU. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah yang valid mengenai aktivitas sitotoksik ekstrak etanolik kayu secang (Caesalpinia sappan) pada aplikasinya dalam bentuk kombinasi dengan 5-FU pada sel kanker kolon WiDr, dan mekanisme yang memerantarai aktivitas sitotoksik kayu secang (Caesalpinia sappan) baik in silico maupun in vitro, sehingga dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya. D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengembangkan agen kemopreventif dengan target yang selektif sehingga dapat mengurangi efek samping kemoterapi. 2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui efek sitotoksik ekstrak etanolik kayu secang (Caesalpinia sappan) terhadap sel kanker kolon WiDr serta nilai IC50-nya. 2. Mengetahui kemampuan ekstrak etanolik kayu secang (Caesalpinia sappan) dalam meningkatkan efektivitas 5-FU pada sel kanker kolon WiDr dan kadar kombinasinya yang efektif. 3. Mengetahui kemampuan penghambatan brazilein terhadap IKK dan COX-2 in silico. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Kanker Kolon dan COX-2 Kanker kolorektal atau kolon adalah kanker yang terbentuk di rektal, kolon, dan appendix. Sebagaimana kanker pada umumnya, kanker kolon juga menjalani tahapan karsinogenesis pada proses pembentukannya (Gambar 1). Gen yang terlibat dalam karsinogenesis kanker kolon dapat digolongkan ke dalam dua tipe. Gen-gen yang termasuk ke dalam tipe pertama adalah yang berperan dalam transduksi sinyal yang diperlukan dalam replikasi sel, di antaranya APC, DCC, dan K-ras. Gen tipe kedua adalah tumor suppressor gene yang berperan dalam proses perbaikan DNA ketika terjadi kesalahan dalam replikasi yaitu gen p53, hMSH2, hMLH1, hPMS1, dan hPMS2 (Calvert and Frucht, 2002). Gambar 1. Karsinogenesis pada kanker kolon. Kolon normal dapat terdiri dari sel-sel epitel yang membawa mutasi bawaan pada gen APC, hMSH2, dan hMLH1. Terjadinya hiperproliferasi epitel dipacu oleh abnormalitas metilasi DNA, inaktivasi APC, hMSH2, dan hMLH1 serta ekspresi COX-2 berlebihan. Semakin sel berplroliferasi, tingkat mutasi semakin tinggi sehingga mutasi juga terjadi pada K-ras, p53, dan DCC yang menyebabkan munculnya adenoma. Akumulasi abnormalitas genetik selanjutnya akan menimbulkan terjadinya karsinoma yang bersifat invasif (Aspinall and Taylor-Robinson, 2002). Inisiasi kanker kolon ditandai dengan terjadinya kerusakan DNA oleh agen-agen karsinogenik yang akan mengarahkan pada terjadinya mutasi gen. 6 Inisiasi pada kolon juga dapat terjadi sejak lahir di mana terdapat mutasi bawaan di antaranya mutasi gen APC (Adenomatous Polyposis Coli) pada familial adenomatous polyposis (FAP), serta mutasi hMSH2 dan hMLH1 pada kasus hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) (Kim et al., 2004; Lynch and de la Chapelle, 2003). Tahap promosi ditandai oleh sel epitel pada kolon yang mengalami hiperproliferasi sehingga terjadi penebalan dinding kolon. Hiperproliferasi sel didukung dengan adanya abnormalitas pada metilasi DNA, inaktivasi APC, hMSH2, dan hMLH1 serta ekspresi enzim siklooksigenase-2 (COX-2) berlebih. Tingkat metilasi DNA yang tinggi serta tidak adanya enzim hMSH2 dan hMLH1 menyebabkan sel tidak mampu mengatasi berbagai kerusakan DNA yang terjadi padahal tingkat mutasi bertambah seiring dengan laju proliferasi sel (DeVita et al., 2011). Meskipun demikian, pada tahap promosi ini belum terdapat perubahan morfologi sel yang menandai keberadaan kanker. Kemudian terjadi akumulasi kerusakan DNA yang semakin meningkat pada tahap progresi. Sel epitel yang terpromosi telah mengalami mutasi pada K-ras dan p53 serta delesi DCC. Secara anatomis, telah dapat diamati adanya adenoma pada kolon. Pada tahap lebih lanjut, terjadi invasi sel kanker menembus basal lamina dan memasuki pembuluh darah sehingga membentuk kanker sekunder pada jaringan lain (metastasis). Selain itu, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) juga dapat terjadi (Hanahan and Weinberg, 2011). Karakteristik pada kanker kolon adalah terjadinya peningkatan ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2), yaitu enzim yang berperan dalam 7 metabolisme arakhidonat. Enzim COX-2 dapat terinduksi dengan cepat apabila terjadi reaksi inflamasi pada sel dan pada tumor oleh sitokin dan tumor promoter. Ekspresi COX-2 akan menginduksi pembentukan prostaglandin (PGE2) dari asam arakhidonat. Ekspresi COX-2 dan prostaglandin berhubungan dengan regulasi proliferasi sel, diferensiasi, dan tumorigenesis (Turini and Dubois, 2002). Muller-Decker et al. (2002) menyebutkan bahwa COX-2 lebih berperan dalam proses promosi tumor dibandingkan pada inisiasi tumor. Peran COX-2 pada karsinogenesis dapat dilihat pada gambar 2. COX-2 Invasi Asam arakhidonat PGH2 Ras PGE2 P-Akt Adhesi Angiogenesis Migrasi Penghambatan apoptosis MMP ProTGFα TGFα EGFR Signaling Gambar 2. Peran COX-2 pada karsinogenesis. COX-2 berperan dalam mengubah asam arakhidonat menjadi PGE2. yang berperan dalam menghambat apoptosis, menstimulasi adhesi, pergerakan, invasi, dan menginduksi angiogenesis (Ghosh et al., 2010). Prostaglandin akan mengaktivasi phosphatidyl-inositol-3-kinase (PI3K) melalui jalur RAS/MAPK (Markowitz, 2007) dan pengaktifan NF-кB (Hanahan and Weinberg, 2011). Aktivasi RAS/MAPK meningkatkan proliferasi sel, sedangkan aktivasi NF-кB akan menghambat apoptosis (Hanahan and Weinberg, 2011). Prostaglandin juga menginduksi ekspresi 8 matriks metalloproteinase (MMP) yang berperan dalam proses metastasis. Enzim COX-2 diketahui menstimulasi faktor angiogenik seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dan basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) yang berperan dalam angiogenesis (Tsuji et al., 1998). Peningkatan ekspresi COX-2 dilaporkan meningkatkan ekspresi dan aktivasi protein antiapoptosis serta inaktivasi tumor suppressor factors dan protein proapoptosis (Markowitz, 2007). Dengan demikian, penghambatan pada ekspresi dan aktivitas COX-2 dapat menjadi target kemoprevensi pada kanker kolon. Sel WiDr (Gambar 3) merupakan sel kanker kolon manusia yang diisolasi dari kolon seorang wanita berusia 78 tahun. Sel ini merupakan salah satu jenis kultur kanker kolon yang sering digunakan dalam penelitian. Sel WiDr merupakan turunan sel kanker kolon yang lain yakni sel HT-29 (Chen et al., 1987). Gambar 3. Sel WiDr setelah mencapai konfluen (koleksi CCRC) Salah satu karakteristik dari sel WiDr adalah ekspresi sikolooksigenase-2 (COX-2) yang tinggi yang memacu proliferasi sel WiDr (Palozza et al., 2005). Pada sel WiDr, terjadi mutasi p53 pada posisi 273 sehingga terjadi perubahan residu arginin menjadi histidin (Noguchi et al., 9 1979). Namun, p21 pada sel WiDr yang masih normal memungkinkan untuk terjadinya penghentian daur sel (Liu et al., 2006). Apoptosis pada sel WiDr dapat terjadi melalui jalur independent p53, di antaranya melalui aktivasi p73 (Levrero et al., 2000). 2. Aktivasi NF-κB dan Perannya dalam Karsinogenesis Faktor transkripsi NF-κB merupakan famili faktor transkripsi yang terdapat pada eukariotik (Vallabhapurapu and Karin, 2009). Anggota NF-κB pada mamalia membentuk homo- dan heterodimer, yang terdiri dari p65/RelA, c-Rel, RelB, p105/p50 dan p100/p52 (Ghosh and Hayden, 2008). Semua anggota famili tersebut mempunyai Rel Homology Domain (RHD) pada N-terminal yang mengatur dimerisasi, lokalisasi inti, dan pengikatan DNA. Rel Homology Domain tersebut juga berikatan dengan suatu inhibitor protein κB famili (IκBs) yang mempertahankan NF-κB untuk terus berada di sitoplasma pada sel yang tidak terstimulasi (Scheidereit, 2006). Secara umum jalur aktivasi NF-κB adalah melalui degradasi IκB (Inhibitor κB) yang melibatkan ubiquitinasi dan fosforilasi (Vallabhapurapu and Karin, 2009). Aktivasi NF-κB pada jalur tersebut melibatkan stimulasi IKK (IκB kinase) kompleks, yang terdiri dari subunit IKKα, IKKβ, dan IKKγ (NEMO), oleh beberapa ligan seperti TNF-α dan IL-1β. Subunit β pada IKK bertanggung jawab dalam fosforilasi IκB sedangkan NEMO bertanggung jawab sebagai regulator, sehingga terjadi pemecahan kompleks IκB-NF-κB. Dengan demikian NF-κB teraktivasi dan masuk ke nukleus sebagai faktor 10 transkripsi (Thu and Richmond, 2010). Jalur aktivasi NF-κB dapat dilihat pada gambar 4. Sitokin proinflamasi ekstraseluler membran P P intraseluler P IKKα IKKβ NEMO Ubiquitin P IκB proteasom p65 p65 p50 p50 p65 p50 mRNA COX-2 Gambar 4. Jalur utama aktivasi NF-κB. Aktivasi NF-κB melibatkan proses fosforilasi dan ubiqutinasi. Setelah pemecahan kompleks IκB-NF-κB dan IκB terdegradasi, NF-κB akan bermigrasi ke nukleus dan menjalankan fungsinya sebagai faktor transkripsi (Liu and Chen, 2011). Faktor transkripsi NF-κB merupakan regulator berbagai gen yang terkait dengan imunitas, inflamasi dan cell survival (Ghosh and Hayden, 2008). Pada sel normal, NF-κB berperan penting dalam menjaga kepadatan tulang, pencegahan stres oksidatif melalui agen inflamasi serta penanggulangan gangguan sistem imun oleh bakteri dan virus (Trouvin and 11 Goëb, 2011; Ghosh and Hayden, 2008; Thu and Richmond, 2010), sedangkan pada sel kanker, terjadi mutasi pada jalur aktivasi NF-κB. Penelitian terdahulu membuktikan bahwa induksi NF-κB dapat menghambat terjadinya apoptosis dan meningkatkan proliferasi serta menginduksi terjadinya resistensi pada sel kanker (Voorhees et al., 2003; Verma, 2004; Kim et al., 2006). Aktivasi NF-κB dapat memicu ekspresi sitokin inflamasi atau stres oksidatif pada sel inflamatori yang menyebabkan peningkatan ekspresi COX2 pada sel epitel (Plummer et al., 1999). Enzim COX-2 diketahui sebagai salah satu protein yang ekpresinya diregulasi oleh NF-κB. Faktor transkripsi NF-κB memiliki dua binding site pada promoter region gen COX-2 yaitu pada posisi NF-κB-5’ (-447 sampai -438) dan posisi NF-κB-3’ (-222 sampai 213) (Appleby et al., 1994). Kedua posisi tersebut memfasilitasi adanya induksi ekspresi COX-2 akibat aktivasi NF-κB oleh beberapa sitokin proinflamasi (Yamamoto et al., 1995; Inoue et al., 1995). Aktivasi NF-κB dilaporkan menginduksi inflamasi yang berkaitan erat dengan stimulasi perkembangan sel malignan (Luo et al., 2004). Aktivasi jalur IKK/NF-κB merupakan salah satu kunci mekanisme pertahanan hidup dari beberapa tipe kanker. Beberapa gen yang diregulasi NF-κB diketahui terekspresi dan berperan dalam proliferasi sel, tumorigenesis, dan metastasis kanker. Peningkatan ekspresi sitokin seperti TNF-α dan IL-6 serta kemokin akibat aktivasi NF-κB berkontribusi pada kerusakan jaringan yang terkait inflamasi. Sitokin IL-6 diketahui meregulasi 12 pertumbuhan preneoplastis pada tumorigenesis kanker kolon (Grivennikov et al., 2009). Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa NF-κB dapat menghambat apoptosis dengan meregulasi ekspresi protein antiapoptosis seperti inhibitor of apoptotic proteins (IAPs) (Kucharczak et al., 2003) serta menghambat aktivasi JNK dan menghambat akumulasi ROS (Luo et al., 2005). Protein NF-κB diketahui meregulasi ekspresi Cyclin D1 dan cMyc yang berperan pada pertumbuhan dan proliferasi sel (Guttridge et al.,1999; Chen et al., 2000), serta meningkatkan ekspresi faktor angiogenik VEGF dan IL-8 (Richmond, 2002), yang secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan ekspresi NF-κB. Penekanan ekspresi protein inflamasi pada tumor yang terkait inflamasi dapat dilakukan melalui inaktivasi jalur IKK/NF-κB (Gretten et al., 2004). Penelitian Huang et al. (2001) dan Fujioka et al. (2003) membuktikan bahwa penghambatan NF-κB dapat menekan tumorigenesis dan metastasis serta menurunkan ekspresi VEGF pada beberapa sel kanker. Penelitian lain oleh Choo et al. (2008) menyebutkan bahwa penggunakan inhibitor IKKβ terbukti menyebabkan adanya penurunan ekspresi MMP-9, menghambat migrasi dan invasi sel adenokarsinoma pada murin. 3. 5-Fluorourasil sebagai Agen Kemoterapi Senyawa 5-fluorourasil (5-FU) merupakan agen kemoterapi utama yang digunakan untuk terapi kanker kolon (Meyerhard and Mayer, 2005). Senyawa 5-FU adalah analog pirimidin yang bekerja secara antagonis dengan dUMP terhadap aktivitas enzim timidilat sintetase (TS). Di dalam tubuh 5-FU 13 dimetabolisme menjadi tiga metabolit aktif, yaitu fluorodeoksiuridin monofosfat (FdUMP), fluorodeoksiuridin trifosfat (FdUTP), dan fluorouridin trifosfat (FUTP) (Diasio and Johnson, 1999) (Gambar 5). Metabolit FdUMP berperan sebagai substrat palsu TS yang menyebabkan terhambatnya sintesis DNA. Metabolit aktif lain, FdUTP menyebabkan kesalahan inkorporasi DNA, sedangkan FUTP menyebabkan kesalahan inkorporasi RNA. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dan terhambatnya proses transkripsi, translasi, dan replikasi. Gambar 5. Jalur metabolisme 5-FU yang menghambat pembentukan DNA dan mengakibatkan misinkorporasi. Metabolit 5-FU dapat menghambat DNA maupun RNA sintesis. 5-FU dikatalisis oleh timidin fosforilase menghasilkan FdUMP yang menghambat TS dalam pembentukan DNA dan membuat misinkorporasi DNA. Sedangkan uridin fosforilase mengkatalisis pembentukan metabolit 5-FU yang dapat membuat kesalahan inkorporasi RNA (Pratt et al., 2005). Agen kemoterapi 5-FU bekerja dalam menginduksi apoptosis melalui penghambatan sintesis DNA yang disebabkan sel kekurangan deoksitimidin trifosfat (dTTP). Peningkatan ekspresi TS pada sel kanker merupakan respon sel yang dapat mengakibatkan resistensi terhadap 5-FU (Giovanetti et al., 2007). Insidensi resistensi inilah yang diduga menyebabkan efektivitas 5-FU 14 rata-rata hanya memberikan respon kurang dari 15% pada pasien kanker kolorektal (Yoshikawa et al., 2001). Mekanisme resistensi sel kanker terhadap 5-FU melibatkan modulasi pada ekspresi gen regulator yang terlibat dalam jalur transduksi sinyal NFκB, maupun terhadap metabolisme pirimidin (Wang et al., 2004). Aktivasi NF-κB pada sel kanker inilah yang dapat menghambat kemampuan agen kemoterapi kanker untuk menginduksi apoptosis. Efek samping lain yang sering ditemukan pada pasien antara lain neutropenia, stomatitis, diare, dan hand-foot syndrome. Masing-masing efek ini terkait dengan metode pemberian yang diterapkan pada pasien (Meyerhardt and Mayer, 2005). Dengan demikian, diperlukan pengembangan agen kokemoterapi untuk meningkatkan efektivitas terapi dengan 5-FU. 4. Kokemoterapi Sebagian besar agen kemoterapi yang digunakan secara klinis mempunyai indeks terapi yang sempit. Hal ini menyebabkan berkembangnya fenomena multidrug resistance (MDR) dan biodistribusi yang tidak spesifik yang berakibat pada sel normal dan menimbulkan efek samping (Ismael et al., 2008). Terapi kombinasi atau kokemoterapi telah menjadi standar, terutama pada terapi penyakit kanker. Metode tersebut merupakan strategi utama dalam meningkatkan respon dan toleransi namun menekan terjadinya resistensi. Parameter yang lazim digunakan dalam mengevaluasi karakteristik efikasi kombinasi secara kuantitatif adalah nilai Combination Index (CI) 15 (Zhao, et al., 2004). Pendekatan utama dalam menekan efek samping agen kemoterapi dalam pengatasan kanker adalah penggunaan agen pendamping yang kombinasinya bersifat sinergis. Kombinasi tersebut memungkinkan penggunaan obat dosis rendah dengan aktivitas meningkat, sehingga toksisitas terhadap jaringan normal menurun (Alison, 2004). Salah satu alternatif senyawa yang berpotensi sebagai agen kokemoterapi adalah senyawa fitokimia (Sharma et al., 2004; Tyagi et al., 2004). 5. Molecular Docking dengan PLANTS Molecular docking merupakan metode utama dalam proses desain molekul obat berbasis struktur (structure-based drug design, SBDD). Metode ini dilakukan melalui simulasi secara komputasi yang memodelkan interaksi antara ligan dan reseptor pada sisi aktifnya (Huang and Zhou, 2007). Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam docking yaitu penempatan ligan pada binding site-nya, termasuk orientasi dan konformasinya (pose), dan kekuatan (energi) interaksi antara ligan dan reseptor. Software PLANTS merupakan program aplikasi molekuler gratis yang diketahui memiliki kualitas seperti GOLD (aplikasi molecular docking berbayar). PLANTS memiliki banyak kelebihan yaitu selain gratis, software ini sederhana dan mudah diaplikasikan (cukup single line command untuk simulasi). Namun, PLANTS tidak menyediakan fungsi preparasi protein, ligan, maupun visualisasi. PLANTS tidak memiliki aplikasi untuk Windows, dan hanya bisa dijalankan dengan LINUX. Jika pengguna Windows ingin memakai PLANTS, pengguna dapat menggunakan bantuan Co- 16 Pendrivelinux-KDE (suatu sofware untuk hibridisasi LINUX dalam Windows), YASARA (untuk visualisasi dan preparasi protein), serta ChemSketch (untuk preparasi senyawa yang akan di-docking-kan dengan protein target). 6. Secang (Caesalpinia sappan) Tanaman secang (Gambar 6) berbentuk perdu atau pohon kecil dengan tinggi 5-10 m. Batang secang berbentuk bulat dan berwarna hijau kecoklatan. Pemanenan kayu dapat dilakukan mulai umur 1-2 tahun. Perbanyakan dilakukan dengan menggunakan biji atau stek batang (Verheij and Coronel, 1992). Adapun morfologi dan klasifikasi tanaman secang adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales Famili : Caesalpiniaceae Genus : Caesalpinia Spesies : Caesalpinia sappan L. (Backer and Van Den Brink, 1965) Nama lokal : Sappanwood, Indian redwood (En), Sappan, bresillet des Indes (Fr). Indonesia: secang (Sunda), kayu secang, soga jawa (Jawa). Malaysia: Sapang (Murut, Sabah). (Verheij and Coronel, 1992) 17 (a) (b) (c) Gambar 6. Tanaman secang. (a) tanaman secang; (b) buah dan daun secang; (c) serutan kayu secang (Gunawan et al., 2001). Secara kimia tumbuhan C. sappan dicirikan oleh beberapa golongan senyawa fenol, antara lain flavonoid, turunan 2’-metoksicalkon, turunan homoisoflavonoid, brazilin, brazilein, dan turunan dibenzoksocin. Kim et al. (1997) melaporkan bahwa komponen utama yang terkandung pada kayu secang adalah senyawa brazilin dan brazilein. Struktur senyawa brazilin dan brazilein dapat dilihat pada gambar 7. (a) (b) Gambar 7. Struktur kimia senyawa aktif kayu secang; (a) brazilin dan (b) brazilein yang termasuk dalam golongan senyawa homoisoflavonoid (Kim et al., 1997). Kayu secang memiliki aktivitas antiinflamasi dan analgesik. Ekstrak etanolik kayu secang terbukti sebagai antioksidan dan mencegah terjadinya kerusakan DNA yang diinduksi hidroksil radikal (Saenjum et al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Park et al. (2002) menyebutkan bahwa ekstrak metanol kayu secang memberikan nilai IC50 sebesar 15 ± 1 µg/mL pada sel kanker hepar Hep3B dan 11 ± 1 µg/mL pada sel HepG2, sedangkan ekstrak 18 airnya memberikan nilai IC50 sebesar 11 ± 4 µg/mL pada sel kanker hepar Hep3B dan 13 ± 2 µg/mL pada sel HepG2 (Wicaksono et al., 2008). Ekstrak metanolik kayu secang juga terbukti mempunyai aktivitas sitotoksik yang poten pada sel kanker paru-paru A-549 (Hemalatha et al., 2011). Brazilin dan brazilein merupakan komponen utama yang terkandung dalam kayu secang yang diketahui memiliki aktivitas sebagai antikanker dan antiinflamasi. Brazilin dan brazilein dilaporkan mempunyai aktivitas terhadap beberapa kultur sel kanker hati dan payudara dengan efek sitotoksik moderate dengan nilai IC50 antara 5-18 μM (Yen et al., 2010). Brazilein dilaporkan berpotensi sebagai agen antikanker untuk mengatasi resistensi yang dimediasi ABCB1 (ATP binding cassete sub family B member 1) (Taoa et al., 2011). Melalui penelitian oleh Zhong et al. (2009) diketahui bahwa brazilein mampu menginduksi apoptosis dan menghambat protein survivin pada sel HepG2. Kayu secang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati penyakit yang berkenaan dengan imunitas dan inflamasi. Ekstrak etanolik kayu secang dilaporkan dapat menghambat matriks metalloproteinase pada osteoarthritis (Toegel et al., 2011). Selain itu, penelitian oleh Wang et al. (2011) membuktikan bahwa ekstrak kayu secang dapat menurunkan ekspresi COX-2 dan NF-κB serta sitokin inflamasi pada tikus yang diinduksi arthritis. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kayu secang berpotensi sebagai agen kemoprevensi kanker yang terkait dengan inflamasi. 19 F. Landasan Teori Tanaman Secang (Caesalpinia sappan) telah terbukti sebagai agen kemoprevensi kanker melalui penelitian terdahulu. Ekstrak kayu secang terbukti memiliki aktivitas sitotoksik pada beberapa sel kanker dan mampu menghambat inflamasi. Selain itu, senyawa brazilin dan brazilein yang merupakan senyawa aktif yang terkandung dalam kayu secang, dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik terhadap beberapa sel kanker dalam uji in vitro. Oleh karena itu, ekstrak etanolik kayu secang diduga mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker kolon WiDr. Agen kemoterapi utama yang digunakan dalam pengobatan kanker kolon, 5-Fluorourasil (5-FU) diketahui mengakibatkan resistensi sel kanker dan berbagai efek samping lain. Strategi utama untuk mencegah terjadinya kemoresistensi dan timbulnya efek samping adalah dengan penggunaan agen kokemoterapi yang berasal dari bahan alam. Agen kokemoterapi dapat meningkatkan sensitivitas sel terhadap agen kemoterapi sehingga dosis yang digunakan lebih rendah dan menurunkan efek samping yang ditimbulkan. Kombinasi ekstrak etanolik kayu secang diharapkan dapat meningkatkan sensitivitas sel kanker kolon WiDr terhadap 5-FU. Salah satu mekanisme sensitisasi suatu sel kanker adalah melalui modulasi NF-κB. NF-κB merupakan faktor transkripsi yang diketahui bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi dan peningkatan ekspresi COX-2 terutama pada sel kanker kolon. Peningkatan ekspresi COX-2 dapat memicu terjadinya proliferasi sel dan angiogenesis. Mekanisme yang memerantarai aktivitas sitotoksik ekstrak 20 etanolik kayu secang diprediksi melalui kajian in silico dengan metode molecular docking. Senyawa aktif kayu secang, brazilein, diharapkan mempunyai aktivitas penghambatan terhadap protein IKKβ yang merupakan jalur upstream NF-κB dan penghambatan terhadap aktivitas enzim COX-2. G. Hipotesis Dari uraian di atas dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut : 1. Ekstrak etanolik kayu secang (Caesalpinia sappan) mempunyai aktivitas sitotoksik pada sel kanker kolon WiDr. 2. Ekstrak etanolik kayu secang (Caesalpinia sappan) dapat meningkatkan sensitivitas sel kanker kolon WiDr terhadap 5-FU. 3. Brazilein, senyawa aktif pada tanaman secang (Caesalpinia sappan), mempunyai afinitas penghambatan terhadap IKKβ dan COX-2 melalui kajian in silico.