BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijakan dividen merupakan salah satu kebijakan yang memegang peranan penting
dalam suatu perusahaan. Sehingga terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan secara seksama. Sebagaimana dikemukakan oleh Bishop et al. (2000) dalam
keuangan korporasi (corporate finance), manajer keuangan biasanya dihadapkan pada dua
keputusan operasional yang pelik, yaitu keputusan investasi atau penganggaran modal
(investment or capital budgeting decisions) dan keputusan pendanaan (financing decisions).
Namun demikian, keputusan ketiga bisa jadi muncul ke permukaan, yaitu manakala manajer
berhasil membuat perusahaan mulai memperoleh keuntungan (generate profits). Haruskah
keuntungan yang diperoleh dibagikan dalam bentuk dividen atau dikembalikan lagi ke dalam
perusahaan dalam bentuk laba ditahan (retained earnings) atau sisa laba.
Para investor sangat memperhatikan kebijakan dividen yang diterapkan oleh perusahaanperusahaan yang sudah go public. Kebijakan tersebut dapat membuat para investor
menentukan berbagai keputusan yaitu membeli/mempertahankan saham perusahaan atau
justru sebaliknya investor akan memutuskan untuk tidak membeli dan menjual saham
perusahaan. Hal yang menjadi pertimbangan adalah tingkat pengembalian atas dana yang
diinvestasikan baik berupa dividen ataupun capital gain harus lebih menguntungkan
dibandingkan jika investor menginvestasikan dananya dalam bentuk obligasi pemerintah,
tingkat bunga deposito, dan bentuk investasi lainnya.
Kebijakan dividen (dividend policy) merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh
perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau
akan ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang
(Martono dan Harjito, 2013:270). Sudana (2011:167) menyatakan bahwa kebijakan dividen
berhubungan dengan penentuan besarnya dividend payout ratio (DPR), yaitu besarnya
presentase laba bersih setelah pajak yang dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham.
Sehingga aspek penting dari kebijakan dividen adalah menentukan proporsi laba yang
optimal antara pembagian laba sebagai dividen dengan laba yang ditahan di perusahaan.
Semakin besar jumlah laba yang ditahan maka akan semakin kecil laba yang dialokasikan
kepada para pemegang saham. Menurut Sutrisno (2013:250), besarnya dividen yang
dibayarkan akan meningkatkan nilai perusahaan atau harga saham. Namun semakin besar
dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham akan memperkecil sisa dana yang dapat
digunakan untuk mengembangkan perusahaan sebagai investasi, karena laba ditahan tersebut
merupakan sumber dana internal yang dapat digunakan untuk membelanjai perusahaan.
Semakin rendah laba ditahan akibatnya akan memperkecil kemampuan perusahaan dalam
mendapatkan laba yang pada akhirnya akan memperkecil pertumbuhan dividen.
Semakin besar dan kompleknya suatu perusahaan maka pemilik tidak mungkin
melakukan seluruh fungsi-fungsi manajemen untuk mengelola usahanya. Dengan kondisi
seperti itu dan dalam rangka mempercepat pencapaian target yang telah ditetapkan maka
pemilik perlu menunjuk agen yang profesional (manajer) untuk mengelola perusahaannya.
Menurut Gumanti (2013:6), keputusan yang diambil oleh manajemen harus mengedepankan
upaya untuk memaksimalkan kemakmuran pemegang saham (maximize the wealth of
shareholders) sebagai pemilik perusahaan dan manajer adalah individu yang ditugasi untuk
mengelola perusahaan. Oleh karena itu, manajer tidak hanya berkepentingan dalam hal
menjawab pertanyaan seberapa besar dana dari laba yang ada yang diperlukan untuk
kebutuhan investasi perusahaan di masa mendatang, tetapi juga harus mempertimbangkan
dampak dari keputusan yang diambil terhadap harga saham, yang ujungnya adalah
kemakmuran pemegang saham.
Satu hal penting dalam manajemen keuangan, bahwa tujuan perusahaan adalah
memaksimumkan kemakmuranpemegang saham. Tetapi dalam kenyataannya tidak jarang
manajer memiliki tujuan lain yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama tersebut.
Karena manajer diangkat oleh pemegang saham maka idealnya mereka akan bertindak on the
best of interest of stockholders, tetapi dalam praktek sering terjadi konflik. Dalam
kenyataannya tidak jarang tindakan manajer bukannya memaksimumkan kemakmuran
pemegang saham melainkan memperbesar skala perusahaan dengan cara ekspansi atau
membeli perusahaan lain. Motif utamanya adalah dengan semakin besarnya skala perusahaan
maka pertama, meningkatkan keamanan posisi manajer dari ancaman pengambilalihan oleh
perusahaan lain. Perusahaan lain akan kesulitan untuk melakukan takeover. Alasan kedua
adalah menciptakan kesempatan bagi middle dan lower manajer (Sartono, 2012:11).
Jensen & Meckling (1976) menyatakan bahwa penunjukkan manajer oleh pemegang
saham untuk mengelola perusahaan akan memunculkan perbedaan kepentingan antara
manajer dan pemegang saham. Perusahaan yang dikelola oleh para manajer diharapkan
mampu menghasilkan keuntungan yang tinggi dan memberikan keuntungan tersebut kepada
pemegang saham sebagai konsekuensi dari modal yang telah diberikan pada perusahaan. Para
pemegang saham mengharapkan dividen yang tinggi, namun manajer memiliki kepentingan
lain dimana manajer cenderung akan memutuskan untuk menginvestasikan kembali
keuntungan yang diperoleh dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan.
Perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan fungsi kepemilikan akan rentan
terhadap konflik keaganan. Konflik keagenan (agency conflict) mungkin saja terjadi karena
manajer cenderung membuat keputusan yang tidak optimal. Dapat dikatakan seperti itu
karena manajer sebagai pihak pengambil keputusan tidak perlu menanggung risiko atas
kesalahan dalam mengambil keputusan bisnis ataupun kegagalan dalam meningkatkan nilai
perusahaan. Risiko sepenuhnya akan ditanggung oleh pemegang saham. Selain itu manajer
juga tidak mendapatkan tekanan untuk melindungi kepentingan pemegang saham.
Berbedanya kepentingan antara manajer dan pemegang saham memungkinkan timbulnya
konflik keagenan, guna memperkecil konflik keagenan tersebut perusahaan harus
mengeluarkan biaya-biaya yang disebut dengan biaya keagenan (agency cost).
Agency cost mempunyai hubungan dengan kebijakan dividen suatu perusahaan. Ketika
agency cost tinggi maka hal ini dapat menjadi pertanda buruk bagi pemegang saham.
Pemegang saham akan mendapatkan dividen yang rendah, hal ini dikarenakan manajer akan
menggunakan dana secara berlebihan dan akan berdampak pada penurunan profitabilitas
perusahaan.
Meythi menyatakan (dalam Sudaryanti, 2009) terdapat beberapa cara untuk mengurangi
agency cost dan agency conflict yaitu pertama, meningkatkan kepemilikan saham perusahaan
oleh manajemen. Kepemilikan ini akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan
kepentingan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976). Kedua, peningkatan kepemilikan
institusi (institutional investor) sebagai pihak yang memonitor agen (Moh’d, et al, 1998).
Investor institusional (misalnya perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan
kepemilikan oleh institusi lain) dalam suatu perusahaan akan menyebabkan distribusi saham
akan lebih menyebar yang nantinya mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal
terhadap kinerja manajemen. Ketiga, meningkatkan dividend payout ratio yang akan
mengurangi free cash flow (Crutley dan Hansen, 1989). Dengan demikian akan dapat
mengurangi dana yang bisa digunakan oleh manajer secara berlebih. Keempat, meningkatkan
pendanaan melalui hutang. Dengan penggunaan hutang maka perusahaan harus melakukan
pembayaran periodik atas bunga dan pokok pinjaman. Hal ini akan mengurangi keinginan
manajer untuk menggunakan free cash flow guna membiayai kegiatan yang tidak optimal.
Agency cost menurut Jensen dan Meckling (1976) adalah biaya-biaya yang ditanggung
oleh pemegang saham untuk mencegah atau meminimalkan masalah-masalah keagenan dan
memaksimumkan keuntungan pemegang saham. Keuntungan ini dibagikan kepada para
pemegang saham dalam bentuk dividen. Besar kecilnya dividen yang dibayarkan kepada
pemegang saham tergantung pada kebijakan dividen masing-masing perusahaan yang
dilakukan berdasarkan pertimbangan berbagai faktor. Berbekal pada penelitian empiris dan
juga analisis teoritis menunjukkan sejumlah faktor yang diyakini dapat dijadikan sebagai
acuan untuk menentukan kebijakan dividen. Weston dan Copeland (1992) mengidentifikasi
setidaknya ada 11 faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan dividen yakni: undang-undang
(peraturan), posisi likuiditas, kebutuhan untuk pelunasan utang, batasan-batasan dalam
perjanjian utang, perolehan laba, stabilitas laba, peluang penerbitan saham di pasar modal,
kendali kepemilikan, posisi pemegang saham, serta kesalahan akumulasi pajak dan laba.
Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut, khususnya variabel-variabel internal perusahaan
yang dijadikan pertimbangan bagi manajemen dalam menetapkan besarnya dividen
perusahaan.
Berdasarkan alternatif yang dapat dilakukan dalam mengurangi agency cost yang akan
mempengaruhi pembayaran dividen dan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan
manajemen dalam penentuan kebijakan dividen perusahaan, maka terdapat beberapa
determinan kebijakan dividen yakni kepemilikan institusional, free cash flow, profitabilitas
dan leverage.
Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki oleh institusi, seperti
perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi, maupun perusahaan lain. Investor lebih
menyukai dividen daripada capital gain karena dividen menjanjikan sesuatu yang lebih pasti
daripada mengharapkan perubahan harga saham. Jadi, aspek kepastian diperolehnya aliran
kas menjadi isu utama yang mendasari manajemen sehingga ada kecenderungan untuk
menawarkan besaran dividen dari tahun ke tahun semakin tinggi. Pemahaman ini lebih
dikenal dengan sebutan bird in the hand theory yang secara eksplisit menyatakan bahwa
investor lebih menyukai dividen yang naik daripada yang turun. Alasan utama lebih
disukainya dividen yang naik adalah adanya kepastian. Sedangkan mengharapkan kenaikan
harga saham adalah sesuatu yang belum pasti. Oleh karena itu, dividen dianggap menawarkan
kepastian yang lebih baik daripada capital gain (Gumanti, 2013:3). Hal ini sejalan dengan
Sudaryanti (2009), Embara,dkk. (2012), serta Juhandiet al. (2013) yang menyatakan bahwa
kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.Abdullahet al (2012)
yang melakukan penelitian di Malaysia serta Huda dan Abdullah (2013) di Bangladesh juga
menemukan kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
Namun berdasarkan teori preferensi pajak, investor institusional akan lebih menyukai
perusahaan tidak membayar dividen karena tarif pajak untuk penghasilan yang diterima
dalam bentuk dividen lebih besar daripada tarif pajak penghasilan atas kentungan modal
(Sudana, 2011:169). Selain itu banyaknya kepemilikan insitusional di suatu perusahaan akan
membantu melakukan pengawasan dan monitoring dalam menekan tindakan opportunistic
manajer. Tindakan opportunistic manajer sering dilakukan oleh manajer untuk memanfaatkan
segala kesempatan dalam mencapai tujuan pribadi. Easterbook (1984) menyatakan bahwa
kepemilikan institusional akan dapat mempengaruhi manajemen yang dapat mengurangi
agency cost, sehingga manajemen tidak perlu lagi membayarkan dividen yang besar. Hal ini
sejalan dengan penelitian Dewi (2008), Mehrani dan Iskandar (2011) yang melakukan
penelitian di Iran, Lucyanda dan Lilyana (2012), Al-Shubiri et al(2012) di Yordania serta
Auditta,dkk. (2014) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif
terhadap kebijakan dividen. Oleh karena itu, presentase kepemilikan institusional
mempengaruhi besar kecilnya pembayaran dividen perusahaan kepada para pemegang saham.
Namun hal sebaliknya diperoleh dari Rachmad dan Muid (2013) yang menemukan bahwa
variabel kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
Free cash flow didefinisikan oleh Jensen (1986) sebagai kelebihan dana kas setelah
dipakai untuk mendanai seluruh proyek yang memberikan net present value positif yang
didiskontokan pada tingkat biaya modal relevan.Dengan tersedianya free cash flow, maka
semakin besar pula potensi untuk pembayaran dividen. Inti free cash flow oleh Jensen
terdapat masalah keagenan antara manajer dengan pemegang saham atas distribusi free cash
flow. Dengan kata lainfree cash flow menuntut adanya biaya agensi yang tinggi karena
diperlukan pengawasan terhadap free cash flow yang dikelola perusahaan. Hal ini tidak akan
terjadi jika free cash flow dibagikan kepada pihak pemegang saham dalam bentuk dividen.
Allen dan Michaely (2002) menyatakan bahwa penurunan kesempatan investasi akan
menghasilkan peningkatan pembayaran dividen, namun manajemen akan melakukan
pengurangan pembayaran dividen jika free cash flow perusahaan merosot. Maka besar
kecilnya jumlah free cash flow perusahaan akan berpengaruh terhadap besarnya dividen yang
dibayarkan kepada pemegang saham. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lucyanda dan
Lilyana (2012), Embara,dkk. (2012), serta Auditta,dkk. (2014) yang menyatakan free cash
flow berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Sebaliknya Juhandiet al. (2013) dan
hasil penelitian di Iran oleh Meharani dan Iskandar (2011) justru menemukan free cash flow
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
Determinan selanjutnya yakni profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba (Wiagustini, 2010: 76).Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang
tinggi cenderung akan membagi dividen yang lebih besar sebagai sinyal kepada para
pemegang saham bahwa perusahaan dalam kondisi profitable dan memiliki prospek yang
baik di masa datang. Menurut hipotesis sinyal, investor dapat menduga informasi tentang laba
mendatang perusahaan melalui sinyal yang muncul dari pengumuman dividen, baik dalam hal
stabilitas maupun perubahan dividen. Kenaikan dalam rasio pembayaran dividen dapat
diinterpretasikan sebagai informasi bahwa perusahaan memiliki profitabilitas masa depan
yang baik. Lintner (1956) berpendapat bahwa perusahaan cenderung untuk menaikkan
dividen manakala manajer percaya bahwa laba secara permanen mengalami kenaikan. Hal ini
sejalan dengan Juhandi, et al. (2013), Rachmad dan Muid (2013), Dinata dan Yadnya (2014),
Epayanti dan Yadnya (2014), serta Putra dan Wiagustini (2014) yang menyatakan
profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Hasil penelitian
Thanatawee (2013) di Thailand juga menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pembayaran dividen.
Namun Dewi (2008) menemukan hal yang berbeda, dimana hasil penelitiannya
menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Hal
tersebut dikarenakan apabila perusahaan memiliki laba yang semakin tinggi maka
perusahaan akan menggunakan laba tersebut untuk kegiatan operasi perusahaan atau untuk
investasi sehingga akan mengurangi pembayaran dividen. Dimana dalam irrelevance
dividend theory, Miller dan Modigliani (1961) menyatakan bahwa selama perusahaan
mempunyai proyek investasi yang menghasilkan returnlebih tinggi dari returnyang
diharapkan, perusahaan akan menggunakan laba untuk membelanjai investasi tersebut.
Leverage adalah suatu ukuran sejauh mana perusahaan dibiayai dengan hutang
(Wiagustini, 2010:75). Agency cost yang rendah dimiliki perusahaan yang memiliki tingkat
hutang tinggi. Hal ini dikarenakan apabila perusahaan memiliki tingkat hutang yang tinggi
membuat kontrol maupun proses pengawasan terhadap para manajer tidak hanya dilakukan
oleh pemegang saham namun tetapi juga dari pihak kreditur. Hal ini akan mengurangi
ketergantungan pemegang saham terhadap dividen sebagai salah satu cara menangani
masalah keagenan. Selain itu apabila perusahaan memiliki tingkat hutang yang tinggi maka
perusahaan berusaha untuk mengurangi agency cost of debt dengan mengurangi hutangnya.
Pengurangan hutang dapat dilakukan dengan membiayai investasinya dengan sumber dana
internal sehingga pemegang saham akan merelakan dividennya untuk membiayai
investasinya. Oleh karena itu tingkat hutang akan mempengaruhi jumlah pembayaran dividen
perusahaan kepada para pemegang saham. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi
(2008), Juhandi et al (2013), Rachmad dan Muid (2013), serta Huda dan Abdullah (2013) di
Bangladesh yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap kebijakan
dividen. Namun sebaliknya Lucyanda dan Lilyana (2012), Wati dan Darmayanti (2013), serta
Arshadet al (2013) yang melakukan penelitian di Pakistan menyatakan bahwa leverage tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
Fenomena yang terjadi di Indonesia bahwa masih terdapat perusahaan-perusahaan go
public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, yang tidak melakukan pembayaran dividen.
Dibandingkan dengan sektor lainnya, mayoritas perusahaan yang melakukan pembayaran
dividen kepada para pemegang sahamnya bergerak dalam sektor manufaktur.
Berdasarkan latar belakang yang masih menunjukkan adanya theoritical gap dan
research gap hubungan antara variabel kepemilikan institusional, free cash flow,
profitabilitas, leverage dan dividend payout ratio. Maka penelitian ini mengangkat judul
“Determinasi Kebijakan Dividen Perusahaan-Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia”.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Apakah kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen?
2) Apakah free cash flow berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen?
3) Apakah profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen?
4) Apakah leverage berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh kepemilikan institusional terhadap kebijakan
dividen.
2) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh free cash flow terhadap kebijakan dividen.
3) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh profitabilitas terhadap kebijakan dividen.
4) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh leverage terhadap kebijakan dividen.
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat
secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut:
1) Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bukti empiris pada ilmu
manajemen keuangan khususnya mengenai determinasi kebijakan dividen.
2) Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi
calon investor dalam melakukan investasi serta sebagai bahan pertimbangan bagi
perusahaan dalam mengaplikasikan variabel-variabel penelitian ini dalam upaya membuat
kebijakan dividen yang optimal.
1.5 Sistematika Penulisan
Sebagai arahan dalam memahami skripsi ini, digunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab I
: Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang masalah penelitian yang terdiri dari halhal apa saja yang mendasari dilakukannya penelitian, serta menguraikan
rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II
: Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian
Bab ini menguraikan mengenai landasan teori dan konsep yang berkaitan
dengan dividen, kebijakan dividen, ukuran kebijakan dividen, teori
kebijakan dividen, faktor-faktor yang memperngaruhi kebijakan dividen,
analisis rasio keuangan, hipotesis penelitian, dan model penelitian.
Bab III
: Metode Penelitian
Bab ini menguraikan metode penelitian yang meliputi desain penelitian,
lokasi penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional
variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan
sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan.
Bab IV
: Data dan Pembahasan Hasil Penelitian
Bab ini menguraikan mengenai gambaran umum perusahaan manufaktur
beserta profil dari masing-masing perusahaan di Bursa Efek Indonesia yang
menjadi sampel dalam penelitian, deskripsi variabel penelitian, dan
pembahasan mengenai hasil analisis tersebut.
Bab V
: Simpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis dalam
pembahasan serta saran-saran yang diberikan untuk pengembangan bagi
peneliti selanjutnya.
Download