BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Capital Asset Pricing Model (CAPM) Pada tahun 1990 Nobel Prize di berikan kepada Professors Harry Markowitz dan William F. Sharpe, sebagai pengembang dari metode capital asset pricing model (model penetapan harga aset modal) atau CAPM, yang dikembangkan sejak tahun 1964. Model serupa juga dikembangkan secara independen dalam tempo yang hampir bersamaan oleh John Lintner dan Jan Mossin antara tahun 1964 – 1966. CAPM menyarikan hubungan antara imbal hasil dan risiko dari aset serta hubungan antara imbal hasil aset tersebut dengan imbal hasil aset-aset lainnya, seperti dalam Scott, Martin, Petty, and Keown, 2002, “Financial Management, Principles and Application”, 9th Edition, pp.191, “ The capital asset pricing model is an equation that equates the expected rate of return on a stock to the risk-free rate plus a risk premium for the stock’s systematic risk.” Sementara dalam Houston and Brigham, 2001, “Fundamentals of Financial Management”, 9th Edition, pp.250, “ A model based on the proposition that any stock’s required rate of return is equal to the risk-free rate of return plus a risk premium that reflects only the risk remaining after diversification.” Ada banyak kemungkinan variabel yang mempengaruhi imbal hasil sebuah aset dalam dunia investasi yang kompleks, tetapi dalam CAPM variabel-variabel 9 10 tersebut dirangkum dalam persamaan aritmatik sederhana. Secara umum persamaan dari CAPM adalah : E (r ) − Rf = β [E ( Rm) − Rf ] Dimana: E(r) = expected rate of return Rf = tingkat suku bunga bebas risiko β = beta (ukuran risiko sistematis) atas suatu investasi E(Rm) = expected rate of return dari market / portfolio pasar [E ( Rm) − Rf ] disebut sebagai premi risiko, karena mencerminkan kompensasi atas kesanggupan investor dalam menanggung risiko diatas tingkat suku bunga bebas risiko. Portfolio pasar adalah portfolio yang mewakili semua kesempatan inveatasi yang ada. Sebagai pendekatan dapat digunakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa saham. Beta diartikan sebagai suatu ukuran kepekaan sebuah portfolio investasi terhadap risiko pasar, atau dengan kata lain, besarnya kontribusi risiko porfolio investasi terhadap risiko pada portfolio pasar secara keseluruhan. Persamaan dari Beta adalah: β= Cov( Ri, Rm) σm 2 11 dimana: β = beta (systematic risk) Cov (Ri,Rm) = covariance antara Return saham (AQUA; INDF; MYOR; SUBA; ULTJ) dengan return market (IHSG) σm2 = variance dari return market (IHSG) Risiko total dari sebuah aset terdiri dari risiko yang bisa didiversifikasi dan risiko sistematis yang tidak bisa hilang dengan diversifikasi. Menurut CAPM, hanya risiko sistematislah yang mempengaruhi imbal hasil dari sebuah aset. Risiko lainnya bisa hilang lewat proses diversifikasi (pembentukan portofolio yang terdiri dari asetaset dengan pergerakan harga saham yang tidak bersamaan). Pada tahun 1978, Richard Roll, seorang profesor dari UCLA, mempublikasikan sebuah artikel yang mengkritik CAPM di Journal of Financial Economics. Roll berargumen CAPM bukanlah teori yang baik karena tak bisa diuji secara empiris. Jika portofolio pasar tidak efisien, CAPM tak menghasilkan prediksi apa pun. Dalam prakteknya mustahil untuk memperoleh portofolio pasar yang ideal seperti yang diisyaratkan CAPM. Selanjutnya pada awal dekade 1990-an, secara empiris beberapa pakar penelitian seperti Profesor Eugene Fama, pengembang Efficient Market Hypothesis, telah berusaha melakukan penelitian praktis tentang peranan β dalam menerangkan perilaku imbal hasil saham-saham. Hasil riset mereka tak memperlihatkan peranan signifikan dari β untuk data pasar saham di Amerika Serikat dari 1963 – 1990. 12 Dengan begitu, CAPM tak terlihat manfaatnya, baik secara teoretis, empiris, maupun secara praktis. Model-model baru sebagai alternatif dari CAPM sering bertitik tolak dari CAPM. Penelitian-penelitian empiris tentang CAPM telah membawa kepada banyak penemuan baru tentang variabel-variabel lain yang mempengaruhi kinerja saham. Tanpa pengetahuan tentang CAPM, agak sulit bagi investor untuk mengerti logika dan kesimpulan dari penelitian-penelitian ini. Beberapa model alternatif baru bermunculan dan berusaha menggantikan tempat CAPM. Diantaranya adalah Arbitrage Pricing Theory (teori penetapan harga berdasarkan arbitrase) oleh Stephen Ross, model-model asset pricing yang menggunakan continous-time mathematics seperti yang dikembangkan Robert Merton, dan model-model simulasi yang memanfaatkan peningkatan eksponensial dari kinerja prosesor komputer. Tetapi model yang bermunculan tetap saja tak dapat menggantikan tempat CAPM dalam sejarah perkembangan teori investasi. 2.1.1 Beta Coefficient Kecenderungan dari naik turunnya harga saham seiring dengan keadaan pasar tercermin dari beta coeficient (β). Beta adalah elemen kunci dalam CAPM. Beta menurut Houston and Brigham, 2001, “Fundamentals of Financial Management”, 9th Edition, pp.251, “ Beta coefficient, a measure of market risk, which is the extend to which the returns on a given stock move with the stock market” jadi beta sebagai alat ukur risiko pasar, dimana tingkat pengembaliannya berubah bersama dengan 13 perubahan pasar. Atau dalam Scott, Martin, Petty, and Keown, 2002, “Financial Management, Principles and Application”, 9th Edition, pp.186, “Beta, a measure of the relationship between an investment’s return and the market’s returns. This is a measure of the investment’s nondiversifiable risk.” Beta, sebagai alat untuk mengukur hubungan antara tingkat pengembalian investasi dengan tingkat pengembalian pasar, sebagai ukuran risiko sistematis yang tidak dapat didiversifikasi. Menurut Brigham and Gapenski, 1997,” Financial Management Theory and Practice” , 8th Edition, pp.165,”The tendency of a stock to move up and down with the market is reflected in its beta coefficient, β” Beta digunakan untuk menghitung bagaimana individual stock’s return dibedakan dari market return. Beta juga mengukur sensitivitas dari individual stock’s return dengan perubahan pasar yang ada. Pengukuran beta dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Dimana beta pasar sama dengan 1, maka secara umum dapat dilihat bahwa: ! Perusahaan yang memiliki beta = 1 mengindikasikan risiko pasar rata-rata. Harga sahamnya tidak lebih bergejolak ataupun lebih kecil dari risiko pasar yang ada. ! Perusahaan dengan beta > 1 mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan dengan risiko pasar (contohnya : perusahaan teknologi). ! Perusahaan dengan beta < 1 mempunyai risiko dibawah risiko pasar ( contohnya : utilities). 14 2.2 Leverage Sesuai dengan CAPM, the required return hanya bergantung dari risiko yang sistematis dari investasi. Dimana risiko yang sistematis dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, yang biasa disebut dengan risiko bisnis (business risk), atau operating risk. Kedua, menunjuk pada risiko keuangan (financial risk). Sangatlah penting untuk membedakan kedua tipe risiko ini, karena memberikan pengaruh pada required return yang berbeda. Sudah menjadi sifat dari investasi, bahwa perusahaan tidak dapat mengendalikan risiko bisnisnya. Sebaliknya, risiko keuangan perusahaan ditentukan oleh jumlah debt yang dimiliki perusahaan, yang disebut dengan financial leverage. Lebih banyak leverage akan menaikan risiko. Financial leverage mengijinkan para pemegang saham untuk mengendalikan lebih banyak aset dari yang dimungkinkan jika mereka hanya memakai modal mereka. Lebih lanjut dari financial leverage, ada tipe kedua dari leverage, yang disebut dengan operating leverage. 2.2.1 The Degree of Operating Leverage Salah satu faktor yang mempengaruhi risiko bisnis suatu perusahaan bisa dilihat dari seberapa besar biaya tetap dalam stuktur biaya perusahaan, yang digunakan dalam operasi perusahaannya. Jika biaya tetap yang digunakan cukup besar, maka bila terdapat sedikit perubahan pada penjualan maka akan berdampak pada perubahan yang besar pada Return on Equity (ROE), begitu juga sebaliknya, seperti dalam Houston and Brigham, 2001, “Fundamentals of Financial 15 Management”, 9th Edition, pp.607, “In business terminology, a high degree of operating leverage, other factors held constant, implies that a relatively small changes in sales results in a large change in ROE.” Brigham and Gapenski, 1997,” Financial Management Theory and Practice” , 8th Edition, pp.573,”In business terminology, a high degree of operating leverage, other factors held constant, implies that a relatively small change in sales result in a large change in ROE. We can calculate the breakeven quantity by recognizing that breakeven occurs when ROE = 0, and hence, when earnings before interest and taxes (EBIT) = 0.” EBIT = 0 = PQ − VQ − E Emery and Finnerty, 1997, “Corporate Financial Management”, pp.313, “Operating leverage is the relative mix of fixed versus variable cost in the process use to product or service” operating leverage berhubungan dengan kombinasi antara biaya tetap dengan biaya variabel yang digunakan dalam proses produksi barang dan jasa. Scott, Martin, Petty, and Keown, 2002, “Financial Management, Principles and Application”, 9th Edition, pp.482, “Operating leverage is the responsiveness of the firm’s EBIT to fluctuations in sales” operating leverage bertanggung jawab pada besarnya EBIT, dalam hubungannya dengan perubahan penjualan. Persamaan DOL berdasarkan pada penjualan: DOLs = %changeinEBIT %changeinsales 16 changeinEBIT EBIT = changeinSales sales Jika dimiliki data dari biaya, maka dapat digunakan formula: Sales − VariableCost EBIT DOLs = Q (P − V ) Q (P − V ) − F = Dalam menggunakan persamaan diatas, diperlukan data biaya untuk mengetahui operating leverage. Tetapi bila hanya terdapat income statement , maka dapat menggunakan persamaan: DOLs = Re venueBeforeFixedCosts EBIT = S − VC S − VC − F Dalam Scott, Martin, Petty, and Keown, 2002, “Financial Management, Principles and Application”, 9th Edition, pp.484, “The three versions of the operating leverage measure all produce the same result. Data availability will sometimes dictate which formulation can be applied. The crucial consideration, though, is that you grasp what the measurement tells you.” 17 2.2.2 The Degree of Financial Leverage Emery and Finnerty, 1997, “Corporate Financial Management”, pp.313, “Operating risk depends principally on the nature of the investment and to a lesser extend on the firm’s choice of operating leverage. In contrast, financial risk depends mostly on financial leverage. When a firm has some debt financing, the debt portion of its financing cost are fixed rather than variable. Although we would expect a larger return to shareholders than to debtholders, shareholder return can vary from one period to the next without affecting the operation of the firm. However, failure to make required debt payments can result in bankruptcy. We could say, then, that financial leverage substitutes fixed payments to debtholders for variable payments to shareholders.” Scott, Martin, Petty, and Keown, 2002, “Financial Management, Principles and Application”, 9th Edition, pp.486, “Financial leverage as the practice of financing a portion of the firm’s assets with securities bearing a fixed rate of return in hope of increasing the ultimate return to the common shareholders.” Financial leverage dapat difokuskan pada hubungan perubahan antara earning per share dengan EBIT perusahaan. Tingkat pengembalian dari common stockholder dapat dipusatkan pada earning per share, tetapi earning per share juga bukan merupakan kriteria yang tepat untuk semua keputusan keuangan. Penggunaan financial leverage dapat menghasilkan pengaruh pada keputusan-keputusan tertentu saja. Untuk mengukur hubungan antara earnings per share dengan naik turunnya EBIT, dapat dilihat dari persamaan: 18 DFL = %changeinEPS %changeinEBIT changeinEPS EPS = changeinEBIT EBIT Atau dapat juga menggunakan persamaan: DFL = 2.3 EBIT EBIT − I Debt to Equity Ratio Ross,Westerfield, and Jaffe,2001, “Corporate Finance”,6th Edition, pp.35, “Financial leverage is related to the extend to which a firm relies on debt financing rather than equity. Measures of financial leverage are tools in determining the probability that the firm will default on its debt contrast. The more debt a firm has, the more likely it is that the firm will become unable to fulfill its contractual obligations. In other words, too much debt can lead to a higher probability of insolvency and financial distress. On positive side, debt is an important form of financing, and provides a significant tax advantages because interest payments are tax deductible. If firm uses debt, creditors and equity investors may have conflicts of interest. Creditors may want the firm to invest in less risky ventures than those the equity investors prefer. The debt ratio : Debt − to − EquityRatio = TotalDebt TotalEquity Debt ratios provide information about protection of creditors from insolvency and the ability of firms to obtain additional financing for potentially attractive 19 investment opportunities. However, debt is carried on the balance sheet simply as the unpaid balance.Consequently, no adjustment is made for the current level of interest rates (which may be higher or lower than when the debt was originally issued) or risk. Emery and Finnerty, 1997, “Corporate Financial Management”, pp.53, “Debt equity ratio is a simple rearrangement of the debt ratio and expresses the same information on a different scale. Whereas the debt ratio can be as small as zero but, assuming positive equity, is always less than 1.0, the debt/equity ratios ranges from zero to infinity.” Financial leverage dapat digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam melunasi hutangnya. Semakin besar hutang perusahaan, maka semakin besar juga kemungkinan perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya, atau dengan kata lain semakin besar hutang perusahaan, akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya, dan kerugian bagi perusahaan itu sendiri. Selain itu peningkatan penggunaan jumlah Debt akan meningkatkan risiko yang mungkin terjadi, yang berarti akan semakin tinggi pula imbal hasil (required return) yang akan diminta oleh para pemegang saham. Tetapi di lain pihak, besarnya penggunaan Debt suatu perusahaan juga berarti semakin besar Tax Shield yang dapat disimpan oleh perusahaan, dimana dapat memperbesar earning perusahaan. Maka penting ditentukan berapa besar debt dan equity yang dapat digunakan untuk membiayai aset perusahaan, yaitu dengan jalan menghitung Debt-to-Equity 20 Ratio (DER). DER mengindikasikan berapa besar penggunaan debt dalam membiayai aset perusahaan.