kontribusi komunitas arab di jakarta abad 19 dan

advertisement
KONTRIBUSI KOMUNITAS ARAB DI JAKARTA ABAD 19 DAN AWAL ABAD 20
MASEHI
(Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di Jakarta 09 Juni 2012)
Oleh Budi Sulistiono
Di Indonesia orang Arab dikaitkan dengan penyebaran Islam, seperti yang dikatakan
Hamka (1961) bahwa orang Arab adalah pelopor Islam, mereka telah datang ke negerinegeri Melayu pada abad ke VII M, atau tahun pertama Islam. Dengan demikian,
sejarah masuknya Islam ke Indonesia terutama sejarah perkembangannya tidak terlepas
dari sejarah masuknya perantau Arab di Indonesia. Data ini sekaligus memperkuat
dugaan bahwa Islam masuk ke Indonesia ini bukanlah diorganisir oleh suatu Negara
atau badan yang resmi dari suatu Negara. Masuknya Islam secara sukarela dibawa oleh
padagang-pedagang
yang
mula-mula
datang
membeli
rempah-rempah
yang
diperlukan dan akan dijual.1 Penghidupan mereka sebagai pedagang yang membawa
barang-barang dari Arab dan pulangnya membawa rempah-rempah.
Orang-orang Arab yang bermukim di Nusantara sebagian besar berasal dari
Hadramaut, dan sebagian lagi ada yang berasal dari Maskat, tepian Teluk Persia,
Yaman, Hijaz, Mesir atau dari pantai Timur Afrika.2 Mereka menjadi pedagang
perantara, pedagang kecil, pemilik toko, menembus pasar dan menyediakan barang
dan jasa yang tidak dilakukan pendatang dari Eropah, juga melakukan kegiatan
meminjamkan uang.3
1
Noerman, Moehammad, 1971, Sejarah Kebudayaan, Bukittinggi : Pustaka Saadiyah
Hussen Abdullah Badjerei. Al-Irsyad,( Jakarta : PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, 1987)
3
Affandi Bisri, 1999, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharuan & Pemurnian Islam di
Indonesia, Jakarta :alKautsar
2
Para perantau Arab mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun
terakhir abad ke-18, tetapi mereka mulai banyak menetap di pulau Jawa setelah tahun
1820.4 Menurut statistik tahun 1858 tercatat jumlah penduduk keturunan Arab yang
menetap di Indonesia sebanyak 1.662 atau sekitar 30% dari jumlah masyarakat Arab
yang merantau pada tahun itu.
Para perantau Arab sudah bermukim di kota-kota Maritim Indonesia sejak tahun-tahun
permulaan abad 19. Umumnya mereka adalah para pedagang. Biasanya para pedagang
Muslim menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menjual barang dagangannya
sampai habis agar bisa membeli barang dagangan setempat dan membawanya kembali
ke negerinya masing-masing. Selain itu juga pelayaran yang mereka lakukan untuk
kembali ke negeri asal tergantung pada musim. Jarak antara Indonesia dan Jazirah Arab
memakan waktu yang lama dan amat ditentukan oleh cuaca. Mereka merantau ke
Indonesia tanpa membawa istri-istrinya dan seluruhnya terdiri dari laki-laki, tua-muda
dan anak-anak. Biasanya mereka menetap berkelompok di perkampungan di dekat
pelabuhan kota. Kemudian hubungan antar kelompok pedagang muslim dengan
masyarakat
pribumi
terwujudlah
secara
bertahap.
Kondisi
yang
sedemikian
menyebabkan pedagang Arab tersebut mengadakan jalinan kekeluargaan melalui
pernikahan dengan penduduk pribumi, beranak-pinak dan tidak kembali lagi ke negeri
asal mereka.5 Bilamana ada yang
kembali ke negerinya, mereka hanya sekedar
menjenguk keluarga mereka. Data ini menunjukkan hubungan sosial antara orangorang Arab dengan penduduk setempat nampak sekali dalam hubungan perkawinan
penduduk pribumi terutama golongan bangsawan dan pedagang besar akan sangat
bangga bila dapat mengambil menantu atau ipar dari kalangan Arab terutama dari
4
L.W.C. van den Berg. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. (Jakarta : INIS, 1986)
Hussein Abdullah Badjerei. Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, (Jakarta : Presto Prima Utama,
1996)
5
kalangan Sayid.6 Dari hubungan perkawinan ini banyak di antara orang-orang Arab
yang kemudian diangkat menjadi penguasa daerah seperti Pontianak, Demak, Cirebon
dan Mataram. Realitas ini membuktikan bahwa mereka tidak hanya berperan sebagai
pedagang, tapi mayoritasnya justru melakukan aktifitas sebagai ulama dan juru
dakwah.
Aktifitas sebagai ulama dan juru dakwah dapat diambil contoh dari strategi
yang pernah dilakukan oleh Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus terlebih dahulu
membangun masjid, dan kini lebih dikenal dengan nama masjid Luar Batang. Masjid
Luar Batang yang awalnya berupa bangunan mushalla, didirikan sekitar abad ke XVIII
di Kota Tua Jakarta, tepatnya daerah Pasar Ikan hingga sekarang di Kelurahan
Pejaringan, Jakarta-Utara. Persisnya di Jl. Luar Batang V No. 1, Rt. 004/Rw. 003, Jakarta
14440. Langkah mendirikan bangunan Masjid memang memiliki peran yang strategis,
antara lain tempat kaum Muslimin: beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah
SWT, beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina kesadaran
dan mendapatkan pengalaman keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan
jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian, tempat bermusyawarah kaum Muslimin
guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat,
tempat
berkonsultasi, mengajukan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan,
tempat membina keutuhan ikatan jama’ah dan kegotong royongan di dalam
mewujudkan kesejahteraan bersama, tempat pembinaan dan pengembangan kaderkader pimpinan umat, tempat pengaturan dan kegiatan social. Jalur akulturasi lainnya
ialah melaui ritual-ritual keagamaan yang diadakan di lingkungan masyarakat Betawi
dengan mempertemukan masyarakat pribumi sekitar dengan keturunan Arab. Seperti
dalam pelaksanaan shalat Jum’at dimana pada momen ini terjadi pembauran yang
cukup intensif oleh kedua masyarakat tersebut.
6
L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab Di Nusantara, (Jakarta : INIS, 1987)
Jasa ulama Arab Hadramaut telah memainkan peranan penting dalam proses
dan perkembangan Islam di kalangan masyarakat Betawi, ditandai tersebarnya majlismajlis taklim mereka yang telah diikuti oleh masyarakat pribumi (Betawi). Jasa yang
lain dengan adanya orang Arab Hadramaut yang menetap di Batavia telah berasimilasi
dan berakulturasi dengan budaya masyarakat setempat sehingga melahirkan
kebudayaan Betawi yang bernafaskan Islami seperti kesenian musik gambus, dimana
dalam setiap acara perkawinan ditampilkan untuk meriahkan acara tersebut. Di saat
sekarang, gambus melahirkan sebuah seni musik yang disebut Marawis karena
komponen alat musiknya terdiri dari gendang-gendang kecil (Marwas) yang dipakai
dalam seni musik gambus. Seni rebana, dan tari Zapin tidak ketinggalan hadir di
tengah masyarakat Betawi.
Budaya Hadramaut lainnya yang biasa digunakan khususnya pada acara ritual
keagamaan yaitu pemakaian gamis (qamis) berupa jubah panjang berwarna putih
dengan (iqal) igal yang juga berwarna putih diikatkan di kepala. Penggunaan bahasa
pasaran (suqiyah) Arab dan terlepas dari gramatika bahasa Arab. Terkadang bahasa
Indonesia dalam percakapannya disisipi bahasa Arab, seperti “Ente (kamu) mau
dibikinin gahwah (qohwah) kopi”, kemudian kata “harim” untuk ditujukan kepada wanita
baik yang sudah menjadi istri atau belum, kata “syahi” yang berarti teh menjadi bahasa
percakapan keseharian mereka dan dipadu dengan bahasa Indonesia.
Realitas tersebut sebagai wujud interaksi yang terjadi antara komunitas Arab
dan masyarakat Betawi sangat cair dan harmonis. Suasana harmonis juga dapat
ditunjukkan, antara lain dalam tradisi haul. Haul dalam pembahasan ini diartikan
dengan makna setahun. Jadi peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang
diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh
masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan. Peringatan
haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu mengenang jasa dan hasil
perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan agama
Allah, seperti peringatan haul wali songo, para habaib dan ulama besar lainnya, untuk
dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus. Hingga sekarang, ulama-ulama Arab
Hadramaut ini sangat dihormati. Ada kemungkinan para ulama tersebut diterima
dengan baik, mempunyai beberapa penyebab mengapa mereka dapat diterima dengan
baik oleh masyarakat Nusantara, khususnya Jakarta. Penyebabnya sebagai berikut:
Pertama, karena keilmuan dan pengetahuan mereka tentang Islam yang haqiqi, dan
peranan ulama di sini sangat penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di
Jakarta. Kedua, karena masyarakat Betawi menganggap Islam yang murni lantaran
mereka berasal dari negeri kelahiran Islam yaitu Timur Tengah (Arab) dan masyarakat
banyak mengatakan mereka lebih menguasai ilmu-ilmu agama dan lebih mengenal
Islam. Walaupun lama-kelamaan masyarakat sendiri mulai menyadari bahwa tidak
semua orang Arab Hadramaut menguasai ilmu agama dan memahami Islam. Bahkan
mereka menyadari tidak hanya orang Arab Hadramaut yang hanya mampu menguasai
ilmu-ilmu agama dan memahami Islam. Walaupun demikian, orang Arab Hadramaut
(yang biasa dikenal dengan sebutan Sayyid atau Habaib) tetap menempati status sosial
yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Jakarta yang telah menguasai ilmuilmu agama. Ketiga, ada anggapan bahwa para habaib mempunyai nasab langsung
kepada Nabi Muhammad SAW dari cucunya Husein. Penghormatan masyarakat
Betawi terhadap tokoh tidak sebatas acara haul, melainkan di rumah-rumah mereka,
banyak foto yang terpasang foto para habaib dan para ulamanya. Pola interaksi inilah
yang menjadi warisan berharga untuk para penerusnya
Komunitas Arab di Batavia yang cukup lama terdapat di tiga tempat, dari arah
Utara ke Selatan, yaitu Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang. Dalam bentangan
sejarahnya,
dinamika komunitas Arab bermukim di sejumlah tempat, misalnya
Kwitang, Condet dan sebagainya. Ulama Hadramaut yang mempunyai pengaruh di
Batavia, antara lain Habib Husein bin Abi Bakr bin Abdullah al-Aydrus (w. 1756), di
Luar Batang Jakarta Utara. Habib Abdurrahman bin Abu Bakar al-Habsyi berasal dari
Hadramaut dan menetap di Batavia selama dua puluh empat tahun (1828-1853). Habib
Muhammad Jabarti (w. 1855), Salim bin Abdullah bin Somair (w. 1854) yang telah
menghasilkan sebuah karya popular di kalangan Muslim Betawi dan daerah lainnya
dengan tema Safinah an-Najah, dan seorang ulama yang cukup disegani di kalangan
ulama Nusantara serta Pemerintah Hindia Belanda ialah Sayyid Utsman bin Abdullah
bin Aqil bin Yahya al-Alawy. Melalui keteladanan mereka, kian memberikan dorongan
dan inspirasi bagi para generasi selanjutnya hingga menjadi Ulama. Di lingkungan
masyarakat Betawi, lahir ulama handal seperti KH Abdullah Syafi`i, KH Tohir Rohili,
KH Fathullah Harun, KH Hasbialloh, KH Ahmad Zayadi Muhajir, KH Achmad
Mursyidi, Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, mu`allim KH M Syafi`i
Hadzami, dan mu`allim Rasyid berguru kepada habaib terkemuka di Jakarta, yaitu
kepada Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (dikenal dengan nama Habib Ali
Kwitang) dan kepada Habib Ali Bin Husien Al-Attas (dikenal dengan nama Habib Ali
Bungur).
Dakwah Islam Berkelanjutan
Sejak kedatangan orang Arab ke Indonesia, mereka dapat diterima dengan baik
oleh penduduk setempat dan menjadi mitra kerja dalam berbagai bidang seperti
ekonomi, sosial dan politik. Hubungan tersebut pada akhirnya menciptakan proses
dakwah islamiyah berkelanjutan menuju integrasi. Persamaan agama yaitu agama
Islam dapat mempercepat proses integrasi. Suasana integrasi teruji sangat solid dalam
menghadapi sejumlah tantangan dari masa ke masa.
Bentangan abad ke-19 Masehi ditandai banyak peristiwa, antara lain : 1808-1811
Marsekal Herman Willem Daendels sebagai
Gubernur Jenderal di Batavia, pada
masanya sejarah mencatat bahwa Daendels memerintah dengan menjalankan prinsipprinsip pembaharuan dengan metode-metode kediktatoran ke Jawa. 26 Agustus Perang
Jawa Britania-Belanda dimulai. Britania di bawah Lord Minto merebut Batavia.
Belanda, yang menderita kekalahan yang hebat, mengundurkan diri ke Semarang.
Jansen mundur ke daerah Semarang. 18 September Pemerintahan Belanda dibawah
Jansen menyerah kepada Britania di Salatiga. Thomas Stamford Raffles, sebagai wakil
kerajaan Britania, diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Jawa (1811), berusaha
menunjukkan perhatiannya terhadap kesejahteraan penduduk asli sebagai tanggung
jawab pemerintah. Selain itu tindakan kebijaksanaan Raffles yang terkenal di Indonesia
adalah memasukkan sistem landrente (pajak tanah) yang selanjutnya meletakkan dasar
bagi perkembangan perekonomian, Raffles juga mengenalkan sistem uang dan
penekanan desa sebagai pusat administrasi. Memasuki tahun 1821-1840
ditandai
Perang Padri (1821-1838), Perang Diponegoro (1825-1830), Tanam paksa (1828-1825).
Memasuki tahun
1841-1860, bergolak Perang Bali, hingga munculnya tokoh Max
Havelaar (1860).
Perang Aceh (1873-1910), Perang Batak, UU Agraria muncul dalam
bentangan tahun 1861-1880. Kerancuan suasana sebagai akibat dari parilaku dan
tindakan Belanda penjajah di Indonesia tersebut semakin runyam hingga tahun-tahun
berikutnya.
Memang, pada tahun 1901 Belanda penjajah menerapkan apa yang mereka sebut
Kebijakan Etis, dimana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk memajukan
kesejahteraan rakyat Indonesia di bidang kesehatan dan pendidikan. Kebijakan baru
lainnya
termasuk
program irigasi, transmigrasi, komunikasi, mitigasi banjir,
industrialisasi, dan perlindungan industri asli. Meskipun lebih progresif dari kebijakan
sebelumnya, kebijakan kemanusiaan akhirnya tidak memadai. Sementara elit kecil dari
Indonesia sekunder dan tersier berpendidikan dikembangkan, mayoritas rakyat
Indonesia masih buta huruf. Sekolah Dasar didirikan dan resmi terbuka untuk semua,
tetapi pada 1930, hanya 8% anak usia sekolah mendapat pendidikan.
Namun, apa mau dikata tentang Kebijakan Etis tersebut, menurut Mr Hamid
Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,
banyak kalangan Arab dan Muslim enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah
Belanda. Dalam situasi tekanan kolonial7 itulah, seorang tokoh alim ulama, Habib
Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, berinisiatif mendirikan sebuah
perguruan Islam, Jamiat Kheir, tahun 1901.
Bukan hanya mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan
umum. Bersama Abubakar bin Ali Shahab, bergabung sejumlah pemuda Alawiyyin
yang mempunyai kesamaan tekad memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus
melawan propaganda jahat Belanda yang anti-Islam. Mereka antara lain, Idrus bin
Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad
bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad alHabsyi, dan Syechan bin
Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama ini, Jamiat Kheir tumbuh pesat. Mereka lantas
memindahkan pusat organisasi ini dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH Mas
Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat).
Organisasi Jami’at Khair, dalam buku Hussein Badjerei yang berjudul Al-Irsyad
Mengisi Sejarah dan Bangsa tercatat bahwa pengurus pertama dari Jami’at Khair ini
terdiri dari Said bin Ahmad Basandid sebagai Ketua; Muhammad bin Abdullah bin
Shihab sebagai Wakil Ketua; Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahman al-Mansyur
sebagai Sekretaris; dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai Bendahara. Setahun
7
Pada masa itu di Indonesia, paham Pan-Islamisme pun masuk, dan kaum Alawiyyin dituduh
sebagai pembawanya. Tidak mengherankan bila Belanda begitu benci kepada Islam dan orang-orang
keturunan Arab. Di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah, citra buruk Arab digambarkan secara
kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah.
kemudian pengurus Jami’at Khair dirubah dan tersusun menjadi: Idrus bin Abdullah
al-Mansyur sebagai Ketua; Salim bin Awad Balwell sebagai Wakil Ketua; Muhammad
alFakhir bin Abdurrahman al-Mansyur sebagai Sekretaris; dan Idrus bin Ahmad bin
Shihab sebagai Bendahara.
Pentingnya keberadaan Jami’at Khair terletak pada kenyataan bahwa lembaga
inilah yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam
(disusun anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat berkala) dan
mendirikan suatu sekolah dengan cara yang modern. Organisasi ini mendapat
pengakuan secara hukum dari pemerintah Belanda pada 17 Juli 1905.
Kegiatan organisasi ini meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul
Aitam. Di Tanah Abang, Jakarta Pusat bersama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar
juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan
Kebon Melati (kini Jl Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi,
Senen, Jakarta Pusat. Organisasi ini juga dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam.
Sebut misalnya KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto
(pendiri Syarikat Islam), H Samanhudi (pendiri dan tokoh Syarekat Dagang Islam/SDI),
dan H Agus Salim. Beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota,
atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir. Data tersebut
membuktikan bahwa organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa perbedaan asal
usul, tetapi mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Organisasi ini bergerak
dalam bidang keagamaan, sosial dan pendidikan.
Jam’iyah Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah
Di tahun 1913, bersama beberapa tokoh Arab non-sayyid, Ahmad Surkati
mendirikan organisasi baru, Jam’iyah Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah (Asosiasi Arab
untuk perbaikan dan pembimbingan) yang lebih dikenal dengan nama Al-Irsyad.
Organisasi ini dengan cepat berkembang dan mendapat pengakuan pemerintah
Belanda pada 6 September 1914.
Pada awalnya Al-Irsyad memusatkan perhatian pada bidang pendidikan
terutama pada masyarakat Arab. Disamping itu juga memberikan perhatian pada
permasalahan yang timbul dikalangan masyarakat keturunan Arab walaupun orangorang Indonesia Islam bukan Arab ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan
bekerja sama dengan organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah dan Persatuan
Islam.
Organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat perhatiannya kepada persoalan-
persoalan yang lebih luas yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia. 8
Sejak didirikan oleh Ahmad Surkati, Al-Irsyad telah mengalami banyak
perkembangan dengan berbagai masalah yang dihadapinya baik secara intern maupun
ekstern. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Al-Irsyad yang hingga saat ini telah
memiliki 49 cabang di 20 provinsi yang tersebar di seluruh pelosok kota di Indonesia
seperti Jakarta, Cirebon, Semarang, Solo, Banyuwangi, Tegal, Pekalongan, Papua, dan
lain-lain.
Persatuan Arab Indonesia (PAI)
Golongan Alawi mendirikan ar-Rabitah al Alawiyah pada tahun 1928.
Organisasi ini tujuan utamanya mempererat persaudaraan sesama Alawi. Berbagai
usaha mendamaikan golongan ini selalu gagal. Perseteruan kedua belah pihak berakhir
setelah terbentuknya Persatuan Arab Indonesia (PAI) tahun 1934 yang diketuai oleh
Abdurrahman Baswedan, beliau lebih akrab dipanggail A.R. Baswedan.
8
1995)
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES,
Agenda utama PAI untuk memperbaiki keadaan dan kedudukan keturunan
Arab dan masyarakat Arab pada umumnya. Selain itu mempererat perhubungan
antara sesama keturunan Arab dan etnis lain sesama penduduk Indonesia.
Pada tahun 1940, melalui forum konggres
akhirnya PAI mendjadi sebuah
organisasi yang bersifat politik, kata “Persatuan” menjadi “partai”. Tujuannya jelas
menyatakan bahwa PAI mendidik keturunan Arab supaya menjadi putera/I Indonesia
yang berbakti kepada Tanah Airnya dan masyarakatnya. Bekerja membantu segala
daya dan upaya “politik”ekonomi dan social menuju keselamatan rakyat dan tanah air
Indonesia.
Kehadiran sejumlah ormas Islam (Jamiat Khier, alIrsyad, PAI) yang dibintangi
oleh komunitas Arab tersebut di atas membuktikan bahwa
di samping aktifitas
perdagangan dan dakwah Islam, tidak sedikit kaum imigran Hadhrami ini berhasil
memasuki kancah politik dan menduduki posisi penting. Kenyataan ini mempercepat
terjadinya assimilasi dan percepatan proses dakwah islamiyah di Indonesia.
Percepatan dakwah islamiyah ditandai dengan terwujudnya jaringan intelektual
Ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah (alHaramain). Jaringan tersebut
terbentuk berkat sejumlah ulama yang datang dari berbagai belahan dunia Islam,
termasuk di dalamnya para ulama dari dunia Melayu-Nusantara, tidak terkecuali
Jakarta yang membawa semacam "tradisi kecil Islam" dari wilayah asalnya, dan
kemudian berinteraksi dengan sejumlah tradisi kecil Islam lain, sehingga pada akhirnya
membentuk sebuah "tradisi besar Islam" yang sangat kosmopolit, dan kemudian
tersebar kembali ke berbagai wilayah melalui jaringan keulamaan yang terbangun.
Daftar Pustaka
Affandi Bisri, 1999, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharuan & Pemurnian Islam di
Indonesia, Jakarta :alKautsar.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES,
1995), hlm.
Hamka, 1961, Sejarah Umat Islam, Bukit Tinggi-Jakarta: NV Nusantara.
Noerman, Moehammad, 1971, Sejarah Kebudayaan, Bukittinggi : Pustaka Saadiyah
Pijper, G.F., 1984, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia : 1900-1950,
Penterjemah : Tudjimah & Jessy Agustin, Jakarta : UI Press.
Santoso Budi, 2000, Peranan Keturunan Arab Pergerakan Nasional Indonesia, Jakarta :
Progres
Wallah alMuwafiq
Tebet, 03 Juni 2012
Download