1 BAB II KAJIAN PUSTAKA Perilaku asertif sebagai perilaku yang menunjukkan atau menampilkan perilaku untuk jujur dan terbuka dalam menyatakan kebutuhan, pikiran, dan perasaan secara langsung, jujur dan terbuka. Dengan perilaku asertif tersebut maka dibutuhkan suatu kecerdasan emosi yang baik, stabil, kuat dan memiliki kemampuan mengendalikan diri yang baik. Selain itu juga dibutuhkan suatu konsep diri yang baik tentang gambaran dirinya yang baik, sehingga mahasiswa dapat melakukan perilaku asertifnya dengan lebih baik di lingkungan perkuliahan maupun diluar. 2.1. Perilaku Asertif 2.1.1 Definisi Perilaku Asertif Dalam suatu kesempatan Prabowo (2001; 4) menyatakan bahwa perilaku asertif adalah perilaku yang menampilkan perilaku untuk jujur dan terbuka dalam menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikirannya secara apa adanya tampa menyakiti perasaan orang lain. Demikian juga Rimm dan Masters (dalam Rakos, 1991; 8) mengatakan bahwa perilaku asertif adalah perilaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur dalam mengeksspresikan pikiran dan perasaan dengan memperhitungkan kondisi sosial yang ada. Selain itu, menurut Setiono dan pramadi (2005; 149-168) perilaku asertif adalah satu cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan dan mengembangkan kemampuan komunikasi 2 serta penyesuaian diri yang baik dan efektif. Kemampuan berkomunikasi dan penyesuaian diri yang baik dan efektif sangat diperlukan oleh mahasiswa pada masa perkembangannya dan interaksinya dengan teman-teman sebaya. Pengertian lainnya tentang asertif dikemukakan oleh Rakos (1991; 72), perilaku asertif adalah perilaku hubungan antar pribadi yang menyertakan kejujuran dan berterus terang secara sosial dalam mengekspresikan pemikiran dan perasaan serta mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Sementara itu, Corey (2007; 98) memaparkan definisi dari perilaku asertif sebagai ekspresi langsung, jujur, dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Langsung artinya pernyataan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat terfokus dengan benar. Jujur berarti pernyataan dan gerak-geriknya sesuai dengan apa yang diarahkannya. Sedangkan pada tempatnya berarti perilaku tersebut juga memperhitungkan hak-hak dan perasaan orang lain serta tidak melulu mementingkan dirinya sendiri. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi perilaku asertif yaitu; tingkah laku atau ekspresi yang ditunjukkan untuk mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara proporsional, dan juga dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan, serta tanpa ada 3 maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan atau pun merugikan pihak lainnya. 2.1.2 Teori Tentang Perilaku Asertif Pada suatu kesempatan, Alberti dan Emmons (dalam Herni, 2009; 4) mengemukakan perilaku asertif adalah perilaku yang membuat seseorang mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, bertindak menurut keputusan sendiri, membela diri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman dan juga menerapkan hak-hak pribadi. Menurut Jakubowski (dalam Zulkaida, 2005) perilaku asertif adalah usaha untuk mengemukakan pikiran, perasaan dan pendapat secara langsung, jujur dan dengan cara yang sesuai yaitu tidak menyakiti dan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Menurut Awaluddin (dalam Herni, 2009; 5) menjelaskan perilaku asertif adalah perilaku interpersonal dari seseorang yang berupa pernyataannya mengenai perasaannya, hal itu dinyatakan dengan jujur dan secara langsung serta tidak berbelit-belit. Lange dan Jakubowski‟s (dalam Nipsaniasri, 2004; 2), menyatakan asertif adalah kemampuan seseorang mempertahankan hak-hak pribadi dan mengekspresikan pikiran, perasaan, keyakinan secara langsung, jujur dan 4 dengan cara yang layak atau tidak meanggar hak-hak orang lain. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian perilaku asertif yaitu; perilaku hubungan antar pribadi yang menyertakan kejujuran, berani mengutarakan pendapat, menampilkan diri sendiri, dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang diungkapkan secara langsung, jujur, tepat, terbuka, dan kritis. Aspek-aspek perilaku asertif menurut Alberti & Emmons (dalam Herni, 2009; 6) antara lain adalah: a. Mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia Berarti remaja mampu menempatkan dirinya dan orang lain dengan setara dan semua pihak memiliki kesempatan untuk menang maupaun rugi. b. Bertindak menurut keputusan sendiri Berkaitan dengan kesanggupan remaja untuk membuat keputusan sendiri tentang karir dan hidup,kesanggupan remaja untuk memiliki inisiatif dalam mengawali dan mengakhiri pembicaraan, mempercayai penilaian sendiri untuk menentukan tujuan dan berusaha mencapai tujuan tersebut, kesanggupan remaja untuk bantuan dari orang lain serta berpartisipasi dalam pergaulan. c. Membela diri 5 Meliputi perilaku menanggapi remaja kritik, untuk hinaan atau berkata tidak, amarah, serta mengekspresikan atau membela suatu gagasan yang dianggap benar d. Mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman Berarti kesanggupan remaja untuk menyatakan ketidaksetujuan, memperlihatkan amarah, kasih sayang dan persahabatan, mengakui perasaan takut dan cemas, mengekspresikan persetujuan atau dukungan dan bersikap tanpa disertain perasaan cemas. e. Menerapkan hak-hak pribadi Berhubungan dengan kesanggupan remaja sebagai anggota organisasi atau sekolah untuk mengekspresikan opini dan menanggapi adanya pelanggaran terhadap hak orang lain. Menurut Rakos (1991; 75-77) aspek-aspek perilaku asertif dapat dibagi dalam 4 kategori yaitu: a. Content (isi), yaitu : perilaku verbal atau apa yang dikatakan oleh seseorang kepada orang lain dalam mengungkapkan hak dan kesungguhan. Misalnya: menggunakan “pernyataan saya”, mengungkapkan hak dengan langsung, jelas dan penuh hormat, mampu untuk menyatakan “tidak”, memberikan pujian atau berkomentar positif kepada orang lain, mengakui 6 kesalahan dan meminta maaf, menyampaikan kritik yang membangun dengan tidak menyalahkan dan berprasangka, dan respek dengan pemikiran, pendapat dan keinginan orang lain. Dalam content dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: 1) ekspression of rights yaitu, kemampuan untuk meminta maaf, sopan dan kemampuan untuk mempersilahkan orang lain. 2) ekspression of elaborations yaitu, kemampuan untuk berempati kepada orang lain. b. Paralinguistic, adalah pesan non-verbal berupa suara atau vokal yang merupakan aspek-aspek dari percakapan. Dalam paralinguistik, suara atau vokal yang digunakan pada waktu mengucapkan pesan-pesan verbal tersebut terlihat dari aspek-aspek seperti, kecepatan berbicara, volume, ritme, resonansi dan bentuk-bentuk vokal seperti tertawa, pekikan, rintihan, rengekan dan tinggi rendahnya suara. Jadi paralingustik berkaitan dengan cara menggunakan vokal atau suara pada saat seseorang yang berbicara. Dalam Paralinguistic ada beberapa aspek-aspek seperti: 1) Response latency; merupakan respon non-verbal yang tersembunyi (pasif), seperti berbicara “ya atau tidak”. 7 2) Response duration; merupakan respon non-verbal yang dalam cara berbicara membutuhkan waktu yang lama dalam penyampaian responnya. 3) Response fluency; merupakan respon non-verbal yang mempertimbangkan volume dan intonasi suara dalam berbicara. 4) Voice volume; merupakan elemen dari paralinguistic yang melihat tinggi rendahnya suara atau vokal dalam berbicara. c. Perilaku non verbal, yaitu terbuka dan gerak-gerik alami, ekspresi wajah yang menarik, kontak mata langsung, percaya diri dan volume suara yang sesuai,meliputi: 1) kontak mata yang wajar saat melakukan pembicaraan dengan orang lain 2) ekspresi wajah yang positif pada saat berkomunikasi dengan orang lain 3) gesture (gerak, isyarat dan sikap) 4) bahasa tubuh yang sesuai d. Kemampuan berinteraksi yang baik dengan lingkungan: aspek ini berkaitan dengan, cara seseorang untuk bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain di lingkungan sekitarnya.Meliputi: 1) dapat berkomunikasi dengan semua orang secara terbuka dan penuh percaya diri, baik dengan orang yang sudah dikenal maupun dengan orang yang belum dikenal. 8 2) memberikan respon minimal yang efektif sesuai dengan situasi dan kondisi. 3) memiliki kemampuan mengontrol tindakannya sendiri dan menyadari konsekuensi atas tindakannya. Dari penjelasan sebelumnya, penulis menggunakan aspek-aspek perilaku asertif menurut Rakos (1991), yaitu: isi (content), paralinguistic, perilaku non verbal, kemampuan berinteraksi yang baik dengan lingkungan. Alasan penulis menggunakan aspek-aspek dari Rakoos (1991; 75-77) karena, aspek-aspek tersebut terdapat indikator-indikator yang sesuai dengan penelitian tentang perilaku asertif, dan aspek-aspek telah diuji oleh beberapa penelitian tentang perilaku asertif pada siswa sehingga, peneliti berpendapat dapat dipergunakan pada mahasiswa. 2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Asertif Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku asertif. Rakos (1991; 79-81), bagi Rakos faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi terbentuknya perilaku asertif pada individu adalah: a. Pola Asuh Terdapat tiga jenis pola asuh orang tua, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif. 9 1) Pada pola asuh yang otoriter, orang tua mendidik anak secara keras, penuh dengan disiplin yang tidak dapat diterima anak tetapi dipaksakan, penuh dengan larangan yang membatasi ruang kehidupan anak. Anak yang diasuh dengan pola otoriter akan tumbuh menjadi anak yang merasa dirinya rendah (inferior). 2) Pada pola asuh yang demokratis, orang tua mengasuh anak mereka dengan penuh kasih sayang tetapi tidak memanjakan, sehingga anak tumbuh menjadi individu yang penuh percaya diri, mempunyai pengertian yang benar tentang hak mereka, dapat mengkomunikasikan segala keinginan dengan wajar, dan tidak memaksakan kehendak dan menghargai hak orang. 3) Sedangkan pada pola asuh permisif, orang tua mendidik anak tanpa adanya batasan atau aturan yang bersifat mengikat, bahkan terkesan bebas. Anak-anak dengan pola asuh permisif akan tumbuh menjadi remaja yang mudah kecewa dan mudah marah karena ia terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan cepat dan mudah. b. Kebudayaan Kebudayaan mempunyai peran yang besar dalam mendidik perilaku asertif. Biasanya ini berhubungan dengan norma-norma. 10 c. Usia Usia merupakan salah satu faktor yang turut menentukan munculnya perilaku asertif. Pada anak kecil perilaku asertif belum terbentuk, pada masa remaja dan dewasa perilaku asertif berkembang, sedangkan pada usia tua tidak begitu jelas perkembangan atau penurunannya. d. Jenis Kelamin Jenis kelamin berpengaruh terhadap perilaku asertif. Umumnya kaum pria cenderung lebih asertif daripada wanita karena tuntutan masyarakat. Perbedaan kemampuan asertif pada pria dan wanita, misalnya pria lebih mampu berterus terang dalam menyatakan pendapat, walaupun yang bersifat negatif kepada orang lain, karena mereka tidak menganggap bahwa hal itu dapat menyakiti orang lain. Selain itu pria juga, lebih berani, emosional, pria dapat menerima pendapatpendapat sementara wanita kurang baik dalam menerimanya. Namun sejalan dengan perkembangan jaman, kemungkinan besar akan mempengaruhi budaya dan norma-norma yang berlaku di masyarakat "wanita sama/ sederajat dengan pria" karena itu, anggapan bahwa pria lebih asertif dibandingkan wanita patut diuji kembali kebenarannya. 11 e. Strategi Coping Strategi coping adalah bentuk penyesuaian diri yang melibatkan unsur-unsur kognisi dan afeksi dari seseorang guna mengatasi permasalahan yang datang pada dirinya. 2.2 Emotional Intellegence 2.2.1 Definisi Emotional Intellegence Menurut Dusseldorp, dkk (2010; 558) kecerdasan emosional / emotional intelligence merupakan syarat atau kunci untuk mencapai/ memiliki rasa sensitivity, empati, kreativitas, self-awareness, self-control and assertiveness (assertivitas). Mc Clelland (dalam Goleman, 2007; 45) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri dan inisiatif yang akan menghasilkan orang-orang yang sukses dan memiliki kinerja yang tinggi. Schwartz (dalam Bang & Montgomey, 2010; 4) mendifinisikan kecerdasan emosi sebagai keajaiban dalam pemikiran yang memperlihatkan bagaimana keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh ukuran besar kecil otak seseorang tetapi lebih kepada gagasan atau pemikiran seseorang dalam mengamati, memahami dirinya dan berinteraksi dengan orang lain. 12 Menurut Patton (2002; 5) kecerdasan emosi adalah dasar-dasar pembentukan emosi yang mencakup keterampilan seseorang untuk mengadakan impuls-impuls dan menyalurkan emosi yang kuat secara efektif. Dari beberapa pendapat sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi yaitu, suatu kecakapan kusus seperti empati, disiplin, dan inisiatif, dan juga merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal, terampil dan mengendalikan diri sendiri dan dilakukan secara efektif. 2.2.2 Teori Emotional Intellegence Goleman (2006; 51) kecerdasan emosional adalah kecakapan emosional yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi rintangan, mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat merasa puas, mampu mengenali emosi, mengelola, dan berempati, serta mampu mengatur suasana hati dan mampu mengganggu mengelola kemampuan kecemasan berpikir, mampu agar tidak membina hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya kecerdasan emosi adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur (evolusi), dan emosi juga sebagai perasaan dan pikiran-pikiran khas, 13 suatu keadaan biologis, dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak, oleh Goleman (2006; 51). Sedangkan menurut Merda (2012; 2) kecerdasan emosional adalah kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh. Selain itu, Tsaosis (2008; 200) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk membangkitkan mengenali perasaan perasaan, untuk meraih dan membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosional dan intelektual. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian emotional intellegence yaitu; kemampuan seseorang untuk mengenal, mengendalikan diri sendiri, dapat berinteraksi dengan orang lain secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi, mampu mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan, dan mampu mengelola kecemasan agar tidak mengganggu kemampuan berpikir dan mengendalikan emosi. Menurut Goleman (2007; 403), aspek-aspek dalam kecerdasan emosi yaitu : a. Mengenali emosi diri Kesadaran diri dengan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi 14 dan kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan diri sendiri yang sesungguhnya membuat seseorang berada dalam kekuasaan perasaan. b. Mengelola emosi Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan baik adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri merupakan kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosi ini. c. Memotivasi diri sendiri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri serta untuk berkreasi. Kendali diri emosional adalah menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati sehingga terciptalah suatu keberhasilan dalam berbagai bidang serta mampu menyesuaikan diri dalam mewujudkan kinerja yang tinggi dalam segala bidang. d. Mengenali emosi orang lain atau berempati Mengenali emosi orang lain berarti kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki 15 orang lain atau lebih dikenal dengan empati. Empati merupakan kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional dan merupakan keterampilan dasar dalam bergaul. e. Membina hubungan dengan orang lain Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang baik dengan orang lain. Aspek-aspek lain dari kecerdasan emosional menurut Tsaosis, (2008; 217) yaitu; a. Mengenali emosi diri (use of emotion for facilitating thinking) Mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keputusan serta menjadi tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. b. Mengelola emosi (control of emotions) Menangani emosi dalam diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. 16 c. Memotivasi diri sendiri (expression & recognition of emotions) Menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakan dan menuntun menuju sasaran, membantu diri dalam mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. d. Mengenali emosi orang lain atau empati (caring & empathy) Merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menye laraskan diri dengan bermacam-macam orang. Dari penjelasan sebelumnya, penulis menggunakan aspek-aspek dari emotional intellegence menurut Tsaosis, (2008; 217): mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain atau empati. Alasan peneliti menggunakan aspek-aspek emotional intelligence dari Tsaosis karena merupakan pengembangan dari aspek-aspek Goleman (2007; 403), dan juga dalam jurnal terdapat indikator dan questionnaire diadaptasi dari Greek Emotional Intelligence Scale (GEIS) yang digunakan dalam pengambilan data penelitian yaitu yang peneliti lakukan. 17 2.2.3 Efek-Efek Atau Peran Emotional Intellegence Kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali emosi diri dan emosi orang lain serta mampu mengelolanya dengan baik sehingga tercapai tujuan-tujuan hidupnya dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Menurut Ciarrochi, Forgas, dan Mayer (2001; 12) seseorang yang memiliki kecerdasan emosi akan mampu mencapai aktualisasi diri, berguna dalam hubungan sosial, berguna dalam segala aspek pekerjaan yang berkaitan dengan kelompok kerja, berguna untuk membantu seseorang menjadi lebih sehat dan sejahtera dalam kehidupannya. Meskipun kecerdasan banyak emosi, manfaat pada yang kenyataannya diperoleh tidak dari sedikit ditemukan seseorang yang tidak berhasil dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosialnya, seperti sering membuat kesal orang lain, gagal dalam pekerjaannya, tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena seseorang tersebut kurang memiliki kecerdasan emosi, maka dari itu diperlukan kemampuan mengendalikan perasaan secara mendalam untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Stein dan Book, 2004; 52). Kecerdasan emosi dibagi ke dalam lima area, salah satunya adalah area intrapribadi. Area kecerdasan emosi ini merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri. Area ini meliputi perilaku 18 asertif, kesadaran diri, kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri Bar-On (dalam Stein dan Book, 2004; 52). Sehingga, hal itu berefek pada perilaku assertif dan menurut Dusseldorp., dkk (2010; 559) kecerdasan emosi (emotional intellegence) merupakan syarat atau kunci untuk mencapai / memiliki rasa sensitivity, empati, kreativitas, kesadaran diri (self-awareness), kontrol diri (self-control) and asertivitas (assertiveness). 2.3 Self – Concept 2.3.1 Definisi Self – Concept Konsep diri merupakan kesan individu terhadap diri secara keseluruhan, mencakup pendapatnya tentang diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat tentang hal-hal yang dapat dicapai (Burns, 1998; 75). Sementara itu Chaplin (2006; 101), mengatakan bahwa konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Sementara itu, Fitts (dalam Agustiani, 2006; 42) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of referance) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dari beberapa pendapat sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konsep diri 19 dalam penelitian ini adalah semua ide, pikiran, kepercayaan, kesan, gambaran diri, dan pandangan terhadap diri dalam berhubungan dengan orang lain. 2.3.2 Teori Self-Concept Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1992; 9), konsep diri adalah semua peran, identitas, harga diri seseorang dan kepercayaan, dan juga gambaran diri serta ideal diri tentang bagaimana ia harus berperilaku yang mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Ishak, dkk (2010; 787) konsep diri yaitu penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini akan menentukan tingkat harga diri seseorang. Istilah harga diri mengacu pada seberapa jauh seseorang meyakini dirinya sendiri mampu, penting, atau berharga, yang diekspresikan melalui sikap-sikap individu tersebut di dalam suatu lingkungan sosial. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian self-concept yaitu; semua ide, pikiran, kepercayaan, penerimaan diri yang baik, harga diri tinggi, mampu, penting, atau berharga, sehingga dapat menerima segala kelebihan dan kekurangannya yang diekspresikan melalui sikap-sikap individu dalam berhubungan dengan orang lain dalam suatu lingkungan sosial. 20 Menurut Stuart dan Sundeen, (dalam Keliat, 1992; 1214), konsep diri terbagi menjadi 5 komponen yaitu gambaran diri (body image), ideal diri, harga diri, peran, dan identitas. a. Gambaran diri (body image) Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap dirinya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu. b. Ideal diri Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu. Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang dipengaruhi orang yang penting pada dirinya yang memberikan keuntungan dan harapan pada masa remaja ideal diri akan dibentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman. c. Harga diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri Frekuensi pencapai tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung 21 harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. d. Peran Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Peran yang ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak punya pilihan, sedangkan peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri. e. Identitas Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan yang memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari : perasaan berharga (aspek penyesuaian diri. diri sendiri), Seseorang kemampuan yang mandiri dan dapat mengatur dan menerima dirinya. Identitas diri terus berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin. 22 Pendapat lain dari Ishak, dkk 787) (2010; mengungkapkan aspek-aspek konsep diri, yaitu : a. Aspek fisik (physical menggambarkan self-concept). bagaimana Aspek pandangan ini individu terhadap dirinya tentang kodisi kesehatantanya atau citra diri dan penampilan fisiknya. Seorang mahasiswa dengan konsep diri yang positif merasa nyaman dengan kondisi atau citra dirinya dan menerimanya, sedangkan individu dengan konsep diri secara fisik yang negatif akan merasa tidak senang atau tidak nyaman dengan citra diriatau penampilannya. b. Aspek akademik (academic self-concept). Aspek ini terkait dengan kinerja dan pencapaian selama fase pendidikan. Individu / siswa dengan konsep diri secara akademis yang positif akan merasa bahwa dengan upaya yang tepat, mereka dapat melakukan dengan baik dalam pendidikan atau studi mereka sedangkan individu atau siswa dengan konsep diri secara akademik yang negatif akan memiliki keraguan bahwa mereka dapat melakukan dengan baik dalam pendidikan atau studi mereka dan tidak akan mampu secara maksimal dalam peningkatan kinerja akademis mereka. c. Aspek sosial (social self-concept). Aspek ini menggambarkan bagaimana siswa dapat percaya pada diri ketika mereka berada diantara teman-teman 23 mereka. Hal ini mencerminkan kemampuan siswa untuk bersosialisasi diantara teman-teman mereka sendiri dan bagaimana berhubungan dengan orang lain. Dari penjelasan sebelumnya, Penulis menggunakan aspekaspek dari konsep diri menurut Ishak., dkk (2010; 787): physical self-concept, academic self-concept, social self- concept. Alasan menggunakan aspek-aspek dari Ishak., dkk (2010; 787) karena merupakan pengembangan dari Flitts (dalam Agustiani, 2006) tentang konsep diri dimana Flitts menggunakan 5 skala konsep diri yaitu: aspek fisik, aspek psikis, aspek sosial, aspek moral dan aspek keluarga. Selain itu, Ishak., dkk (2010; 787) telah mengembangkan indikator dan questionnaire diadaptasi dari various self-concept scales and CoPs (Cognitive Psycho-social profile of the Malaysian Instruments) yang digunakan dalam pengambilan data penelitian yaitu yang peneliti lakukan. 2.3.3 Efek-Efek Atau Peran Self - Concept Menurut Sullivan dalam Wrightsman (dalam Eliana, 2003; 3) konsep diri adalah bagaimana kita melihat diri kita sebagaimana orang lain melihat kita. Konsep diri mearupakan hal yang penting artinya dalam kehidupan seseoarng, karena konsep diri menentukan bagaimana seseorang bertindak dalam berbagai situasi. Jika kita memahami konsep diri seseorang kita akan mampu 24 memahami tindakan dan juga dapat meramalkan tingkah lakunya dikemudian hari. Konsep diri berkatian dengan dengan kesehatan mental seseorang. Dengan kata lain jika konsep diri seseorang positif maka hal ini akan mempengaruhi kesehatan mentalnya juga. Hurlock (1985; 75) mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai konsep diri positif adalah jika ia berhasil mengembangkan sifat-sifat percaya diri, harga diri dan mampu melihat dirinya secara realistik. Dengan adanya sifat–sifat seperti ini orang tersebut akan mampu berhubungan dengan orang lain secara akurat dan hal ini akan mengarah pada penyesuaian diri yang baik di lingkungan sosial. Orang yang mempunyai konsep diri negatif sebaliknya akan merasa rendah diri, inadekuat, kurang percaya diri. Diprediksi bahwa orang yang mempunyai konsep diri negatif akan mengalami hambatan dalam proses penyesuaian dirinya di lingkungan baru. Evaluasi terhadap diri berkaitan dengan konsep diri, orang yang mempunyai penilaian positif mengenai dirinya akan mempunyai konsep diri yang tinggi, sebaliknya orang yang mempunyai penilaian yang negatif mengenai dirinya akan mempunyai konsep diri yang negatif, Deaux (dalam Eliana, 2003; 6). 25 2.4 Jenis Kelamin 2.4.1 Pengertian Jenis Kelamin Pengertian jenis kelamin dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008), mengandung sifat jasmani atau rohani yang membedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan atau wnita dan pria, jenis laki-laki atau perempuan. Sementara itu, menurut Reid, dkk (2004) menjelaskan bahwa istilah jenis kelamin dipakai untuk pembagian struktur sosial berdasarkan jenis dan juga pada tanda-tanda emotional dan psikologi yang diharapkan oleh suatu budaya dengan bentuk fisik pria dan wanita. Sementara istilah gender merujuk pada kualitas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh budaya. Abbot (dalam Eviandaru, 2003) membedakan antara gender dengan jenis kelamin, dimana jenis kelamin didefinisikan sebagai yang kodrati karena ciri biologisnya. Sedangkan gender adalah peran sosial. 2.4.2 Teori Mengenai Perbedaan Jenis Kelamin Budaya memiliki konstribusi yang besar dalam menciptakan perbedaan jenis kelamin, bukan hanya pada tugas-tugas yang berhubungan dengan kodrat seperti yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan untuk melahirkan anak dan menyusui. Menurut Atkinson, dkk (1994) setiap budaya memiliki cara yang berbeda dalam mengharapkan bagaimana laki-laki dan perempuan berperilaku. Selain itu, 26 pemahaman mengenai perilaku yang diangap sesuai untuk jenis kelamin dalam suatu budaya, bisa berubah sejalan dengan berjalannya waktu. Terdapat juga bentuk-bentuk diskriminasi antara lakilaki dan perempuan, dimana tingkah laku kesusialaan dan kelayakan anak perempuan lebih ditekankan dari pada pada anak laki-laki di indoneaia, oleh Monks, dkk (1998). Sedangkan Menurut Hurlock (1997), perbedaan prestasi antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan sikapnya terhadap aktivitas sekolah. Keadaan inilah yang membawa perempuan berada di posisi tidak terlalu menguntungkan, mengingat sebagian besar budaya didominasi oleh kaum laki-laki, oleh Brettel & Sargent, (2005). Stereotip sosial sebagai penentu bagaimana laki-laki dan perempuan bertindak muncul dari lingkungan, yang memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda. Menurut Gunarsa & Gunarsa, (1991) tuntutan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat berbeda. Pada umumnya, para orang tua lebih cenderung menekankan kemandirian, persaingan, dan hasil kerja dalam mendidik dan membesarkan anak laki-laki, sedangkan anak perempuan dididik dengan tekanan agar menjadi orang yang dapat dipercaya, sensitif, dan ikut memikirkan kesejahteraan orang lain, oleh Block (dalam Atkinson, dkk, 1994). 27 2.5 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu 2.5.1 Hasil-Hasil Penelitian Tentang Hubungan Emotional Intelligence Dengan Perilaku Asertif Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agestin dan Widyarini, (2006) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang significant dengan arah positif hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan terdapat sumbangan kecerdasan emosi terhadap remaja di SMA di semarang yaitu 82% remaja dan terdapat 17% yang menunjukkan tidak ada hubungan yang berarti antara kecerdasan emosi dengan perilaku asertif. Semakin tinggi kecerdasan emosi semakin tinggi pula perilaku asertif pada remaja SMA di Semarang. Studi yang dilakukan Petrides, dkk (2006) menunjukkan bahwa peran kecerdasan emosional dalam peningkatan perilaku asertif dalam hubungan teman sebaya di sekolah. Sebanyak 160 siswa (83 anak perempuan; rata-rata umur 10.8 tahun) dilakukan pengukuran dengan kuesioner daftar sifat kecerdasan emosi dan sesudah itu di minta untuk menominasikan teman sekelasnya masing-masing yang cocok ke dalam tujuh deskripsi perilaku yang berbeda („kooperatif‟,‟pengganggu‟, „pemalu‟, „agresif‟, „dependen‟, „pemimpin‟, dan„pengintimidasi‟). Para guru diminta untuk menominasikan seluruh siswa yang cocok ke dalam tujuh deskripsi. Hasil yang diperoleh menunjukkan siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi yang tinggi lebih masuk nominasi untuk „kooperatif‟ dan „kepemimpinan‟, serta lebih rendah nominasinya untuk 28 „pengganggu‟, „agresif‟, dan „dependen‟. Analisis faktor dari nominasi para guru menunjukkan dua faktor orthogonal meliputi masing-masing deskripsi prososial dan antisosial. Siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi yang tinggi ada dalam faktor prososial. Penelitian lainnya dari Auslander, (2007) mengungkapkan dengan kemampuan berprilaku asertif yang baik, 70% remaja perempuan mampu untuk menolak penyimpangan seksual serta mampu mencegah Pregnancy-STD. Dalam penelitian dari Auslander (2007) dikatakan bahwa remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah akan memperlihatkan emosi yang meledak-ledak, rendahnya toleransi terhadap rasa frustrasi, kurang mampu dalam memecahkan masalah kurang mampu menerima kritik, hal ini menunjukkan bahwa perilaku assertifnya rendah. Berbeda dengan remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi menunjukkan kemampuan untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Sejalan dengan itu, penelitian dari Shabgard, dkk. (2011) menunjukkan bahwa ada korelasi yang potsif antara Emotional intellegence mempengaruhi self-assertive. Kecerdasan emosi yang baik dapat menunjukkan self-assertive yang kuat, hal itu dapat dilihat dari hasil validitas = 0.76 dan reliabilitas = 0.88, persentasi positif di mana ada 83% yang menunjukkan memiliki emotional intellegence yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa 29 kecerdasan emosi dapat mempengaruhi perilaku asertif seseorang, karena seseorang yang mampu menampilkan dirinya secara bebas, langsung dan jujur tanpa menyakiti diri sendiri maupun orang lain dapat meningkatkan kecerdasan emosinya dengan cara lebih mengenali emosi diri, mengelola emosi serta membina hubungan baik dengan orang lain. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang tidak mampu menampilkan dirinya secara bebas, langsung dan jujur tanpa menyakiti diri sendiri maupun orang lain tidak mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi serta membina hubungan baik dengan orang lain. Hasil penelitian lain, dari Merda, (2012) dapat diketehui bahwa kecerdasan emosi memberikan kontribusi yang rendah terhadap asertif pada remaja. Kontribusi yang diberikan sebesar 25% sedangkan 75% kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti faktor pribadi, lingkungan keluarga, lingkungan kelompok sebaya, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosi subjek penelitian yang berjenis kelamin lakilaki lebih tinggi dibandingkan perempuan demikian juga dengan assertifnya, subjek berjenis kelamin laki lebih tinggi daripada perempuan. Penelitian lainnya dari Siti dan Felix, (2010) tentang rendah atau kurangnya kontribusi kecerdasan emosional terhadap perilaku asertif pada remaja. Hasil analisis data penelitian menunjukkan adanya sumbangan efektif kecerdasan emosi 30 terhadap perilaku asertif sebesar 30,3 % sebagaimana ditunjukkan oleh R squared 0,303. Hal ini dapat diartikan masih terdapat 69,7% faktor lain yang mempengaruhi asertivitas selain kecerdasan emosi, seperti faktor jenis kelamin, dan usia. Dari analisis juga diketahui bahwa nilai rerata empirik kecerdasan emosi sebesar 91,48 yang berarti kecerdasan emosi pada subyek penelitian tergolong sedang dan perilaku asertif subyek penelitian tergolong tinggi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, belum banyak yang meneliti hubungan antara emosional intelligence dengan perilaku asertif, kususnya pada lingkungan akademis di kampus dan juga pada mahasiswa. Selain itu juga penelitianpenelitian sebelumnya belum banyak yang meneliti perbedaan pada pria dan wanita dan masih secara umum pada siswa sekolah dan remaja saja. 2.5.2 Hasil-Hasil Penelitian Tentang Hubungan Self-Concept Dengan Perilaku Asertif Penelitian lainnya dari Hergina, (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan perilaku asertif pada siswa MAN Wonokromo. Semakin tinggi konsep diri pada siswa maka semakin tinggi perilaku asertif yang dimiliki, sebaliknya semakin rendah konsep diri pada siswa maka semakin rendah perilaku asertif yang dimiliki. Konsep diri memberi sumbangan efektif sebesar 11,8% dalam mempengaruhi perilaku asertif siswa MAN Wonokromo, 31 sedangkan sisanya 88,2% faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku asertif. Berdasarkan kategori kedua variabel penelitian dapat disimpulkan bahwa mayoritas skor subyek penelitian, pada perilaku aserti terdapat mayoritas subyek (89,21%) termasuk dalam kategori sedang dan pada variabel konsep diri terdapat mayoritas subyek (58,82%) termasuk dalam kategori sedang. Hasil penelitian lain dari Landazabal, (1999) kepada anakanak di SMA di Provinsi Guipúzcoa, Spanyol Utara tentang dampak perilaku asertif pada perilaku membantu atau menolong pada teman sekelas dikucilkan dan apakah perilaku asertif dipengaruhi oleh konsep diri anak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; terdapat peningkatan secara signifikan terhadap konsep diri (82 % dari jumlah anak-anak dalam kelas), terutama dalam kaitannya dengan karakteristik afektif dan karakteristik sosialisasi, dan terdapat penurunan yang signifikan (79% tingkat penurunan) dalam perilaku yang pasif, dan meningkatnya perilaku asertif dalam berinteraksi dengan sahabat lain dalam segala situasi sosial. Akan tetapi, penelitian lain dari Partosuwido (1993), individu yang memiliki perasaan rendah diri, cemas, dan mudah terpengaruh dikatakan memiliki konsep diri yang negatif. Hal ini terlihat dari hasil penelitiannya yang menunjukkan konsep diri tidak terlalu atau tidak signifikan mempengaruhi perilaku asertif (hanya 23%). Konsep diri dapat mempengaruhi perkembangan perilaku asertif individu. Individu dengan konsep 32 diri negatif memiliki kecemasan ketika mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga akan menghambat individu tersebut untuk berperilaku asertif kepada orang lain. Individu dengan konsep diri negatif akan merasa dirinya tidak berharga dan tidak diterima oleh lingkungan, sehingga cenderung tidak berani mengambil resiko, oleh Partosuwido, (1993). Penelitian lain dari Coulhoun, (1990) menunjukkan hasil bahwa konsep diri yang negatif seringkali menunjukkan perilaku yang tidak asertif dan menunjukkan penyangkalanpenyangkalan informasi tentang dirinya yang tidak dapat diterimanya dengan baik dan juga mengancam konsep dirinya. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, belum banyak yang meneliti hubungan antara self-concept dengan perilaku asertif pada mahaiswa, masih secara umum meneliti pada individu dan tidak spesifik pada pria dan wanita. Sehingga peneliti ingin meneliti lebih spesifik kepada mahasiswa pria dan wanita. 2.5.3. Hasil-Hasil Penelitian Tentang Hubungan jenis kelamin Dengan Perilaku Asertif Hasil penelitian dari Kaplan dan Sedney (dalam Tanggela, 2012) mengemukakan bahwa pria lebih mempunyai perilaku asertif dari pada wanita, hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan masyarakat yang membuat pria lebih aktif, mandiri, kompetitif. Sementara wanita menjadi pasif, tergantung pada konformis. 33 Sejalan dengan itu, penelitian dari Wilen dan Liod (dalam Tanggela, 2012) yang mengemukakan bahwa kesulitan untuk berperilaku lebih banyak terjadi pada wanita (berdasarkan penelitian pada siswa tentang pengembangan perilaku asertif yang positif), karena secara sosial wanita telah dibentuk untuk submisif (tunduk dan mengalah), bersiakap baik dan tidak membuat masalah. Beberapa pandangan tentang pria dan wanita lebih cenderung menunjukkan sifat pasivitas, sangat emosional atau tempramental dan subjektivitas. Pria dipandang menunjukkan sifat-sifat maskulin, seperti; mandiri, bertindak secara aktif, kecendrungan agresi dan pola pikir analitis. Berdasarkan hasil-hasil penelitian diatas, perbedaan kemampuan untuk berperiaku asertif pada pria dan wanita, misalnya pria lebih berterus terang dalam menyampaikan pendapat, walaupun yang bersifat negatif kepada orang lain, karena mereka tidak menganggap bahwa hal itu dapat menyakiti orang lain. Namun sejalan dengan perkembangan jaman, kemungkinan besar akan mempengaruhi budaya dan norma-norma yang berlaku di masyarakat "wanita sama/ sederajat dengan pria" karena itu, peneliti beranggapan bahwa pria lebih asertif dibandingkan wanita patut diuji kembali kebenarannya. 2.6 Hubungan Emotional Intelligence Dan Self Concept Terhadap Perilaku Asertif Mahasiswa (laki-laki dan perempuan) Di UKSW Sumber daya manusia merupakan bagian dari sumber daya alam dan lingkungan, atau dengan kata lain bahwa sumber daya 34 manusia sangat erat hubungannya dengan sumber daya alam. Kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh kualitas sumber daya alam dan lingkungan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diupayakan melalui pembangunan, baik fisik maupun non-fisik. Pembangunan non-fisik meliputi pendidikan dan peningkatan kemauan dan kesadaran. Peningkatan pembangunan pendidikan umumnya, dan pendidikan, akan menghasilkan produk – produk teknologi untuk digunakan mengelola sumber – sumber alam lingkungan dalam rangka pembangunan fisik sumber daya manusia, seperti yang dikatakan oleh Gade, (2013). Sementara itu, Hisyam, (2007: 3) mengatakan bahwa pengembangan sumber daya manusia secara global, sebenarnya dapat dilihat dari dari dua aspek, yaitu kuantitas dan kualitas. Pengertian kuantitas menyangkut jumlah sumber daya manusia. Kuantitas sumber daya manusia tanpa disertai dengan kualitas yang baik akan menjadi beban organisasi. Hal tersebut sejalan dengan Gade, (2013: 2), yang menjelaskan bahwa mutu sumber daya manusia mempunyai berbagai kualitas seperti kemampuan, baik kemampuan fisik maupun kemampuan non fisik (kecerdasan dan mental. Berdasarkan survei The Political and Economic Risk Gonsultancy (PERC) disimpulkan bahwa sistern pendidikan di Indonesia berada di urutan ke 12 di Asia (paling bawah di ASIA). Urutan pertama dan kedua masing - masing diduduki Korea Selatan dan Singapura. Di Indonesia dalam hal peningkatan kualitas SDM yang beracuan pada MDG‟s (Millennium 35 Development Goals). Hal tersebut dikenal Sasaran Pembangunan Millenium, pemerintah menfokuskan membuat program-program untuk peningkatkan pendidikan seperti anggaran yang ditingkatkan hingga 20% dari APBN. Ada dua strategi untuk peningkatan kualitas SDM Indonesia menjadi SDM yang unggul yang di mana kedua strategi tersebut nantinya saling interaktif satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan; Pertama, menciptakan pendidikan yang berkualitas, yang dimanifestasikan dengan pemerataan pendidikan, perluasan akses ke perguruan tinggi, dan penyediaan infrastruktur pendidikan yang layak. Kedua, perbaikan status kesehatan untuk terwujudnya SDM Indonesia yang produktif. Hal ini dilakukan dengan memberikan pelayanan kesehatan mendasar yang merata terhadap seluruh masyarakat Indonesia, oleh Gade, (2013: 3). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi suatu hal yang penting dan harus menjadi perhatian dari semua pihak. Pengembangan sumber daya manusia kususnya pada mahasiswa yang dilakukan di indonesia menurut, Kwik Kian Gie (dalam Ruhana, 2012) yang menekankan perlunya Indonesia memberikan prioritas investasi yang lebih tinggi pada upaya pembangunan manusia, hal ini dapat dimulai dari sekolah dasar sampai kampus. Dalam perkuliahan terdapat juga berbagai masalah yang dialami oleh mahasiswa. Antara lain mahasiswa yang kesulitan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Ketika berinteraksi dengan orang lain, mahasiswa merasa tidak diterima di 36 lingkungannya, dikucilkan, karena pola pikirnya berbeda dengan orang lain atau merasa tidak bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya sehingga individu tersebut merasa terasingkan. Lemah dalam berkomunikasi dan gagal untuk mengungkapkan pendapat atau apa yang ada di pikiran seseorang akan membuat individu tersebut merasa tertekan dan menimbulkan masalah dalam berhubungan sosial dengan orang lain. Kemampuan berkomunikasi dan penyesuaian diri yang baik dan efektif terutama sangat diperlukan oleh para mahasiswa. Hal ini sesuai dengan salah satu tugas perkembangan pada masa mahasiswa yang tersulit yaitu yang berhubungan dengan penyesuaian sosial, dalam Hurlock dkk, (1980). Terdapat beberapa pandangan tentang pria dan wanita, menurut Bosman (dalam Hadi, 1994) menyatakan bahwa wanita lebih kohesif, lebih terbuka, dan tampa malu - malu berhubungan dengan sesama anggota dibandingkan dengan pria. Selaras dengan pendapat tersebut, menurut Nashori (2003) wanita lebih cenderung menunjukkan sifat pasivitas, sangat emosional atau tempramental dan subjektivitas, sedangkan pria dipandang menunjukkan sifat sifat maskulin, seperti mandiri, bertindak secara aktif, dan pola pikir analitis. Sementara itu, Rakos (1991) berpendapat bahwa perilaku asertif yaitu kemampuan seseorang menyatakan diri, pandanganpandangan dalam dirinya, keinginan dan perasaannya secara langsung, spontan, bebas, dan jujur tanpa merugikan diri sendiri dan melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang berperilaku 37 asertif mampu menghargai hak diri sendiri dan orang lain, bersikap aktif dalam kehidupannya untuk mencapai apa yang diinginkan. Sementara itu, Fensterheim & Baer (dalam Furham, 2000) mengungkapkan beberapa karateristik individu yang memiliki perilaku asertif yang tinggi, antara lain merasa bebas untuk menampilkan dirinya, dapat berkomunikasi dengan baik secara terbuka, langsung, jujur, dan tepat, memiliki orientasi aktif dalam kehidupan untuk mencapai apa yang diinginkan, dan memiliki kecerdasan emosi yang baik. Sementara itu, perilaku asertif menurut Rini (dalam Herni, 2009: 5) merupakan suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan oleh orang lain. Namun, dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Saat bersikap asertif, seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan atau pun merugikan pihak lainnya. Ciri – ciri individu yang memiliki perilaku asertif menurut Sumihardja (dalam Prabowo, 2000) mempunyai pengucapan verbal yang jelas, spesifik dan langsung mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang lain, mampu menempatkan diri pada tingkat yang sesuai dan mampu mengontrol diri yang sehat dan wajar. Sebaliknya, orang yang kurang asertif adalah mereka yang memiliki ciri - ciri a). terlalu mudah mengalah/ lemah, b). mudah tersinggung, cemas, c). 38 kurang yakin pada diri sendiri, d). sukar mengadakan komunikasi dengan orang lain. Mahasiswa dituntut untuk mengembangkan perilaku asertif secara efektif dalam interaksi sosial di dalam lingkungannya, terutama dalam interaksi sosialnya dalam situasi akademis. Ninggalih, (2011), akibat dari non-asertifan individu antara lain: membiarkan orang lain mengambil manfaat dari kondisi yang sedang di alami, berperilaku agresif terhadap orang lain bahkan tidak menerima kehadiran orang lain dengan sikap terbuka, kedua belah pihak yang berkomunikasi tidak merasa nyaman ada yang merasa ingin menyakiti lawan bicaranya dan tidak ada yang merasa disakiti hatinya, akan ada pihak yang merasa disalahkan dan dihina oleh keberadaan emosi negatif yang dirasakan oleh lawan bicaranya. Pentingnya meneliti perilaku asertif pada mahasiswa karena apabila seorang mahasiswa tidak dapat berperilaku asertif, maka dimasa yang akan datang (dalam pekerjaan atau organisasi kemasyarakatan) mahasiswa tersebut akan merasa merasa rendah diri dan tidak berani mengemukakan perasaanya dan pendapat kepada orang lain. Menurut Made & Awaluddin (2008) karena perilaku asertif sangat penting bagi mahasiswa, apabila seorang mahasiswa tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku asertif atau bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun tidak, mahasiswa ini akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi individu yang bebas dan akan selalu berada dibawah kekuasaan orang lain. Alasan seorang 39 mahasiswa tidak dapat berperilaku asertif adalah karena mereka belum menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Penelitian - penelitian tentang perilaku asertif menunjukkan adanya perbedaan antara yang asertif dan yang tidak asertif hal ini menurut Shosheva, (2010) menyebutkan adanya perbedaan mekanisme pertahanan diri yang dipakai oleh kelompok asertif dan tidak asertif. Menurut Shosheva, (2010) kelompok asertif lebih banyak mernakai intelektualisasi, rasionanilasi yang menandakan bahwa mereka lebih mampu mengatasi konflik dan kecemasan dengan cara yang efektif dan dapat diterima oleh lingkungan, sedangkan pada kelompok tidak asertif cenderung menggunakan mekanisme pertahanan diri yang primitif, tidak efektif dan tidak adaptif yaitu proyeksi, denial, represi, tidak melakukan sesuatu, dan kompensasi berupa perusakan objek atau perusakan diri sendiri. Sehingga, dengan penyesuaian sosial yang baik dengan sendirinya akan membawa seseorang pada kualitas hidup yang baik pula, karena dengan perilaku asertif akan meningkatkan penyesuaian sosial yang baik, di samping itu perilaku asertif akan mengurangi kemungkinan seseorang untuk ierserang hipertensi. Hasil penelitian lainnya dari Kaplan dan Sedney (dalam Tanggela, 2012) mengemukakan bahwa pria lebih mempunyai perilaku asertif dari pada wanita, hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan masyarakat yang membuat pria lebih aktif, mandiri, kompetitif. Sementara wanita menjadi pasif, tergantung pada konformis. Sejalan dengan itu, Wilen dan Liod (dalam Tanggela, 40 2012) yang mengemukakan bahwa kesulitan untuk berperilaku asertif lebih banyak terjadi pada wanita (berdasarkan penelitian pada siswa tentang pengembangan perilaku asertif yang positif), karena secara sosial wanita telah dibentuk untuk submisif (tunduk dan mengalah), bersiakap baik dan tidak membuat masalah. Beberapa pandangan tentang pria dan wanita lebih cenderung menunjukkan sifat pasivitas, sangat emosional atau tempramental dan subjektivitas. Pria dipandang menunjukkan sifat-sifat maskulin, seperti; mandiri, bertindak secara aktif, kecendrungan agresi dan pola pikir analitis. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku asertif, salah satunya emotional intellegence (kecerdasan emosi). Dusseldorp, dkk (2010) kecerdasan emosional atau emotional intelligence merupakan syarat atau kunci untuk mencapai/ memiliki rasa sensitivity, empati, kreativitas, self-awareness, selfcontrol and assertiveness (assertivitas). Kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali emosi diri dan emosi orang lain serta mampu mengelolanya dengan baik sehingga tercapai tujuan-tujuan hidupnya dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Cooper dan Sawaf (dalam Nurita, 2012: 3) berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Menurut Ciarrochi, Forgas, dan Mayer (dalam Retnaningsih dan Nugrohowati, 2007: 4) seseorang yang memiliki kecerdasan 41 emosi akan mampu mencapai aktualisasi diri, berguna dalam hubungan sosial, berguna dalam segala aspek pekerjaan yang berkaitan dengan kelompok kerja, berguna untuk membantu seseorang menjadi lebih sehat dan sejahtera dalam kehidupannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agestin dan Widyarini, (2006) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang significant dengan arah positif hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan terdapat sumbangan kecerdasan emosi terhadap remaja di SMA di semarang yaitu 82% remaja dan terdapat 17% yang menunjukkan tidak ada hubungan yang berarti antara kecerdasan emosi dengan perilaku asertif. Semakin tinggi kecerdasan emosi semakin tinggi pula perilaku asertif pada remaja SMA di Semarang. Selain itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi munculnya perilaku asertif, salah satunya yaitu konsep diri. Menurut Rathus dan Nevid (1983), yaitu, pola asuh orang tua, jenis kelamin, kebudayaan, konsep diri, self esteem, usia. Oleh karena itu, konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu, termasuk dalam perilaku asertif. Seseorang yang memiliki konsep diri yang baik akan lebih asertif dalam berinteraksi dalam lingkungannya. Dalam suatu kesempatan, Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1992: 9), konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri merupakan kesan individu terhadap diri secara 42 keseluruhan, mencakup pendapatnya tentang diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat tentang hal-hal yang dapat dicapai (Burns, 1998: 75). Hasil penelitian dari Hergina, (2012: 9) menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan perilaku asertif pada siswa MAN Wonokromo. Semakin tinggi konsep diri pada siswa maka semakin tinggi perilaku asertif yang dimiliki, sebaliknya semakin rendah konsep diri pada siswa maka semakin rendah perilaku asertif yang dimiliki. Konsep diri memberi sumbangan efektif sebesar 11,8% dalam mempengaruhi perilaku asertif siswa MAN Wonokromo, sedangkan sisanya 88,2% faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku asertif. Berdasarkan kategori kedua variabel penelitian dapat disimpulkan bahwa mayoritas skor subyek penelitian, pada perilaku aserti terdapat mayoritas subyek (89,21%) termasuk dalam kategori sedang dan pada variabel konsep diri terdapat mayoritas subyek (58,82%) termasuk dalam kategori sedang. Hasil penelitian lain dari Landazabal, (1999) kepada anak-anak di SMA di Provinsi Guipúzcoa, Spanyol Utara tentang dampak perilaku asertif pada perilaku membantu atau menolong pada teman sekelas dikucilkan dan apakah perilaku asertif dipengaruhi oleh konsep diri anak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1)terdapat peningkatan secara signifikan terhadap konsep diri (82 % dari jumlah anak-anak dalam kelas), terutama dalam kaitannya dengan karakteristik afektif dan karakteristik sosialisasi, dan (2)Terdapat penurunan yang signifikan (79% tingkat 43 penurunan) dalam perilaku yang pasif, dan meningkatnya perilaku asertif dalam berinteraksi dengan sahabat lain dalam segala situasi sosial. Akan tetapi, penelitian lain dari Partosuwido (1993), individu yang memiliki perasaan rendah diri, cemas, dan mudah terpengaruh dikatakan memiliki konsep diri yang negatif. Hal ini terlihat dari hasil penelitiannya yang menunjukkan konsep diri tidak terlalu atau tidak signifikan mempengaruhi perilaku asertif (hanya 23%). Konsep diri dapat mempengaruhi perkembangan perilaku asertif individu. Individu dengan konsep diri negatif memiliki kecemasan ketika mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga akan menghambat individu tersebut untuk berperilaku asertif kepada orang lain. Individu dengan konsep diri negatif akan merasa dirinya tidak berharga dan tidak diterima oleh lingkungan, sehingga cenderung tidak berani mengambil resiko, oleh Partosuwido, (1993). Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang emosional intelligence dengan perilaku asertif, belum banyak yang meneliti hubungan antara emosional intelligence dengan perilaku asertif, kususnya pada lingkungan akademis di kampus dan juga pada mahasiswa. Selain itu juga penelitian-penelitian sebelumnya belum banyak yang meneliti perbedaan pada pria dan wanita dan masih secara umum pada siswa sekolah dan remaja saja. Sejalan denga itu, berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang self-concept dengan perilaku asertif, belum banyak yang meneliti hubungan antara self-concept dengan perilaku asertif pada 44 mahaiswa, masih secara umum meneliti pada individu dan tidak spesifik pada pria dan wanita. Sehingga peneliti ingin meneliti lebih spesifik kepada mahasiswa pria dan wanita. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang perilaku asertif dan jenis kelamin, perbedaan kemampuan untuk berperiaku asertif pada pria dan wanita, misalnya pria lebih berterus terang dalam menyampaikan pendapat, walaupun yang bersifat negatif kepada orang lain, karena mereka tidak menganggap bahwa hal itu dapat menyakiti orang lain. Namun sejalan dengan perkembangan jaman, kemungkinan besar akan mempengaruhi budaya dan norma-norma yang berlaku di masyarakat "wanita sama/ sederajat dengan pria" karena itu, peneliti beranggapan bahwa pria lebih asertif dibandingkan wanita patut diuji kembali kebenarannya. 2.7 Kaitan Antara Variabel (4) perbedaan Jenis kelamin (2) pengaruh emotional intellegence ? Perilaku asertif (1) korelasi self-concept (3) pengaruh Jenis kelamin (5) perbedaan (6) perbedaan 45 2.8 Hipotesis 1. ada hubungan yang positif antara emotional intelligence dan self concept terhadap perilaku asertif pada mahasiswa Fakultas Psikologi di UKSW 2. ada pengaruh interaksi antara emotional intelligence dan jenis kelamin terhadap perilaku asertif pada mahasiswa Fakultas Psikologi di UKSW 3. ada pengaruh interaksi self concept dan jenis kelamin terhadap perilaku asertif pada mahasiswa Fakultas Psikologi di UKSW 4. ada perbedaan yang signifikan emotional intelligence ditinjau dari jenis kelamin 5. ada perbedaan yang signifikan self concept ditinjau dari jenis kelamin 6. ada perbedaan perilaku asertif ditinjau dari jenis kelamin