BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaminan Kesehatan Nasional

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah suatu program masyarakat
dengan tujuan memberikan kepastian jaminan yang menyeluruh bagi setiap rakyat
Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera
yang sesuai dengan prinsip asuransi sosial dan prinsip equitas yang terdapat
dalam Undang-undang No.40 Tahun 2004 pasal 19 ayat 1. Jaminan Kesehatan
adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah. Badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan ini adalah Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan (Anonim, 2011).
Pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No.40 tahun 2004 ini mengamanatkan
bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang No. 24 tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional
diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan (Anonim, 2011). Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional
7
8
(JKN) diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai pada
1 Januari 2014 (Anonim, 2011).
2.2 Pelayanan Kefarmasian
Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009, dijelaskan bahwa pelayanan
kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam melakukan
pelayanan kefarmasian, apoteker berkewajiban memberikan infomasi yang benar,
jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Oleh
karena itu, apoteker harus berinteraksi langsung dengan pasien dalam hal
informasi penggunaan obat yang bertujuan untuk menjamin keamanan, efektifitas,
dan kerasionalan penggunaan obat (Anonim, 2009).
Berdasarkan Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, pelayanan
kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dan merupakan
wujud pelaksanaan praktik kefarmasian. Pada saat ini paradigma pelayanan
kefarmasian telah meluas dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug
oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi pada pasien (patient oriented)
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien melalui pencapaian
luaran klinik yang optimal (Menkes RI, 2004).
Sebagai konsekuensi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian pada saat
ini, maka apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk
9
interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian infomasi,
monitoring penggunaan obat, dan melaksanakan pendokumentasian pengobatan
dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu,
apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar (Menkes RI, 2004).
2.3 Pemantauan Terapi Obat
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Kegiatan tersebut mencakup : pengkajian pilihan obat, dosis, cara
pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) dan
rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus
dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode
tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. Pasien yang
mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat.
Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respon pasien yang sangat
individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut
menyebabkan perlunya dilakukan PTO (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2009).
Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah
munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang dalam
melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit, farmakoterapi serta interpretasi
hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan
keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan
10
menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai
dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat,
rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses
tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2009).
2.4 Edukasi
Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan
pengetahuan tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama
pasien setelah mendapat informasi, untuk tercapainya hasil pengobatan yang
optimal (Menkes RI, 2004). Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan
perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien.
Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan
motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat (Perkeni, 2006).
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang
diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya,
mengenali masalah kesehatan atau komplikasi yang mungkin timbul secara dini,
ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku kesehatan yang diperlukan (Perkeni, 2006).
Berikut ini adalah materi inti untuk pendidikan yang komprehensif yang dapat
diberikan kepada pasien diabetes :
1. Definisi diabetes, proses penyakit, dan pilihan pengobatan
2. Terapi nutrisi
11
3. Aktivitas fisik
4. Penggunaan obat
5. Memonitor kadar gula sendiri
6. Mencegah, mendeteksi, dan mengobati komplikasi-komplikasi akut dan
kronis
7. Target untuk mencapai hidup sehat
8. Menyesuaikan sendiri perawatan dalam kehidupan sehari-hari (problem
solving)
9. Penyesuaian psikososial dalam kehidupan sehari-hari
(Mensing et al., 2005).
2.5 Diabetes Melitus
2.5.1 Definisi dan Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan
suatu
kelompok
penyakit
metabolik
dengan
karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
Batasan dikatakan diabetes melitus bila :
1.
GDS (Gula Darah Acak) >200 mg/dl (11,1 mmol/L).
2.
GDP (Gula Darah Puasa) > 126 mg/dl (7 mmol/L).
3.
GD (Gula Darah) > 200 mg/ dl sesudah TTGO
Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih
berdasarkan etiologi penyakitnya (Depkes RI, 2005) yaitu :
12
1.
Diabetes melitus tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya
terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh
reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam
virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain
sebagainya. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM
Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell
surface
antibodies),
dan
antibodi
terhadap
GAD
(glutamic
acid
decarboxylase) (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 terjadi pada 90 % dari semua kasus diabetes
dan biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif.
Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipopilis dan produksi asam
lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan
pengambilan glukosa pada otot skeletal. Disfungsi sel β mengakibatkan
gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan
karena gaya hidup penderita diabetes (kelebihan kalori, kurangnya olahraga,
dan obesitas) dibandingkan pengaruh genetik (Sukandar dkk, 2008).
3.
Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Melitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa
13
kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar
4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada
atau setelah trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun
umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun
dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang
dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi
ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu,
wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk
menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat
mengurangi risiko-risiko tersebut (Depkes RI, 2005).
2.5.2 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
2.5.2.1 Terapi Non Farmakologi
1.
Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan kecukupan
gizi baik sebagai berikut : karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak 2025%. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi
insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam
14
salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat
mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu
parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi
300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati,
yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam
lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam
(terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung
lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan
paling tidak 25 g per hari (Depkes RI, 2005).
2.
Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan
nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk
penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan
asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.
15
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari
pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling
tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga
akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin
dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005).
2.5.2.2 Terapi Farmakologi
1. Terapi Insulin
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas akan
langsung dialirkan ke hati melalui vena porta, yang kemudian akan
didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (Muchid dkk.,
2005). Mekanisme kerja insulin adalah membantu transpor glukosa dari darah
ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah terhambat
masuk ke dalam sel. Akibatnya tubuh kekurangan bahan sumber energi
sehingga tidak dapat memproduksi energi secara normal (Muchid dkk.,
2005).
Tujuan terapi dengan insulin adalah menggantikan insulin pada
keadaan basal normal (waktu malam hari, puasa dan antara waktu makan)
serta insulin bolus atau prandial (pada waktu makan). Regimen terkini
menggunakan insulin kerja panjang untuk menyediakan insulin selama
keadaan basal dan insulin kerja cepat untuk memenuhi kebutuhan insulin
16
prandial. Insulin kerja cepat diberikan sebagai dosis tambahan untuk
mengatasi adanya hiperglikemia (Katzung, 2011).
Terapi insulin diindikasikan untuk :
a. Semua penderita DM tipe 1 yang memerlukan insulin eksogen karena
produksi insulin endogen oleh sel-sel beta pankreas hampir tidak ada.
b. Penderita DM tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi
insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah.
c. Keadaan stres berat seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan,
infark miokard akut atau stroke.
d. DM gestasional atau penderita DM yang hamil membutuhkan terapi
insulin, apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
e. Ketoasidosis diabetik.
f. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,
secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau
ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
g. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
h. Kontraindikasi atau alergi terhadap obat antidiabetika oral.
(Muchid dkk., 2005).
17
Tabel 2.1 Penggolongan Sediaan Insulin Berdasarkan Waktu Kerja (Soewondo,
2011)
Sediaan insulin
Awal kerja
Puncak
kerja
Durasi
kerja
Insulin prandial (meal related)
Insulin short acting
Regular (Acrapid, Humulin R)
vial,
pen/
cartridge
30-60 menit
2-3 jam
5-15 menit
5-15 menit
5-15 menit
30-90 menit 3-5 jam
30-90 menit 3-5 jam
30-90 menit 3-5 jam
pen/cartridge
pen
pen, vial
Insulin Intermediete-acting
NPH (Insulatard, Humulin N)
2-4 jam
4-10 jam
10-16 jam
vial,
pen/
cartridge
Insulin long acting
Insulin glargine (Lantus)
Insulin detemir (Levemir)
2-4 jam
2-4 jam
No Peak
No Peak
18-26 jam
22-24 jam
pen
pen
Dual
10-16 jam
pen/cartridge
Dual
15-18 jam
pen
16-18 jam
pen/cartridge
Insulin Analog rapid-acting
Insulin lispro (Humalog)
Insulin glulisin (Apidra)
Insulin aspart (Novorapid)
Insulin campuran
(Short dan intermediete acting
70%NPH 30% reguler
(Mixtard, Humulin 30/70)
30-60 menit
70% insulin aspart protamine/
30% insulin aspart (NovoMix 10-20 menit
30)
75% insulin lispro protamin/
30% insulin lispro
5-15 menit
Dual
(Humalog Mix 25)
Keterangan
Nama dalam tanda kurung adalah nama dagang.
5-8 jam
Kemasan
18
2. Terapi Obat Hipoglikemik Oral
a. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin
yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan
sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (Muchid dkk., 2005).
Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Contoh obat
sulfonilurea generasi pertama adalah asetoheksamida, klorpropamida,
tolazamida, dan tolbutamida, sedangkan generasi kedua antara lain
gliburida (glibenklamid), glipizida, glikasida, glimepirida, dan glikuidon
(Muchid dkk., 2005).
b. Golongan Glinida (Meglitinida dan Turunan Fenilalanin)
Glinida merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan obat
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama (Soegondo dkk., 2006). Namun, kerjanya lebih singkat jika
dibandingkan dengan obat sulfonilurea. Obat antidiabetika oral ini terdiri
dari 2 macam yaitu golongan meglitinida (repaglinida) dan turunan
fenilalanin (Muchid dkk., 2005).
c.
Golongan Biguanid
Biguanid akan meningkatkan kepekaan reseptor insulin sehingga
absorpsi
glukosa
di
jaringan
perifer
meningkat,
menghambat
glukoneogenesis dalam hati dan nantinya akan meningkatkan penyerapan
glukosa di jaringan perifer (Tjay dan Rahardja, 2007). Obat golongan
19
biguanid yang sering digunakan pada pasien DM tipe 2 adalah metformin
(Soegondo dkk., 2013). Efek samping dari golongan biguanid yang sering
terjadi adalah nausea,
muntah, kadang-kadang diare dan dapat
menyebabkan asidosis laktat (Muchid dkk., 2005).
d. Golongan Tiazolidindon (TZD)
Thiazolidindion bekerja dengan mengikat pada peroxisome
proliferator activator receptor-γ (PPAR-γ), yang terutama ada pada sel
lemak dan sel vaskular.Thiazolidindion adalah obat golongan baru yang
mempunyai efek meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, liver, dan
jaringan lemak, sehingga bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan
berbagai
masalah
akibat
resistensi
insulin
tanpa
menyebabkan
hipoglikemia (Tjay dan Raharja, 2007; Triplitt et al., 2005). Dua anggota
dari golongan tersebut tersedia secara komersial adalah rosiglitazon dan
pioglitazon.
e. Golongan Inhibitor α-Glukosidase
Golongan ini bekerja menghambat enzim α-glukosidase di usus
halus, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi monosakarida
terhambat. Dengan demikian glukosa yang dilepaskan menjadi lebih
lambat dan absorpsinya di usus halus menjadi berkurang, serta mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Contoh obat yang
termasuk ke dalam kelompok ini antara lain akarbose dan miglitol
(Soegondo dkk., 2013).
20
Tabel 2.2 Obat Antidiabetika Oral (Soewondo, 2011)
Golongan
Generik
mg/tab
Dosis
harian
(mg)
Lama
kerja
(jam)
Frek
/
hari
Klorpropamid
100-250
100-500
24-36
1
Glibenklamid
2,5-5
2,5-15
12-24
1-2
Glipizid
5-10
5-20
10-16
1-2
Glikazid
80
80-320
10-20
1-2
Glikuidon
30
30-120
6-8
2-3
Glimepirid
1,2,3,4
0,5-6
24
1
Repaglinid
1
1,5-6
-
3
Nateglinid
120
360
-
3
Rosiglitazon
4
4-8
24
1
Pioglitazon
15-30
15-45
24
1
Akarbose
50-100
100-300
-
3
Metformin
500-850
2503000
6-8
1-3
Metformin XR
500-750
-
24
1
Vildagliptin
50
50-100
12-24
1-2
Sitagliptin
25,50,10
0
50-100
24
1
Saxagliptin
5
5
24
1
Sulfonilurea
Glinid
Thiazolidindion
Inhibitor αGlukosidase
Biguanid
Inkretin
(Penghambat
DPP-IV)
Waktu
Sebelum
makan
Cara Kerja
utama
Meningkatkan sekresi
insulin
Sebelum
makan
Tidak
tergantun
g jadwal
makan
Menambah
sensitivitas
terhadap
insulin
Bersama
makanan
Menghambat
absorpsi
glukosa
Bersama/
sesudah
makan
Menekan
produksi
glukosa hati
Tidak
tergantun
g jadwal
makan
Meningkatkan sekresi
insulin
21
2.6 Hipertensi
2.6.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg.
Untuk memastikan hipertensi atau tidak dilakukan pengukuran tekanan darah
minimal sebanyak tiga kali dalam jangka waktu beberapa minggu.
Tabel 2.3. Klasifikasi tekanan darah menurut The Seventh Report of The Joint
National Committe (JNC VII) (Chobanian, 2004).
Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
< 120
< 80
Pre hipertensi
120 - 139
80 - 89
Hipertensi Derajat 1
140-159
90 - 99
Hipertensi Derajat 2
≥ 160
≥ 100
2.6.2 Penatalaksanaan Hipertensi
2.6.2.1 Terapi Non Farmakologi
Pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang (sistolik 140-160 mmHg
dan atau diastolik 90-100 mm Hg), terapi non-farmakologis bermanfaat terutama
untuk pasien diabetes melitus tipe 2 dengan kelebihan berat badan. Terapi non
farmakologi tersebut antara lain : Penurunan berat badan, meningkatkan aktivitas
fisik, dan pengurangan asupan alkohol. Saran lain adalah dengan tidak
menambahkan garam ke makanan, meningkatkan asupan serat dan pengurangan
asupan lemak jenuh (Barnett et al., 2000).
22
2.6.2.2 Terapi Farmakologi
1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan
angiostensin I menjadi angiostensin II. Angiostensin II adalah vasokonstriktor
poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006). ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini
merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes
(Saseen dan Carter, 2005). Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil,
Lisinopril, Ramipril, Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)
ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung
reseptor angiostensin II. ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu
merupakan obat pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes.
Secara farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam
efferent arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,
diabetes melitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal. ARB
merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal
pada pasien DM tipe 2 dengan nefropati (Saseen dan Carter, 2005). Contoh obatobat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan, Telmisartan, Olmesartan
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
23
3. Diuretics
Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus
kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan
sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat
kalium adalah spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa
menyebabkan kehilangan kalium dalam urin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006).
4. Beta Blocker (β-blocker)
Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes,
dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan (Saseen dan Carter, 2005). Agen ini
dapat mengurangi curah jantung, denyut jantung dan aliran darah ginjal dan
meningkatkan resistensi perifer serta sebagai antiangina. Pada diabetes melitus
kejadian angina sering terjadi dan obat ini dapat digunakan sebagai lini pertama
(Kendall, 1981). Contoh : Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol (Ditjen
Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
5. Calcium Chanel Blocker (CCB)
CCB memiliki sifat vasodilatasi perifer, langsung menurunkan resistensi
perifer total karena tekanan darah. Agen ini telah terbukti memiliki efek antiangina, kardioprotektif, dan antiaritmia, Pada manusia, agen ini tidak
mempengaruhi profil metabolik yaitu tanpa efek yang merugikan pada lipid atau
glikemik (Maxwell et al., 1995). Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin,
Felodipin, Nifedipin, Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006). Adapun penggolongan obat antihipertensi dapat dilihat pada lampiran 1.
24
2.7 Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Hipertensi
Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi
insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah
diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin
merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi
natrium (Saseen dan Carter, 2005).
Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian dari sindrom
metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa
tahun pada pasien ini sebelum diabetes melitus muncul. Hiperinsulinemia
memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada
ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada sistem saraf simpatetik,
dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui hipertropi vaskular.
Penatalaksanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg) mengurangi
perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Saseen dan Carter,
2005).
Download