1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian
Peran kapital bagi pengembangan ilmu modern cukup strategis. Ilustrasi
pandangan ini, misalnya, sebagaimana terlukiskan dalam penelitian reproduksi sel
punca (stem cell) di Amerika Serikat. Awalnya, riset tersebut berjalan normal.
Namun, ketika pada tahun 2001 Presiden George Bush memutus porsi dana
penelitian dengan alasan etika kemanusiaan, maka penelitian tersebut akhirnya
berhenti dan para ilmuwan tidak dapat lagi meneliti sel punca (Robertson, 2010:
201). Para ilmuwan memprediksi bahwa riset sel punca akan menjanjikan temuan
sekaligus revolusi baru pada ilmu bioteknologi. Terobosan riset ini adalah
mengganti model operasi bedah transpalasi pada organ menjadi model reproduksi
organ berbasis sel. Berkat terobosan tersebut, ilmuwan Inggris, John Gurdon, dan
ilmuwan Jepang, Shinya Yamanaka, diganjar Hadiah Nobel tahun 2012. Hal itu
tidak lepas dari dukungan kapital yang besar dari pemerintah kedua negara
tersebut. Pemerintah Jepang dan Inggris sangat antusias terhadap riset sel punca.
Andaikan Presiden Bush tetap membiarkan riset sel punca berjalan dan memberi
sokongan kapital yang cukup terhadap riset tersebut, tidak menutup kemungkinan
Hadiah Nobel 2012 itu akan diterima oleh ilmuwan yang berasal dari negaranya.
Dokumen Rencana Induk Penelitian Universitas Indonesia (Budiarso dkk.,
2011: 25-26) juga melaporkan satu temuan yang menegaskan bahwa hipotesis di
atas akurat. Ada kenaikan signifikan dari dana hibah yang dikelola oleh UI selama
1
2
4 tahun: 8, 46 miliar (2007), 14, 61 miliar (2008), 42, 27 miliar (2009), dan 43, 53
miliar (2010). Lompatan kebutuhan kapital meningkat sangat drastis, sebesar 250
persen, pada tahun 2008-2009. Dokumen tersebut menunjukkan pula bahwa
kebutuhan kapital dalam penelitian bidang ilmu-ilmu eksakta jauh lebih besar
daripada bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Perihal tersebut sekaligus
menjelaskan bahwa konsekuensi dari visi besar yang selama ini diusung oleh UI,
“menjadi universitas riset kelas dunia”, memberi implikasi terhadap kebutuhan
kapital yang besar dalam usaha kegiatan reproduksi ilmiah.
Pandangan awal dari paparan kedua peristiwa tersebut adalah bahwa peran
kapital bagi pengembangan ilmu sangatlah besar. Tanpa kapital, ilmu akan sulit
untuk berkembang. Semakin tinggi hasrat institusi ilmu dalam usaha
pengembangan ilmu, semakin tinggi pula asupan kapital yang harus disiapkan.
Karena kebutuhan kapital terus meningkat, institusi ilmu umumnya menjalin
kerjasama dengan penyokong dana di luar institusi seperti industri. Baik institusi
ilmu dan industri, keduanya sama-sama memiliki kepentingan. Institusi ilmu
membutuhkan kapital untuk usaha kegiatan reproduksi ilmiah, sedangkan industri
membutuhkan “pencitraan” dan “justifikasi ilmiah” untuk meningkatkan
kredibilitas perusahaan dan berbagai macam produknya di mata publik.
Aspek relasi timbal balik di antara pemilik ilmu dan kapital tersebut
menarik untuk diteliti lebih mendalam. Pasalnya, di titik itulah aspek sosial,
ekonomi, politik, dan etika ilmu, relevan untuk diperdebatkan secara filosofis.
Salah satu diskursus yang layak dan aktual dihadirkan di sini adalah pandangan
filosof dan sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu. Di dalam pemikiran Bourdieu, ada
3
sekumpulan variabel-variabel konseptual yang relevan dengan diskusi ini, seperti
teori strukturasi genetik (habitus, arena, modal), kekerasan simbolik, dan distingsi
(Bourdieu, 1984: 101). Berdasarkan pertimbangan itulah penelitian ini perlu
dikerjakan untuk memahami secara mendalam tentang relasi ilmu dan kapital
dalam pemikiran Pierre Bourdieu.
Aspek relasi timbal balik di antara ilmu dan kapital juga penting diteliti
untuk memperkaya kajian sosiologi politik ilmu di Indonesia. Kajian ini berguna
sebagai dasar pemikiran untuk memutus kebijakan dalam membangun kerjasama
di antara institusi ilmiah dan institusi kapital. Perbedaan kepentingan dari kedua
institusi tersebut memungkinkan lahirnya produk kerjasama yang tidak
proporsional dan sangat mungkin justru tidak cocok dengan prinsip-prinsip
keilmuan. Untuk mengantisipasi perihal tersebut, maka perlu ada mekanisme
kebijakan dan kontrol institusional secara memadai. Penelitian ini, menurut
penulis, cukup layak dikerjakan dengan harapan hasil penelitian ini ke depan
dapat bermanfaat sebagai referensi alternatif dasar pengambilan kebijakan dan
kontrol kerjasama di antara institusi ilmu dengan pemilik kapital berbasis pada
pemikiran yang kokoh, rasional, serta dapat dipertanggungjawabkan baik secara
ilmiah maupun filosofis.
1.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini dikerjakan
dengan panduan pertanyaan-pertanyaan berikut:
a.
Apa pengertian, genealogi, dan pokok persoalan relasi ilmu dan kapital?
b.
Apa pokok-pokok pemikiran Pierre Bourdieu?
4
c.
Apa relasi yang dapat ditemukan dalam ilmu dan kapital menurut
pemikiran Pierre Bourdieu?
d.
Apa relevansi hasil penelitian ini terhadap strategi pengembangan ilmu
di Indonesia?
2.
Keaslian Penelitian
Penelitian ini, baik dari sisi objek formal maupun objek material, memiliki
perbedaan mendasar dengan beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan di
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Jahidin (2005) dalam Dominasi
Kapitalisme dalam Dunia Medis di Indonesia mengulas tentang realitas
kapitalisasi yang masif dalam dunia medis di Indonesia. Penelitian Jahidin relevan
dengan penelitian ini khususnya dari aspek objek material. Jahidin menuturkan
bahwa dunia medis, sebagai salah satu instrumen produk ilmu kedokteran, telah
sedemikian rupa melakukan kapitalisasi terhadap berbagai teknologi kesehatan
untuk meraup untung kapital yang semakin hari semakin tak terelakkan khususnya
bagi kaum miskin di Indonesia.
Selain Jahidin, penelitian Aunullah (2006), Thohari (2006), Muhammad
(2008), dan Hendra (2009) juga relevan dengan penelitian penulis khususnya dari
aspek objek formal. Aunullah dalam Bahasa dan Kuasa Simbolik dalam
Pandangan Pierre
Bourdieu
memaparkan
pandangan
Bourdieu
tentang
mekanisme kuasa simbolik dalam bahasa. Aunullah membahas detail pemikiran
Bourdieu, namun tidak mengupasnya dalam konteks relasi ilmu dan kapital.
Berbeda dengan Aunullah, Muhammad dalam Multikulturalisme: Kajian Konflik
Identitas meneliti aspek persamaan dan perbedaan dalam diferensiasi identitas
5
dengan menggunakan analisis perbadingan pemikiran Bourdieu dan Adorno.
Muhammad membahas secara detail pemikiran Bourdieu untuk dikaitkan dengan
objek material berupa realitas multikulturalisme dan bukan, sebagaimana
Aunullah, dengan relasi ilmu dan kapital. Hendra dalam Habitus Menurut
Pemikiran Pierre Bourdieu dalam Tinjauan Filsafat Kebudayaan membahas
posisi habitus menurut Bourdieu dalam lanskap teori dan praktik kebudayaan.
Adapun Thohari dalam Pertautan Antara Struktur dan Agensi: Sebuah Telaah
Pemikiran Piere Bourdieu membahas pertautan antara agensi dan struktur dalam
konteks terbentuknya suatu masyarakat. Dua penelitian ini membahas secara
mendalam pemikiran Bourdieu namun, sebagaimana dua penelitian sebelumnya,
keduanya sama sekali tidak dikaji dalam konteks relasi ilmu dan kapital.
Kesimpulannya adalah (a) dari sisi objek material, ada satu penelitian yang
mirip dengan penelitian penulis yakni sebagaimana dikerjakan oleh Jahidin; (b)
dari sisi objek formal, ada empat penelitian yang mirip dengan penelitian penulis
yakni sebagaimana dikerjakan oleh Aunullah, Muhammad, Hendra, dan Thohari;
(c) tidak satupun penelitian yang pernah dikerjakan dengan menggunakan
variabel-variabel sebagaimana dikerjakan oleh penulis, yakni relasi ilmu dan
kapital sebagai objek material dan pemikiran Bourdieu sebagai objek formal.
3.
Manfaat yang diharapkan
a. Bagi filsafat politik ilmu, diharapkan bermanfaat untuk memperkaya dan
memperluas spektrum pemikiran filsafat dan sosiologi politik ilmu.
b. Bagi pembangunan bangsa dan negara, khususnya bagi institusi ilmiah
dan institusi kapital di Indonesia, diharapkan berfaedah untuk
6
menyumbangkan
dasar
memutus
kebijakan
alternatif
berbasis
pertimbangan sosial, politik, ekonomi, dan etika keilmuan yang secara
rasional dan filosofis dapat dipertanggungjawabkan.
B.
Tujuan Penelitian
1. Untuk memahami secara kritis dan mendalam mengenai pengertian,
genealogi, dan pokok persoalan relasi ilmu dan kapital.
2. Untuk memahami secara kritis dan mendalam pemikiran Bourdieu terutama
yang berkaitan dengan ilmu dan kapital.
3. Untuk memahami genesis dan relasi ilmu dan kapital dalam kerangka
pemikiran Bourdieu berdasarkan hasil analisis yang dilakukan secara kritis,
mendalam, dan komprehensif.
4. Untuk memahami dan memperoleh pemikiran alternatif dalam kajian filsafat
dan sosiologi politik ilmu terutama yang berhubungan dengan relasi institusi
ilmiah dan pemilik kapital dalam strategi pengembangan ilmu di Indonesia.
C.
Tinjauan Pustaka
Objek material penelitian ini adalah “ilmu”, “kapital”, dan “relasi” di antara
keduanya. Pengertian “ilmu” dalam penelitian ini tidak dalam arti metodologis
seperti dipahami oleh Chalmers (1982), akan tetapi dipahami dalam arti sosiologis
mengikuti pandangan Stenmark (2004), Ziman 1984), dan Melsen (1985).
“Ilmu” dalam arti sosiologis, mengikuti pendapat Stenmark (2004: 16),
mengandung arti “ilmu sebagai praktik sosial”. Kegiatan ilmiah, betapapun tak
7
dapat begitu saja mengabaikan aspek metodologis, berlangsung dalam
kompleksitas praktik sosial dan aktivitas individu yang saling berinteraksi serta
perbedaan latar belakang sejarah dan budaya. Ziman (1984: 1-12) membagi
aspek-aspek sosial dalam ilmu ke dalam dua bagian: internal dan eksternal. Aspek
internal ilmu, ia sebut “model ilmu akademik”, meliputi berbagai mekanisme
yang harus dijalankan dalam kegiatan ilmiah seperti keahlian, penemuan ilmiah
dan dokumentasi. Adapun aspek eksternal ilmu, ia sebut “model ilmu industri”,
meliputi berbagai aktivitas di luar mekanisme kegiatan ilmiah yang berkaitan erat
dengan teknologi dan industri. Pada aspek eksternal, ilmu telah menjadi “produk”
dan bersifat “politis” sebab ilmu telah berada di tengah-tengah masyarakat politis,
serta digunakan oleh industri sebagai “instrumen praktis” dan “instrumen
ekonomi”.
Setelah “ilmu” dimengerti dalam arti “sosiologis” dan “politis”, maka dalam
kerangka filsafat politik ilmu, konsekuensi atas pengertian tersebut adalah
pertimbangan “etis”. Ilmu „senyatanya‟ digunakan oleh industri atau pemerintah
untuk menciptakan ketidakadilan, diskriminasi ras, pembunuhan, dan kapitalisasi,
padahal institusi ilmiah dan ilmuwan secara etis „seharusnya‟ memiliki tanggung
jawab untuk mengembalikan kondisi yang diakibatkan oleh ilmu supaya kembali
adil, tidak memperbesar diskriminatif, pembunuhan, dan kapitalisasi. Institusi
ilmiah dan ilmuwan perlu memiliki, mengutip pandangan Melsen (1985: 73),
“keinsafan dan kewajiban etis”, yakni kesadaran adanya ketegangan antara yang
„seharusnya‟ dan „senyatanya‟. Disinilah urgensitas penelitian ini sehingga perlu
memahami ilmu dalam kerangka “etis” supaya dapat dipertimbangkan sebagai
8
salah satu dasar keputusan sosial-politik yang berkaitan dengan berbagai aspek
ilmu terutama setelah ilmu berada di tengah-tengah masyarakat politis.
Untuk memahami sejauhmana ilmu dalam arti “sosiologis”, “politis”, dan
“etis”, maka ilmu perlu dipertemukan dengan problem nyata kegiatan ilmiah,
salah satunya adalah “kapital”—yang menjadi fokus penelitian ini. Untuk
memudahkan pembacaan, takrif “kapital” secara spesifik hanya dipahami sebagai
“uang atau fasilitas material yang diupayakan oleh institusi ilmiah dan ilmuwan
untuk mendukung berbagai kegiatan reproduksi ilmu”. Pengertian ini memang
mirip dengan “kapital” dalam ilmu ekonomi. Bedanya, di dalam ilmu ekonomi,
“kapital” dipahami sebagai “modal” yang digunakan untuk menghasilkan barang
lain dan bernilai ekonomi (lihat misalnya Smith, 2008; Marshall, 1920; Mubyarto,
1974), sedangkan di dalam penelitian ini, “kapital” digunakan semata-mata hanya
untuk menyokong berbagai kegiatan reproduksi ilmu. Kendatipun demikian,
dalam perjalanan penelitian, penulis juga tidak dapat mengabaikan takrif “kapital”
sebagai konsekuensi dari kegiatan ilmiah, yang juga boleh jadi bernilai dan
berorientasi ekonomi.
Selanjutnya terkait jejak kepustakaan dari penelitian relasi ilmu dan kapital
memang belum banyak ditemukan. Beberapa sumber menunjukkan bahwa isu ini
sebagian besar ditulis sekadar sebagai “ulasan sekilas” dari tema-tema besar yang
lebih mapan seperti isu relasi ilmu dan kekuasaan (Mahasin & Natsir, 1983;
Wallerstein, 1997; Dhakidae, 2003), ilmu dan demokrasi (Kitcher, 2001; Brown,
2009), serta relasi ilmu, agama dan nilai (Nanda, 2003). Sumber pustaka yang
dapat digunakan sebagai referensi awal barangkali adalah karangan Ziman (1984)
9
berjudul An Introduction to Science Studies. Selain menulis tema-tema mapan
seperti tertera di atas, Ziman juga mengupayakan satu bab khusus yang mengulas
tema “ekonomi penelitian” (Ziman, 1984: 149-158).
Ziman (1984: 149-150) menerangkan bahwa untuk mempekerjakan seorang
peneliti, diperlukan fasilitas yang kondusif seperti aparatus, gedung, staf teknis,
telepon, perjalanan konferensi, dan laboratorium. Fasilitas ini memang bukan
bagian yang pokok dalam aspek metodologis ilmu akademik, namun juga tak
dapat dielakkan dalam proses kegiatan ilmiah dan menjadi “dimensi esensial
dalam sosiologi ekternal ilmu dan teknologi”. Ziman juga melihat kecenderungan
masyarakat modern, yang kerapkali menganggap finansial sebagai “motivasi
utama dalam praktik sosial dan perubahan kultural”, sehingga hal tersebut
memaksa mereka untuk juga menempatkan aspek finansial, ekonomi, dan
kesejahteraan ke dalam setiap kebijakan kegiatan ilmiah.
Kitcher dalam Science, Truth, and Democracy (2001: 4-5) secara sekilas
juga membahas tentang aspek keuntungan ekonomi yang ditempatkan sebagai isu
utama oleh sebagian besar politisi Amerika Serikat tatkala akan mengambil
kebijakan tentang proyek penelitian genetika manusia (Human Genom Project).
Tatkala ilmuwan lebih tertarik pada penemuan-penemuan baru dalam kegiatan
bioteknologi, dan kalangan gereja menolak penelitian itu dengan alasan nilai, para
politisi justru lebih tertarik membicarakan manfaat ekonomi yang akan diterima
oleh Pemerintah AS ketika proyek tersebut dikerjakan. Perdebatan serupa juga
terjadi dalam perbedaan kebijakan finansial dari Presiden Bush dengan Presiden
Obama terhadap penelitian sel punca sebagaimana diskusi tentangnya terekam
10
dalam tulisan John Robertson berjudul Embryo Stem Cell Research: Ten Years of
Controversy (2010). Paparan Kitcher dan Robertson semakin memperkuat
pernyataan Ziman bahwa faktor kesejahteraan dan ekonomi pasar adalah aspek
yang seringkali dijadikan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan
sosio-politik ilmu daripada faktor manfaat ilmiah bagi manusia.
Melengkapi pendapat Ziman, Kitcher, dan Robertson, Brown dalam Science
in Democracy (2009: 17) meyakini bahwa politisasi atas ilmu saat ini terjadi
cukup masif. Politisasi atas ilmu, kata Brown, dapat mengurangi kepercayaan
publik terhadap ilmu sehingga dampaknya mengurangi sumbangan dana yang
semestinya mereka terima dari sektor publik. Namun demikian, dampak
berkurangnya sumbangan dana publik terhadap institusi ilmiah sejatinya bukan
semata-mata disebabkan oleh faktor objektivitas ilmiah, akan tetapi lebih karena
adanya kerjasama yang tidak memadai antara idealisme peneliti dengan
kepentingan penyokong dana. Inilah efek terburuk dari ketergantungan institusi
ilmiah terhadap finansial saat ini. Padahal kalau melihat sejarahnya, setidaknya
sebelum akhir Abad 19, penelitian ilmiah dahulu dikerjakan secara mandiri oleh
para ilmuwan terkemuka. Melalui keahlian dan sokongan dana pribadinya
masing-masing, para ilmuwan sejati saling bekerjasama: Galileo membuat alat
instrumen, Kepler menciptakan horoskop, dan Robert Hooke mendesain dan
membangun tempat untuk kegiatan meneropong. Begitu pula para ahli medis
meracik obat-obatan dari alam secara independen. Kondisi tersebut berlangsung
karena efek represi dan teror dari Gereja sejak Abad pertengahan sehingga para
ilmuwan cemerlang nyaris tidak mendapatkan tempat yang layak dalam berbagai
11
kegiatan ilmiah. Di hadapan negara, para ilmuwan juga terpaksa bekerja dalam
lingkungan aturan hukum dan dukungan pemerintah yang serba terbatas, sehingga
dapat dikatakan, sampai pertengahan Abad 19, penelitian ilmiah adalah urusan
pribadi (Brown, 2009: 9).
Kondisi berbalik drastis tatkala Abad Pencerahan pecah. Ketika rezim yang
berkuasa mengetahui adanya perkembangan yang menggembirakan dari kegiatan
ilmiah, mereka berbondong-bondong menjadi sponsor utama berbagai riset
ilmiah, sehingga sepanjang Abad 20, terjadi ledakan penelitian dan peningkatan
jumlah penelitian secara drastis. Pemerintah Amerika Serikat menyediakan uang,
seolah tanpa pamrih, untuk keperluan reproduksi pengetahuan, teknologi, dan
obat-obatan. Dengan demikian, anggapan bahwa ilmu bebas dari politik, kata
Brown, adalah anggapan rapuh dan tak lebih dari nostalgia teoritik. Bagi
masyarakat modern, ilmu dan politik secara simultan saling berkaitan dan bahkan
bersifat inhern. Perbedaannya, dahulu ilmu dan politik berjumpa untuk
kepentingan militer, sedangkan saat ini untuk kepentingan komersialisasi. Kondisi
inilah yang kemudian oleh Brown disebut sebagai “politisasi ilmu (politicized
science)” dan “saintisasi politik (scientized politics)” (Brown, 2009: 9-10).
Selain Ziman, Kitcher, Robertson, dan Brown, sumber pustaka yang relevan
dengan penelitian relasi ilmu dan kapital adalah hasil kerja Jahidin (2005) dalam
Dominasi Kapitalisme dalam Dunia Medis di Indonesia. Jahidin memamparkan
tentang kapitalisasi pelayanan kesehatan di Indonesia. Teknologi kesehatan,
sebagai salah satu instrumen produk ilmu-ilmu kedokteran, sebagaimana
ditunjukkan oleh Jahidin, telah sedemikian rupa bekerja dalam mainstrem
12
kapitalisme untuk meraup keuntungan ekonomi baik secara pribadi maupun
institusi. Penelitian Jahidin setali tiga uang dengan fakta mahalnya biaya
penelitian yang harus dikeluarkan oleh para peneliti dari bidang eksakta. Jadi,
tidak terlalu mengherankan apabila dalam tiga tahun terakhir, Program Kreativitas
Mahasiswa Bidang Penelitian (PKM-P) di Universitas Gadjah Mada lebih banyak
diikuti oleh jurusan-jurusan yang secara teknis kegiatan ilmiahnya membutuhkan
fasilitas pendanaan lebih besar seperti Farmasi, Kedokteran, MIPA, dan Teknik.
Bidang sosial dan humaniora tidak pernah mendominasi PKM-P karena
kebutuhan terhadap hal-hal teknis, seperti laboratorium, sampel hewan dan bahanbahan alami, tidak sebesar bidang eksakta. Bidang sosial dan humaniora justru
mendominasi pada Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Gagasan Tertulis
(PKM-GT) karena memang pada domain inilah, yakni pada pergulatan ide dan
gagasan, kinerja ilmiah lebih banyak dilakukan.
Fakta tersebut sekaligus semakin mempertegas hipotesis awal yang hendak
dikukuhkan dalam penelitian ini, bahwa peran kapital berupa dana dan fasilitas
material untuk pengembangan ilmu modern sangatlah besar. Semakin tinggi
hasrat institusi ilmiah dalam usaha pengembangan ilmu modern, semakin tinggi
pula sokongan kapital yang perlu disiapkan. Instrumen kerjasama antara institusi
ilmu dan pemilik kapital, dengan demikian, perlu dibangun secara komprehensif
dan melibatkan berbagai pertimbangan sosial, politik, ekonomi, dan etika.
13
D.
Landasan Teori
Penelitian ini dikerjakan dalam bingkai pendekatan filsafat politik ilmu
khususnya
aspek
eksternal
sosiologi
politik
ilmu,
kendatipun
dalam
pembahasannya tentu tidak dapat lolos dari aspek internal sosiologi politik ilmu.
Aspek sosial dalam ilmu adalah disiplin yang sejak lama diminati oleh pemikir
filsafat ilmu klasik seperti Ziman dan Popper, serta pemikir kontemporer seperti
Kitcher dan Brown. Adapun sebagai pisau analisis penelitian ini secara teoritis
memanfaatkan pandangan Pierre Bourdieu terutama teori strukturasi genetik. Oleh
karena itu, pemikiran Bourdieu tentang strukturasi genetik selanjutnya diletakkan
sebagai objek formal dalam penelitian ini.
Perangkat konseptual teori strukturasi genetik Bourdieu secara umum
adalah habitus, arena, dan modal. Konsep-konsep ini dibentuk berbasis pada
filsafat kecurigaan, ditujukan untuk mengoreksi problem dikotomi subjektivisme
dan objektivisme yang mengakar dalam konstruksi ilmu-ilmu sosial (Bourdieu,
1974: 3-4; Grenfell, 2008: 169). Teori strukturasi genetik juga merupakan usaha
Bourdieu untuk memahami realitas sosial bukan semata-mata dalam perspektif
materialisme, seperti Karl Marx, tetapi juga dalam perspektif imaterial dan
simbolik (Svendsen, 2013: 1). Bourdieu lebih lanjut menyebut teorinya sebagai
“ilmu umum tentang ekonomi tindakan”, sebagaimana tertulis dalam paragrafnya
(Bourdieu, 1986: 243):
“A general science of the economy of practices, capable of reappropriating
the totality of the practices which, although objectively economic, are not
and cannot be socially recognised as economic […] must endeavour to
grasp capital and profit in all their forms and to establish the laws whereby
the different types of capital (or power, which amounts to the same thing)
change into one another.”
14
Berdasarkan teks tersebut, maka gaya berfilsafat (styles of philosophizing)
Bourdieu dapat dikatakan berada dalam bingkai sintesis-dialektik filsafat-politikekonomi. Maksudnya, melalui teori strukturasi genetik, Bourdieu ingin
membongkar bentuk-bentuk dominasi dengan cara melacak genesis dan relasional
yang terjalin dalam objektivisme dan subjektivisme; bukan hanya dengan
meredefinisi cara membaca realitas sosial-politik saja, tetapi juga mengupayakan
rekonseptualisasi pengertian modal dalam ilmu ekonomi modern. Bourdieu
meyakini modal sebagai ilmu manusia berbasis interdisipliner yang luas, yang
bertujuan memperkenalkan kembali modal “dalam segala bentuk dan tidak hanya
dalam satu bentuk yang diakui oleh teori ekonomi” (1986: 242).
Pembongkaran teoritik tersebut berguna untuk menjelaskan supaya
pemerolehan modal yang dihargai dalam praktik-praktik sosial tidak hanya
tersekat dalam bentuk modal dalam pengertian ilmu ekonomi (barang dan uang),
namun juga bisa dalam bentuk modal lain yang bersifat imaterial (selain barang
dan uang). Untuk kepentingan ini, Bourdieu (1986: 243) memetakan konsep
modal ke dalam empat bentuk: modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan
modal simbolik. Modal-modal tersebut tidak datang tiba-tiba, akan tetapi melalui
proses kerja akumulatif, menyejarah, dan eksklusif dalam arena tertentu. Bourdieu
berpandangan
bahwa
modal,
dalam
arenanya
masing-masing,
memiliki
“diferensiasi”, “hierarki”, serta “keistimewaan”, yang memungkinkan lahirnya
“konversi” dari modal satu ke modal yang lain. Pada momen tertentu, modal dapat
mewujud sebagai “struktur imanen” dalam realitas sosial, yang fungsinya
bertahan lama, dan menentukan “peluang keberhasilan suatu praktik”. Bourdieu
15
menyebut modal sebagai “strategi investasi” dan “strategi permainan sosial” baik
di tingkat individual maupun kelompok (1986: 241-2). Pengertian ini memberi
konsekuensi adanya pergeseran makna dari modal sebagai “praktik ekonomi yang
bersifat material” menjadi modal sebagai “praktik simbolik yang bersifat
immaterial”. Bertitik tolak dari pandangan inilah, teori strukturasi genetik
Bourdieu bermanfaat sebagai pisau analisis untuk membedah akar genesis dan
relasi dominasi dalam ilmu dan kapital.
E.
1.
Metode Penelitian
Materi Penelitian
Penelitian ini dikerjakan dengan menggunakan jalan studi pustaka.
Berdasarkan data pustaka yang ada, materi dipilah dan dipilih berdasarkan objek
material dan objek formal penelitian. Data primer objek formal penelitian adalah
buku-buku yang ditulis oleh Pierre Bourdieu seperti Outline of A Theory of
Practice (1977), Distinction (1984), The Forms of Capital (1986), The Logic of
Practice (1990), dan karya Bourdieu lain yang relevan. Data primer objek
material penelitian berupa relasi ilmu dan kapital, polemik kapitalisasi sel punca,
pemikiran filsafat dan sosiologi politik ilmu adalah karya Habermas (1972),
Hardiman (2009), Robertson (2010), Blume (1974), Ziman (1984), Brown (2009),
Kitcher (2001), Matupurkar (1991, 1999), Yamanaka (2006) dan sumber lain yang
relevan baik dari jurnal maupun proseding konferensi atau seminar ilmiah.
2.
Jalan Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:
16
a. inventarisasi: mengumpulkan sebanyak mungkin data berupa kepustakaan
yang berkaitan dengan objek penelitian;
b. klasifikasi: memilah data menjadi data primer dan sekunder;
c. analisis: menganalisis data primer dengan bantuan data sekunder dengan
menggunakan metode yang dipilih kemudian disintesiskan;
d. evaluasi kritis: setelah data primer dan sekunder melalui proses sintesis,
maka akan diberikan evaluasi kritis secara berimbang dan objektif.
3.
Analisis Hasil
Bakker dan Zubair (1996: 63-65, 114) menerangkan bahwa model penelitian
filsafat adalah penelitian pustaka yang disajikan secara sistematis-refleksif. Oleh
karena itu, data yang ada dianalisis dengan perangkat metode berikut:
a. deskripsi: menguraikan secara deskriptif pemikiran Bourdieu dan relasi ilmu
dan kapital secara sistematik-reflektif dan proporsional;
b. koherensi internal: berupaya mengikuti struktur internal dan keselarasan
antar-konsep dalam pemikiran Bourdieu serta relasi ilmu dan kapital;
c. kesinambungan historis: berusaha melihat pemikiran Bourdieu dalam
perkembangan historis baik internal (dalam pemikirannya sendiri) maupun
eksternal (dalam kaitannya dengan pemikiran lainnya);
d. holistika: berusaha melihat konsep-konsep yang ada dalam pemikiran
Bourdieu sebagai kesatuan integral dari keseluruhan pemikiran Bourdieu;
e. interpretasi: berusaha menangkap arti dan makna pemikiran Bourdieu dan
relasi yang tebentuk dalam ilmu dan kapital menurut konsep tersebut.
17
F.
Rencana Sistematika Penulisan
Penelitian ini dipaparkan ke dalam lima Bab. Bab pertama adalah
Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah,
keaslian penelitian, manfaat yang diharapkan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua
memaparkan objek formal penelitian yakni anatomi pemikiran Pierre Bourdieu,
yang meliputi biografi kehidupan, genealogi pemikiran, pokok-pokok pemikiran,
dan korelasi pemikiran Bourdieu tentang praktik reproduksi sosial dalam
pendidikan. Bab ketiga memaparkan objek material penelitian yakni relasi ilmu
dan kapital, yang berisi paparan tentang anatomi genesis ilmu dan kapital,
penelitian sel punca sebagai studi kasus perdebatan ilmu dan kapital, dan posisi
kuasa dalam spektrum relasi ilmu dan kapital.
Bab keempat menganalisis problem penelitian yakni relasi ilmu dan kapital
berdasarkan pemikiran Pierre Bourdieu. Bab ini secara spesifik juga menganalisis
bentuk reproduksi, konversi, dan strategi dalam relasi ilmu dan kapital. Analisis
dilengkapi pula dengan kontekstualisasi objek penelitian ke dalam diskursus
filsafat dan sosiologi politik ilmu. Selain itu, pada bab ini juga akan dipaparkan
relevansi hasil analisis penelitian terhadap strategi pengembangan ilmu di
Indonesia. Bab kelima adalah penutup yang berisi garis besar kesimpulan hasil
penelitian dan saran penelitian yang mungkin dilakukan di masa mendatang.
Download