61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil

advertisement
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum Komoditi Karet di Indonesia
Karet alam merupakan produk yang diperoleh dari pengolahan lateks
pohon dan semak-semak, umumnya melalui torehan atau pemotongan
tanamannya. Lateks dapat digolongkan sebagai cadangan makanan bagi pohonnya
dan merupakan pula “bahan penyembuh” jika kulit pohonnya terluka. (PS Siswo
Putranto, 1981:1)
Karet pertama kali dikenal dalam tulisan Antonio de Herrera (1601) dan
juga oleh Juan de Torquemada (1935). (PS Siswo Putranto, 1981:2)
Di Indonesia, walaupun biji-biji karet telah dimasukan ke Kebun Raya di
Bogor pada tahun 1876, baru sekitar tahun 1903 dimulai usaha membuka
perkebunan karet di Sumatera dan sekitar tahun 1906 di pulau Jawa. (PS Siswo
Putranto, 1981:50)
Perkebunan karet di Indonesia terdiri dari 85 perkebunan karet milik
rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik
swasta. (Chairil Anwar:2001)
Secara keseluruhan luas areal karet di Indonesia dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
62
Tabel 4.1
Luas areal karet menurut propinsi di seluruh Indonesia
2002-2006
hektar
Tahun/Year
No. Propinsi/Province
2002
(1)
2003
2004
2005
Pertumbuhan/
Growth
2006 over 2005
2006*)
(%)
(7)
(8)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Nanggroe Aceh
1
Darussalam
95.738
98.581
114.950 116.071 117.720
2 Sumatera Utara
437.672 448.945
440.647 448.852 456.864
3 Sumatera Barat
103.940 101.340
104.197 102.242 103.228
4 Riau
397.515 423.020
353.506 362.090 369.844
5 Kepulauan Riau
30.955
30.524
30.938
6 Jambi
433.881 424.838
436.462 429.170 433.766
7 Sumatera Selatan
682.688 637.868
644.385 655.230 658.813
8 Bangka Belitung
34.694
31.095
30.387
29.279
28.856
9 Bengkulu
75.684
72.218
72.367
71.137
71.353
10 Lampung
80.795
71.879
84.008
81.884
81.495
11 DKI Jakarta
12 Jawa Barat
56.745
57.924
51.904
51.989
52.287
13 Banten
21.709
21.119
23.341
23.057
23.496
14 Jawa Tengah
29.770
32.576
32.021
30.581
30.113
15 DI. Yogyakarta
16 Jawa Timur
25.377
18.962
26.540
25.362
25.176
17 Bali
90
102
89
95
96
18 NTT
19 NTB
20 Kalimantan Barat
373.858 369.258
365.780 375.310 379.040
21 Kalimantan Tengah
261.773 261.834
259.001 256.596 255.720
22 Kalimantan Selatan
129.615 144.424
128.292 129.582 129.956
23 Kalimantan Timur
52.046
43.537
49.441
45.487
45.533
24 Sulawesi Utara
25 Gorontalo
26 Sulawesi Tengah
3.310
11.500
3.078
3.143
3.240
27 Sulawesi Selatan
12.175
12.553
5.686
5.848
5.875
28 Sulawesi Barat
756
1.209
1.232
29 Sulawesi Tenggara
30 Maluku
935
935
31 Maluku Utara
1.351
1.309
32 Papua
6.998
4.295
4.459
4.619
4.795
33 Irian Jaya Barat
16
34
34
Indonesia
3.318.359 3.290.112 3.262.267 3.279.391 3.309.472
Sumber
: Direktorat Jenderal Perkebunan
Keterangan : *) Angka Sementara
- ) Data tidak tersedia
1,42
1,78
0,96
2,14
1,36
1,07
0,55
-1,44
0,30
-0,48
0,57
1,90
-1,53
-0,73
1,05
0,99
-0,34
0,29
0,10
3,09
0,46
1,90
3,81
0,00
0,92
63
Dari tabel diatas, luas areal karet dari tahun 2005 yang sebesar 3.279.391
hektar meningkat menjadi 3.309.472 hektar pada tahun 2006 mengalami
pertumbuhan sebesar 0,92% atau 30081 hektar. Pertumbuhan sebesar 0,92%
masih relatif kecil dan di beberapa propinsi bahakan pertumbuhannya negatif
yaitu Bangka Belitung, Lampung, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah. Akan
tetapi kondisi ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yakni tahun 2003 dan 2004 yang mengalami penurunan luas areal karet. Dalam
hal ini, tahun 2002 merupakan luas areal karet terbesar selama lima tahun terakhir.
Tanaman karet rakyat sebagian besar terletak di daerah Sumatera Selatan,
di Kalimantan Barat, di Jambi, di Riau, dan di Sumatera Utara. Bidang karet
rakyat ini sebagian diusahakan oleh petani-petani karet pemilik kebun yang
khusus menghasilkan karet, tetapi pada umumnya merupakan petani-petani yang
menanam lain-lain tanaman, terutama tanaman-tanaman pangan. (PS Siswo
Putranto,1981:57)
Pengerjaan karet oleh petani umumnya masih sangat sederhana dan tidak
menjamin mutu produk yang dihasilkan. Hasil-hasil tersebut kemudian diolah
lebih lanjut oleh pabrik-pabrik dan biasanya bahan-bahan karet rakyat ditampung
oleh tengkulak yang kemudian menjualnya ke pabrik-pabrik remiling. Sampai kini
pengembangan budidaya karet terutama dilakukan oleh perkebunan-perkebunan
negara yang giat melakukan peremajaan tanaman karetnya secara terecana.
Di kalangan pengusaha karet telah dibentuk wadah kerjasama : Gapkindo
(Gabungan Perusahaan Karet Indonesia – Rubber Producers Association of
Indonesia). Organisasi ini hakekatnya dibentuk untuk menggalang kesatuan para
64
produsen dan pengusaha karet. Melalui kerjasama diharapkan pengembangan
kegiatan dan usahanya dapat lebih mantap dilaksanakan dan lebih mudah
mengatasi masalah yang dihadapi. Dimaksudkan pula dapat lebih kuat posisinya
menghadapi pihak-pihak pembeli. Gapkindo dibentuk sebagai kelanjutan dari
persatuan pengusaha karet spesifikasi teknis yang didirikan pada bulan september
tahun 1972. Kegiatan yang dilakukan Gapkindo antara lain meliputi usaha-usaha:
1. Bahu-membahu dengan pemerintah dalam usaha pengembangan perkaretan di
Indonesia serta peraturan-peraturannya
2. Perluasan pasaran karet Indonesia dengan memasukkan karet Indonesia ke
pasaran-pasaran baru dan melakukan promosi untuk penunjangnya
3. Penetapan persyaratan-persyaratan yang berhubungan dengan soal-soal
pelaksanaan transaksi
4. Bertindak sebagai penengah/arbitrator jika timbul pertikaian antara anggota
atau dengan lain-lain pihak
5. Kegiatan-kegiatan lain yang dapat memajukan usaha anggota dan organisasi.
(PS Siswo Putranto, 1981:75)
Sejak 1972 Gapkindo telah terdaftar resmi sebagai anggota Kamar Dagang
Indinesia (KADIN) dan sejak tahun 1975 juga terdaftar sebagai anggota dari
Depalindo. Dalam kegiatan perkaretan Internasional, Gapkindo sejak 24
September 1971 diterima resmi menjadi anggota Internasional Rubber
Association (IRA). (PS Siswo Putranto, 1981:76)
Berbagai kendala atau hambatan yang dihadapi Gapkindo untuk
meningkatkan daya saing karet alam Indonesia di pasar dunia, sehingga
65
memerlukan uluran tangan pemerintah. Kendala itu antara lain adalah banyaknya
jenis pungutan yang dibebankan kepada Gapkindo. (Sinar Harapan:2003)
Selain itu, ada beberapa badan dan organisasi internasional yang ada
hubungannya dengan masalah perkaretan dunia.
1. Internasional Rubber Study Group
2. International Rubber Research and Development Board
3. International Rubber Association
4. Association of Natural Rubber Producing Countries
5. Food and Agriculture Organization of the UN
6. UN Industrial Development Organization
7. UN Conference on Trade and Development
8. International Natural Rubber Organization
9. International Rubber Consortium Limited
(PS Siswo Putranto, 1981:178-189)
Produksi karet Indonesia sebagian besar dipasarkan ke mancanegara
(diekspor) dan hanya sebagian kecil saja yang dipasarkan di dalam negeri. Pada
tahun 2005 tercatat tidak kurang dari 52 negara yang menjadi pangsa pasar karet
alam Indonesia. Pada tahun 2005 lima besar negara yang menjadi pengimpor karet
alam Indonesia berturut-turut yaitu United States, Jepang, China, Singapura dan
Korea. (Statistik Karet Indonesia, 2005 : xiv)
Karet alam Indonesia dikelompokkan menjadi lima belas jenis karet
berdasarkan kode HS (Harmony System) yaitu:
1. Kode HS 400110110: Latex Containing Lt. ½% Ammonia Cream concentrate
66
2. Kode HS 400110120: Latex Containing Lt. ½% Ammonia Centrifuge
concentrate
3. Kode HS 400110190 : Latex Containing Lt. ½% Ammonia Other concentrate
4. Kode HS 400110210 : Latex Containing > ½% Ammonia Cream concentrate
5. Kode HS 400110220: Latex Containing >½% Ammonia Centrifuge
concentrate
6. Kode HS 400110290 : Latex Containing > ½% Ammonia Other concentrate
7. Kode HS 400110900 : Other natural rubber latex
8. Kode HS 400121000 : Smoked sheets
9. Kode HS 400122110 : SIR 3CV
10. Kode HS 400122150 : SIR 10
11. Kode HS 400122160 : SIR 20
12. Kode HS 400122190 : Other SIR
13. Kode HS 400122900 : Other TSRN
14. Kode HS 400129000 : Other Natural Rubber
15. Kode HS 400130000 : Balata, gutta percha, guayule, chicle and similar natural
gums
(Statistik Karet Indonesia, 2005 : xxiii-xxiv)
4.1.2. Gambaran Umum Ekspor Komoditi Karet di Indonesia
Peranan komoditi non-migas dalam ekspor Indonesia, terutama setelah
minyak tidak bisa diandalkan lagi, menjadi sangat penting. Komoditi tersebut,
67
secara garis besar dapat dibedakan menjadi sektor perkebunan dan nonperkebunan.
Karet merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai
peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Karet juga salah
satu komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa
negara diluar minyak dan gas meskipun peran komoditi karet terhadap perolehan
devisa masih relatif kecil. Sekitar 90 persen produksi karet alam Indonesia
diekspor ke manca negara dan hanya sebagian kecil yang dikonsumsi dalam
negeri. (Statistik Karet Indonesia, 2005 : xiv)
Ekspor komoditi karet di Indonesia periode 1990-2006 mengalami
fluktuasi dari tahun ke tahun. Berikut ini tabel ekspor komoditi karet di Indonesia
periode 1990-2006
Tabel 4.2
Ekspor Komoditi Karet di Indonesia
Periode 1990-2006
Tahun
Ekspor
Pertumbuhan
(Rp Juta)
(%)
(1)
(2)
(3)
1990
1.609.911,28
1991
1.923.702,29
19,49
1992
2.141.321,02
11,31
1993
2.061.655,68
-3,72
1994
2.798.268,00
35,73
1995
4.532.071,89
61,96
1996
4.570.360,47
0,84
1997
6.944.384,40
51,94
1998
8.839.160,33
27,29
1999
6.029.320,00
-31,79
2000
8.526.337,69
41,41
2001
8.176.448,80
-4,10
2002
9.275.804,28
13,44
2003
12.653.575,12
36,41
2004
20.252.469,41
60,05
2005
25.520.462,50
26,01
2006
38.972.758,69
52,71
164.828.011,90
398,98
Jumlah
9.695.765,41
23,47
Rata-rata
Sumber : Statistik Indonesia BPS beberapa edisi, data diolah
68
Grafik 4.1
(Rupiah)
ekspor komoditi karet
Ekspor Komoditi Karet
45000000
40000000
35000000
30000000
25000000
20000000
15000000
10000000
5000000
0
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
N (tahun)
Trend Ekspor Komoditi Karet (1990-2006)
Berdasarkan tabel diatas, ekspor komoditi karet di Indonesia periode 19902006 mengalami fluktuasi dan rata-rata fluktuasinya sebesar Rp 9.695.765,41juta
dengan rata-rata pertumbuhan adalah sebesar 23,47% yang berarti bahwa ekspor
komoditi karet rata-rata setiap tahunnya mengalami pertumbuhan sebesar 23,47%.
Tahun 1999 merupakan pertumbuhan ekspor terkecil selama periode penelitian,
yakni hanya sebesar -31.79% dengan nilai ekspor Rp 6.029.320,00juta. Penurunan
ekspor karet tersebut disebabkan oleh berkurangnya permintaan di kawasan Asia,
meningkatnya pasokan sehubungan dengan peningkatan produksi di Thailand dan
Indonesia dan melemahnya kegiatan ekonomi di negara importir seperti Jepang,
Amerika, Korea dan Eropa. Selain itu, Indonesia bersaing dengan Thailand, dan
Malaysia sebagai penghasil karet terbesar dunia.
Pada tahun sebelumnya yaitu tahun 1993 ekspor karet juga mengalami
penurunan tetapi hanya sebesar -3.72% dan tahun tahun berikutnya juga ekspor
karet diwarnai dengan pertumbuhan yang naik turun. Walaupun empat tahun
terakhir periode penelitian ekspor karet cenderung mengalami kenaikan tetapi
bukan berarti tanpa masalah.
69
Saat ini tingkat produktivitas karet Indonesia masih sangat rendah. Tahun
2005 data Departemen Pertanian menunjukkan, dari areal seluas 3.279.391 hektar
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia produktivitas karet kering secara
nasional baru mencapai 2,06 juta ton. Sebagian besar pengelolaannya masih
dilakukan oleh rakyat yang belum sepenuhnya menerapkan teknik dan manajemen
usaha yang efisien.
Dari perkebunan rakyat, hanya 9,3 persen yang kondisinya relatif baik,
yaitu yang dikembangkan melalui proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR atau
program bantuan lainnya). Sementara lebih dari 90 persen kebun rakyat
kondisinya hampir mirip hutan karet, dengan usia tanaman yang sudah tua.
Dengan memperhatikan masih akan adanya peningkatan permintaan dunia
terhadap komoditi karet dimasa yang akan datang, maka upaya untuk
meningkatkan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan
peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan
Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal
bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai peremajaan dan pembangunan
kebun karet serta pemeliharaan tanaman secara intensif. (Chairil Anwar:2001)
Meremajakan perkebunan karet itu sendiri bukan perkara mudah. Sebab
selain membutuhkan biaya tidak sedikit, juga memerlukan waktu sampai enam
tahun sampai pohon karet bisa disadap. Itu pun kalau petani menanam pohon
karet berkualitas. Sementara jika bibitnya tidak berkualitas atau berasal dari biji
yang tumbuh, pohon karet baru bisa disadap ketika berusia 10 tahun. (Amir
Sodikin,dkk : 2003)
70
Selama waktu menunggu masa panen tiba itulah yang juga merupakan
masa paling sulit yang dihadapi petani. Saat itu tidak ada lagi sumber nafkah yang
bisa menghidupi keluarga-keluarga petani karet karena selama ini mereka hanya
menggantungkan hidupnya dari getah yang disadap. (Amir Sodikin,dkk : 2003)
4.1.3. Gambaran Umum Nilai Tukar Rupiah
Kebijakan nilai tukar tidak hanya mencakup masalah stabilitas makro,
tetapi juga sangat besar pengaruhnya terhadap insentif ekspor dan impor.
Apresiasi nilai tukar akan mengurangi daya saing barang-barang ekspor, dan
meningkatkan penetrasi impor. Menurunnya ekspor dan meningkatnya impor
dikhawatirkan akan memperburuk neraca perdagangan. Sebagai negara pengutang
yang cukup besar Indonesia tentu tidak dapat menanggung defisit neraca
pembayaran yang terlalu besar. (Haryo Aswicahyono:1996)
Daya saing produk ekspor dipengaruhi oleh nilai tukar. Dengan
membiarkan nilai tukar lebih mengambang, memang besar kemungkinan terjadi
apresiasi nilai tukar. (Haryo Aswicahyono:1996)
Menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebagai dampak aliran
dana global berpotensi merugikan ekspor komoditas sektor pertanian. Nilai ekspor
pertanian Indonesia melemah dan ancaman lebih serius lagi komoditas pertanian
kita kalah bersaing. Jika nilai tukar rupiah terlalu kuat maka akan mengurangi
nilai ekspor pertanian kita karena ekspor kita dibayar dengan uang dollar AS. Di
sisi lain biaya produksi komoditas pertanian dibayar dengan rupiah. Jika rupiah
71
sangat kuat mengakibatkan ongkos produksi meningkat. Dampak lanjutannya
persaingan produk pertanian kita dengan negara lain semakin ketat.
Oleh karena itu, nilai tukar perlu terus dijaga agar barang ekspor tetap
kompetitif. Nilai tukar rupiah diharapkan tetap dalam kondisi stabil. Selain para
pemangku kepentingan bisa membuat perencanaan yang matang, stabilitas nilai
tukar rupiah juga mendorong arah pertumbuhan ekonomi yang jelas.
Jenis komoditi yang memberikan kontribusi besar terhadap devisa
jumlahnya relatif terbatas, atau dengan kata lain hanya komoditi karet, kelapa
sawit, kopi, kelapa, kakao dan komoditi teh yang memberikan kontribusi berarti
terhadap perolehan devisa. Karena perolehan devisa ini begitu tergantung pada
ekspor komoditi tertentu saja maka perolehan devisa ini sangat peka terhadap nilai
tukar. Artinya fluktuasi perolehan devisa dari komoditi tersebut akan berdampak
pada fluktuasi devisa secara keseluruhan. Kondisi ini akan diperburuk lagi jika
pasar untuk komoditi-komoditi pertanian tidak stabil. (Bonar M. Sinaga dan
Elwamendri,:1-2).
Perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS selama periode 19902006 dapat dilihat pada tabel 4.3 dan gambar 4.2. Dari sana kita dapat melihat
bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pertumbuhan setiap tahunnya
fluktuatif. Jika dirata-ratakan kurs rupiah mencapai nilai Rp 5.902,41/US $ dan
rata-rata perubahannya 12,40% yang berarti bahwa nilai tukar rupiah setiap
tahunnya rata-rata terdepresiasi sebesar 12,04%. Nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS mempunyai hubungan dengan kondisi stabilitas nasional.
72
Untuk lebih jelasnya perkembangan nilai tukar Rupiah dapat dilihat pada
tabel dan gambar dibawah ini :
Tabel 4.3
Nilai Tukar Rupiah/US $
Periode 1990-2006
Tahun
Nilai tukar
Perubahan
(Rp/US $)
(%)
(1)
(2)
(3)
1990
1.901
1991
1.992
4,79
1992
2.062
3,51
1993
2.110
2,33
1994
2.200
4,27
1995
2.308
4,91
1996
2.383
3,25
1997
4.650
95,13
1998
8.025
72,58
1999
7.100
-11,53
2000
9.595
35,14
2001
10.400
8,39
2002
8.940
-14,04
2003
8.465
-5,31
2004
9.290
9,75
2005
9.900
6,57
2006
9.020
-8,89
100.341
210,85
Jumlah
5.902,41
12,40
Rata-rata
Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia BI, beberapa edisi
Grafik 4.2
Nilai Tukar Rupiah
10000
(Rupiah)
ekspor komoditi karet
12000
8000
6000
4000
2000
0
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
N (tahun)
Trend Niali Tukar Rupiah (1990-2006)
Sistem nilai tukar yang dianut Indonesia sejak 15 November 1978 sampai
dengan 13 Agustus 1997 adalah sistem mengambang terkendali (managed
floating). Dalam sistem ini nilai kurs rupiah terhadap valuta asing ditentukan oleh
kekuatan pasar (permintaan dan penawaran) valuta asing disertai oleh
73
pengendalian oleh otoritas moneter. Maksud pengendalian ini adalah agar rupiah
tidak terlalu fluktuatif dan tetap wajar, sebab nilai tukar yang terlalu fluktuatif
akan berdampak negatif terhadap aliran barang, jasa dan modal, yang pada
gilirannya mempengaruhi perekonomian nasional. (Marie Muhammad:2006)
Selain itu nilai tukar yang terlalu fluktuatif akan mendorong tindakan
kontra produktif (spekulan), yang jelas berdampak negatif bagi perekonomian
nasional. Sistem ini ternyata ampuh bertahan selama berpuluh-puluh tahun,
karena pada satu pihak dapat mempertahankan stabilitas nilai rupiah dan pada
pihak lain memberikan ruang gerak berupa fleksibilitas guna merespon keadaan
pasar dengan adanya band intervensi yang merupakan kewenangan Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter. Selain itu, diluar devaluasi rupiah yang telah
dilakukan Indonesia berkali-kali, setiap tahun rata-rata nilai rupiah mengalami
depresiasi sekitar 4-5% terhadap nilai dolar AS. Sejak tahun 1990 sampai dengan
minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir
Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah)
adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00
pada akhir tahun 1996. Kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11
Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00.
Namun dalam minggu kedua Juli 1997 gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai
dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada
tanggal 14 Agustus 1997 melepas batas-batas kurs intervensi. Dengan pelepasan
batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar rupiah yang
mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga
74
nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun
demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung
maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter.
(Marie Muhammad:2006)
Pelepasan batas kurs intervensi ditambah dengan ekspektasi masyarakat
yang kurang mendukung stabilitas kurs rupiah mengakibatkan terjadinya fluktuasi
kurs secara tajam. Hal ini dapat merugikan perekonomian Indonesia, seperti
terganggunya produksi barang dan jasa serta turunnya kepercayaan masyarakat
terhadap rupiah. Dengan mempertimbangkan dampak negatif tersebut, pemerintah
mengeluarkan serangkaian kebijakan moneter dan fiskal serta kebijaksanaan
sektor riil untuk mengembalikan nilai kurs ketingkat yang wajar. Untuk
memperkuat nilai kurs rupiah perlu dilaksanakan kebijaksanaan moneter dan
fiskal yang ketat. (Marie Muhammad:2006)
Merespon anjloknya nilai rupiah, berbagai kebijakan telah dilakukan agar
nilai rupiah dapat tertolong dan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan para
investor terhadap Indonesia. Kebijakan-kebijakan dimaksud berupa:
1.
Kontraksi rupiah secara besar-besaran melalui kebijakan fiskal (APBN)
dengan cara menekan pengeluaran dan menunda pembayaran-pembayaran
yang tidak mendesak.
2.
Bank Indonesia meningkatkan suku bunga sehingga suku bunga SBI
mencapai 70% dengan maksud membatasi ekspansi kredit perbankan dan
menarik uang yang beredar dari sistem perbankan yang dikonversikan ke
dalam SBI pada Bank Indonesia.
75
3.
Bank Indonesia melakukan intervensi pasar dengan menjual dolar pada saat
diperlukan jika rupiah menunjukkan tanda-tanda penurunan yang benarbenar mengkhawatirkan. Kebijaksanaan semacam ini hingga saat inipun
dilakukan oleh Bank Indonesia, misalnya akhir-akhir ini ketika rupiah
menunjukkan penurunan nilai yang agak berarti. Demikian pula, Bank
Indonesia memperluas band intervensi dengan maksud menyelamatkan
sistem nilai rupiah yang mengambang tetapi terkendali (managed floating).
4.
Indonesia bersama-sama dengan Jepang dan Singapura melakukan
intervensi pasar bersama untuk memperkuat nilai rupiah, dengan cara Bank
Sentral Jepang dan Otoritas Moneter Singapura membeli rupiah dipasar.
5.
Pada tanggal 18 Agustus 1997 pemerintah menarik dana Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dari bank-bank umum dan deposito berjangka yang
berjumlah besar milik BUMN yang ditempatkan pada berbagai perbankan,
untuk sementara waktu dikonversikan kedalam SBI dan kemudian secara
bertahap dilepaskan secara berangsur-angsur.
6.
Pada tanggal 17 September 1997 pemerintah melakukan penjadwalan
kembali proyek-proyek APBN. Pembatalan dan penundaan berbagai mega
proyek Pemerintah guna memperketat pengeluaran melalui APBN serta
mengurangi laju impor barang agar cadangan devisa tidak semakin terkuras.
Demikian pula, pihak swasta dihimbau untuk menunda berbagai proyek
yang bernilai besar agar impor dapat dikurangi guna menolong cadangan
devisa nasional.
76
7.
Pada tanggal 31 Oktober1997 pemerintah dijanjikan paket bantuan dari
Internasional Monetary Fund (IMF) senilai US$ 23,0 miliar. Lebih lanjut
pada tanggal 15 Januari 1998 pemerintah telah menyampaikan surat
kesediaan (letter of intent) kepada IMF untuk melaksanakan berbagai
program ekonomi sehingga akan dapat memulihkan kepercayaan atas mata
uang rupiah dan ekonomi nasional. Program ini antara lain mencakup
pembatasan monopoli Badan Usaha Logistik (Bulog) hanya pada beras
terhitung 1 Februari 1998, penghapusan Badan Penyangga dan Pemasaran
Cengkeh terhitung Juni 1998, penghapusan kartel semen, kertas dan kayu
lapis terhitung tanggal 1 Februari 1998, penghapusan hambatan investasi
perkebunan kelapa sawit terhitung 1 Februari 1998, penghapusan peraturan
investasi di bidang penjualan grosir dan perdaganggan eceran, dan lainnya.
(Marie Muhammad:2006)
4.1.4. Gambaran Umum Harga Jual FOB Komoditi Karet di Indonesia
Permasalahan perkebunan karet khususnya perkebunan rakyat adalah
bahwa bahan baku yang dihasilkan umumnya bermutu rendah, dan pada sebagian
lokasi harga yang diterima di tingkat petani masih relatif rendah (60-75% dari
harga FOB) karena belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet rakyat
(bokar).
Belum efisiennya sistem pemasaran tersebut antara lain disebabkan lokasi
kebun jauh dari pabrik pengolah karet dan letak kebun terpencar-pencar dalam
skala luasan yang relatif kecil dengan akses yang terbatas terhadap fasilitas
77
angkutan, sehingga biaya transportasi menjadi tinggi. Pengelolaannya dilakukan
secara sederhana.
Setelah bibit karet ditanam kemudian dibiarkan begitu saja tanpa
perawatan yang memadai, sehingga tingkat produktivitasnya masih rendah, yaitu
disamping kualitas hasil olahan-karet juga tergolong rendah. Salah satu
penyebabnya adalah faktor pemilikan teknologi dan kemampuan sumberdaya
petani masih rendah, sehingga sampai di pasaran, produk karet Indonesia dikenal
sebagai yang bermutu rendah. Sementara produk karet dari negara jiran, seperti
Thailand dan Malaysia tetap mampu menjaga kualitas karetnya, sehingga sampai
sekarang masih menguasai pasaran karet Dunia.
Dengan fenomena tersebut, maka posisi Indonesia dalam eskalase
perkaretan dunia saat ini menurun. Data dari Dirjen Perkebunan (2001)
menunjukkan, posisi Indonesia sejak 1990 hingga tahun 2000 tetap berada di
posisi kedua setelah Thailand sebagai produsen karet-alam dunia.
Perkembangan harga jual FOB selama periode 1990-2006 dapat dilihat
pada tabel 4.4 dan gambar 4.3. Dari sana kita dapat melihat bahwa pertumbuhan
harga jual FOB setiap tahunnya fluktuatif. Jika dirata-ratakan setiap tahunnya
harga jual FOB mengalami pertumbuhan sebesar 17,66% dengan nilai Rp
3.553,27 ribu/ton. Dari situ kita dapat melihat bahwa harga jual FOB rata-rata
setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan.
Untuk lebih jelasnya perkembangan harga jual FOB dapat dilihat pada
tabel dan gambar dibawah ini :
78
Tabel 4.4
Harga Jual FOB Komoditi Karet di Indonesia
Periode 1990-2006
Tahun
Harga jual FOB
Pertumbuhan (%)
(Rp 000/ton)
(1)
(2)
(3)
1990
1.494,39
1991
1.725,17
15,44
1992
1.686,39
-2,25
1993
1.696,94
0,63
1994
2.247,43
32,44
1995
3.420,80
52,21
1996
3.186,67
-6,84
1997
4.904,98
53,92
1998
5.386,07
9,81
1999
4.033,75
-25,11
2000
6.180,24
53,21
2001
5.926,63
-4,10
2002
6.382,22
7,69
2003
7.612,50
19,28
2004
10.805,58
41,95
2005
12.629,93
16,88
2006
17.048,70
34,99
96.368,39
300,15
Jumlah
5.668,73
17,66
Rata-rata
Sumber: Statistik Indonesia BPS beberapa edisi, data diolah
Grafik 4.3
(Rp/Kg)
Harga Jual FOB
Harga Jual FOB
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
N (tahun)
Trend Harga Jual FOB (1990-2006)
Berdasarkan tabel diatas, tahun 1999 merupakan pertumbuhan harga jual
FOB terkecil selama periode penelitian, yakni hanya sebesar -25,11% dengan
harga jual Rp 4.033,75 ribu/ton. Penurunan harga jual FOB tersebut disebabkan
oleh berkurangnya permintaan, meningkatnya pasokan serta melemahnya kegiatan
ekonomi di negara. Dengan menurunnya harga jual FOB maka ekspor komoditi
karetpun akan turun.
79
Pada tahun sebelumnya yaitu tahun 1996 harga jual FOB juga mengalami
penurunan tetapi hanya sebesar -6.84% dan tahun tahun berikutnya juga harga jual
FOB diwarnai dengan pertumbuhan yang naik turun. Walaupun lima tahun
terakhir periode penelitian harga jual FOB cenderung mengalami kenaikan.
4.1.5. Gambaran Umum Harga Komoditi Karet di Pasar Internasional
Fluktuasi harga karet alam di pasar Internasional, cenderung menimbulkan
pesimisme ekspor, terutama karena andalan ekspor adalah komoditi primer yang
dalam realitas selalu dirongrong oleh ketidakstabilan harga. Padahal dalam
persaingan komoditi yang sama di pasar internasional, Indonesia harus
berkompetisi dengan sesama negara produsen karet alam yang memiliki
keunggulan komparatif sama.
Penurunan harga karet alam di pasar dunia berdampak secara langsung
terhadap perolehan devisa negara yang diperoleh dari komoditas ini. .
Keadaan perkaretan dunia beberapa tahun terakhir ini mengalami berbagai
perubahan struktural, baik dalam industri barang jadinya (otomotif) maupun
dalam pasar dan industri karet itu sendiri. Perkembangan industri barang jadi,
teknologi radialisasi dan optimalisasi dalam industri ban akan meningkatkan
konsumsi serta menghendaki kualitas bahan baku karet alam yang lebih baik dan
konsisten. Selain hal di atas, peningkatan investasi Jepang dalam industri otomotif
di Amerika Serikat, juga akan meningkatkan konsumsi karet alam di masa datang.
Semua keadaan di atas akan membawa perubahan struktur permintaan terhadap
80
karet alam, yang juga diduga akan mempengaruhi harga karet alam di pasar
Internasional.
Peningkatan konsumsi karet alam di negara-negara Asia tersebut antara
lain disebabkan pertumbuhan ekonomi dan populasi yang terjadi di kawasan
tersebut, dan relokasi industri barang jadi karet dari negara
barat ke negara
produsen karet alam. Industrialisasi di negara penghasil karet alam yang terus
berkembang akan mengakibatkan di satu sisi peningkatan konsumsi domestik
karet alam di negara tersebut, dan di sisi yang lain penurunan produksi karet alam
akibat kompetisi dengan komoditas atau industri lainnya seperti yang telah terjadi
di Malaysia. Pasok karet alam itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain harga.
Perkembangan harga di pasar Internasional selama periode 1990-2006
dapat dilihat pada tabel 4.5 dan gambar 4.4 dibawah ini. Dari sana kita dapat lihat
bahwa pertumbuhan harga di pasar internasional sangat berfluktuasi. Jika dirataratakan setiap tahunnya indeks harga internasional mengalami pertumbuhan
sebesar 10,24% dengan nilai 127,73. Dari situ kita dapat melihat bahwa indeks
harga di pasar Internasional rata-rata setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan.
Untuk lebih jelasnya perkembangan harga dipasar Internasional dapat
dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini :
81
Tabel 4.5
Harga Komoditi Karet di Pasar Internasional
Periode 1990-2006
Tahun
Indeks Harga Komoditi Karet Perubahan
di Pasar Internasional
(%)
(1990=100)
(1)
(2)
(3)
1990
120,10
1991
114,40
-4,75
1992
112,20
-1,92
1993
55,80
-50,27
1994
97,50
74,73
1995
101,20
3,79
1996
81,80
-19,17
1997
106,80
30,56
1998
104,70
1,97
1999
90,70
-13,37
2000
94,20
3,86
2001
97,30
3,29
2002
94,80
-2,57
2003
162,10
70,99
2004
195,10
20,36
2005
224,80
15,22
2006
317,90
41,41
2.171,40
174,13
Jumlah
127,73
10,24
Rata-rata
Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, BI
Grafik 4.4
350
300
(1990-100)
Indeks Harga Komoditi
Karet Di Pasar Internasional
Indeks Harga Di Pasar Internasional
250
200
150
100
50
0
1985
1990
1995
2000
2005
2010
N (tahun)
Trend Indeks Harga Di Pasar Internasional (1990-2006)
Menurunnya harga karet alam dunia sejak pertengahan tahun 1997
mendorong ketiga negara produsen utama karet alam dunia yakni Thailand,
Indonesia dan Malaysia untuk melakukan kerjasama tripartite dibidang produksi
dan pemasaran karet alam.
82
Seiring dengan terbentuknya kerjasama tripartite antara tiga negara
produsen karet alam dunia tersebut, harga karet alam di pasaran
dunia
memperlihatkan kecenderungan yang membaik. Pada akhir tahun 2001 (sebelum
ditanda tanganinya Bali Declaration 2001) indeks harga karet alam sebesar 97,3.
Setelah
masing-masing negara anggota melaksanakan AETS (Agreed Export
Tonnage Scheme) dan SMS (Supply Management Scheme), harga merangkak
naik. Dengan ditandatangani MoU pada tanggal 8 Agustus 2002, harga
merangkak naik pada tahun 2003, indeks harga mencapai 162,10.
Diperkirakan harga akan mencapai US$ 2.00 pada tahun 2007 dan pada
jangka panjang sampai 2020 akan tetap stabil, dikarenakan permintaan yang terus
meningkat terutama dari China, India, Brazil dan negaranegara yang mempunyai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia-Pasifik.(Chairil Anwar:2001)
4.2. Pengujian Data
Dalam penelitian yang berjudul “ Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi
Ekspor Komoditi Karet di Indonesia Periode 1990-2006 ” terdapat tiga variabel
bebas (X), yaitu nilai tukar rupiah (X1), harga jual FOB (X2), dan harga di pasar
internasional (X3). Selain itu, yang menjadi variabel terikat (Y) dalam penelitian
ini adalah ekspor komoditi karet di Indonesia. Untuk menguji ada tidaknya
pengaruh dari setiap variabel bebas terhadap variabel terikat, dilakukan pengujian
regresi parsial dan pengujian secara simultan dengan menggunakan bantuan
software computer SPSS versi 11.5 for windows. Adapun hasil estimasi OLS
dengan metode enter adalah sebagai berikut :
83
Y
t
R
R2 adj
= -3162037,219 -401,006X1 +2281,676X2 + 17932,424X3
(951842,828) (140,851) (227,502) (11381,684)
(0,006)
(0,014)
(0,000)
(0,139)
=
(-3,322)
(-2,847)
(10,029)
(1,576)
= 0.997
R2 = 0.994
= 0.992
DW = 1.417
Berdasarkan hasil pengujian di atas, nilai koefisien determinasi (R2)
mendekati sempurna sebesar 0,994 atau 99,4%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel yang dipilih sudah tepat. Namun dari model tersebut belum sepenuhnya
dikatakan baik karena masih ada variabel yang tidak signifikan pada taraf
signifikansi yang telah ditentukan (5%) yakni harga di pasar internasional (X3).
Selain itu untuk hasil estimasi di atas diduga model penelitian terkena
multikolinearitas karena nilai R2-nya tinggi mendekati sempurna (100%),
sedangkan variabel bebas di dalam model ada yang tidak signifikan. Oleh karena
itu, dengan menggunakan metode backward variabel yang tidak signifikan
dikeluarkan dari model dengan hasil regresi baru sebagai berikut:
= -1824475,27 - 563,39X1 + 2618,86X2
(452670,03) (100,95)
(81,16)
(0,001)
(0,000)
(0,000)
=
(-4,03)
(-5,58)
(32,26)
t
R
= 0.996
R2 = 0.992
R2 adj
= 0.991
DW = 1.417
Dengan menggunakan metode backward, dari tiga variabel yang
Y
diregresikan ternyata hanya dua variabel saja yang masuk ke dalam model,
variabel yang satu lagi yang tidak signifikan secara otomatis tidak diikutsertakan
ke dalam model.
Estimasi model regresi diatas menunjukkan bahwa hasil cukup baik.
Dengan koefisien determinasi 0,992 dan koefisien determinasi yang disesuaikan
84
adalah 0,991 (hampir mendekati 1). Namun hasil ini belum dikatakan tepat karena
perlu dilakukan berbagai pengujian asumsi model.
Pengujian OLS pada penelitian ini dilakukan dengan uji normalitas, uji
linearitas, dan uji stasioneritas, hasil pengujian yang diperoleh adalah sebagai
berikut:
4.2.1. Uji Normalitas (Normality Test)
Uji normalitas adalah pengujian yang ditujukan untuk mengetahui sifat
distribusi data penelitian. Uji ini berfungsi untuk menguji normal tidaknya sampel
penelitian, yakni menguji sebaran data yang dianalisis. Menurut uji Kolmogrov
Smirnov kriteria pengujian :
a. Data berdistribusi normal jika signifikansinya lebih dari 0,05 dan teknik
analisa yang digunakan adalah teknik analisa parametrik.
b. Data berdistribusi tidak normal jika signifikansinya kurang dari 0,05 dan
teknik analisa yang digunakan adalah teknik analisa non parametrik.
Pada penelitian ini uji normalitas data dilakukan dengan one sampel
Kolmogrov Smirnov test dengan hasil sebagai berikut :
Tabel 4. 6
Ringkasan hasil Uji Normalitas Kolmogrov Smirnov
Variabel
X1 (Nilai Tukar Rupiah)
X2 (Harga Jual FOB)
X3 (Harga di Pasar Internasional)
Y (Ekspor)
Sumber : Pengolahan, SPSS.
ρ-value
(sig)
0,216
0,510
0,073
0,135
α
0.05
0.05
0.05
0.05
Kesimpulan
Distribusi data normal
Distribusi data normal
Distribusi data normal
Distribusi data normal
85
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa residual regresi tersebut
semuanya mengikuti pola distirbusi normal. Untuk itu asumsi normalitas pada
penelitian ini sudah terpenuhi.
4.2.2. Uji Linieritas (Linierity Test)
Uji linieritas dalam suatu model dapat dideteksi dengan menggunakan
diagram pencar (scatter plot), kaidah keputusannya apabila plot titik-titik tidak
mengikuti pola tertentu berarti model linier sebaliknya apabila plot titik-titik
mengikuti pola aturan tertentu (kuadratik, eksponensial, dan sebagainya) maka
model non linier. Adapun hasil uji linieritas pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Gambar 4.1
Uji Linieritas
Scatterplot
Dependent Variable: EKSPOR
RegressionStudentizedResidual
3
2006,00
2
1999,00
1998,00
1992,00
1
1993,00
1990,00
1991,00 2001,00
0
1994,00
2005,00
2000,00
2002,00
1996,00
2003,00
2004,00
-1
1995,00
1997,00
-2
-1
0
1
2
3
Regression Standardized Predicted Value
Sumber : Pengolahan, SPSS.
Pada diagram pencar di atas terlihat bahwa plot titik-titik observasi tidak
mengikuti pola tertentu (acak), oleh karena itu model regresi dapat dipastikan
linier.
86
4.2.3. Pengujian hipotesis
4.2.3.1. Uji Asumsi
Dalam data berjangka waktu (time series), stasioner adalah merupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhi. Adapun beberapa uji stasioneritas yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Uji Multikolinieritas
Dalam penelitian ini cara yang digunakan untuk mendeteksi adanya gejala
multikolinieritas yaitu dengan menggunakan nilai toleransi dan VIF adalah
sebagai berikut :
Tabel 4.7
Ringkasan Hasil Uji Multikolinieritas Dengan Nilai Tol dan VIF
Model
1. ekspor komoditi karet
Harga jual FOB
Nilai tukar rupiah
Sumber : Pengolahan, SPSS.
Tolerance
0,435
0,435
VIF
2,301
2,301
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai toleransi semuanya mendekati 1,
dan nilai VIF < 10 dengan demikian tidak terjadi multikolinieritas. Kesimpulanya
bahwa estimasi model regresi dengan menggunakan metode enter dipastikan
terhindar dari gejala multikolinieritas.
2. Uji Heteroskedastis
Hasil pengujian heteroskedastis berdasarkan scatter plot (diagram pencar)
pada penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut :
87
Gambar 4.2
Uji Heteroskedastis
Scatterplot
Dependent Variable: EKSPOR
Regression Studentized Residual
3
2006,00
2
1999,00
1998,00
1992,00
11990,00
1993,00
1991,00 2001,00
1994,00
0
2005,00
2000,00
2002,00
1996,00
2003,00
2004,00
-1
1995,00
1997,00
-2
-1
0
1
2
3
Regression Standardized Predicted Value
Sumber : Pengolahan, SPSS.
Berdasarkan diagram pencar diatas dapat dilihat bahwa plot titik-titik
observasi tidak mengikuti pola aturan suatu pola tertentu (baik hubungan linier,
kuadratik, dan sebagainya), karena itu dapat dipastikan bahwa dalam model tidak
terjadi heteroskedastis dan asumsi OLS homoskedastis dapat dipenuhi.
3. Uji Autokorelasi
Pengujian terhadap tidak adanya korelasi serial antar residual, pada
penelitian ini didasrkan pada uji Durbin Watson (d test). Pada estimasi model
diperoleh nilai DW-hitung (d) sebesar 1.417. Dari tabel diperoleh nilai d tabel dl=
1,02 dan du= 1,54 pada K = 2 dan taraf signifikansi 5%. Hal ini mengisyaratkan
bahwa nilai d berada di daerah keragu-raguan antara tidak terjadi autokorelasi
dengan adanya autokorelasi positif sehingga tidak dapat disimpulkan apakah ada
autokorelasi atau tidak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :
88
Gambar 4.3
Uji Autokorealasi
f(d)
Menolak Ho
bukti
autokorelasi
positif
0
Daerah
keraguraguan
1,02
Daerah
keraguraguan
Menerima Ho
atau H*o atau
kedua-duanya
1.54
2
2.46
Menolak
H*o bukti
autokorelas
i negatif
2.98
4 d
Berdasarkan uji Durbin Watson, ternyata tidak dapat disimpulkan ada atau
tidak adanya korelasi serial diantara residual, sehingga harus dilakukan uji yang
lain yaitu Breusch-Godfrey dengan menggunakan Eviews sebagai berikut:
Tabel 4.8
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test
F-statistic
Obs*R-squared
0.583409
1.506506
Probability
Probability
0.573063
0.470832
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 01/01/99 Time: 19:28
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
X1
X2
RESID(-1)
RESID(-2)
-27797.60
1.536991
4.803490
0.306079
-0.203458
475704.2
92.87322
105.9224
0.318116
0.329837
-0.058435
0.016549
0.045349
0.962160
-0.616845
0.9544
0.9871
0.9646
0.3550
0.5489
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.088618
-0.215176
955253.9
1.10E+13
-255.2468
1.983355
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
Sumber: Pengujian Autokorelasi Eviews
-2.70E-09
866561.1
30.61727
30.86233
0.291704
0.877766
89
Dari hasil uji Breusch-Godfrey diatas mengindikasikan bahwa data tidak
mengandung masalah autokorelasi karena nilai probabilitynya adalah 0.470832
jauh lebih besar daripada α = 5%.
4.2.3.2. Uji Regresi
Seperti telah dijelaskan di awal bahwa hipotesis pada penelitian ini di bagi
menjadi dua yaitu hipotesis mayor dan hipotesis minor. Oleh karena itu pengujian
hipotesis pada penelitian ini terdiri dari pengujian mayor yaitu melalui uji F dan
hipotesis minor melalui uji t. Adapun hasil estimasi model penelitian sebagai
berikut :
1 Uji F (Pengujian koefisien regresi secara keseluruhan)
Uji Fstatistik digunakan untuk menguji bahwa keseluruhan koefisien arah
regresi signifikan secara statistika dalam mempengaruhi nilai variabel dependent.
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
Ho diterima jika F statistik < F tabel (α,k/n-k-1)
Ho ditolak jika Fstatistik > F tabel (α,k/n-k-1)
Dari uji tabel Anova dapat menentukan nilai Fstatistik. Adapun hasil
pengujiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.9
Ringkasan Hasil Pengujian Anova
Model
Sum of Square
Df
Mean Square
F
Signifi
kansi
1
Regression 1584910742408283.000
3
Residual
10088452550149.300
13
Total
1594999194958432.000
16
2 Regression 1582984343630639.000
2
Residual
12014851327793.130
14
Total
1594999194958432.000
16
a Predictors: (Constant), INTER, KURS, FOB
b Predictors: (Constant), KURS, FOB
c Dependent Variable: EKSPOR
528303580802761.000
776034811549.947
680,773
0,000(a)
791492171815319.000
858203666270.938
922,266
0,000(b)
90
a. Uji F Model 1
Untuk menguji Fstatistik kita harus membandingkan dengan Ftabel. Pada Df=
n-k-1= 17-3-1=13, α= 0,05 maka F(0,05)(3/13) diperoleh= 3.14 yang telah
diinterpolasi terlebih dahulu, dan ini menunjukkan bahwa F(0,05)(3/13) < F
satatistik
yaitu 3.14 < 680.773 artinya Ho ditolak dan Ha diterima, pada persamaan regresi
berganda tersebut ternyata koefisien arah regresi tersebut signifikan atau memiliki
kebermaknaan. Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa terdapat
pengaruh secara bersama-sama (simultan) dari nilai tukar rupiah, harga jual FOB
dan harga di pasar internasional terhadap ekspor komoditi karet di Indonesia.
b. Uji F Model 2
Sedangkan untuk nilai F satatistik dalam model kedua (setelah dilakukan uji
Asumsi Klasik) pada Df= n-k-1= 17-2-1=14, α= 0,05 maka F(0,05)(2/14) diperoleh=
3.74 yang telah
diinterpolasi terlebih dahulu, dan ini menunjukkan bahwa
F(0,05)(2/14) < F satatistik yaitu 3.74 < 922.266 artinya Ho ditolak dan Ha diterima, pada
persamaan regresi berganda tersebut ternyata koefisien arah regresi tersebut
signifikan atau memiliki kebermaknaan. Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan
bahwa terdapat pengaruh secara bersama-sama (simultan) dari nilai tukar rupiah
dan harga jual FOB terhadap ekspor komoditi karet di Indonesia.
2 Uji t (Pengujian koefisien regresi secara parsial (sebagian)
Pengujian hipotesis secara parsial/ uji t dapat dijelaskan melalui tabel di
bawah ini :
91
Tabel 4.10
Ringkasan Hasil Uji Signifikansi OLS
Model
Unstandardized Coefficients
B
Std. Error
1 (Constant)
-3162037.219
951842.828
FOB
2281,676
227,502
KURS
-401,006
140,851
INTER
17932,424
11381,684
2 (Constant)
-1824475.271
452670.031
FOB
2618,861
81,163
KURS
-563,392
100,956
Sumber : Pengolahan, SPSS.
Standardized
Coefficients
Beta
t
0,989
-0,140
0,115
1,135
-0,196
Sig.
-3,322
10,029
-2,847
1,576
-4,030
32,267
-5,581
0,006
0,000
0,014
0,139
0,001
0,000
0,000
a. Uji t Model 1
Variabel harga jual fob (FOB) memiliki nilai t
statistik
sebesar 10.029
sedangkan t tabel dengan df (degree of freedom) sebanyak df= n-k-1 =17-3-1 = 17-4
= 13 diperoleh nilai t
tabel
adalah 1,771; maka tstatistik> ttabel. Hipotesis ini menolak
Ho dan menerima Ha yang berarti harga jual fob (FOB) berpengaruh signifikan
terhadap ekspor komoditi karet. Untuk variabel nilai tukar (Kurs) memiliki nilai t
statistik
sebesar -2.847 sedangkan t
tabel
sebesar 1,771 maka t
statistik
>t
tabel
sehingga
Ho ditolak dan Ha diterima. Tanda negatif (-) disini menunjukkan hubungan
(korelasi) antara variabel nilai tukar dengan variabel ekspor komoditi karet
memliki hubungan berbanding terbalik atau negatif. Maka yang dibandingkan
dengan t
tabel
hanya angkanya saja (2.193), karena t
statistik
> t
tabel
sehingga Ho
ditolak dan Ha diterima. Sehingga nilai tukar berpengaruh negatif terhadap ekspor
komoditi karet.
Untuk variabel harga di pasar internasional (Inter) memiliki nilai t
sebesar 1.576 sedangkan t
tabel
sebesar 1,771. Karena t
statistik<
t
tabel
statistik
sehingga Ho
diterima dan Ha ditolak. Sehingga harga di pasar internasional tidak berpengaruh
signifikan dan memiliki pengaruh positif terhadap ekspor komoditi karet.
92
b. Uji t Model 2
Model kedua (pada Tabel 4.14) dengan df= n-k-1= 17-2-1= 14 pada α = 5%
adalah 1,761. Untuk t statistik variabel harga jual fob (fob) sebesar 32.267 dan t tabel
= 1,761, maka t
statistik
>t
tabel.
Hipotesis ini menolak H0 dan menerima Ha yang
berarti harga jual fob berpengaruh signifikan terhadap ekspor komoditi karet.
Untuk nilai t statistik nilai tukar (kurs) sebesar -5.584 dan nilai t
tabel =
1,7761, maka
t statistik > t tabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima Ha. Tanda negatif (-) disini
menunjukkan hubungan (korelasi) antara variabel nilai tukar dengan variabel
ekspor komoditi karet memliki hubungan berbanding terbalik atau negatif. Maka
yang dibandingkan dengan t
tabel
tabel
hanya angkanya saja (5.584), karena t
statistik
>t
sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga nilai tukar berpengaruh negatif
terhadap ekspor komoditi karet. Standardized Coefficients Beta FOB mempunyai
nilai diatas satu yaitu 1,135 hal ini disebabkan karena harus ada variabel
pengontrol yaitu nilai tukar rupiah.
4.2.3.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Untuk melihat besarnya koefisien determinasi dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 4.11
Ringkasan Hasil Uji Signifikansi R2
Model
R
R2
R Adjust
1
0.997
0.994
0.992
2
0.996
0.992
0.991
a. Predictors: (Constant), INTER, KURS, FOB
b. Predictors: (Constant), KURS, FOB
c. Dependent Variable: EKSPOR
Sumber : Pengolahan, SPSS.
Standar Error of
Estimate
880928.38049
926392,8250
Durbin-Watson
1,417
1. R2 Model 1
Berdasarkan hasil estimasi pertama diperoleh nilai R2 sebesar 0,994 atau
99.4%. harga jual fob, nilai tukar, dan harga di pasar internasional dapat
93
menjelaskan ekspor komoditi karet, sedangkan sisanya sebesar 0.6% dipengaruhi
oleh faktor lain di luar model. Selain itu nilai R2 dapat digunakan untuk
mengetahui masalah multikolinearitas dalam model penelitian.
2. R2 Model 2
Koefisien determinasi model kedua diperoleh nilai R2 sebesar 0,992 atau
99.2% variabel harga jual fob dan nilai tukar dapat menjelaskan kondisi ekspor
komoditi karet di Indonesia, sedangkan sisanya sebesar 0.8% dipengaruhi oleh
faktor lain di luar model. Nilai R2 model ini cukup tinggi, dianggap sudah syahih
atau tidak bias (unbiashed) karena sudah di uji dengan Asumsi Klasik.
4.3. Pembahasan
Dalam penelitian yang berjudul ” Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Ekspor Komoditi Karet di Indonesia Periode 1990-2006 ” ternyata diperoleh
estimasi model penelitian sebagai berikut :
Model 1
Y
t
R
R2 adj
Model 2
Y
t
R
R2 adj
= -3162037,219 -401,006X1 +2281,676X2 + 17932,424X3
(951842,828) (140,851) (227,502) (11381,684)
(0,006)
(0,014)
(0,000)
(0,139)
=
(-3,322)
(-2,847)
(10,029)
(1,576)
= 0.997
R2 = 0.994
= 0.992
DW = 1.417
= -1824475,27 - 563,39X1 + 2618,86X2
(452670,03) (100,95)
(81,16)
(0,001)
(0,000)
(0,000)
=
(-4,03)
(-5,58)
(32,26)
= 0.996
R2 = 0.992
= 0.991
DW = 1.417
94
1. Model 1
Model 1 menunjukan bahwa variabel nilai tukar (X1) berpengaruh negatif
terhadap ekspor komoditi karet, sedangkan variabel harga jual fob (X2) dan harga
di pasar internasional (X3) berpengaruh positif terhadap ekspor komoditi karet.
Untuk koefisien regresi nilai tukar (X1) sebesar -401,006. Koefisien tersebut
menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar sebesar 1%, maka ekspor
komoditi karet akan turun sebesar 401,006%. Koefisien variabel harga jual fob
(X2) sebesar 2281,676; hal ini penunjukan bahwa jika terjadi peningkatan harga
jual fob sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan meningkat sebesar
2281,676%. Untuk koefisien harga di pasar internasional (X3) sebesar 17932,424;
hal ini menunjukan bahwa jika terjadi peningkatan harga di pasar internasional
sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan meningkat sebesar 17932,424%.
Sementara untuk koefisien β0 (konstanta) menunjukan jika ekspor komoditi karet
tidak dipengaruhi harga jual fob, nilai tukar dan harga di pasar internasional, maka
nilai ekspor komoditi karet adalah Rp -3162037,219 juta.
Koefisien determinasi (R2) model 1 sebesar 0,994 atau 99.4% menunjukan
bahwa model ini mendekati sempurna sebesar 1 atau (100%). Menurut Gujarati
(1995), apabila nilai R2 tinggi tetapi di dalam model terdapat beberapa variabel
yang tidak signifikan berarti model tersebut terkena penyakit multikolinearitas.
Sesuai dengan Gujarati (1995), bahwa model di atas terkena penyakit
multikolinearitas dan autokorelasi karena variabel harga di pasar internasional
tidak berpengaruh signifikan terhadap ekspor komoditi karet. Maka Penulis
melakukan pengujian terhadap model 1 di atas dengan Uji Asumsi Klasik (uji
95
multikolinearitas, hetroskedastisitas, autokorelasi) untuk mengobati dan sekaligus
mendapatkan model yang terbaik. Dengan Metode Backward variabel yang tidak
signifikan dikeluarkan dari model yaitu harga di pasar internasional. Setelah
variabel harga di pasar internasional dikeluarkan dari model tidak berpengaruh
besar terhadap nilai R2.
2. Model 2
Model 2 merupakan model terbaik. Model ini telah lulus uji Asumsi
Klasik dimana variabel harga di pasar internasional dikeluarkan dari model 1
dengan Metode Backward agar terbebas dari masalah multikolinearitas.
Sedangkan untuk mengatasi masalah autokorelasi penulis melakukan uji yang lain
yaitu dengan uji Breusch-Godfrey karena dengan Durbin-Watson nilai d nya
berada di daerah keragu-raguan sehingga tidak dapat diambil kesimpulan ada atau
tidaknya atokorelasi di dalam model .
Dari persamaan regresi model 2 diperoleh data untuk koefisien nilai tukar
(X1) sebesar - 563,39; hal ini menunjukan jika terjadi kenaikan nilai tukar (X1)
sebesar 1%, maka akan mengakibatkan penurunan nilai ekspor komoditi karet
sebesar 563,39%.
Koefisien harga jual FOB sebesar 2618,86; hal ini penunjukan bahwa jika
terjadi peningkatan harga jual fob sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan
meningkat sebesar 2618,86%. Sedangkan untuk koefisien β0 (konstanta)
menunjukan bahwa jika ekspor komoditi karet tidak dipengaruhi harga jual fob
dan nilai tukar, maka nilai ekspor komoditi karet adalah Rp -1824475,27juta.
96
Setelah semua tahapan dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah
menterjemahkan dan menganalisis secara mendalam temuan empiris yang
didapatkan dalam penelitian ini. Pembahasan secara komperhensif berkaitan
dengan variabel-variabel bebas beserta pengaruhnya terhadap variabel terikat akan
digeneralisir berdasarkan hasil pengujian dan informasi riil.
Dalam pembahasan ini akan dipaparkan satu persatu seberapa besar
pengaruh nilai tukar, harga jual FOB dan harga di pasar internasional terhadap
ekspor komoditi karet di Indonesia Periode 1990-2006.
4.3.1. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekspor Komoditi Karet
Indonesia
Faktor yang berpengaruh terhadap ekspor komoditi karet di Indonesia
adalah nilai tukar rupiah. Koefisien arah regresi nilai tukar rupiah ekspor komoditi
karet berdasarkan penelitian ini adalah -563.39. Artinya apabila faktor lain
dianggap konstan maka setiap kenaikan nilai tukar (X1) sebesar 1%, maka akan
mengakibatkan penurunan nilai ekspor komoditi karet sebesar 563,39%.
Dalam rentang waktu penelitian, ternyata magnitude (tanda) untuk
variabel nilai tukar rupiah menunjukkan arah yang berlawanan dengan teori. Hal
tersebut dapat dilihat ketika menurunnya harga karet alam mulai terjadi sejak
terjadinya krisis moneter pada bulan Juli 1997, dimana pada saat itu nilai mata
uang negara-negara produsen karet alam (seperti Thailand, Malaysia dan
Indonesia) telah terdepresiasi dengan nilai mata uang US dollar. Pada mulanya,
masyarakat perkaretan Indonesia mendapat “durian runtuh” akibat terpuruknya
97
nilai rupiah terhadap US dollar sampai 10 kali lipat (300-400%) dibandingkan
dengan depresiasi negara-negara produsen karet utama lainnya, yaitu Thailand
dan Malaysia (30-40%). Saat itu, pembeli luar negeri memalingkan perhatiannya
kepada Indonesia yang masih bisa menjual karet alam dengan harga “lebih
murah”
karena perbedaan tingkat keterpurukan nilai mata uang tersebut.
(Depdag,2006:1)
Namun, pada semester kedua tahun 1998, ketika harga beras melonjak tiga
kali lipat yang disebabkan karena terjadinya kegagalan panen sebagai dampak dari
kekeringan El Nino, petani karet menyadap lebih banyak (pagi, siang, malam),
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga produksi dan ekspor karet
alam dari Indonesia meningkat tajam. Peningkatan ekspor/supply tersebut,
ternyata jauh melebihi kapasitas penyerapan konsumsi karet alam dunia.
Akibatnya, harga karet alam semakin terpuruk. Pihak yang paling menderita
akibat terus menurunnya harga karet di pasaran dunia adalah para petani, dan
apabila permasalahan ini tidak diatasi, dikuatirkan para petani tidak tertarik lagi
untuk berusaha di bidang karet. (Depdag,2006:1)
Ada beberapa alasan suatu perusahaan akan tetap mengekspor walaupun
terjadi apresiasi nilai tukar Rupiah kalau secara total perusahaan masih bisa
untung yaitu:
1.
Memang sudah tradisi dan spesialisasinya (kalau melepaskan spesialisasi
dan relasi-relasinya maka ia akan kehilangan pasar dan keahliannya yang
kemudian hari susah untuk dibangunkan kembali)
98
2.
Oleh karena terdorong oleh suatu tugas sosial, yakni suatu perusahaan
negara mempunyai kewajiban untuk mementingkan perekonomian negara.
3.
Karena masih mempunyai harapan bahwa masa sukar bagi ekspor ini adalah
sementara saja. Jelaslah bahwa suatu perusahaan negara yang besar
mempunyai politik dagang yang berjangka panjang. Kalau kita masih
percaya pada hari depan negeri kita maka kita tidak boleh melakukan politik
perdagangan yang picik dan mementingkan hari sekarang saja. (M
Sadli,2005:214)
Selain itu, ternyata Nilai tukar (X1) tidak mempengaruhi ekspor komoditi
karet di Indonesia periode 1990-2006 karena nilai tukar adalah variabel
pengontrol bukan variabel independen. (lihat lampiran)
4.3.2. Pengaruh Harga Jual FOB terhadap Ekspor Komoditi Karet Indonesia
Harga jual FOB merupakan faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi ekspor komoditi karet di Indonesia selama rentang waktu
penelitian yang dilakukan (1990-2006), hal tersebut terlihat dari pengaruhnya
yang sangat besar dalam menentukan ekspor komoditi karet. Koefisien arah
regresi (estimator) harga jual FOB terhadap ekspor komoditi karet adalah sebesar
2618,86; hal ini penunjukan bahwa apabila faktor lain dianggap konstan maka
setiap peningkatan harga jual fob sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan
meningkat sebesar 2618,86%.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang
positif antara harga jual FOB terhadap ekspor komoditi karet selama periode
99
penelitian, dengan kata lain koefisien arah regresi (estimator) harga jual FOB
signifikan atau memiliki kebermaknaan dalam menentukan atau memprediksi
ekspor komoditi karet di Indonesia selama periode penelitian.
Dalam era globalisasi, perusahaan perkebunan karet harus mampu
meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya agar dapat bersaing di pasar bebas.
Perusahaan yang kurang efisien disamping kurang mampu bersaing dengan
perusahaan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri, juga dapat memperkecil
margin keuntungan. Bahkan dapat merugi jika besarnya biaya produksi per
kilogram karet kering (harga pokok) lebih tinggi dibandingkan dengan harga
jualnya. Pada saat ini peningkatan harga karet secara nyata sulit diharapkan,
karena lemahnya peran organisasi karet dunia, bahkan kini tidak ada organisasi
dunia yang berfungsi sebagai penyangga harga. Beberapa dekade yang lalu,
organisasi dunia seperti INRO (International Natural Rubber Orga-nisation),
masih berfungsi sebagai penyeimbang harga karet di pasaran dunia, tetapi pada
dekade terakhir ini tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sehingga INRO
terpaksa dibubarkan. (Karyudi dkk,2001:2)
Di samping harga karet yang relative rendah, masalah makro yang
dihadapi oleh perusahaan perkebunan karet adalah peningkatan harga sarana
produksi dan upah minimum tenaga kerja. Hal ini secara langsung dapat
meningkatkan harga pokok. Kenyataan saat ini rnenunjukkan bahwa harga pokok
FOB di beberapa perkebunan dapat mencapai lebih dari Rp 5.000/kg karet kering,
bahkan pada tahun 1999 ada yang mencapai lebih dari Rp 7.000/kg. Di sisi lain,
pada perusahaan-perusahaan perkebunan yang efisien, harga pokok karet di
100
bawah Rp 3.500/kg. Berdasarkan variasi harga pokok yang sangat besar di antara
perusahaan, maka secara potensial penurunan harga pokok di perusahaanperusahaan yang kurang efisien dapat dilakukan. (Karyudi dkk,2001:2)
Secara umum ada dua strategi yang dapat dilakukan untuk menurunkan
harga pokok, yaitu 1). Meningkatkan produktivitas tanaman, dan 2).
Meningkatkan efisiensi biaya. Pemilihan strategi yang tepat untuk menurunkan
harga pokok tergantung kepada permasalahan dan kondisi perusahaan.
Produktivitas tinggi rnerupakan salah satu syarat untuk memperoleh harga pokok
yang rendah. Kebun-kebun yang memiliki produktivitas tanaman di bawah 800
kg/ha/th sebaiknya segera ditingkatkan produktivitasnya untuk menghindari
tingginya harga pokok. Jika kondisi tanaman tidak mungkin lagi ditingkatkan
produktivitasnya, maka sebaiknya segera dilakukan peremajaan
dengan
menggunakan klon-klon unggul baru yang memiliki potensi produksi yang tinggi.
(Karyudi dkk,2001:2)
Dengan harga kayu karet yang sekarang ini cukup tinggi, maka hasil
penjualan kayu secara potensial dapat menutupi biaya investasi untuk pengolahan
tanah dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan. (Karyudi dkk,2001:2)
Biaya yang dialokasikan untuk setiap kegiatan mulai dari biaya tanarnan
sampai biaya FOB kemungkinan masih dapat ditekan, terutama pada perusahaanperusahaan yang pengelolaannya kurang efisien. Untuk mengevaluasi tingkat
efisiensi biaya dari setiap kegiatan dapat dibandingkan dengan standar norma
yang dihasilkan secara empiris dari kebun-kebun yang memiliki harga pokok yang
rendah. Berdasarkan analisis biaya, strategi penurunan harga pokok dapat
101
dilakukan baik melalui peningkatan produktivitas tanaman maupun peningkatan
efisiensi biaya yang implementasinya pcrlu disesuaikan dengan kondisi dan klas
kebun. (Karyudi dkk,2001:3)
Dengan harga pokok karet yang rendah, usaha perkebunan karet
diharapkan tetap menggairahkan bagi penanam modal. Pada saat ini banyak
perusahaan yang merasa rugi dalam mengelola perkebunan karet. Akan tetapi
disisi lain banyak juga perusahaan yang dapat menikmati keuntungan dari
komoditas karet. Dikotomi mengenai kelayakan usaha perkebunan karet ini perlu
diklarifikasi melalui penngkatan analisis biaya per kilogram produksi (harga
pokok) yang diperbandingkan dengan harga jualnya. (Karyudi dkk,2001:3)
Disamping kelayakan ekonomis dari lateks dan kayunya, perkebunanan
karet sebenarnya memiliki keuntungan lain,yaitu sebagai penyangga lingkungan,
karena mampu memperbaiki keseimbangan hidrologis, mengurangi peningkatan
panas bumi (global warming), memperbaiki tekstur tanah dan secara tidak
langsung dapat mengurangi penebangan kayu hutan yang dapat merusak
keseimbangan lingkungan. (Karyudi dkk,2001:3)
4.3.3. Pengaruh Harga di Pasar Internasional terhadap Ekspor Komoditi
Karet Indonesia
Variabel harga di pasar interasional (X3) seperti yang diungkapkan diatas
tidak berpengaruh secara nyata, dengan kata lain tidak signifikan pada pada taraf
signifikansi yang ditentukan (5%). Meskipun tidak signifikan, namun pengaruh
harga di pasar internasional (X3) terhadap ekspor komoditi karet adalah positif
102
yaitu semakin tinggi Harga di pasar Internasional akan meningkatkan ekspor
komoditi karet di Indonesia. Untuk koefisien harga di pasar internasional (X3)
sebesar 17932,424; hal ini menunjukan bahwa jika terjadi peningkatan harga di
pasar internasional sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan meningkat
sebesar 17932,424%.
Harga merupakan titik keseimbangan antara penawaran dan permintaan
terhadap suatu jenis barang dan / atau jasa. Penawaran karet alam mendekati
oligopoli. Keadaan pasar yang seperti inilah yang kurang menguntungkan
produsen dalam menentukan harga.
Disatu pihak, negara-negara produsen menginginkan harga yang tinggi,
namun di lain pihak, negara-negara konsumen menginginkan harga yang rendah.
Oleh karena itu, keseimbangan antara produksi karet alam (yang dipasok oleh
negara-negara produsen) dengan konsumsi (untuk kebutuhan industri di negaranegara
konsumen),
sangat
menentukan
terciptanya
harga
yang
saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak (negara produsen dan negara konsumen).
(Depdag,2006:1)
Untuk itu, karet mempunyai organisasi internasional yang berfungsi
sebagai penyeimbang harga.
Organisasi Karet Alam Internasional atau International Natural Rubber
Organization (INRO), dibentuk untuk kepentingan negara produsen dan negara
konsumen, yaitu mencapai suatu harga karet alam yang stabil di pasaran
internasional, dengan tidak meninggalkan prinsip mekanisme pasar. Stabilisasi
harga dilakukan dengan berpedoman pada Perjanjian Karet Alam Internasional
103
atau International Natural Rubber Agreement (INRA), yaitu melalui operasi
“Buffer Stock”, dengan cara membeli karet alam pada saat harga internasional
“lebih rendah” dari reference price atau menjual pada saat harga “lebih tinggi”
dari reference price. (Depdag,2006:2)
INRO dinyatakan bubar sejak tanggal 13 Oktober 1999. Beberapa negara
produsen karet alam seperti Malaysia, Thailand dan Sri Lanka akhirnya
menyatakan mundur dari keanggotaan INRO sejak dibubarkannya INRO tahun
1999 tersebut, tiga negara produsen utama karet alam yaitu Thailand, Indonesia
dan Malaysia sepakat mengadakan kerjasama di bidang perdagangan karet alam
(Tripartite on Rubber Cooperation among Thailand, Indonesia and Malaysia).
(Depdag,2006:3)
Dalam upaya mengatasi merosotnya harga karet alam,
Pemerintah
Thailand, Indonesia dan Malaysia telah sepakat mendirikan perusahaan patungan
karet alam bernama “International Rubber Consortium
Limited (IRCo)”.
Kesepakatan pendirian perusahaan patungan IRCo ini telah tertuang dalam
Memorandum of Undrstanding (MoU) yang ditanda-tangani oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives
Thailand dan Menteri Primary Industries Malaysia pada tanggal 8 Agustus 2002
di Bali. (Depdag,2006:3)
IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema penyetabil harga yang lain,
yaitu Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme
(AETS) sebagaimana disepakati dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali
104
Declaration) 2001”, yaitu melaksanakan kegiatan strategic marketing
yang
meliputi pembelian dan penjualan karet alam. (Depdag,2006:3)
Mekanisme beroperasinya IRCo, secara singkat dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Apabila harga karet alam pada suatu saat turun hingga menyentuh pada
tingkat reference price yang telah disepakati, maka perlu dilaksanakannya
langkah-langkah Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export
Tonnage Scheme (AETS)*. [Dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali
Declaration) 2001”,
ketiga
negara
telah
sepakat
melaksanakan
pengurangan produksi sebesar 4% setiap tahunnya dalam jangka waktu
tertentu melalui mekanisme SMS, dan melakukan pengurangan ekspor
sebesar 10% melalui mekanisme AETS. Kebijakan AETS dan SMS mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2002]
2. Apabila harga karet alam terus menurun secara drastis dan mekanisme
SMS maupun AETS tidak berhasil mengangkat harga karet alam pada
tingkat harga yang wajar sesuai reference price, maka perlu ada tindakan
yang harus dilakukan oleh Board of Directors IRCo, yang salah satu
diantaranya adalah melakukan pembelian karet alam. (Depdag,2006:3)
Dengan demikian maka, bilamana target harga tersebut dapat dicapai,
diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. para petani itu akan
semakin bergairah untuk lebih mengembangkan usaha tani karetnya kearah yang
lebih modern. (Depdag,2006:19)
105
4.4. Implikasi Pendidikan
Salah satu tujuan penelitian yang penulis lakukan, selain untuk
memberikan gambaran mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi ekspor
komoditi karet di Indonesia periode 1990-2006 tetapi juga diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi dunia pendidikan.
Menurut John Dewey, pendidikan merupakan proses pembentukan
kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya
intelektual, maupun daya emosional atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat
manusia dan kepada sesamanya. (Syaiful Sagala,2005: 3)
Fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan
rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan. Diasumsikan bahwa orang yang
berpendidikan akan terhindar dari kebodohan dan juga kemiskinan, karena dengan
modal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui proses
pendidikan ia mampu mengatasi berbagai problema kehidupan yang dihadapinya.
Kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang tentu sesuai tingkat
pendidikan yang diikutinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka
diasumsikan semakin tinggi pula pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya.
Hal ini menggambarkan bahwa fungsi pendidikan dapat meningkatkan
kesejahteraan, karena orang yang berpendidikan dapat terhindar dari kebodohan
maupun kemiskinan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa fungsi pendidikan
adalah membimbing ke arah suatu tujuan yang kita nilai tinggi.
UUSPN No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
106
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan pada akhirnya harus diajukan pada upaya mewujudkan sebuah
masyarakat yang ditandai adanya keluhuran budi dalam diri individu, keadilan
dalam negara dan sebuah kehidupan yang lebih bahagia dan saleh dari setiap
individunya.
Dari uraian diatas dapat dilihat betapa pentingnya peranan pendidikan
dalam kehidupan manusia. Selain itu, pendidikan dan perekonomian mempunyai
hubungan dan harus berjalan beriringan karena keduanya harus saling mendukung
demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dilihat dari sudut pandang keilmuan ekonomi, pendidikan dipandang
sebagai usaha penanaman modal insani (human capital) yang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Winardi (1989:177) menegaskan bahwa
ekonomika adalah suatu studi tentang upaya manusia memperoleh kemakmuran
materiil manusia. Konsep ekonomi menjadi dasar atau landasan pendidikan,
karena itu kondisi ekonmomi mempengaruhi kemampuan dan kegiatan
pendidikan.
Berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, Karet alam merupakan
salah satu komoditi industri hasil tanaman tropis yang mempunyai peranan
penting dan strategis dalam mendukung perekonomian nasional, utamanya
sebagai sumber perolehan devisa dan sumber nafkah berjuta-juta petani karet di
pedesaan sehingga dapat membendung arus urbanisasi, serta sebagai penyedia
lapangan kerja bagi buruh pabrik karet. (Depdag,2006:1)
107
Akan tetapi produktivitas perkebunan karet masih rendah karena sebagian
besar perkebunan karet dikelola oleh petani yang umumnya masih sangat
sederhana dan tidak menjamin mutu produk yang dihasilkan karena belum
sepenuhnya menerapkan teknik dan manajemen usaha yang efisien selain faktor
pemilikan teknologi dan kemampuan sumberdaya petani masih rendah, sehingga
sampai di pasaran, produk karet Indonesia dikenal sebagai yang bermutu rendah.
Hasil-hasil pengolahan dari petani tersebut kemudian diolah lebih lanjut
oleh pabrik-pabrik yang terkadang mengeluarkan biaya lagi untuk mengelola karet
dari petani karena tidak bersih atau kurang bermutu.
Pada sebagian lokasi harga yang diterima di tingkat petani masih relatif
rendah (60-75% dari harga FOB) karena belum efisiennya sistem pemasaran
bahan olah karet rakyat (bokar). Kemiskinan yang serius masih mewarnai
kehidupan para petani karet.
Upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui perluasan tanaman
karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk
dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa
memberikan modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai peremajaan
dan pembangunan kebun karet serta pemeliharaan tanaman secara intensif. Karena
lebih dari 90 persen kebun rakyat kondisinya hampir mirip hutan karet, dengan
usia tanaman yang sudah tua. Pemerintah perlu melakukan terobosan baru dalam
membangun perkebunan karet-rakyat, baik yang sudah ada maupun yang
belum/dalam proses
pengembangan sehingga dapat meraih kembali
posisi
Indonesia sebagai produsen karet-alam terbesar di dunia yang semakin bersaing.
108
Selain itu, diperlukan juga pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan
sumber daya petani agar dapat menerapkan teknik dan manajemen usaha yang
efisien hingga dapat menghasilkan karet yang banyak dan bermutu dengan biaya
yang dikeluarkan lebih sedikit dan pendapatan yang didapatkan lebih banyak.
Selain petani, perlu juga meningkatkan sumber daya untuk para pengusaha
ekspor karet itu sendiri seperti melakukan diklat atau pelatihan tentang ekspor,
melakukan pameran-pameran, mencari peluang atau pasar baru di luar negeri
untuk mengekspor karet, melakukan kerjasama dengan para pengekspor dari
negara lain, dan memelihara hubungan dengan pemasaran yang sudah ada.
Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
petani dan menghapus berbagai dimensi kemiskinan, meningkatkan ekspor karet,
pertumbuhan ekonomi meningkat, maka kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih baik pun semakin terbuka.
Download