sBlEpuv sEllsraAlu[I DIIsId uEsnrn{ acle-Kr14 p, 1 I gsnl d"r.roba61 EJlnd uErpJV :Jolrpg z- Es 6T - 9Z- 6 L6- B L6 NSSI II0Z raqot{O SI '8uepe4 rr0z [vngr{s] SV'IVONV SVTISUENINN VXISIC ]VNOISVN HVNI hIgS SNXffigSffiHd wl rscll^€6 uu}ed€cJad 8u€lurq uee{nrurad €p"d mgeqas us{srFllp Jlt{a3a ledup aa uap 'a n'IIf JoDIoA u>1eur 'rnlng quJg usp IBIpel qeJ€ tu"lBp u€n]ES loHaA ge4edruaru (r) z @)v '9.uts t\0)AzU1- Wg-= ua Wg W9- ucSuap 'uY I teduel 1p qelsp? n1r Suelurq ueuqnnuad m8uqreq rp ptsualod tulru 'e.{uuuaJuI qolo '8ue1urq qnln>1 uet'al dy qcpp" rqr Suulurq qntq eped pnuatod €{utu '[ou FIIureq qnln{ qe-r"ep p lu8n;:ulues e"(e? uuarex '61 pru!]uio rped nrr Suelulq Irefaf (t)y uvp W p1ol €ss?ur ue8uap Suulrrtq qunqes nulurt elH un:{rcpuv 'uedetat - 4, rulr.d 'Jersualodtla quraep l{el"ps Sutlutq usPlnuuod 'upr 3ue{ equg epeda4 te{op qlqal uelrduel Eu?.il?{ uu11eun?rp 4efuaq qrqol e.(rmstlq eqJoU lepou ue8uaP ucl€{opued'eleJ-EIBJ quppe d ue1uep , d.ysstzt'a - nlre,i ulnurs{Brr lnpns u4cdaral uped 96 redccuaur uu4u ucqe eSnl leuolunbe gelbf uep qntnl Fsfef erstug ue8rnpueqred e,t^.quq ueqledupm uep 'rpel-ra1 uesuequrqasal utquqmed '(JB3a1 apuoq IsPqol rc8eqes deSSuerp Suctrrig) ueSp'ras 15 uuSuap rudecuotu ulnlaq?s uullquls{epilel rpuf:al eqco; I"poru cpgd 'rur rr:ln8uu uetudecel suleq *:U quppu (ru8a1 epuaq rseior deSSuerp) ue4e uduuaeplual (6002 .rapoury) dt C?6W'0 = lnpns uerudeca{ unutr${plu IEJIN 'r33up Sued rsetor epud tpuftal ne8ueqruilasa-'i eusrue){euI ueqeqrued 'utrn"lchtr Iapou tuup( 'rul Ispolu enpo)i elslue lolo3u?tu dnlinc Suud uuepoqrad ludr:pre11 '(dutei {epn 8ue,{ uutudu:aq) udulquqes uuduSSue.raq 8uu,{ 'aqco11 lapou uep dupl 8ue,t Sueprq ueledere>1 deS8ueSuau Sued 'uuna1ehtr lapour qeppu e,(uqo1uo3 'uc4Srreqruarltp qelet lsporu uderaqeq 'eue1 qefas pefutadtp q?pns rse]o:aq 8uc,( Suelurq epud uu8ueqtuqase{ arusrue{el4l 'Suuturq eped qn"re?uadraq dru1nc ISllJor c,!\qeq ue4lnlunuaru ru1 '(AOOZ .)lp{p tsepr tuorl$lg_; "re1od Irulef S'I redrnuaru ludrp uulqeq ufuee,"ttlsr1n1u1 uelef'i,33ur] pung f{g1uaur Sued Suerulg '(6OOZ ':apautr1) eduqnln:1 r-rufelSurpueqm Suelued qiqal tu\ t'IZ 'rung e8nl prades isu]or ruupSueru Suarul8 yuuolenbe uulel'rselor ieqpls €1(qsq Inqetall61 NYNTNHV(INfld 'sttUsoulunl'srg{ ueledere{'sliP{ ul?rpee{'3uelulq Isepr :i3un:i eiex 'tnpns ucledarel uep ussuur m8eqreq usp rseloJeq Suaurq-8ue1urq rnlnquaru Suadun:uad ue)plualtp qc1e1 'rndtutlral edu-uo1?urpgg selsq nsle def,ue1 e.dqlrqoga gsnrlerS ueludsc.rad 'ueur18unuro1 unp ltdep:el rut pr{ ruupq 'srur?urpouuel ueue>l?l rSueqrur8uour 8ue[ Jutol tsqr,ter8 e,{e8 rmupullo{ uu)ilssupJaq u€{nluoltp Suelurq ruBns squx uenpa>I 'lursuerrdrnba uueuusrad uelruseproq ris,;1llluallp edurqauloa8 uu4Suupas 'ru8a1 upueq le8eqes uelnlelradrp Suelurq tttt uttfel eped 'oqloU lepou rnlulau qsslallp lsrtoloq Srtt'lurq-Suelurq uped r^run{o{il uuguequrnesol rsern5guoy XYUIStrV uat7nu& 6st1sf,t1duo x1 : fima g np4Suag DpX unw17 Sunpuoy '17 n1nl9uag s,:trsral.fitn UUS!.1 untpqruad ryuS uttt.tSot4 uea\Bllas uB,lal $ilUX NYVOYtr)I YGVd ISYIOUSS CNYII{IS ITIJ,SHIOSO z- t 9 6l- s7T 6 L6-8 t6 NSSI I0Z r?qol\io E1 '3ucPe6 (VngNS) seppuv selrsralrull B{rs rC leuo rsB\J Jeu truas Sutptsor6 hosiding Seminar Nasional Fisika Universiras Andalas (SNFUA) Padang, 15 Okober20ll rsBN 978-9?9 -25 -1953 -2 [G"1 -''" . +orR(p)sin. 0le,+[otn1a;sin lcoslleu. rr 5,r=l - n(ef "'., "l e) I e Tscrerna von Zeipel nrenyatakan hubungan anlara fluks radiasi pada kolatitud d di permukaan bintang yang berotasi dengan percepatan gravitasi elbktif lokal (Maeder dan Meyner, 2000). Jika kita tinjau bintang yang berotasi seperti rotasi benda tegar, fluks radiasi dapat dituliskan sebagai F(O,d) =-ZYT({>,O), (3) dengan u lL _ 4acT3 - 3rp (4) tr(arena bintang berada dalanr keadaan barotropilg maka F(sr.a) =-#rrt{t,o)=-exffz"r. (s) Dengan demikian, dari hubungan antara luminositas bintang dan fluks radiasi, didapatkan (6) dengan M.=M { ( o' \ ll--::I, \ ZnGp,, ) tzi dan p,,, rapat massa rata-rata bahan pada permukaan bintang itu. Pada bintang yang berotasi, percepatar] ggavitasi total bintang men:pakan penjurrlahan beberapa percepatarl : percepatan gravitasi mumi, percepatan sentrifugal, dan percepatan oleh tekanan radiasi (Maeder dan Meylet, 2000). Hal ini dinyatakirn dalarr persamaan berikut E,u,=8"f *8rua =Es,+8,o, lEroa' dengan g,.,,, diberikan oleh 8,o,1 Faktor (8) r(d) ="L'r,^ p = adalah kekedapan bahan pada kolatitud K10)F d. Dengan memanfaatkan (e) persamaan (6) dan (B) didapatkan persarnaan berikuc (, bh,r=o o,r l r_nelttplf L ancGM. ). (t0) 145 I Prosiding Semi nar Na.si onai Fisika Universi tas Andalas (SNFUA) Padang, l5 Oktober 20i 1 ISBN 978-979:25-19532 Pada persamaan ini efek rotasi muncul pada geJ dan pada ungkapan di dalam kurung. Jika kita tinjau batas fluks secara lokal, laitu keadaan dengan gu, = trt&k? 9,,,,t - 0 [Maeder dan Meynet, 2000], -E"f . Batas fluks, oleh karena itu, diberikan oleh 4i,"(d) = ftys",ret. Dari persamaan ini. jika taktor Edington lokal fn(d) (11) didefinisikan sebagai nisbah (rasio) antara besarnya fluks sebenamya dengan besarnya fluks batas loi<al, maka didapatkan fo(d) = K@)L{P) ncGM(l- 0' 2nGp_ (t2) ) Jika bintang tidak rnengalarni rotasi (yakni jika f) bernilai 0), maka f" (d) akan sama dengan faktor Edington Globzrl f . Persamaan (10), selanjutnya, dapat ditulis sebagai g,o, = E,f [t - r" tBl] ( . 13) ini mengungkapkan bahwa pada bintang yang berotasi, percepatan gravitasi total dipengaruhi oleh percepatan gravitasi efeklif B"y (yang melibatkan ungkapan tentang Persamaan kecepatan rotasi bintang) dan oleh luminosita.s bintang. Melalui ungkapan pe!:sairaan (13), keadaan amban-e @ritical state) dapat diperkirakan. Pada keadaan kritis ini percepatan gravita-si torai lenyap sehingga tidak ada lagi percepatan atau gaya yang rnengimbangi tekanan termal dari dalam bintang. Akibatny4 bahan-bahan bintang akan lari fbuyar). Hal ini tentu saja mengakibatkan persarnaan (13) akan rnempunyai dua akar, yaitu g, -0atau fo(9)=1. Keadaan ini mengakibatkan adanya batas (limit) tertentu pada kecepatan rotasi bintang, selain bergantung pada beberapa parameter lain seperti massa bintang $uu = 0 juga akal memberikan adanya batas pada luminositas bintang sebagaimana dijelaskan di atas, yang disebut sebagai Batas Eddington (Meynet, 2008). dan jejari bintang. Keadaan Keadaan ambang g,l = 0 akan dinamakan keadaan arnbang pertama, sedangkan keadaan pada fo (d) = 1 , disebut keadaan arnbarrg kedua. Kedaan ambang 8,,, = 0 menurut persanman (2) diperoleh hanya pada wilayah katulistiwa (0 = tr /2). Keadaan ini rnemberikan ungkapan o2 = GM ----:- , (14) R"',*, u dengan R",*,u Seari-jari bintang di ekuator ketika keadaan kritis itu. Keadaan bintang yang berotasi dengan berbagai kecepatan sudut iniiah yang akan dibahas lebih lanjut. Prosiding Seminar Nasional Fisika U niversitas Andalas ( SN FUA) Padang, 15 Oktober20ll ISBN 97 8-979 -2s - t9 s3 _2 II.A.SIL DAN DISKUSI Kita tinjau kenrbali persaman permukaan bintang sebagai (i). Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai persalnaan claerah equipotensial, )akni n@\ t ?GM. =0. --3f,4 ()-R,, sin- d {l'sin' 0 R@f (I s) - ini memperlihatkan bahwa jejari bintang yang berotasi, sebagai fungsi sudut kolatitud, memen'uhi persamaan polinom pangkat tiga yang bergantung kepada"berbagai parameter : rempan gravitasi (G), massa bintang (nD, iejari polar (Rp), sirta parameter kecepatan rotasi bintang itu sendiri (O). Jika jejari bintang 1R(d)) dievahr:rsi pada semua Penamaan sudut kolatitud maka akan didapatkan trentuk penampang bintang yang berotasi. Memanfeatkan beberapa data yang menyebutkan tentang parameter-parameter di atas, penampang membujur sebuah bintang dengan kecepatan rotasi teftentu akan dapat digambarkan dengan terletrih dahulu menyelesaikan persamaan pangkat tiga untuk jejari bintang, persaman (15). Penamaan (15) dapat dirulis dalam bentuk R(d)3 -AR(0)+ B =0. (l 6) dengan 2GM ^ ^=-o?;Jin'? Persamaan ini ^ dan d D=-. zGM Cl'sin'd merupakan persamaan polinom pangkat tiga dengan paramater yang lebih sederhana, yang jika diselesaikan dengan metode Nen'ton-Raphson dan dengan ,rrenggi,nat an data pada Tabel 1, akan didapatkan jejari bintang R(9) pada kolatitud d. pJr6tungi"dengan cara itu rnenghasilkan Tabel 2, dengan Rjl G = 3,Bxi0-7 M,' rabel S2 1. Parameter-parameter Bintang Berotasi clengan Massa I M. [Roxburg 20041 !04 n {-l t.0 O"uD lu ftp r t.{IJ0 3.tl 4.t) fj.0l0 il-105 0.*5 i t.0t0 t. i{Js t"l-}? &r :0t lri8 .{.6 d.6ts.4 0-901 t.o0t8 [..1T0 t.5 t98 {} 38i 395 Ll4 0.?r:, il.?os 0.6J0 0"599 0.56i 0.5595 f*,'trc 0'91'l o.9 i9 c1964 r.035 t. t89 t.?26r llrllt,:, (J"gi.t CI.t(ll fi.$? I 0.83? 0.HF) 0"8{K? trrn fr,r 147 Prosiding Seminar Na^si onal Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 15 Okrober 201 I ISBN 978-979 :25 -19 53 -2 'fabet 2. Jejari Bintang I M- dengan o' Rp e 1.Oiit-sB Lr.90g Iti 0. 1,0&i-$6 rj,909 2D *.1 1 696 1"0c1.-N,8 0,909 1,0ci, t 8 c,909 1,o$!-0$ 0,909 I.OA[-fiti n qnq i.r-16; ' 1ig Cr.9fig 1,1ril.[-DS L-r,9fl9 r ,'rft! n 0 c_g0g{ rinl Cirl14 b0 I A 2774.rt98 2521.8';&a 10+ rad/s. R x Y 0"9081 0.15?8 0,8954 714"8?13 649,7726 0.91 c.3112 o8ss1 1c. 334,433d 304,0000 0.911: $,.1556 0,7891 q1rq17 302,S50? 183,9454 0,9t27 0"5867 0"6991 o 55676 t4?,d9:6 l'iq (1q.? 0,9143 0.7004 s.5870 $.7!1996 1.11.4844 101,J393 o.9158 0.7911 o,4579 G.gs30? 94.5844 66,068: 0.9171 c,8618 0,3136 b98l 86.f,O91 78..16{f o.91,?9 c"5039 o.t593 I 81,6t)8'r 16.00':11 0,9x82 r1.918? 0.0000 ti ,xs O fl O, O.5 gi"'I Dari Tabel 2 diperoleh tampang bujur bintang tenetrut. sebagaimuna diperliharkan Gambar pada 1 .{l t Gambar 1. Tampang bujur Bintang berotasi I tri M- 'I ? r-rl x dengan f) = l0+ rad/s. Hasil perhitungan untuk bintang bermassa i M., dalarn berbagai kecepatan sudut rotasi diberjkan oleh Gambar 2. Untuk Bintang 1 M., dengzur kecepatan sudut rotasi O = 4,6 x IOa rad/s didapatkan bentuk penamparg bujur yang melancip sepanjang lingkar katulistiwa, kecepatan rotasi ini merupakan kecepatan yang mendekati kecepatan sudut lsitis. Terlihat bahwa peningkatan kecepatan sudut rotasi akan menybabkan terjadinya perubahan penampang bintang, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2. lCR c Prosiding Seminar Nasional Hsika Universitas Andalas (SNFUA ) Padang, 15 Oktober 201 1 rsBN 97 8-979 -25 -t 9 53 -7 i;;'o-",*, li +ll=5<104 radb + i3.1'{1if4 r.:#: + Ll-ldxlU4radls -t.t -1.2 {' -0.8 €r' Ganrbar 2. Penampang Bintang I 0 M.. oA 0.8 dengan variasi nilai Cl 12 O Untuk bintang berotasi dengan massa yang yarrg lain did:rpatkan bentuk tar,..:lpang tiujur sebagaimana pada gambar 3 dan gambar 4.5 ! 4 ;r-.r l + + l-r-r r-rr r-r-r-r i r-- I l-t-."1-I-.|-r.i l"l--t-. r I-l -l-r't-1- I-.1. O =0.DxlO4 racf r *L+ r -r i;-1rr i[r 'iaril: fF1,7xt0{ ridit rF1.&lnltrorafls L-- -- i..1.--l--.t., l.- ..1 LL. L .? -l- -)- I t -i-1, J-l -l--t- 4 Gambar 3. Penampang bintang 5 -1 M- -1,-1., l-,i-..1-U--f,-1 _l-]l,Ll_ gr2x4 1... l -l-,.1-r_,t_. x untuk beberapa Q o t 149 Prosiding Seminar Na-si onal Frsika Universita-s Andalas (SNFUA) Padang, 15 Oktober 201 I ISBN 978-979-25-1953-2 + -* + f:=1x104 md/s i:1. I .3< I 0r r..r ;r:; {}1.45-110{r;]1/s Garntrar 4, Penampang bintang l0 M,. untuk beberapa nilai fl Dari beberapa gambar diatai; terlihat bahwa, meningkatnya kecepatan rotasi akan merubah kesetirnbangan bintang, yang ditandai dengan penurunan jejari polar dan meningkatnya jejari katulistiwa. Pada Gzrnrbar (3) dan (4), didapatkan bentuk pena*pang Uu3ur Uintang Vong semakin rnelancip di katulisti*a kalena seiring peningkatan kecepatin sudut -rotasi. Penampang bintang yang paling lTrelancip pada ujung-ujungnya ini merupakan penampang bintang dengan kecepatan rotasi yang sudah mencapai kecepatan kritis, ini oapaidibuktikun dengan riilai perbandingan antara iejali equatorial dan.iejari polar yang telah rnencap ai 3/2. Geometri Bintang Pada Kecepatan Sudut Ambang Meningkatnya kecepatan rotasi akan menengaruhi kesetirnbangan bintang. Jika kecepatan rotasi mencapai nilai ambang, maka jejari bintang dikatakan juga pada keadaan ornLung. Persamaan jejari bintang pada kecepatan ambang dapat ditutiskan menjadi 2GM ?.GM. =o &(d)'- o;Rp.r sin2 o R,(oltf, \ / Qjsin'zg (17) dengan Rr(d) jejari jejru-i biniang pada keadaan hitis, k kecepatan sudut bintang pada keadaan ambang, sefta R,,.r jejari polar pacla keadaan amb:mg. Jika kita gunakan ungkapan pada persamaan (14), naka persamaan (17), dapat dituliskan rnenjadi R, ( 0 " 27R2, 91 0 )' _ __4rn, 4sin- 1 27R3. a_ ____J:!_ 4sin2 0 = 11 ( 18) ini diselesaikan clengan rnetode yang sama dengan yang sebelunrnya, dengan terlebih dairuiu me.nenlukan niiai Rn*. Ungkapan untuk Ro.r clidapatkan dari penamaan (14) Persamaan r50 & Prosiding Scminar Nasional Esika Uni vcrsiras Andalas (SNFUA) Padang, 15 Oktober 201 I lsBN 978-979 -25 _1953 _2 dan bantuiur data-data yang diperoleh tlari (Meynet and Maeder, 1996). Hasil-5asuj perhitungan untuk beberapa variasi massa bintang diperlihatkan pada Gambar -5, 6, dan 7. !F ,t it:4 :/ {/ /: ""-'l"':...'. :\ : -t' : -4 E _+_20?4x Garnbsr 5. Penampang binrang 9 M,, rlengan Or = 1,6g4 x l$a rad/s -z -4 .t { -{ { Gamtr:rr 6. Penampang bintang Z0 I r .{ E Ir M,: dengan Or = i,2g x l0+ rad/s v l5t Prosiding Seminar Na^si onal Fisika Universita"s Andalas (SNFUA) Padang, 15 Olaober 201 I rsBN 978-979-25-19s3-2 'ttr b' '!s f -15 -10 x Gambar 7. Penampang bintang 60 tI M- dengan Qr = 8,26 x 10-5 raclls Dari beberapa gambar terlihat bahwa pada keadaan kritis, dengan kecepatan rolasi bintang yang juga trerada pada kecepatan ambang. bentuk penampang bintang akan memipih. dengan ujung-ujung pada daerah khatulistiwa berbentuk l:ncip. Keadaan seperti ini disebabkan karena pada keadaan kritis. Di daerah katulistiwa gravitasi ef'ektif yang bernilai nol, sehingga materiai daiam bintang yang sebelumnya berada dalam kesetimbangan hidrostatik (tekanan hidrostatik diimbangi oleh gravitasi), akan menuju keiuar, karena tidak ada lagi gaya gravitasi yang menahannya. Keadaan Ambang Kedua Keadaan Ambang kedua didapatkan ketika nisbah Eddington local, ln,r,,, pada persamaan (13) bernilai 1. Sehingga persamaan (12) dapat dituliskan menjadi K\e)Lg) _l 4ncGM 62 (1e) ZnGp,, Melalui penamaan ini. dapat ditunjukkan bahwa luminositas pada bintang yang berotasi bergantung pada suku kedua ruas kanan persamaan (19), sehingga kecepatan rotasi bintang memenuhi fJ2 *"o"' a * Dengan menggunakan ungkapan p,,, = M lV , dapat ditunjukkan bahwa (20) Prosiding Seminar Nasional Fisika Uni versitas Andaias (SNFUA) Padang, 15 Olrtober 201 I ISBN 978-97925:1953-2 2nGM s)'<_ v Q1) Persamaan (2i) menunjukkan bahwa, untuk menjamin keberlangsungan luminositas pada bintang yang berotasi, maka kecepatan rotasi bintang tersebut harus lebih kecil dari hasil kzrli antara besaran 2r dengan tetapan gravitasi umum G dan kerapatan rata-rata pennukaan bintang yang ditinjau. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kecepatari rotasi bintang juga memengaruhi luminositas atau kecerlangan bintang, nilai kecepatan rotasi ini dibatasi oleh suku kedua ruas kanan persamaan (21). Inilah yang disebut sebagai keadaan kritis kedua. KESIMPULAFI Kecepatan sudut rotasi bintang berpengaruh besar pada bentuk tampang bujur bintang itu. Terdapat dua macam ambang bagi kecepatan sudut rotasi bintang. Tampang bujur bintang pada kecepatan ambang pertama sangat khas. Jika kecepatan sudut rotasi bintang melampaui kecepatan ambang penama, maka kesetimbangan hidrostatis pada bintang akan dilanggar, yakni tidak ada lagi kesetimbangan hidrostatik. Keadaan ambang kedua dicapai pada saat kecepatan rotasi bintang sebanding dengan 2idlNW. Jika kecepatan kritis pada keadaan kritis kedua dilarnpaui, maka bintang akan "padam", yakni luminositasnya nol. DAFTAR PUSTAKA Ekstronr, S, Meynet G, Maeder, A, Barblan F. 2008. Evolution Towards the Critical Limit and the Origin of Be Stilrs. arXiv :07 I I. 173 5v l. Ivlaeder. A. 2009. Physics, Fonnatiott an.d Evoluticn oJ'Rotating Slrzrs. Springer. Verlag Berlin Heidelberg, Germany. Pp. 22-80. Maeder, A, Meynet, G. 2000. The Eddington and O-Limits. the rotational mass loss for OB and LBV stars. Asfronorn-v & A,strophrysics, 361 159-1ffi (2000). Meyret, G. Maeder, A. i996. The Computational Method and Inhibiting Effect of the trrGradi ent. Astronomry & Asn'op hlts ics. 321, 465-47 6 (1997). Meynet, G. 2008. Physics of Rotation in Stellar Models. arXiy:0801 .2944 ,- I . Roxburgh. i.W. 2004. 2-Dimensional Models of Rapidly Rotating Stars, Unifbrmly Rotating 7.ero Age Main Sequence Stars. Astronomy & Astroplrysics, 42B, 171-179 (2004). r53