LAPORAN PROFESI NERS DEPARTEMEN MEDIKAL

advertisement
LAPORAN PROFESI NERS
DEPARTEMEN MEDIKAL
LAPORAN PENDAHULUAN SPINAL CORD INJURY
LAPORAN INDIVIDU
Untuk Memenuhi Tugas Profesi di Ruang 12
Oleh:
SILMA KAMILA
NIM. 0910720085
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
 DEFINISI
Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas
tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC
(2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Cedera tulang belakang
adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh
dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (
Sjamsuhidayat, 1997)
 KLASIFIKASI
Berdasarkan klasifikasi ASIA (American Spinal injury Association)
 ASIA A : Complete (kehilangan fungsi motoris dan sensoris termasuk pada
segmen sacral S4-S5 )
 ASIA B : Incomplete (kehilangan fungsi motoris, namun fungsi sensoris tidak
hanya dibawah level lesi dan termasuk segmen sacral S4-S5)
 ASIA C : Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak
fungsional dengan kekuatan otot < 3)
 ASIA D : Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara dan
fungsional dengan kekuatan otot > 3)
 ASIA E : Normal (fungsi sensoris dan motoris normal)
Cedera servikal dapat digolongkan menjadi:
 Cedera fleksi
Fraktur kompresi : disebabkan karena fleksi yang tiba-tiba.
Fraktur fleksi – teardrop : melibatkan seluruh columna ruang interspinosus
melebar dan dapat menyebabkan cedera medulla spinalis. Subluksasi anterior
: kompleks ligamentum superior mengalami ruptur sedangkan ligamentum
anterior tetap utuh.
Dislokasi faset bilateral : disebabkan fleksi yang berlebihan
Fraktur karena dorongan : terjadi karena fleksi leher yang tiba-tiba selain itu
bisa juga terjadi karena fraktur langsung di prosesus spinosus, trauma
oksipital, tarikan yang sangat kuat di ligamentum supraspinosus.
 Cedera Fleksi-rotasi
Dislokasi faset unilateral : terjadi saat fleksi bersamaan dengan rotasi sehingga
ligamentum dan kapsul teregang maksimal.
Dislokasi kedepan pada vertebra di atas dengan atau tanpa di sertai kerusakan
tulang.
Dislokasi antlantoaxial : terjadi karena hiperekstensi, terjadi pergeseran sendi
antara C1 dan C2 dan biasanya fatal. Cedera ini dapat menyebabkan
rheumatoid arthritis.
 Cedera ekstensi
Fraktur menggantung : terjadi pada C2 yang disebabkan karena hiperekstensi
dan kompresi yang tiba-tiba.
Ekstensi ‘teardrop’ : hiperekstensi mendadak dan terjadi akibat tarikan oleh
ligamentum longitudinal.
 Cedera compresi axial
Fraktur jefferson : terjadi pada C1 dan disebabkan karena kompresi yang
sangat hebat. Kerusakan terjadi di arkus anterior dan posterior. Fraktur remuk
vertebra : penekanan corpus vertebra secara langsung dan tulang menjadi
hancur.
Fragmen tulang masuk ke kanalis spinalis kemudian menekan medulla spinalis
sehingga terjadi gangguan saraf parsial
Fraktur atlas :
 Tipe I dan II : fraktur stabil karena terjadi pada arkus anterior dan
posterior.
 Tipe III : terjadi pada lateral C1
 Tipe IV : sering disebut sebagai fraktur jefferson
Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal yang unik, berbagai sindroma
tidak lengkap dapat dijumpai pada cedera kord spinal servikal. Pada sindroma ini,
fungsi sensori dan motor tertentu terganggu atau hilang, namun lainnya tetap
utuh.
1. Sindroma kord sentral
Paling sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal. Karena
sebab tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian
sentral dapat mengalami kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera
ringan. Khas pasien mengeluh disestesi rasa terbakar yang berat pada lengan,
mungkin karena kerusakan serabut spinotalamik, mungkin saat ia menyilang
komisura anterior. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan lengan, dengan
utuhnya kekuatan ekstremitas bawah. Sebagai tambahan, sensasi nyeri dan
suhu hilang dalam distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan
cedera primer terhadap kord spinal sentral dapat menimbulkan gambaran
defisit serupa, seperti siringo- mielia, tomor kord spinal intrinsik, dan
hidromielia. Sindroma ini secara jarang dapat terjadi pada kord spinal bawah
(konus medularis).
2. Sindroma arteria spinal anterior
Terjadi karena arteria ini mencatu substansi kelabu dan putih bagian
ventrolateral dan posterolateral kord spinal. Kerusakan arteria ini berakibat
sindroma klinis paralisis bi- lateral dan hilangnya sensasi nyeri serta suhu
dibawah tingkat cedera, namun sensasi posisi dan vibrasi (fungsi kolom
posterior) utuh. Lesi arteria ini bisa karena cedera tulang belakang, neoplasma
yang terletak anterior (biasanya metastasis) dan cedera aortik.
3. Sindroma Brown-Sequard
Bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal. Defisit
neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral, sensasi vibrasi dan posisi.
Sebagai tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka tembus
dan peluru dapat menimbulkan sindroma Brown-Sequard 'lengkap', namun
manifestasi tak lengkap sindroma ini tampak dengan berbagai ragam pada lesi
lain, termasuk trauma dan neoplasma.
4. Sindroma kolom posterior
Terjadi bila kolom posterior rusak secara selektif, berakibat hilangnya sensasi
vibrasi dan proprioseptif bilateral dibawah lesi. Temuan ini tersering dijumpai
sekunder terhadap kelainan sistemik (neurosifilis), namun secara jarang
dijumpai setelah trauma kord spinal.
 ETIOLOGI
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%),
kecelakaan olah raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja. Lewis
(2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan
oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat
berupa
pemukulan,
penghancuran,
perubahan
pemuntiran
ataupenarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada
tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai
kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada
tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang
berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
 PATOFISIOLOGI
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah
kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat
tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di
bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah
fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang belakang
cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas
tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan
arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya.
Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio atlantooccipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah, tulang ini
beratikulasi
dengan
C2,
membentuk
articulasio
atlanto-axialis,
tempat
berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal
atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga
menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada
batang otak. Cedera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak
efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi
hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat
menyebabkan komplience paru menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula
spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus
dari anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan
mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi
gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal,
parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada diafragma, otot trapezius, dan
sebagian pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla
spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras
mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih
normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi.
Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera
neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis
progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka
akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada
saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2
ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik pada jaringan tersebut. Karena
terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam kemudian
akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang menyebabkan
konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan
permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya
adalah peningkatan level Ca pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan
pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam kemudian dapat
menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula spinal.
Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan
katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel..
Di tingkat selular, adnya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat
merangsang
pelepasan
ketidakseimbangan
superoksid
elektrolit,
dan
(radikal
pelepasan
bebas),
mediator
disertai
terjadinya
inflamasi
dapat
mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel
mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
 MANIFESTASI KLINIS
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik
komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi
Pemeriksaan CT berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi
diskus. Akurasi dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan
myelografi.
MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah
servikal. MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah
medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan. Namun
pada salah satu penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa herniasi
diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil pemeriksaan ini
tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit, keluhan maupun
pemeriksaan klinis. Elektromiografi.
(EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu gangguan
bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi
radiks,
membedakan
lesi
radiks
dan
lesi
saraf
perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi.
 KOMPLIKASI
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari
cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas.
4. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.
 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pertama SCI termasuk imobilisasi eksternal untuk stabilisasi
sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan alignment yang
baik, dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder. Setelah
transportasi dan evaluasi awal telah lengkap, extended-external fixation atau
intervensi bedah dapat dikerjakan. Terakhir, disfungsi yang berhubungan dapat
direhabilitasi.
a. Imobilisasi dan traksi
Halo vest sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera spina servikal.
Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana pada
dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J
collar bersifat mi Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur
spina servikal adalah thermoplastic Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest.
TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman
dibandingkan halo vest sedangkan halo vest lebih bagus dalam membatasi
rotasi dibandingkan TMBJ.
b. Farmakoterapi
Farmakoterapi standar pada SCI berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB
secara bolus intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera.
Jika terapi tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah
cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu
dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus
metilprednisolon dapat dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam setelah
cedera maka terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena
kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini
efektif dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan
dalam waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek
dari metilprednisolon ini kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi
terhadap peroksidasi lipid dibandingkan efek glukokortikoid. Antasid atau H2
antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus lambung.
 ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian keperawatan
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran
saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf:
- Kesadaran : GCS.
- Fungsi saraf kranial : Trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial
- Fungsi sensori-motor : Adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
- Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar : Tanyakan pola makan?
- Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
- Retensi urine, konstipasi, inkontinensia
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik : hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan : disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial : data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.
 Diagnosa Keperawatan
1.
Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
2.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
3.
Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekret yang menumpuk.
4.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik
dan sesorik.
5.
Resiko
terhadap
kerusakan
integritas
kulit
berhubungan
dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
6.
Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih
atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih
sekunder terhadap cedera medulla spinalis.
7.
Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter
sekunder terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks
sakrum yang terlibat (S2-S4).
8.
Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis
dan alat traksi
9.
Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf
simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
10. Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan
untuk menelan.
11. Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
yang
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap
paralisis.
12. Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan
dengan paralisis
13. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses
penyakit dan prosedur perawatan
 Perencanaan keperawatan:
Diagnosa keperawatan: Pola napas tidak efektif berhubungan dengan
kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil :
a) ventilasi adekuat
b) PaCo2<45
c) PaO2>80
d) RR 16-20x/ menit
e) Tanda-tanda sianosis(-) : CRT 2 detik
Intervensi keperawatan :
1.
Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak
Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan
untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2.
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3.
Kaji fungsi pernapasan
Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan
secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4.
Auskultasi suara napas
Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi
sekret yang berakibat pnemonia.
5.
Observasi warna kulit
Rasional
:
menggambarkan
adanya
kegagalan
pernapasan
yang
memerlukan tindakan segera
6.
Kaji distensi perut dan spasme otot
Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan
diafragma
7.
Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/har
Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi
sekret sebagai ekspektoran.
8.
Lakukan
pengukuran kapasitas
vital,
volume
tidal
dan
kekuatan
pernapasan
Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus
menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
9.
Pantau analisa gas darah.
Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas
sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat
Rasional : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.
11. Lakukan fisioterapi nafas
Rasional : mencegah sekret tertahan
Diagnosa keperawatan: Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan
pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang dengan skala nyeri 6 dalam
waktu 2 X 24 jam
Intervensi keperawatan :
1.
Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5
Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
2.
Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus
Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kandung kemih dan berbaring lama.
3.
Berikan tindakan kenyamanan
Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.
4.
Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi
Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
5.
Berikan obat antinyeri sesuai pesanan
Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan
kecemasan dan meningkatkan istirahat
Diagnosa keperawatan: Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan
kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil :
a) Produksi urine 50cc/jam
b) Keluhan eliminasi urin tidak ada
Intervensi keperawatan:
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3. Anjurkan
pasien
untuk
minum
2000
cc/hari.nRasional
:
mempertahankan fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine
membantu
Diagnosa keperawatan: Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan
gangguan persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi
alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.
Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
2. Observasi adanya distensi perut.
3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT.
Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat
trauma dan stress.
4. Berikan diet seimbang TKTP cair
Rasional : meningkatkan konsistensi feces
5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan
Rasional: merangsang kerja usus
Diagnosa
keperawatan:
Kerusakan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi
sampai cedera diatasi
dengan pembedahan.
Kriteria hasil :
a) Tidak ada konstraktur
b) Kekuatan otot meningkat
c) Klien mampu beraktifitas kembali secara bertahap
Intervensi keperawatan :
1. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan
Rasional memberikan rasa aman
3. Lakukan log rolling
Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki
Rasional mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling
Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari
Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan
integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam
Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan spastisitas.
Diagnosa keparawatan: Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :
1. Inspeksi seluruh lapisan kulit
Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer.
2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan
Rasional : untuk mengurangi penekanan kulit
3. Bersihkan dan keringkan kulit
Rasional: meningkatkan integritas kulit
4. Jagalah tenun tetap kering
Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan
Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan tekanan
pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzan.2003. Spinal Cord Injury. www.scribd.com. Diakses tanggal 14 agustus
2013.
Download