BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkaca dari sebuah kehidupan sosial di dalam masyarakat yang sempurna, tentunya setiap individu ingin memiliki sebuah hubungan yang baik, berasal dari dalam diri maupun dari lingkungan luar. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana seseorang menghargai dirinya dalam setiap kejadian yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari, tidak terkecuali individu dengan memiliki keterbatasan fisik yaitu tuna rungu. Individu yang mengalami cacat fisik adalah orang yang kurang lengkap atau yang kurang sempurna tubuh atau badannya, dengan kata lain orang yang secara tidak normal memiliki fungsi-fungsi fisik. Tuna rungu secara medis adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran (Suryana, 1996). Menurut Van Oden (dalam Revi, 2008) bentuk komunikasi pada anak tuna rungu dan tuna wicara tidak berbeda dengan bentuk komunikasi anak yang mendengar, yaitu dapat dibedakan antara bentuk komunikasi ekspresif dan bentuk komunikasi reseptif. Komponen komunikasi ekpresif meliputi bicara, berisyarat, berejaan jari, menulis dan memimik. Sedangkan komponen komunikasi reseptif meliputi membaca ujaran, membaca isyarat, membaca ejaan jari, membaca mimik serta pemanfaatan sisa pendengaran dengan alat bantu. Komunikasi tersebut digunakan dengan menggunakan kode yaitu cara verbal dan non verbal (Revi, 2008). Penelitian di Amerika menunjukkan penderita tuna rungu tidak bermasalah dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun, sebuah penelitian mengenai pengguna bahasa isyarat menunjukkan bahwa kemampuan baca rata-rata tuna rungu 1 dewasa sama seperti kemampuan baca anak berumur sembilan tahun. Penjelasan mengenai hal itu biasanya adalah karena tuna rungu tidak pernah belajar menghubungkan abjad dengan bunyinya. Menurut penelitian guru besar linguistik pada Universitas New Meksiko Jill Morford (dalam Kelly, 2011) baru-baru ini menunjukkan, para pembaca tuna rungu sama saja dengan orang yang belajar bahasa asing. Selain adanya penelitian di atas, terdapat sebuah fenomena lain yang terjadi di Indonesia. Seorang individu tuna rungu bernama Paulus Ganesha Aryo Prakoso, walau dirinya memiliki keterbatasan fisik tersebut tidak menghalangi dirinya dalam menuntaskan studi S1 Sistem Informasi Universitas Budi Luhur. Selama 17 tahun Paulus menuntaskan studinya di SLB Pangudi Luhur dan disini dirinya mengenal dan mempelajari bahasa. Paulus diajari berbicara, berlatih mendengar bunyi lewat pelajaran bina persepsi bunyi dan irama, membaca ujaran seperti tactile kinestic, serta visualisasi dengan kedua matanya. Kondisi tuna rungu berpengaruh pada perkembangan bahasa, dan Paulus mampu berkomunikasi dengan membaca bibir (Paulus, 2008). Dalam kehidupan sehari-hari penyandang tuna rungu mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan menyesuaikan diri sehingga seringkali membuat penyandang tuna rungu itu menjadi terisolasi atau merasa dikucilkan oleh lingkungan sosialnya akibatnya kurang memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan memahami perilaku sosialnya dan cenderung akan menampilkan perilaku seperti pasif, impulsif, menyendiri, kaku, dan lainlain. Dari hasil penelitian (Ika, 2006) tentang penyandang tuna rungu dalam penyesuain diri dengan lingkungannya yang bersekolah di SLB mendapatkan hasil penyesuain diri pada subjek 1 sangat baik atau positif, sedangkan pada subjek 2 memiliki gambaran penyesuaian diri yang negatif. Pada subjek 1 memiliki penyesuaian diri yang positif terlihat dari penilaian subjek yang cenderung positif terhadap penampilan fisiknya, merasa nyaman dan tidak malu atau tidak minder untuk bersosialisasi dengan orang lain. Subjek juga merasa memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosialisasi dengan orang lain. Sedangkan pada subjek 2 dalam memandang kehidupan dimasa depan, cenderung pasrah dan menerima keadaannya yang tuna rungu. Pada subjek 2 memiliki penyesuaian diri yang negatif terlihat dari penilaian subjek yang cenderung negatif terhadap penampilan fisiknya, merasa tidak nyaman dan malu atau minder untuk bersosialisasi dengan orang lain. Subjek juga tidak merasa memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosialisasi dengan orang lain. Tetapi dalam memandang kehidupan dimasa depan, subjek cenderung pasrah dan menerima keadaannya yang tuna rungu. Jadi kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh 2 subjek pada penyandang tuna rungu ini adalah subjek 1 memiliki gambaran penyesuaian diri yang positif dan subjek 2 memiliki gambaran penyesuaian diri yang negatif. Dengan adanya kesulitan dalam berkomunikasi serta penyesuaian diri dengan orang lain, tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada self esteem individu tuna rungu. Seperti penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian sosial dengan self esteem pada tuna rungu, dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penyesuaian sosial dengan self esteem. Hal ini berarti bahwa makin baik penyesuaian sosial & komunikasinya maka makin tinggi self esteem. Sebaliknya makin buruk penyesuaian sosialnya dan komunikasi maka makin rendah self esteem (Apriyawati, 2010). Perbedaan yang terjadi dalam gaya berkomunikasi tuna rungu dengan orang lain, dapat membuat sebuah permasalahan, karena adanya kesalahan dalam penyampaian pesan yang ingin diungkapkan. Terlebih tuna rungu dalam tahapan usia dewasa muda, hal ini dikarenakan pada tahapan usia dewasa muda individu banyak menjalin hubungan atau relasi dengan lingkungan luar. Menurut Papalia (2005) usia dewasa muda antara usia 20 sampai dengan 40 tahun. Dalam perkembangan psikososial dewasa muda persahabatan cenderung berpusat pada berbagi pengalaman, saran, dan rahasia tentang pekerjaan juga tentang mengasuh anak bagi dewasa muda yang sudah menikah. Beberapa persahabatan yang sangat intim dan saling mendukung ditandai oleh sering terjadinya konflik. Persahabatan dengan lawan jenis pada dewasa muda ini lebih kearah serius sehingga pernikahan terjadi saat usia dewasa muda ini bagi mereka yang berpikir lebih matang tentang masa depan. 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang tersebut, peneliti melakukan identifikasi masalah yakni adanya kesulitan dalam berkomunikasi yang dialami oleh tuna rungu dengan lingkungan sekitarnya. Dengan adanya masalah yang teridentifikasi tersebut maka penelititian ini ingin mengetahui apakah ada hubungan gaya komunikasi dengan self esteem pada tuna rungu dewasa muda berdasarkan teori 9 jenis gaya komunikasi dari Robert Norton? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui ada atau tidak hubungan gaya komunikasi dengan self esteem tuna rungu dewasa muda, serta mengetahui bagaimana self esteem tuna rungu dengan 9 gaya komunikasi menurut teori Robert Norton. Dan memberikan sebuah gambaran serta memotivasi bagi seluruh individu yang memiliki keterbatasan fisik yaitu tuna rungu bahwa dengan adanya kekurangan yang dialami mereka dapat mengetahui dan melakukan gaya berkomunikasi yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu dapat mengetahui tinggi atau rendahnya self esteem individu tuna rungu dalam berkomunikasi dengan orang lain, baik individu normal atau sesama tuna rungu. 1.3 Manfaat Penelitian 1.3.1 Manfaat Praktis Manfaat dari penulisan ilmiah ini adalah sebagai bahan referensi yang dapat digunakan oleh masyarakat umum terutama bagi individu yang mengalami keterbatasan fisik yaitu tuna rungu agar dapat mengetahui dan melakukan gaya berkomunikasi yang baik dengan lingkungan sekitar dalam bersosialisasi di kehidupan sehari-hari. Selain itu manfaat penelitian ini dapat memberikan motivasi bagi penderita tuna rungu agar tidak merasa rendah hati atau memiliki self esteem yang rendah apabila ingin berkomunikasi atau memulai berkomunikasi dengan orang lain. 1.3.2 Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu psikologi perkembangan khususnya dengan self esteem yang dimiliki oleh individu tuna rungu dalam berkomunikasi.