PENDAHULUAN Dengan semakin terbatasnya jumlah ikan dan produk perikanan lain yang dapat ditangkap langsung, usaha budidaya menjadi alternatif untuk memenuhi permintaan akan produk perikanan yang semakin meningkat. Dewasa ini sebagian besar usaha budidaya udang terpusat di dua wilayah, yaitu Asia dan Amerika Latin. Indonesia merupakan salah satu negara produsen terbesar, berada pada urutan ke-6 di tahun 2004. Pada awalnya, jenis udang yang dibudidayakan didominasi oleh udang windu (Penaeus monodon) dan P. margueinsis. Akan tetapi, produksi udang putih (Litopenaeus vannamei) semakin meningkat dan mulai menggantikan jenis yang lain. Menurut FAO (2006), produksi L. vannamei meningkat sebesar 120% antara tahun 2002-2003. Permintaan yang meningkat pesat untuk komoditas ini telah memaksa petani untuk mengintensifkan usaha budidaya untuk meningkatkan produksi. Walaupun dapat meningkatkan produksi, usaha budidaya intensif telah menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan bagi para petani akhir-akhir ini karena masalah penyakit. Kondisi budidaya yang intensif, seperti padat tebar tinggi, akumulasi bahan organik sisa pakan yang berlebih serta sisa udang yang mati, serta penggunaan senyawa anti mikroba yang berlebih, menyebabkan timbulnya penyakit yang berakibat kematian massal udang. Di Asia, kematian massal pada udang yang dibudidayakan akibat White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Yellow Head Virus (YHV) telah menyebabkan kerugian sekitar $1 milyar per tahun sejak tahun 1994 (Lightner et al. 1994). Di Indonesia sendiri, penyakit yang berasosiasi dengan Vibrio spp. dan virus merupakan masalah utama pada budidaya udang. Komunitas bakteri diduga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan dan kemampuan bertahan hidup hewan akuatik. Adanya perbaikan pertumbuhan ini diduga berkaitan dengan komunitas bakteri yang hidup berasosiasi. Peranan komunitas bakteri ini pada udang belum diketahui, tetapi diduga pengaruhnya cukup signifikan bagi kelangsungan hidup inang. Bakteri dapat membantu nutrisi inang baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memproduksi enzim-enzim pencernaan dan senyawa esensial. Keberadaan komunitas bakteri juga dapat mencegah bakteri oportunis untuk berproliferasi dan mengkolonisasi tubuh udang, dan ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada tahap larva di mana sistem imunitas belum berkembang sempurna (Vanbelle et al. 1990). Sampai saat ini, beberapa penelitian mengenai komunitas bakteri yang berasosiasi dengan udang telah dilakukan untuk berbagai tujuan, sebagian besar adalah untuk mendapatkan galur yang potensial untuk probiotik dan galur yang berasosiasi dengan suatu penyakit (Colorni 1985, Hameed 1993, Straub & Dixon 1993, Vandenberghe et al. 1999, Makridis et al. 2000). Akan tetapi seluruh studi di atas melakukannya dengan metode kultur sehingga hanya jenis-jenis bakteri yang dapat dikulturkan yang terwakili. Padahal, sebagian besar bakteri yang hidup di lingkungan adalah bakteri yang tidak dapat ditumbuhkan pada medium artifisial di laboratorium (Amann et al. 1995). Dari bakteri keseluruhan bakteri yang hidup berasosiasi dengan hewan akuatik yang teramati dengan mikroskop, hanya sebagian kecil yang dapat dikulturkan (Van Elsas & Van Overbeek 1993, Wagner et al. 1994). Oleh karena itu, metode kultur tidak dapat menggambarkan keanekaragaman yang sebenarnya dari komunitas bakteri. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menganalisis DNA atau RNA yang diisolasi langsung dari contoh lingkungan. Beberapa teknik dapat dilakukan, antara lain yang menggunakan gen penyandi 16S rRNA sebagai penanda molekuler seperti ARDRA (Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis), DGGE (Denaturing Gradient Gel Electrophoresis), dan T-RFLP (Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism). Teknik T-RFLP merupakan salah satu pendekatan molekuler terkini yang dapat menduga adanya perbedaan genetik yang rumit antar galur dan memberikan pengertian yang mendalam tentang struktur dan fungsi suatu komunitas mikroba. Pada teknik ini yang diukur adalah polimorfisme ukuran dari fragmen hasil pemotongan enzim restriksi pada ujung produk PCR (TRF, Terminal Restriction Fragment). T-RFLP dapat digunakan untuk melihat secara kuantitatif perubahan pada komunitas mikroba karena kemelimpahan relatif suatu populasi dalam komunitas dapat dibandingkan antar sampel dengan perlakuan yang berbeda atau diambil pada waktu yang berlainan. Teknik ini telah digunakan untuk analisis mikrobiota pada manusia (Hayashi et al. 2002, Jernberg et al 2005). Dari beberapa studi tersebut, T-RFLP terbukti merupakan alat yang baik untuk memonitor perubahan sidik jari komunitas mikrobiota sesuai waktu atau perlakuan. Teknik ARDRA merupakan teknik yang lebih diskriminatif daripada T-RFLP karena ARDRA menganalisis seluruh bagian gen 16S rRNA yang teramplifikasi. Akan tetapi teknik ini memiliki kelemahan dalam hal konsumsi waktu dan banyaknya tahapan kerja yang harus dilakukan. Selain itu, untuk mendapatkan hasil yang konsisten diperlukan jumlah pustaka gen 16S rRNA yang cukup besar agar filotipe-filotipe dalam suatu komunitas dapat terwakili. Akibatnya biaya yang diperlukan juga lebih besar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika populasi pada komunitas bakteri yang berasosiasi dengan tahapan-tahapan perkembangan larva udang putih (L. vannamei). Dengan demikian dapat diperoleh informasi mendalam mengenai keragaman bakteri yang berasosiasi dengan tahap-tahap perkembangan larva, struktur komunitasnya selama perkembangan larva, dan pembentukan komunitas bakteri ini. Selanjutnya data yang diperoleh dapat menjadi basis bagi penelitian selanjutnya untuk lebih memahami interaksi antara mikroba dan inang serta pengaruh perlakuan tertentu terhadap komunitas bakteri yang berasosiasi dengan larva udang putih.