Surat Al-Ma`idah Itu Ayat-Ayat Polemik

advertisement
Surat Al-Ma’idah Itu Ayat-Ayat Polemik - 10-12-2016
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
Surat Al-Ma’idah Itu Ayat-Ayat Polemik
Wednesday, October 12, 2016
https://www.itsme.id/surat-al-maidah-itu-ayat-ayat-polemik/
iT's me - Surat al-Ma’idah menjadi begitu populer dalam beberapa hari terakhir. Selain dikutip karena
mengandung ayat yang sering dipahami sebagai larangan memilih pemimpin non-Muslim, surat alMa’idah menjadi perbincangan hangat terutama karena disebut-sebut oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) yang juga calon gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta dalam
pertemuannya dengan masyarakat di Kepulauan Seribu baru-baru ini.
Dalam video yang beredar luas, Ahok berkata, “Jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil
bapak ibu nggak pilih saya, ya kan? Dibohongin pake al-Ma’idah 51, macem-macem itu, itu hak bapak
ibu. Jadi, bapak ibu nggak bisa milih, nih, ‘karena saya takut masuk neraka’, nggak apa-apa.”
Banyak orang menyayangkan dan bahkan marah dengan kalimat Ahok yang tidak perlu di atas. Dan
Ahok sendiri sudah mengklarifikasi dan meminta maaf bahwa dia sama sekali tidak bermaksud
melecehkan siapa pun, apalagi Kitab Suci kaum Muslim. Bagi sebagian orang, kata “dibohongin”
memang dirasa keterlaluan. Reaksi saya, iya… tapi.
Yang luput dari perhatian publik, baik mereka yang mendukung ataupun melawan calon petahana, ialah
kenyataan bahwa Ahok menyebut surat al-Ma’idah ayat 51 itu dalam suasana polemik menjelang Pilkada
DKI. Dalam iklim polemik, klaim-klaim yang bersifat “melebih-lebihkan” bukan sesuatu yang aneh,
melainkan menjadi bagian kampanye di negara yang paling beradab sekalipun.
Ketika Ahok mengatakan “dibohongin pake al-Ma’idah 51”, dia sebenarnya sedang berpolemik melawan
kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan atau menyalah-gunakan agama untuk tujuan politik
(duniawi). Tujuan polemik ialah untuk memenangkan pertarungan argumen. Bahwa kalimat Ahok
mengandung distorsi atau melebih-lebihkan, itu dapat dimengerti sebagai pernyataan polemik.
Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan pernyataan Ahok dengan surat al-Ma’idah, melainkan
mendiskusikan watak polemik. Al-Qur’an saja terkesan “melebih-lebihkan” ketika berpolemik melawan
orang-orang yang menolak ajakannya. Salah satu surat al-Qur’an yang menggambarkan aspek polemik itu
ialah al-Ma’idah, sebuah surat yang juga sering dijadikan argumen polemik.
Polemik Teologis
Surat al-Ma’idah memuat banyak kritik terhadap keyakinan agama lain, terutama Yahudi dan Kristen.
Salah satunya ialah kritik al-Qur’an terhadap umat Kristiani karena mereka mengatakan, “Allah adalah alMasih putra Maryam” (Q.5:72).
Kritik al-Qur’an ini menarik karena tidak ada kelompok Kristen yang mengatakan “Tuhan ialah Yesus”.
Yang diyakini oleh umat Kristiani ialah “Yesus itu Tuhan”, bukan “Tuhan itu Yesus”. Perbedaan dua
kalimat tersebut bukan semata bersifat semantik.
1/3
Surat Al-Ma’idah Itu Ayat-Ayat Polemik - 10-12-2016
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
Itu bukan satu-satunya tempat di mana al-Qur’an mengkritik sesuatu yang sebenarnya tidak dikatakan
oleh kaum Kristen sendiri. Karena itu, penting memahami kritik-kritik tersebut sebagai pernyataan
polemik yang sebenarnya merefleksikan konteks polemik di mana al-Qur’an muncul.
Contoh polemik yang lebih eksplisit ialah kritik al-Qur’an terhadap doktrin Trinitas. Baca, misalnya, surat
al-Ma’idah ayat 73: “Telah kafir mereka yang mengatakan: Tuhan itu ketiga dari tiga”. Di sini, tampak, alQur’an menuduh umat Kristiani mengimani tiga tuhan. Allah itu ketiga dari tiga tuhan. Lagi-lagi, tidak
ada kelompok Kristen yang mengimani tiga tuhan.
Yang dikritik al-Qur’an adalah triteisme (keyakinan tentang tiga Tuhan), bukan Trinitas. Sebab, Trinitas
bukan tiga tuhan, melainkan satu Tuhan dengan tiga hypostasis.
Lebih menarik lagi ialah identitas tiga tuhan yang dikritik al-Qur’an. Dari surat al-Ma’idah ayat 116, kita
dapat simpulkan bahwa tiga tuhan tersebut adalah Allah, Isa, dan Maryam. Padahal, Trinitas yang
dipahami orang-orang Kristen terdiri dari Bapa, Anak, dan Ruh Kudus.
Tiga soal di atas telah menyulitkan para mufasir al-Qur’an dari zaman klasik hingga modern. Di kalangan
penulis modern, ada yang menganggap al-Qur’an salah paham terhadap doktrin-doktrin Kristen karena alQur’an mengkritik hal-hal yang tidak mereka imani. Sebagian orang berapologi bahwa al-Qur’an
bukannya salah paham melainkan kritiknya diarahkan pada kelompok-kelompok Kristen heretik.
Dua pandangan di atas sama-sama problemik. Pandangan pertama sulit diterima kaum Muslim. Sebagai
wahyu ilahi, tak terbayangkan kaum Muslim akan menerima pandangan yang menyebut al-Qur’an
mengandung miskonsepsi atau kesalahpahaman. Pandangan kedua juga sulit diterima karena berimplikasi
bahwa al-Qur’an tidak mengenal apa yang sesungguhnya diyakini umat Kristiani.
Di situlah letak pentingnya memahami kritik-kritik al-Qur’an sebagai pernyataan polemik. Sebenarnya alQur’an mengetahui bahwa umat Kristiani tidak mengatakan “Tuhan itu Yesus” melainkan “Yesus itu
Tuhan” atau mengimani tiga tuhan melainkan Trinitas. Tetapi, al-Qur”an sedang berpolemik untuk
memenangkan argumentasi melawan mereka yang menolak ajakannya.
Sebagai pernyataan polemik, argumen lawan dipresentasikan sedemikian rupa untuk dipatahkan. Dan
argumen polemik itu bukan hanya terkait persoalan teologis, tapi juga aspek interaksi sosial seperti soal
“awliya” (teman, pemimpin, sekutu, penjamin).
Ayat 51 sebagai Ayat Polemik
Ayat 51 yang menjadi locus classicus perdebatan pro-kontra kepemimpinan non-Muslim juga perlu
dibaca sebagai pernyataan polemik. Aspek polemik tersebut dapat ditelisik dari bukti internal ayat itu
ataupun konteks turunnya.
Mari kita lihat bukti tekstual (internal) dalam ayat itu sendiri. Ayat lengkapnya sebagai berikut: “Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya;
sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka
menjadi awliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (Q.5:51)
2/3
Surat Al-Ma’idah Itu Ayat-Ayat Polemik - 10-12-2016
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
Kata “awliya” sengaja tidak diterjemahkan karena menjadi poin kontestasi. Dan sudah banyak tulisan
mendiskusikan apakah kata “awliya” diartikan sebagai “pemimpin” atau “teman” atau “sekutu”, dan
seterusnya.
Bukti internal yang memperlihatkan aspek polemik ayat tersebut adalah asumsi bahwa “sebagian mereka
(Yahudi dan Kristen) adalah awliya bagi sebagian yang lain”. Mereka yang belajar sejarah Yahudi dan
Kristen akan tahu bahwa Yahudi dan Kristen tidak menjadikan satu sama lain sebagai awliya. Mereka
cenderung saling bermusuhan sepanjang sejarah daripada berteman, bersekutu atau sebagian menjadi
pemimpin bagi yang lain.
Tentu saja al-Qur’an mengetahui sejarah hubungan kedua agama tersebut yang penuh konflik, rivalitas,
dan bahkan pertumpahan darah. Lagi-lagi, al-Qur’an sedang berpolemik sehingga meletakkan mereka
dalam satu kanvas untuk disapuratakan.
Aspek polemik lebih tampak lagi dalam konteks turunnya (asbab al-nuzul) ayat tersebut. Saya memang
skeptis terhadap akurasi historis asbab al-nuzul, dan berbagai narasi terkait surat al-Ma’idah ayat 51
semakin menguatkan skeptisisme saya. Seperti sudah diulas oleh beberapa penulis, para mufasir
menyebut lebih dari satu versi konteks yang menjadi latar belakang ayat tersebut.
Bagi mereka yang punya naluri historis, beragam narasi itu memunculkan pertanyaan serius: Mana asbab
al-nuzul yang benar? Mungkin tidak satu pun. Sebab, asbab al-nuzul bersifat eksegetikal belaka.
Saya setuju dengan pandangan Muhammad Rasyid Rida (w. 1935) dalam Tafsir al-Manar-nya. Yakni,
kalaupun asbab nuzul khusus (sabab khas) ayat 51 sulit diverifikasi, namun iklim polemik dapat
dipastikan menjadi kondisi yang melahirkan ayat tersebut (sabab ‘am). Jika aspek polemik dan konteks
polemik ayat 51 dipahami dengan baik, maka mudah dimengerti kenapa surat al-Ma’idah
menggeneralisasi kaum Yahudi dan Kristen agar tidak dijadikan awliya.
Dalam konteks ini, pandangan Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah perlu direnungkan. Yang
menyebabkan Yahudi dan Kristen dilarang dijadikan awliya, kata Prof. Shihab, bukan karena mereka itu
Yahudi atau Kristen, melainkan karena sifat-sifat negatif yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya.
Dengan kata lain, siapa pun berperilaku tercela yang disebutkan dalam ayat 49 dan 50 (di antaranya
“mengikuti hawa nafsu” dan “menerapkan hukum jahiliyah”) tidak boleh dijadikan awliya.
Demikianlah betapa pentingnya memahami aspek polemik surat al-Ma’idah. Saya juga berpendapat, kita
perlu menempatkan pernyataan Ahok secara proporsional sebagai pernyataan polemik dalam suasana
Pilkada Jakarta. Para penolak Ahok juga menggunakan retorika polemik tertentu untuk meruntuhkan
reputasinya. Sesuatu yang lumrah terjadi menjelang pilkada/pemilu. Mari bersikap adil! (Geotimes)
_______________________________________________
WWW.ITSME.ID
3/3
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Download