61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Gambaran Umum Komoditi Karet di Indonesia Karet alam merupakan produk yang diperoleh dari pengolahan lateks pohon dan semak-semak, umumnya melalui torehan atau pemotongan tanamannya. Lateks dapat digolongkan sebagai cadangan makanan bagi pohonnya dan merupakan pula “bahan penyembuh” jika kulit pohonnya terluka. (PS Siswo Putranto, 1981:1) Karet pertama kali dikenal dalam tulisan Antonio de Herrera (1601) dan juga oleh Juan de Torquemada (1935). (PS Siswo Putranto, 1981:2) Di Indonesia, walaupun biji-biji karet telah dimasukan ke Kebun Raya di Bogor pada tahun 1876, baru sekitar tahun 1903 dimulai usaha membuka perkebunan karet di Sumatera dan sekitar tahun 1906 di pulau Jawa. (PS Siswo Putranto, 1981:50) Perkebunan karet di Indonesia terdiri dari 85 perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. (Chairil Anwar:2001) Secara keseluruhan luas areal karet di Indonesia dapat dilihat pada tabel dibawah ini: 62 Tabel 4.1 Luas areal karet menurut propinsi di seluruh Indonesia 2002-2006 hektar Tahun/Year No. Propinsi/Province 2002 (1) 2003 2004 2005 Pertumbuhan/ Growth 2006 over 2005 2006*) (%) (7) (8) (2) (3) (4) (5) (6) Nanggroe Aceh 1 Darussalam 95.738 98.581 114.950 116.071 117.720 2 Sumatera Utara 437.672 448.945 440.647 448.852 456.864 3 Sumatera Barat 103.940 101.340 104.197 102.242 103.228 4 Riau 397.515 423.020 353.506 362.090 369.844 5 Kepulauan Riau 30.955 30.524 30.938 6 Jambi 433.881 424.838 436.462 429.170 433.766 7 Sumatera Selatan 682.688 637.868 644.385 655.230 658.813 8 Bangka Belitung 34.694 31.095 30.387 29.279 28.856 9 Bengkulu 75.684 72.218 72.367 71.137 71.353 10 Lampung 80.795 71.879 84.008 81.884 81.495 11 DKI Jakarta 12 Jawa Barat 56.745 57.924 51.904 51.989 52.287 13 Banten 21.709 21.119 23.341 23.057 23.496 14 Jawa Tengah 29.770 32.576 32.021 30.581 30.113 15 DI. Yogyakarta 16 Jawa Timur 25.377 18.962 26.540 25.362 25.176 17 Bali 90 102 89 95 96 18 NTT 19 NTB 20 Kalimantan Barat 373.858 369.258 365.780 375.310 379.040 21 Kalimantan Tengah 261.773 261.834 259.001 256.596 255.720 22 Kalimantan Selatan 129.615 144.424 128.292 129.582 129.956 23 Kalimantan Timur 52.046 43.537 49.441 45.487 45.533 24 Sulawesi Utara 25 Gorontalo 26 Sulawesi Tengah 3.310 11.500 3.078 3.143 3.240 27 Sulawesi Selatan 12.175 12.553 5.686 5.848 5.875 28 Sulawesi Barat 756 1.209 1.232 29 Sulawesi Tenggara 30 Maluku 935 935 31 Maluku Utara 1.351 1.309 32 Papua 6.998 4.295 4.459 4.619 4.795 33 Irian Jaya Barat 16 34 34 Indonesia 3.318.359 3.290.112 3.262.267 3.279.391 3.309.472 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Keterangan : *) Angka Sementara - ) Data tidak tersedia 1,42 1,78 0,96 2,14 1,36 1,07 0,55 -1,44 0,30 -0,48 0,57 1,90 -1,53 -0,73 1,05 0,99 -0,34 0,29 0,10 3,09 0,46 1,90 3,81 0,00 0,92 63 Dari tabel diatas, luas areal karet dari tahun 2005 yang sebesar 3.279.391 hektar meningkat menjadi 3.309.472 hektar pada tahun 2006 mengalami pertumbuhan sebesar 0,92% atau 30081 hektar. Pertumbuhan sebesar 0,92% masih relatif kecil dan di beberapa propinsi bahakan pertumbuhannya negatif yaitu Bangka Belitung, Lampung, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah. Akan tetapi kondisi ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni tahun 2003 dan 2004 yang mengalami penurunan luas areal karet. Dalam hal ini, tahun 2002 merupakan luas areal karet terbesar selama lima tahun terakhir. Tanaman karet rakyat sebagian besar terletak di daerah Sumatera Selatan, di Kalimantan Barat, di Jambi, di Riau, dan di Sumatera Utara. Bidang karet rakyat ini sebagian diusahakan oleh petani-petani karet pemilik kebun yang khusus menghasilkan karet, tetapi pada umumnya merupakan petani-petani yang menanam lain-lain tanaman, terutama tanaman-tanaman pangan. (PS Siswo Putranto,1981:57) Pengerjaan karet oleh petani umumnya masih sangat sederhana dan tidak menjamin mutu produk yang dihasilkan. Hasil-hasil tersebut kemudian diolah lebih lanjut oleh pabrik-pabrik dan biasanya bahan-bahan karet rakyat ditampung oleh tengkulak yang kemudian menjualnya ke pabrik-pabrik remiling. Sampai kini pengembangan budidaya karet terutama dilakukan oleh perkebunan-perkebunan negara yang giat melakukan peremajaan tanaman karetnya secara terecana. Di kalangan pengusaha karet telah dibentuk wadah kerjasama : Gapkindo (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia – Rubber Producers Association of Indonesia). Organisasi ini hakekatnya dibentuk untuk menggalang kesatuan para 64 produsen dan pengusaha karet. Melalui kerjasama diharapkan pengembangan kegiatan dan usahanya dapat lebih mantap dilaksanakan dan lebih mudah mengatasi masalah yang dihadapi. Dimaksudkan pula dapat lebih kuat posisinya menghadapi pihak-pihak pembeli. Gapkindo dibentuk sebagai kelanjutan dari persatuan pengusaha karet spesifikasi teknis yang didirikan pada bulan september tahun 1972. Kegiatan yang dilakukan Gapkindo antara lain meliputi usaha-usaha: 1. Bahu-membahu dengan pemerintah dalam usaha pengembangan perkaretan di Indonesia serta peraturan-peraturannya 2. Perluasan pasaran karet Indonesia dengan memasukkan karet Indonesia ke pasaran-pasaran baru dan melakukan promosi untuk penunjangnya 3. Penetapan persyaratan-persyaratan yang berhubungan dengan soal-soal pelaksanaan transaksi 4. Bertindak sebagai penengah/arbitrator jika timbul pertikaian antara anggota atau dengan lain-lain pihak 5. Kegiatan-kegiatan lain yang dapat memajukan usaha anggota dan organisasi. (PS Siswo Putranto, 1981:75) Sejak 1972 Gapkindo telah terdaftar resmi sebagai anggota Kamar Dagang Indinesia (KADIN) dan sejak tahun 1975 juga terdaftar sebagai anggota dari Depalindo. Dalam kegiatan perkaretan Internasional, Gapkindo sejak 24 September 1971 diterima resmi menjadi anggota Internasional Rubber Association (IRA). (PS Siswo Putranto, 1981:76) Berbagai kendala atau hambatan yang dihadapi Gapkindo untuk meningkatkan daya saing karet alam Indonesia di pasar dunia, sehingga 65 memerlukan uluran tangan pemerintah. Kendala itu antara lain adalah banyaknya jenis pungutan yang dibebankan kepada Gapkindo. (Sinar Harapan:2003) Selain itu, ada beberapa badan dan organisasi internasional yang ada hubungannya dengan masalah perkaretan dunia. 1. Internasional Rubber Study Group 2. International Rubber Research and Development Board 3. International Rubber Association 4. Association of Natural Rubber Producing Countries 5. Food and Agriculture Organization of the UN 6. UN Industrial Development Organization 7. UN Conference on Trade and Development 8. International Natural Rubber Organization 9. International Rubber Consortium Limited (PS Siswo Putranto, 1981:178-189) Produksi karet Indonesia sebagian besar dipasarkan ke mancanegara (diekspor) dan hanya sebagian kecil saja yang dipasarkan di dalam negeri. Pada tahun 2005 tercatat tidak kurang dari 52 negara yang menjadi pangsa pasar karet alam Indonesia. Pada tahun 2005 lima besar negara yang menjadi pengimpor karet alam Indonesia berturut-turut yaitu United States, Jepang, China, Singapura dan Korea. (Statistik Karet Indonesia, 2005 : xiv) Karet alam Indonesia dikelompokkan menjadi lima belas jenis karet berdasarkan kode HS (Harmony System) yaitu: 1. Kode HS 400110110: Latex Containing Lt. ½% Ammonia Cream concentrate 66 2. Kode HS 400110120: Latex Containing Lt. ½% Ammonia Centrifuge concentrate 3. Kode HS 400110190 : Latex Containing Lt. ½% Ammonia Other concentrate 4. Kode HS 400110210 : Latex Containing > ½% Ammonia Cream concentrate 5. Kode HS 400110220: Latex Containing >½% Ammonia Centrifuge concentrate 6. Kode HS 400110290 : Latex Containing > ½% Ammonia Other concentrate 7. Kode HS 400110900 : Other natural rubber latex 8. Kode HS 400121000 : Smoked sheets 9. Kode HS 400122110 : SIR 3CV 10. Kode HS 400122150 : SIR 10 11. Kode HS 400122160 : SIR 20 12. Kode HS 400122190 : Other SIR 13. Kode HS 400122900 : Other TSRN 14. Kode HS 400129000 : Other Natural Rubber 15. Kode HS 400130000 : Balata, gutta percha, guayule, chicle and similar natural gums (Statistik Karet Indonesia, 2005 : xxiii-xxiv) 4.1.2. Gambaran Umum Ekspor Komoditi Karet di Indonesia Peranan komoditi non-migas dalam ekspor Indonesia, terutama setelah minyak tidak bisa diandalkan lagi, menjadi sangat penting. Komoditi tersebut, 67 secara garis besar dapat dibedakan menjadi sektor perkebunan dan nonperkebunan. Karet merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Karet juga salah satu komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa negara diluar minyak dan gas meskipun peran komoditi karet terhadap perolehan devisa masih relatif kecil. Sekitar 90 persen produksi karet alam Indonesia diekspor ke manca negara dan hanya sebagian kecil yang dikonsumsi dalam negeri. (Statistik Karet Indonesia, 2005 : xiv) Ekspor komoditi karet di Indonesia periode 1990-2006 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Berikut ini tabel ekspor komoditi karet di Indonesia periode 1990-2006 Tabel 4.2 Ekspor Komoditi Karet di Indonesia Periode 1990-2006 Tahun Ekspor Pertumbuhan (Rp Juta) (%) (1) (2) (3) 1990 1.609.911,28 1991 1.923.702,29 19,49 1992 2.141.321,02 11,31 1993 2.061.655,68 -3,72 1994 2.798.268,00 35,73 1995 4.532.071,89 61,96 1996 4.570.360,47 0,84 1997 6.944.384,40 51,94 1998 8.839.160,33 27,29 1999 6.029.320,00 -31,79 2000 8.526.337,69 41,41 2001 8.176.448,80 -4,10 2002 9.275.804,28 13,44 2003 12.653.575,12 36,41 2004 20.252.469,41 60,05 2005 25.520.462,50 26,01 2006 38.972.758,69 52,71 164.828.011,90 398,98 Jumlah 9.695.765,41 23,47 Rata-rata Sumber : Statistik Indonesia BPS beberapa edisi, data diolah 68 Grafik 4.1 (Rupiah) ekspor komoditi karet Ekspor Komoditi Karet 45000000 40000000 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 N (tahun) Trend Ekspor Komoditi Karet (1990-2006) Berdasarkan tabel diatas, ekspor komoditi karet di Indonesia periode 19902006 mengalami fluktuasi dan rata-rata fluktuasinya sebesar Rp 9.695.765,41juta dengan rata-rata pertumbuhan adalah sebesar 23,47% yang berarti bahwa ekspor komoditi karet rata-rata setiap tahunnya mengalami pertumbuhan sebesar 23,47%. Tahun 1999 merupakan pertumbuhan ekspor terkecil selama periode penelitian, yakni hanya sebesar -31.79% dengan nilai ekspor Rp 6.029.320,00juta. Penurunan ekspor karet tersebut disebabkan oleh berkurangnya permintaan di kawasan Asia, meningkatnya pasokan sehubungan dengan peningkatan produksi di Thailand dan Indonesia dan melemahnya kegiatan ekonomi di negara importir seperti Jepang, Amerika, Korea dan Eropa. Selain itu, Indonesia bersaing dengan Thailand, dan Malaysia sebagai penghasil karet terbesar dunia. Pada tahun sebelumnya yaitu tahun 1993 ekspor karet juga mengalami penurunan tetapi hanya sebesar -3.72% dan tahun tahun berikutnya juga ekspor karet diwarnai dengan pertumbuhan yang naik turun. Walaupun empat tahun terakhir periode penelitian ekspor karet cenderung mengalami kenaikan tetapi bukan berarti tanpa masalah. 69 Saat ini tingkat produktivitas karet Indonesia masih sangat rendah. Tahun 2005 data Departemen Pertanian menunjukkan, dari areal seluas 3.279.391 hektar yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia produktivitas karet kering secara nasional baru mencapai 2,06 juta ton. Sebagian besar pengelolaannya masih dilakukan oleh rakyat yang belum sepenuhnya menerapkan teknik dan manajemen usaha yang efisien. Dari perkebunan rakyat, hanya 9,3 persen yang kondisinya relatif baik, yaitu yang dikembangkan melalui proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR atau program bantuan lainnya). Sementara lebih dari 90 persen kebun rakyat kondisinya hampir mirip hutan karet, dengan usia tanaman yang sudah tua. Dengan memperhatikan masih akan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai peremajaan dan pembangunan kebun karet serta pemeliharaan tanaman secara intensif. (Chairil Anwar:2001) Meremajakan perkebunan karet itu sendiri bukan perkara mudah. Sebab selain membutuhkan biaya tidak sedikit, juga memerlukan waktu sampai enam tahun sampai pohon karet bisa disadap. Itu pun kalau petani menanam pohon karet berkualitas. Sementara jika bibitnya tidak berkualitas atau berasal dari biji yang tumbuh, pohon karet baru bisa disadap ketika berusia 10 tahun. (Amir Sodikin,dkk : 2003) 70 Selama waktu menunggu masa panen tiba itulah yang juga merupakan masa paling sulit yang dihadapi petani. Saat itu tidak ada lagi sumber nafkah yang bisa menghidupi keluarga-keluarga petani karet karena selama ini mereka hanya menggantungkan hidupnya dari getah yang disadap. (Amir Sodikin,dkk : 2003) 4.1.3. Gambaran Umum Nilai Tukar Rupiah Kebijakan nilai tukar tidak hanya mencakup masalah stabilitas makro, tetapi juga sangat besar pengaruhnya terhadap insentif ekspor dan impor. Apresiasi nilai tukar akan mengurangi daya saing barang-barang ekspor, dan meningkatkan penetrasi impor. Menurunnya ekspor dan meningkatnya impor dikhawatirkan akan memperburuk neraca perdagangan. Sebagai negara pengutang yang cukup besar Indonesia tentu tidak dapat menanggung defisit neraca pembayaran yang terlalu besar. (Haryo Aswicahyono:1996) Daya saing produk ekspor dipengaruhi oleh nilai tukar. Dengan membiarkan nilai tukar lebih mengambang, memang besar kemungkinan terjadi apresiasi nilai tukar. (Haryo Aswicahyono:1996) Menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebagai dampak aliran dana global berpotensi merugikan ekspor komoditas sektor pertanian. Nilai ekspor pertanian Indonesia melemah dan ancaman lebih serius lagi komoditas pertanian kita kalah bersaing. Jika nilai tukar rupiah terlalu kuat maka akan mengurangi nilai ekspor pertanian kita karena ekspor kita dibayar dengan uang dollar AS. Di sisi lain biaya produksi komoditas pertanian dibayar dengan rupiah. Jika rupiah 71 sangat kuat mengakibatkan ongkos produksi meningkat. Dampak lanjutannya persaingan produk pertanian kita dengan negara lain semakin ketat. Oleh karena itu, nilai tukar perlu terus dijaga agar barang ekspor tetap kompetitif. Nilai tukar rupiah diharapkan tetap dalam kondisi stabil. Selain para pemangku kepentingan bisa membuat perencanaan yang matang, stabilitas nilai tukar rupiah juga mendorong arah pertumbuhan ekonomi yang jelas. Jenis komoditi yang memberikan kontribusi besar terhadap devisa jumlahnya relatif terbatas, atau dengan kata lain hanya komoditi karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao dan komoditi teh yang memberikan kontribusi berarti terhadap perolehan devisa. Karena perolehan devisa ini begitu tergantung pada ekspor komoditi tertentu saja maka perolehan devisa ini sangat peka terhadap nilai tukar. Artinya fluktuasi perolehan devisa dari komoditi tersebut akan berdampak pada fluktuasi devisa secara keseluruhan. Kondisi ini akan diperburuk lagi jika pasar untuk komoditi-komoditi pertanian tidak stabil. (Bonar M. Sinaga dan Elwamendri,:1-2). Perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS selama periode 19902006 dapat dilihat pada tabel 4.3 dan gambar 4.2. Dari sana kita dapat melihat bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pertumbuhan setiap tahunnya fluktuatif. Jika dirata-ratakan kurs rupiah mencapai nilai Rp 5.902,41/US $ dan rata-rata perubahannya 12,40% yang berarti bahwa nilai tukar rupiah setiap tahunnya rata-rata terdepresiasi sebesar 12,04%. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mempunyai hubungan dengan kondisi stabilitas nasional. 72 Untuk lebih jelasnya perkembangan nilai tukar Rupiah dapat dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini : Tabel 4.3 Nilai Tukar Rupiah/US $ Periode 1990-2006 Tahun Nilai tukar Perubahan (Rp/US $) (%) (1) (2) (3) 1990 1.901 1991 1.992 4,79 1992 2.062 3,51 1993 2.110 2,33 1994 2.200 4,27 1995 2.308 4,91 1996 2.383 3,25 1997 4.650 95,13 1998 8.025 72,58 1999 7.100 -11,53 2000 9.595 35,14 2001 10.400 8,39 2002 8.940 -14,04 2003 8.465 -5,31 2004 9.290 9,75 2005 9.900 6,57 2006 9.020 -8,89 100.341 210,85 Jumlah 5.902,41 12,40 Rata-rata Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia BI, beberapa edisi Grafik 4.2 Nilai Tukar Rupiah 10000 (Rupiah) ekspor komoditi karet 12000 8000 6000 4000 2000 0 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 N (tahun) Trend Niali Tukar Rupiah (1990-2006) Sistem nilai tukar yang dianut Indonesia sejak 15 November 1978 sampai dengan 13 Agustus 1997 adalah sistem mengambang terkendali (managed floating). Dalam sistem ini nilai kurs rupiah terhadap valuta asing ditentukan oleh kekuatan pasar (permintaan dan penawaran) valuta asing disertai oleh 73 pengendalian oleh otoritas moneter. Maksud pengendalian ini adalah agar rupiah tidak terlalu fluktuatif dan tetap wajar, sebab nilai tukar yang terlalu fluktuatif akan berdampak negatif terhadap aliran barang, jasa dan modal, yang pada gilirannya mempengaruhi perekonomian nasional. (Marie Muhammad:2006) Selain itu nilai tukar yang terlalu fluktuatif akan mendorong tindakan kontra produktif (spekulan), yang jelas berdampak negatif bagi perekonomian nasional. Sistem ini ternyata ampuh bertahan selama berpuluh-puluh tahun, karena pada satu pihak dapat mempertahankan stabilitas nilai rupiah dan pada pihak lain memberikan ruang gerak berupa fleksibilitas guna merespon keadaan pasar dengan adanya band intervensi yang merupakan kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Selain itu, diluar devaluasi rupiah yang telah dilakukan Indonesia berkali-kali, setiap tahun rata-rata nilai rupiah mengalami depresiasi sekitar 4-5% terhadap nilai dolar AS. Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. Kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1997 gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas batas-batas kurs intervensi. Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar rupiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga 74 nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter. (Marie Muhammad:2006) Pelepasan batas kurs intervensi ditambah dengan ekspektasi masyarakat yang kurang mendukung stabilitas kurs rupiah mengakibatkan terjadinya fluktuasi kurs secara tajam. Hal ini dapat merugikan perekonomian Indonesia, seperti terganggunya produksi barang dan jasa serta turunnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Dengan mempertimbangkan dampak negatif tersebut, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan moneter dan fiskal serta kebijaksanaan sektor riil untuk mengembalikan nilai kurs ketingkat yang wajar. Untuk memperkuat nilai kurs rupiah perlu dilaksanakan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang ketat. (Marie Muhammad:2006) Merespon anjloknya nilai rupiah, berbagai kebijakan telah dilakukan agar nilai rupiah dapat tertolong dan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan para investor terhadap Indonesia. Kebijakan-kebijakan dimaksud berupa: 1. Kontraksi rupiah secara besar-besaran melalui kebijakan fiskal (APBN) dengan cara menekan pengeluaran dan menunda pembayaran-pembayaran yang tidak mendesak. 2. Bank Indonesia meningkatkan suku bunga sehingga suku bunga SBI mencapai 70% dengan maksud membatasi ekspansi kredit perbankan dan menarik uang yang beredar dari sistem perbankan yang dikonversikan ke dalam SBI pada Bank Indonesia. 75 3. Bank Indonesia melakukan intervensi pasar dengan menjual dolar pada saat diperlukan jika rupiah menunjukkan tanda-tanda penurunan yang benarbenar mengkhawatirkan. Kebijaksanaan semacam ini hingga saat inipun dilakukan oleh Bank Indonesia, misalnya akhir-akhir ini ketika rupiah menunjukkan penurunan nilai yang agak berarti. Demikian pula, Bank Indonesia memperluas band intervensi dengan maksud menyelamatkan sistem nilai rupiah yang mengambang tetapi terkendali (managed floating). 4. Indonesia bersama-sama dengan Jepang dan Singapura melakukan intervensi pasar bersama untuk memperkuat nilai rupiah, dengan cara Bank Sentral Jepang dan Otoritas Moneter Singapura membeli rupiah dipasar. 5. Pada tanggal 18 Agustus 1997 pemerintah menarik dana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari bank-bank umum dan deposito berjangka yang berjumlah besar milik BUMN yang ditempatkan pada berbagai perbankan, untuk sementara waktu dikonversikan kedalam SBI dan kemudian secara bertahap dilepaskan secara berangsur-angsur. 6. Pada tanggal 17 September 1997 pemerintah melakukan penjadwalan kembali proyek-proyek APBN. Pembatalan dan penundaan berbagai mega proyek Pemerintah guna memperketat pengeluaran melalui APBN serta mengurangi laju impor barang agar cadangan devisa tidak semakin terkuras. Demikian pula, pihak swasta dihimbau untuk menunda berbagai proyek yang bernilai besar agar impor dapat dikurangi guna menolong cadangan devisa nasional. 76 7. Pada tanggal 31 Oktober1997 pemerintah dijanjikan paket bantuan dari Internasional Monetary Fund (IMF) senilai US$ 23,0 miliar. Lebih lanjut pada tanggal 15 Januari 1998 pemerintah telah menyampaikan surat kesediaan (letter of intent) kepada IMF untuk melaksanakan berbagai program ekonomi sehingga akan dapat memulihkan kepercayaan atas mata uang rupiah dan ekonomi nasional. Program ini antara lain mencakup pembatasan monopoli Badan Usaha Logistik (Bulog) hanya pada beras terhitung 1 Februari 1998, penghapusan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh terhitung Juni 1998, penghapusan kartel semen, kertas dan kayu lapis terhitung tanggal 1 Februari 1998, penghapusan hambatan investasi perkebunan kelapa sawit terhitung 1 Februari 1998, penghapusan peraturan investasi di bidang penjualan grosir dan perdaganggan eceran, dan lainnya. (Marie Muhammad:2006) 4.1.4. Gambaran Umum Harga Jual FOB Komoditi Karet di Indonesia Permasalahan perkebunan karet khususnya perkebunan rakyat adalah bahwa bahan baku yang dihasilkan umumnya bermutu rendah, dan pada sebagian lokasi harga yang diterima di tingkat petani masih relatif rendah (60-75% dari harga FOB) karena belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet rakyat (bokar). Belum efisiennya sistem pemasaran tersebut antara lain disebabkan lokasi kebun jauh dari pabrik pengolah karet dan letak kebun terpencar-pencar dalam skala luasan yang relatif kecil dengan akses yang terbatas terhadap fasilitas 77 angkutan, sehingga biaya transportasi menjadi tinggi. Pengelolaannya dilakukan secara sederhana. Setelah bibit karet ditanam kemudian dibiarkan begitu saja tanpa perawatan yang memadai, sehingga tingkat produktivitasnya masih rendah, yaitu disamping kualitas hasil olahan-karet juga tergolong rendah. Salah satu penyebabnya adalah faktor pemilikan teknologi dan kemampuan sumberdaya petani masih rendah, sehingga sampai di pasaran, produk karet Indonesia dikenal sebagai yang bermutu rendah. Sementara produk karet dari negara jiran, seperti Thailand dan Malaysia tetap mampu menjaga kualitas karetnya, sehingga sampai sekarang masih menguasai pasaran karet Dunia. Dengan fenomena tersebut, maka posisi Indonesia dalam eskalase perkaretan dunia saat ini menurun. Data dari Dirjen Perkebunan (2001) menunjukkan, posisi Indonesia sejak 1990 hingga tahun 2000 tetap berada di posisi kedua setelah Thailand sebagai produsen karet-alam dunia. Perkembangan harga jual FOB selama periode 1990-2006 dapat dilihat pada tabel 4.4 dan gambar 4.3. Dari sana kita dapat melihat bahwa pertumbuhan harga jual FOB setiap tahunnya fluktuatif. Jika dirata-ratakan setiap tahunnya harga jual FOB mengalami pertumbuhan sebesar 17,66% dengan nilai Rp 3.553,27 ribu/ton. Dari situ kita dapat melihat bahwa harga jual FOB rata-rata setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Untuk lebih jelasnya perkembangan harga jual FOB dapat dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini : 78 Tabel 4.4 Harga Jual FOB Komoditi Karet di Indonesia Periode 1990-2006 Tahun Harga jual FOB Pertumbuhan (%) (Rp 000/ton) (1) (2) (3) 1990 1.494,39 1991 1.725,17 15,44 1992 1.686,39 -2,25 1993 1.696,94 0,63 1994 2.247,43 32,44 1995 3.420,80 52,21 1996 3.186,67 -6,84 1997 4.904,98 53,92 1998 5.386,07 9,81 1999 4.033,75 -25,11 2000 6.180,24 53,21 2001 5.926,63 -4,10 2002 6.382,22 7,69 2003 7.612,50 19,28 2004 10.805,58 41,95 2005 12.629,93 16,88 2006 17.048,70 34,99 96.368,39 300,15 Jumlah 5.668,73 17,66 Rata-rata Sumber: Statistik Indonesia BPS beberapa edisi, data diolah Grafik 4.3 (Rp/Kg) Harga Jual FOB Harga Jual FOB 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 N (tahun) Trend Harga Jual FOB (1990-2006) Berdasarkan tabel diatas, tahun 1999 merupakan pertumbuhan harga jual FOB terkecil selama periode penelitian, yakni hanya sebesar -25,11% dengan harga jual Rp 4.033,75 ribu/ton. Penurunan harga jual FOB tersebut disebabkan oleh berkurangnya permintaan, meningkatnya pasokan serta melemahnya kegiatan ekonomi di negara. Dengan menurunnya harga jual FOB maka ekspor komoditi karetpun akan turun. 79 Pada tahun sebelumnya yaitu tahun 1996 harga jual FOB juga mengalami penurunan tetapi hanya sebesar -6.84% dan tahun tahun berikutnya juga harga jual FOB diwarnai dengan pertumbuhan yang naik turun. Walaupun lima tahun terakhir periode penelitian harga jual FOB cenderung mengalami kenaikan. 4.1.5. Gambaran Umum Harga Komoditi Karet di Pasar Internasional Fluktuasi harga karet alam di pasar Internasional, cenderung menimbulkan pesimisme ekspor, terutama karena andalan ekspor adalah komoditi primer yang dalam realitas selalu dirongrong oleh ketidakstabilan harga. Padahal dalam persaingan komoditi yang sama di pasar internasional, Indonesia harus berkompetisi dengan sesama negara produsen karet alam yang memiliki keunggulan komparatif sama. Penurunan harga karet alam di pasar dunia berdampak secara langsung terhadap perolehan devisa negara yang diperoleh dari komoditas ini. . Keadaan perkaretan dunia beberapa tahun terakhir ini mengalami berbagai perubahan struktural, baik dalam industri barang jadinya (otomotif) maupun dalam pasar dan industri karet itu sendiri. Perkembangan industri barang jadi, teknologi radialisasi dan optimalisasi dalam industri ban akan meningkatkan konsumsi serta menghendaki kualitas bahan baku karet alam yang lebih baik dan konsisten. Selain hal di atas, peningkatan investasi Jepang dalam industri otomotif di Amerika Serikat, juga akan meningkatkan konsumsi karet alam di masa datang. Semua keadaan di atas akan membawa perubahan struktur permintaan terhadap 80 karet alam, yang juga diduga akan mempengaruhi harga karet alam di pasar Internasional. Peningkatan konsumsi karet alam di negara-negara Asia tersebut antara lain disebabkan pertumbuhan ekonomi dan populasi yang terjadi di kawasan tersebut, dan relokasi industri barang jadi karet dari negara barat ke negara produsen karet alam. Industrialisasi di negara penghasil karet alam yang terus berkembang akan mengakibatkan di satu sisi peningkatan konsumsi domestik karet alam di negara tersebut, dan di sisi yang lain penurunan produksi karet alam akibat kompetisi dengan komoditas atau industri lainnya seperti yang telah terjadi di Malaysia. Pasok karet alam itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain harga. Perkembangan harga di pasar Internasional selama periode 1990-2006 dapat dilihat pada tabel 4.5 dan gambar 4.4 dibawah ini. Dari sana kita dapat lihat bahwa pertumbuhan harga di pasar internasional sangat berfluktuasi. Jika dirataratakan setiap tahunnya indeks harga internasional mengalami pertumbuhan sebesar 10,24% dengan nilai 127,73. Dari situ kita dapat melihat bahwa indeks harga di pasar Internasional rata-rata setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Untuk lebih jelasnya perkembangan harga dipasar Internasional dapat dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini : 81 Tabel 4.5 Harga Komoditi Karet di Pasar Internasional Periode 1990-2006 Tahun Indeks Harga Komoditi Karet Perubahan di Pasar Internasional (%) (1990=100) (1) (2) (3) 1990 120,10 1991 114,40 -4,75 1992 112,20 -1,92 1993 55,80 -50,27 1994 97,50 74,73 1995 101,20 3,79 1996 81,80 -19,17 1997 106,80 30,56 1998 104,70 1,97 1999 90,70 -13,37 2000 94,20 3,86 2001 97,30 3,29 2002 94,80 -2,57 2003 162,10 70,99 2004 195,10 20,36 2005 224,80 15,22 2006 317,90 41,41 2.171,40 174,13 Jumlah 127,73 10,24 Rata-rata Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, BI Grafik 4.4 350 300 (1990-100) Indeks Harga Komoditi Karet Di Pasar Internasional Indeks Harga Di Pasar Internasional 250 200 150 100 50 0 1985 1990 1995 2000 2005 2010 N (tahun) Trend Indeks Harga Di Pasar Internasional (1990-2006) Menurunnya harga karet alam dunia sejak pertengahan tahun 1997 mendorong ketiga negara produsen utama karet alam dunia yakni Thailand, Indonesia dan Malaysia untuk melakukan kerjasama tripartite dibidang produksi dan pemasaran karet alam. 82 Seiring dengan terbentuknya kerjasama tripartite antara tiga negara produsen karet alam dunia tersebut, harga karet alam di pasaran dunia memperlihatkan kecenderungan yang membaik. Pada akhir tahun 2001 (sebelum ditanda tanganinya Bali Declaration 2001) indeks harga karet alam sebesar 97,3. Setelah masing-masing negara anggota melaksanakan AETS (Agreed Export Tonnage Scheme) dan SMS (Supply Management Scheme), harga merangkak naik. Dengan ditandatangani MoU pada tanggal 8 Agustus 2002, harga merangkak naik pada tahun 2003, indeks harga mencapai 162,10. Diperkirakan harga akan mencapai US$ 2.00 pada tahun 2007 dan pada jangka panjang sampai 2020 akan tetap stabil, dikarenakan permintaan yang terus meningkat terutama dari China, India, Brazil dan negaranegara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia-Pasifik.(Chairil Anwar:2001) 4.2. Pengujian Data Dalam penelitian yang berjudul “ Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Karet di Indonesia Periode 1990-2006 ” terdapat tiga variabel bebas (X), yaitu nilai tukar rupiah (X1), harga jual FOB (X2), dan harga di pasar internasional (X3). Selain itu, yang menjadi variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah ekspor komoditi karet di Indonesia. Untuk menguji ada tidaknya pengaruh dari setiap variabel bebas terhadap variabel terikat, dilakukan pengujian regresi parsial dan pengujian secara simultan dengan menggunakan bantuan software computer SPSS versi 11.5 for windows. Adapun hasil estimasi OLS dengan metode enter adalah sebagai berikut : 83 Y t R R2 adj = -3162037,219 -401,006X1 +2281,676X2 + 17932,424X3 (951842,828) (140,851) (227,502) (11381,684) (0,006) (0,014) (0,000) (0,139) = (-3,322) (-2,847) (10,029) (1,576) = 0.997 R2 = 0.994 = 0.992 DW = 1.417 Berdasarkan hasil pengujian di atas, nilai koefisien determinasi (R2) mendekati sempurna sebesar 0,994 atau 99,4%. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel yang dipilih sudah tepat. Namun dari model tersebut belum sepenuhnya dikatakan baik karena masih ada variabel yang tidak signifikan pada taraf signifikansi yang telah ditentukan (5%) yakni harga di pasar internasional (X3). Selain itu untuk hasil estimasi di atas diduga model penelitian terkena multikolinearitas karena nilai R2-nya tinggi mendekati sempurna (100%), sedangkan variabel bebas di dalam model ada yang tidak signifikan. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode backward variabel yang tidak signifikan dikeluarkan dari model dengan hasil regresi baru sebagai berikut: = -1824475,27 - 563,39X1 + 2618,86X2 (452670,03) (100,95) (81,16) (0,001) (0,000) (0,000) = (-4,03) (-5,58) (32,26) t R = 0.996 R2 = 0.992 R2 adj = 0.991 DW = 1.417 Dengan menggunakan metode backward, dari tiga variabel yang Y diregresikan ternyata hanya dua variabel saja yang masuk ke dalam model, variabel yang satu lagi yang tidak signifikan secara otomatis tidak diikutsertakan ke dalam model. Estimasi model regresi diatas menunjukkan bahwa hasil cukup baik. Dengan koefisien determinasi 0,992 dan koefisien determinasi yang disesuaikan 84 adalah 0,991 (hampir mendekati 1). Namun hasil ini belum dikatakan tepat karena perlu dilakukan berbagai pengujian asumsi model. Pengujian OLS pada penelitian ini dilakukan dengan uji normalitas, uji linearitas, dan uji stasioneritas, hasil pengujian yang diperoleh adalah sebagai berikut: 4.2.1. Uji Normalitas (Normality Test) Uji normalitas adalah pengujian yang ditujukan untuk mengetahui sifat distribusi data penelitian. Uji ini berfungsi untuk menguji normal tidaknya sampel penelitian, yakni menguji sebaran data yang dianalisis. Menurut uji Kolmogrov Smirnov kriteria pengujian : a. Data berdistribusi normal jika signifikansinya lebih dari 0,05 dan teknik analisa yang digunakan adalah teknik analisa parametrik. b. Data berdistribusi tidak normal jika signifikansinya kurang dari 0,05 dan teknik analisa yang digunakan adalah teknik analisa non parametrik. Pada penelitian ini uji normalitas data dilakukan dengan one sampel Kolmogrov Smirnov test dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4. 6 Ringkasan hasil Uji Normalitas Kolmogrov Smirnov Variabel X1 (Nilai Tukar Rupiah) X2 (Harga Jual FOB) X3 (Harga di Pasar Internasional) Y (Ekspor) Sumber : Pengolahan, SPSS. ρ-value (sig) 0,216 0,510 0,073 0,135 α 0.05 0.05 0.05 0.05 Kesimpulan Distribusi data normal Distribusi data normal Distribusi data normal Distribusi data normal 85 Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa residual regresi tersebut semuanya mengikuti pola distirbusi normal. Untuk itu asumsi normalitas pada penelitian ini sudah terpenuhi. 4.2.2. Uji Linieritas (Linierity Test) Uji linieritas dalam suatu model dapat dideteksi dengan menggunakan diagram pencar (scatter plot), kaidah keputusannya apabila plot titik-titik tidak mengikuti pola tertentu berarti model linier sebaliknya apabila plot titik-titik mengikuti pola aturan tertentu (kuadratik, eksponensial, dan sebagainya) maka model non linier. Adapun hasil uji linieritas pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Gambar 4.1 Uji Linieritas Scatterplot Dependent Variable: EKSPOR RegressionStudentizedResidual 3 2006,00 2 1999,00 1998,00 1992,00 1 1993,00 1990,00 1991,00 2001,00 0 1994,00 2005,00 2000,00 2002,00 1996,00 2003,00 2004,00 -1 1995,00 1997,00 -2 -1 0 1 2 3 Regression Standardized Predicted Value Sumber : Pengolahan, SPSS. Pada diagram pencar di atas terlihat bahwa plot titik-titik observasi tidak mengikuti pola tertentu (acak), oleh karena itu model regresi dapat dipastikan linier. 86 4.2.3. Pengujian hipotesis 4.2.3.1. Uji Asumsi Dalam data berjangka waktu (time series), stasioner adalah merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Adapun beberapa uji stasioneritas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Uji Multikolinieritas Dalam penelitian ini cara yang digunakan untuk mendeteksi adanya gejala multikolinieritas yaitu dengan menggunakan nilai toleransi dan VIF adalah sebagai berikut : Tabel 4.7 Ringkasan Hasil Uji Multikolinieritas Dengan Nilai Tol dan VIF Model 1. ekspor komoditi karet Harga jual FOB Nilai tukar rupiah Sumber : Pengolahan, SPSS. Tolerance 0,435 0,435 VIF 2,301 2,301 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai toleransi semuanya mendekati 1, dan nilai VIF < 10 dengan demikian tidak terjadi multikolinieritas. Kesimpulanya bahwa estimasi model regresi dengan menggunakan metode enter dipastikan terhindar dari gejala multikolinieritas. 2. Uji Heteroskedastis Hasil pengujian heteroskedastis berdasarkan scatter plot (diagram pencar) pada penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut : 87 Gambar 4.2 Uji Heteroskedastis Scatterplot Dependent Variable: EKSPOR Regression Studentized Residual 3 2006,00 2 1999,00 1998,00 1992,00 11990,00 1993,00 1991,00 2001,00 1994,00 0 2005,00 2000,00 2002,00 1996,00 2003,00 2004,00 -1 1995,00 1997,00 -2 -1 0 1 2 3 Regression Standardized Predicted Value Sumber : Pengolahan, SPSS. Berdasarkan diagram pencar diatas dapat dilihat bahwa plot titik-titik observasi tidak mengikuti pola aturan suatu pola tertentu (baik hubungan linier, kuadratik, dan sebagainya), karena itu dapat dipastikan bahwa dalam model tidak terjadi heteroskedastis dan asumsi OLS homoskedastis dapat dipenuhi. 3. Uji Autokorelasi Pengujian terhadap tidak adanya korelasi serial antar residual, pada penelitian ini didasrkan pada uji Durbin Watson (d test). Pada estimasi model diperoleh nilai DW-hitung (d) sebesar 1.417. Dari tabel diperoleh nilai d tabel dl= 1,02 dan du= 1,54 pada K = 2 dan taraf signifikansi 5%. Hal ini mengisyaratkan bahwa nilai d berada di daerah keragu-raguan antara tidak terjadi autokorelasi dengan adanya autokorelasi positif sehingga tidak dapat disimpulkan apakah ada autokorelasi atau tidak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut : 88 Gambar 4.3 Uji Autokorealasi f(d) Menolak Ho bukti autokorelasi positif 0 Daerah keraguraguan 1,02 Daerah keraguraguan Menerima Ho atau H*o atau kedua-duanya 1.54 2 2.46 Menolak H*o bukti autokorelas i negatif 2.98 4 d Berdasarkan uji Durbin Watson, ternyata tidak dapat disimpulkan ada atau tidak adanya korelasi serial diantara residual, sehingga harus dilakukan uji yang lain yaitu Breusch-Godfrey dengan menggunakan Eviews sebagai berikut: Tabel 4.8 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test F-statistic Obs*R-squared 0.583409 1.506506 Probability Probability 0.573063 0.470832 Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 01/01/99 Time: 19:28 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C X1 X2 RESID(-1) RESID(-2) -27797.60 1.536991 4.803490 0.306079 -0.203458 475704.2 92.87322 105.9224 0.318116 0.329837 -0.058435 0.016549 0.045349 0.962160 -0.616845 0.9544 0.9871 0.9646 0.3550 0.5489 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.088618 -0.215176 955253.9 1.10E+13 -255.2468 1.983355 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) Sumber: Pengujian Autokorelasi Eviews -2.70E-09 866561.1 30.61727 30.86233 0.291704 0.877766 89 Dari hasil uji Breusch-Godfrey diatas mengindikasikan bahwa data tidak mengandung masalah autokorelasi karena nilai probabilitynya adalah 0.470832 jauh lebih besar daripada α = 5%. 4.2.3.2. Uji Regresi Seperti telah dijelaskan di awal bahwa hipotesis pada penelitian ini di bagi menjadi dua yaitu hipotesis mayor dan hipotesis minor. Oleh karena itu pengujian hipotesis pada penelitian ini terdiri dari pengujian mayor yaitu melalui uji F dan hipotesis minor melalui uji t. Adapun hasil estimasi model penelitian sebagai berikut : 1 Uji F (Pengujian koefisien regresi secara keseluruhan) Uji Fstatistik digunakan untuk menguji bahwa keseluruhan koefisien arah regresi signifikan secara statistika dalam mempengaruhi nilai variabel dependent. Hipotesis pada penelitian ini adalah : Ho diterima jika F statistik < F tabel (α,k/n-k-1) Ho ditolak jika Fstatistik > F tabel (α,k/n-k-1) Dari uji tabel Anova dapat menentukan nilai Fstatistik. Adapun hasil pengujiannya adalah sebagai berikut: Tabel 4.9 Ringkasan Hasil Pengujian Anova Model Sum of Square Df Mean Square F Signifi kansi 1 Regression 1584910742408283.000 3 Residual 10088452550149.300 13 Total 1594999194958432.000 16 2 Regression 1582984343630639.000 2 Residual 12014851327793.130 14 Total 1594999194958432.000 16 a Predictors: (Constant), INTER, KURS, FOB b Predictors: (Constant), KURS, FOB c Dependent Variable: EKSPOR 528303580802761.000 776034811549.947 680,773 0,000(a) 791492171815319.000 858203666270.938 922,266 0,000(b) 90 a. Uji F Model 1 Untuk menguji Fstatistik kita harus membandingkan dengan Ftabel. Pada Df= n-k-1= 17-3-1=13, α= 0,05 maka F(0,05)(3/13) diperoleh= 3.14 yang telah diinterpolasi terlebih dahulu, dan ini menunjukkan bahwa F(0,05)(3/13) < F satatistik yaitu 3.14 < 680.773 artinya Ho ditolak dan Ha diterima, pada persamaan regresi berganda tersebut ternyata koefisien arah regresi tersebut signifikan atau memiliki kebermaknaan. Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh secara bersama-sama (simultan) dari nilai tukar rupiah, harga jual FOB dan harga di pasar internasional terhadap ekspor komoditi karet di Indonesia. b. Uji F Model 2 Sedangkan untuk nilai F satatistik dalam model kedua (setelah dilakukan uji Asumsi Klasik) pada Df= n-k-1= 17-2-1=14, α= 0,05 maka F(0,05)(2/14) diperoleh= 3.74 yang telah diinterpolasi terlebih dahulu, dan ini menunjukkan bahwa F(0,05)(2/14) < F satatistik yaitu 3.74 < 922.266 artinya Ho ditolak dan Ha diterima, pada persamaan regresi berganda tersebut ternyata koefisien arah regresi tersebut signifikan atau memiliki kebermaknaan. Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh secara bersama-sama (simultan) dari nilai tukar rupiah dan harga jual FOB terhadap ekspor komoditi karet di Indonesia. 2 Uji t (Pengujian koefisien regresi secara parsial (sebagian) Pengujian hipotesis secara parsial/ uji t dapat dijelaskan melalui tabel di bawah ini : 91 Tabel 4.10 Ringkasan Hasil Uji Signifikansi OLS Model Unstandardized Coefficients B Std. Error 1 (Constant) -3162037.219 951842.828 FOB 2281,676 227,502 KURS -401,006 140,851 INTER 17932,424 11381,684 2 (Constant) -1824475.271 452670.031 FOB 2618,861 81,163 KURS -563,392 100,956 Sumber : Pengolahan, SPSS. Standardized Coefficients Beta t 0,989 -0,140 0,115 1,135 -0,196 Sig. -3,322 10,029 -2,847 1,576 -4,030 32,267 -5,581 0,006 0,000 0,014 0,139 0,001 0,000 0,000 a. Uji t Model 1 Variabel harga jual fob (FOB) memiliki nilai t statistik sebesar 10.029 sedangkan t tabel dengan df (degree of freedom) sebanyak df= n-k-1 =17-3-1 = 17-4 = 13 diperoleh nilai t tabel adalah 1,771; maka tstatistik> ttabel. Hipotesis ini menolak Ho dan menerima Ha yang berarti harga jual fob (FOB) berpengaruh signifikan terhadap ekspor komoditi karet. Untuk variabel nilai tukar (Kurs) memiliki nilai t statistik sebesar -2.847 sedangkan t tabel sebesar 1,771 maka t statistik >t tabel sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Tanda negatif (-) disini menunjukkan hubungan (korelasi) antara variabel nilai tukar dengan variabel ekspor komoditi karet memliki hubungan berbanding terbalik atau negatif. Maka yang dibandingkan dengan t tabel hanya angkanya saja (2.193), karena t statistik > t tabel sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga nilai tukar berpengaruh negatif terhadap ekspor komoditi karet. Untuk variabel harga di pasar internasional (Inter) memiliki nilai t sebesar 1.576 sedangkan t tabel sebesar 1,771. Karena t statistik< t tabel statistik sehingga Ho diterima dan Ha ditolak. Sehingga harga di pasar internasional tidak berpengaruh signifikan dan memiliki pengaruh positif terhadap ekspor komoditi karet. 92 b. Uji t Model 2 Model kedua (pada Tabel 4.14) dengan df= n-k-1= 17-2-1= 14 pada α = 5% adalah 1,761. Untuk t statistik variabel harga jual fob (fob) sebesar 32.267 dan t tabel = 1,761, maka t statistik >t tabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima Ha yang berarti harga jual fob berpengaruh signifikan terhadap ekspor komoditi karet. Untuk nilai t statistik nilai tukar (kurs) sebesar -5.584 dan nilai t tabel = 1,7761, maka t statistik > t tabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima Ha. Tanda negatif (-) disini menunjukkan hubungan (korelasi) antara variabel nilai tukar dengan variabel ekspor komoditi karet memliki hubungan berbanding terbalik atau negatif. Maka yang dibandingkan dengan t tabel tabel hanya angkanya saja (5.584), karena t statistik >t sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga nilai tukar berpengaruh negatif terhadap ekspor komoditi karet. Standardized Coefficients Beta FOB mempunyai nilai diatas satu yaitu 1,135 hal ini disebabkan karena harus ada variabel pengontrol yaitu nilai tukar rupiah. 4.2.3.3. Uji Koefisien Determinasi (R2) Untuk melihat besarnya koefisien determinasi dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel 4.11 Ringkasan Hasil Uji Signifikansi R2 Model R R2 R Adjust 1 0.997 0.994 0.992 2 0.996 0.992 0.991 a. Predictors: (Constant), INTER, KURS, FOB b. Predictors: (Constant), KURS, FOB c. Dependent Variable: EKSPOR Sumber : Pengolahan, SPSS. Standar Error of Estimate 880928.38049 926392,8250 Durbin-Watson 1,417 1. R2 Model 1 Berdasarkan hasil estimasi pertama diperoleh nilai R2 sebesar 0,994 atau 99.4%. harga jual fob, nilai tukar, dan harga di pasar internasional dapat 93 menjelaskan ekspor komoditi karet, sedangkan sisanya sebesar 0.6% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Selain itu nilai R2 dapat digunakan untuk mengetahui masalah multikolinearitas dalam model penelitian. 2. R2 Model 2 Koefisien determinasi model kedua diperoleh nilai R2 sebesar 0,992 atau 99.2% variabel harga jual fob dan nilai tukar dapat menjelaskan kondisi ekspor komoditi karet di Indonesia, sedangkan sisanya sebesar 0.8% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Nilai R2 model ini cukup tinggi, dianggap sudah syahih atau tidak bias (unbiashed) karena sudah di uji dengan Asumsi Klasik. 4.3. Pembahasan Dalam penelitian yang berjudul ” Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Karet di Indonesia Periode 1990-2006 ” ternyata diperoleh estimasi model penelitian sebagai berikut : Model 1 Y t R R2 adj Model 2 Y t R R2 adj = -3162037,219 -401,006X1 +2281,676X2 + 17932,424X3 (951842,828) (140,851) (227,502) (11381,684) (0,006) (0,014) (0,000) (0,139) = (-3,322) (-2,847) (10,029) (1,576) = 0.997 R2 = 0.994 = 0.992 DW = 1.417 = -1824475,27 - 563,39X1 + 2618,86X2 (452670,03) (100,95) (81,16) (0,001) (0,000) (0,000) = (-4,03) (-5,58) (32,26) = 0.996 R2 = 0.992 = 0.991 DW = 1.417 94 1. Model 1 Model 1 menunjukan bahwa variabel nilai tukar (X1) berpengaruh negatif terhadap ekspor komoditi karet, sedangkan variabel harga jual fob (X2) dan harga di pasar internasional (X3) berpengaruh positif terhadap ekspor komoditi karet. Untuk koefisien regresi nilai tukar (X1) sebesar -401,006. Koefisien tersebut menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan turun sebesar 401,006%. Koefisien variabel harga jual fob (X2) sebesar 2281,676; hal ini penunjukan bahwa jika terjadi peningkatan harga jual fob sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan meningkat sebesar 2281,676%. Untuk koefisien harga di pasar internasional (X3) sebesar 17932,424; hal ini menunjukan bahwa jika terjadi peningkatan harga di pasar internasional sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan meningkat sebesar 17932,424%. Sementara untuk koefisien β0 (konstanta) menunjukan jika ekspor komoditi karet tidak dipengaruhi harga jual fob, nilai tukar dan harga di pasar internasional, maka nilai ekspor komoditi karet adalah Rp -3162037,219 juta. Koefisien determinasi (R2) model 1 sebesar 0,994 atau 99.4% menunjukan bahwa model ini mendekati sempurna sebesar 1 atau (100%). Menurut Gujarati (1995), apabila nilai R2 tinggi tetapi di dalam model terdapat beberapa variabel yang tidak signifikan berarti model tersebut terkena penyakit multikolinearitas. Sesuai dengan Gujarati (1995), bahwa model di atas terkena penyakit multikolinearitas dan autokorelasi karena variabel harga di pasar internasional tidak berpengaruh signifikan terhadap ekspor komoditi karet. Maka Penulis melakukan pengujian terhadap model 1 di atas dengan Uji Asumsi Klasik (uji 95 multikolinearitas, hetroskedastisitas, autokorelasi) untuk mengobati dan sekaligus mendapatkan model yang terbaik. Dengan Metode Backward variabel yang tidak signifikan dikeluarkan dari model yaitu harga di pasar internasional. Setelah variabel harga di pasar internasional dikeluarkan dari model tidak berpengaruh besar terhadap nilai R2. 2. Model 2 Model 2 merupakan model terbaik. Model ini telah lulus uji Asumsi Klasik dimana variabel harga di pasar internasional dikeluarkan dari model 1 dengan Metode Backward agar terbebas dari masalah multikolinearitas. Sedangkan untuk mengatasi masalah autokorelasi penulis melakukan uji yang lain yaitu dengan uji Breusch-Godfrey karena dengan Durbin-Watson nilai d nya berada di daerah keragu-raguan sehingga tidak dapat diambil kesimpulan ada atau tidaknya atokorelasi di dalam model . Dari persamaan regresi model 2 diperoleh data untuk koefisien nilai tukar (X1) sebesar - 563,39; hal ini menunjukan jika terjadi kenaikan nilai tukar (X1) sebesar 1%, maka akan mengakibatkan penurunan nilai ekspor komoditi karet sebesar 563,39%. Koefisien harga jual FOB sebesar 2618,86; hal ini penunjukan bahwa jika terjadi peningkatan harga jual fob sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan meningkat sebesar 2618,86%. Sedangkan untuk koefisien β0 (konstanta) menunjukan bahwa jika ekspor komoditi karet tidak dipengaruhi harga jual fob dan nilai tukar, maka nilai ekspor komoditi karet adalah Rp -1824475,27juta. 96 Setelah semua tahapan dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah menterjemahkan dan menganalisis secara mendalam temuan empiris yang didapatkan dalam penelitian ini. Pembahasan secara komperhensif berkaitan dengan variabel-variabel bebas beserta pengaruhnya terhadap variabel terikat akan digeneralisir berdasarkan hasil pengujian dan informasi riil. Dalam pembahasan ini akan dipaparkan satu persatu seberapa besar pengaruh nilai tukar, harga jual FOB dan harga di pasar internasional terhadap ekspor komoditi karet di Indonesia Periode 1990-2006. 4.3.1. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekspor Komoditi Karet Indonesia Faktor yang berpengaruh terhadap ekspor komoditi karet di Indonesia adalah nilai tukar rupiah. Koefisien arah regresi nilai tukar rupiah ekspor komoditi karet berdasarkan penelitian ini adalah -563.39. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan maka setiap kenaikan nilai tukar (X1) sebesar 1%, maka akan mengakibatkan penurunan nilai ekspor komoditi karet sebesar 563,39%. Dalam rentang waktu penelitian, ternyata magnitude (tanda) untuk variabel nilai tukar rupiah menunjukkan arah yang berlawanan dengan teori. Hal tersebut dapat dilihat ketika menurunnya harga karet alam mulai terjadi sejak terjadinya krisis moneter pada bulan Juli 1997, dimana pada saat itu nilai mata uang negara-negara produsen karet alam (seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia) telah terdepresiasi dengan nilai mata uang US dollar. Pada mulanya, masyarakat perkaretan Indonesia mendapat “durian runtuh” akibat terpuruknya 97 nilai rupiah terhadap US dollar sampai 10 kali lipat (300-400%) dibandingkan dengan depresiasi negara-negara produsen karet utama lainnya, yaitu Thailand dan Malaysia (30-40%). Saat itu, pembeli luar negeri memalingkan perhatiannya kepada Indonesia yang masih bisa menjual karet alam dengan harga “lebih murah” karena perbedaan tingkat keterpurukan nilai mata uang tersebut. (Depdag,2006:1) Namun, pada semester kedua tahun 1998, ketika harga beras melonjak tiga kali lipat yang disebabkan karena terjadinya kegagalan panen sebagai dampak dari kekeringan El Nino, petani karet menyadap lebih banyak (pagi, siang, malam), untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga produksi dan ekspor karet alam dari Indonesia meningkat tajam. Peningkatan ekspor/supply tersebut, ternyata jauh melebihi kapasitas penyerapan konsumsi karet alam dunia. Akibatnya, harga karet alam semakin terpuruk. Pihak yang paling menderita akibat terus menurunnya harga karet di pasaran dunia adalah para petani, dan apabila permasalahan ini tidak diatasi, dikuatirkan para petani tidak tertarik lagi untuk berusaha di bidang karet. (Depdag,2006:1) Ada beberapa alasan suatu perusahaan akan tetap mengekspor walaupun terjadi apresiasi nilai tukar Rupiah kalau secara total perusahaan masih bisa untung yaitu: 1. Memang sudah tradisi dan spesialisasinya (kalau melepaskan spesialisasi dan relasi-relasinya maka ia akan kehilangan pasar dan keahliannya yang kemudian hari susah untuk dibangunkan kembali) 98 2. Oleh karena terdorong oleh suatu tugas sosial, yakni suatu perusahaan negara mempunyai kewajiban untuk mementingkan perekonomian negara. 3. Karena masih mempunyai harapan bahwa masa sukar bagi ekspor ini adalah sementara saja. Jelaslah bahwa suatu perusahaan negara yang besar mempunyai politik dagang yang berjangka panjang. Kalau kita masih percaya pada hari depan negeri kita maka kita tidak boleh melakukan politik perdagangan yang picik dan mementingkan hari sekarang saja. (M Sadli,2005:214) Selain itu, ternyata Nilai tukar (X1) tidak mempengaruhi ekspor komoditi karet di Indonesia periode 1990-2006 karena nilai tukar adalah variabel pengontrol bukan variabel independen. (lihat lampiran) 4.3.2. Pengaruh Harga Jual FOB terhadap Ekspor Komoditi Karet Indonesia Harga jual FOB merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi ekspor komoditi karet di Indonesia selama rentang waktu penelitian yang dilakukan (1990-2006), hal tersebut terlihat dari pengaruhnya yang sangat besar dalam menentukan ekspor komoditi karet. Koefisien arah regresi (estimator) harga jual FOB terhadap ekspor komoditi karet adalah sebesar 2618,86; hal ini penunjukan bahwa apabila faktor lain dianggap konstan maka setiap peningkatan harga jual fob sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan meningkat sebesar 2618,86%. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara harga jual FOB terhadap ekspor komoditi karet selama periode 99 penelitian, dengan kata lain koefisien arah regresi (estimator) harga jual FOB signifikan atau memiliki kebermaknaan dalam menentukan atau memprediksi ekspor komoditi karet di Indonesia selama periode penelitian. Dalam era globalisasi, perusahaan perkebunan karet harus mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya agar dapat bersaing di pasar bebas. Perusahaan yang kurang efisien disamping kurang mampu bersaing dengan perusahaan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri, juga dapat memperkecil margin keuntungan. Bahkan dapat merugi jika besarnya biaya produksi per kilogram karet kering (harga pokok) lebih tinggi dibandingkan dengan harga jualnya. Pada saat ini peningkatan harga karet secara nyata sulit diharapkan, karena lemahnya peran organisasi karet dunia, bahkan kini tidak ada organisasi dunia yang berfungsi sebagai penyangga harga. Beberapa dekade yang lalu, organisasi dunia seperti INRO (International Natural Rubber Orga-nisation), masih berfungsi sebagai penyeimbang harga karet di pasaran dunia, tetapi pada dekade terakhir ini tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sehingga INRO terpaksa dibubarkan. (Karyudi dkk,2001:2) Di samping harga karet yang relative rendah, masalah makro yang dihadapi oleh perusahaan perkebunan karet adalah peningkatan harga sarana produksi dan upah minimum tenaga kerja. Hal ini secara langsung dapat meningkatkan harga pokok. Kenyataan saat ini rnenunjukkan bahwa harga pokok FOB di beberapa perkebunan dapat mencapai lebih dari Rp 5.000/kg karet kering, bahkan pada tahun 1999 ada yang mencapai lebih dari Rp 7.000/kg. Di sisi lain, pada perusahaan-perusahaan perkebunan yang efisien, harga pokok karet di 100 bawah Rp 3.500/kg. Berdasarkan variasi harga pokok yang sangat besar di antara perusahaan, maka secara potensial penurunan harga pokok di perusahaanperusahaan yang kurang efisien dapat dilakukan. (Karyudi dkk,2001:2) Secara umum ada dua strategi yang dapat dilakukan untuk menurunkan harga pokok, yaitu 1). Meningkatkan produktivitas tanaman, dan 2). Meningkatkan efisiensi biaya. Pemilihan strategi yang tepat untuk menurunkan harga pokok tergantung kepada permasalahan dan kondisi perusahaan. Produktivitas tinggi rnerupakan salah satu syarat untuk memperoleh harga pokok yang rendah. Kebun-kebun yang memiliki produktivitas tanaman di bawah 800 kg/ha/th sebaiknya segera ditingkatkan produktivitasnya untuk menghindari tingginya harga pokok. Jika kondisi tanaman tidak mungkin lagi ditingkatkan produktivitasnya, maka sebaiknya segera dilakukan peremajaan dengan menggunakan klon-klon unggul baru yang memiliki potensi produksi yang tinggi. (Karyudi dkk,2001:2) Dengan harga kayu karet yang sekarang ini cukup tinggi, maka hasil penjualan kayu secara potensial dapat menutupi biaya investasi untuk pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan. (Karyudi dkk,2001:2) Biaya yang dialokasikan untuk setiap kegiatan mulai dari biaya tanarnan sampai biaya FOB kemungkinan masih dapat ditekan, terutama pada perusahaanperusahaan yang pengelolaannya kurang efisien. Untuk mengevaluasi tingkat efisiensi biaya dari setiap kegiatan dapat dibandingkan dengan standar norma yang dihasilkan secara empiris dari kebun-kebun yang memiliki harga pokok yang rendah. Berdasarkan analisis biaya, strategi penurunan harga pokok dapat 101 dilakukan baik melalui peningkatan produktivitas tanaman maupun peningkatan efisiensi biaya yang implementasinya pcrlu disesuaikan dengan kondisi dan klas kebun. (Karyudi dkk,2001:3) Dengan harga pokok karet yang rendah, usaha perkebunan karet diharapkan tetap menggairahkan bagi penanam modal. Pada saat ini banyak perusahaan yang merasa rugi dalam mengelola perkebunan karet. Akan tetapi disisi lain banyak juga perusahaan yang dapat menikmati keuntungan dari komoditas karet. Dikotomi mengenai kelayakan usaha perkebunan karet ini perlu diklarifikasi melalui penngkatan analisis biaya per kilogram produksi (harga pokok) yang diperbandingkan dengan harga jualnya. (Karyudi dkk,2001:3) Disamping kelayakan ekonomis dari lateks dan kayunya, perkebunanan karet sebenarnya memiliki keuntungan lain,yaitu sebagai penyangga lingkungan, karena mampu memperbaiki keseimbangan hidrologis, mengurangi peningkatan panas bumi (global warming), memperbaiki tekstur tanah dan secara tidak langsung dapat mengurangi penebangan kayu hutan yang dapat merusak keseimbangan lingkungan. (Karyudi dkk,2001:3) 4.3.3. Pengaruh Harga di Pasar Internasional terhadap Ekspor Komoditi Karet Indonesia Variabel harga di pasar interasional (X3) seperti yang diungkapkan diatas tidak berpengaruh secara nyata, dengan kata lain tidak signifikan pada pada taraf signifikansi yang ditentukan (5%). Meskipun tidak signifikan, namun pengaruh harga di pasar internasional (X3) terhadap ekspor komoditi karet adalah positif 102 yaitu semakin tinggi Harga di pasar Internasional akan meningkatkan ekspor komoditi karet di Indonesia. Untuk koefisien harga di pasar internasional (X3) sebesar 17932,424; hal ini menunjukan bahwa jika terjadi peningkatan harga di pasar internasional sebesar 1%, maka ekspor komoditi karet akan meningkat sebesar 17932,424%. Harga merupakan titik keseimbangan antara penawaran dan permintaan terhadap suatu jenis barang dan / atau jasa. Penawaran karet alam mendekati oligopoli. Keadaan pasar yang seperti inilah yang kurang menguntungkan produsen dalam menentukan harga. Disatu pihak, negara-negara produsen menginginkan harga yang tinggi, namun di lain pihak, negara-negara konsumen menginginkan harga yang rendah. Oleh karena itu, keseimbangan antara produksi karet alam (yang dipasok oleh negara-negara produsen) dengan konsumsi (untuk kebutuhan industri di negaranegara konsumen), sangat menentukan terciptanya harga yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak (negara produsen dan negara konsumen). (Depdag,2006:1) Untuk itu, karet mempunyai organisasi internasional yang berfungsi sebagai penyeimbang harga. Organisasi Karet Alam Internasional atau International Natural Rubber Organization (INRO), dibentuk untuk kepentingan negara produsen dan negara konsumen, yaitu mencapai suatu harga karet alam yang stabil di pasaran internasional, dengan tidak meninggalkan prinsip mekanisme pasar. Stabilisasi harga dilakukan dengan berpedoman pada Perjanjian Karet Alam Internasional 103 atau International Natural Rubber Agreement (INRA), yaitu melalui operasi “Buffer Stock”, dengan cara membeli karet alam pada saat harga internasional “lebih rendah” dari reference price atau menjual pada saat harga “lebih tinggi” dari reference price. (Depdag,2006:2) INRO dinyatakan bubar sejak tanggal 13 Oktober 1999. Beberapa negara produsen karet alam seperti Malaysia, Thailand dan Sri Lanka akhirnya menyatakan mundur dari keanggotaan INRO sejak dibubarkannya INRO tahun 1999 tersebut, tiga negara produsen utama karet alam yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia sepakat mengadakan kerjasama di bidang perdagangan karet alam (Tripartite on Rubber Cooperation among Thailand, Indonesia and Malaysia). (Depdag,2006:3) Dalam upaya mengatasi merosotnya harga karet alam, Pemerintah Thailand, Indonesia dan Malaysia telah sepakat mendirikan perusahaan patungan karet alam bernama “International Rubber Consortium Limited (IRCo)”. Kesepakatan pendirian perusahaan patungan IRCo ini telah tertuang dalam Memorandum of Undrstanding (MoU) yang ditanda-tangani oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives Thailand dan Menteri Primary Industries Malaysia pada tanggal 8 Agustus 2002 di Bali. (Depdag,2006:3) IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema penyetabil harga yang lain, yaitu Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) sebagaimana disepakati dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali 104 Declaration) 2001”, yaitu melaksanakan kegiatan strategic marketing yang meliputi pembelian dan penjualan karet alam. (Depdag,2006:3) Mekanisme beroperasinya IRCo, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Apabila harga karet alam pada suatu saat turun hingga menyentuh pada tingkat reference price yang telah disepakati, maka perlu dilaksanakannya langkah-langkah Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS)*. [Dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali Declaration) 2001”, ketiga negara telah sepakat melaksanakan pengurangan produksi sebesar 4% setiap tahunnya dalam jangka waktu tertentu melalui mekanisme SMS, dan melakukan pengurangan ekspor sebesar 10% melalui mekanisme AETS. Kebijakan AETS dan SMS mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2002] 2. Apabila harga karet alam terus menurun secara drastis dan mekanisme SMS maupun AETS tidak berhasil mengangkat harga karet alam pada tingkat harga yang wajar sesuai reference price, maka perlu ada tindakan yang harus dilakukan oleh Board of Directors IRCo, yang salah satu diantaranya adalah melakukan pembelian karet alam. (Depdag,2006:3) Dengan demikian maka, bilamana target harga tersebut dapat dicapai, diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. para petani itu akan semakin bergairah untuk lebih mengembangkan usaha tani karetnya kearah yang lebih modern. (Depdag,2006:19) 105 4.4. Implikasi Pendidikan Salah satu tujuan penelitian yang penulis lakukan, selain untuk memberikan gambaran mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi ekspor komoditi karet di Indonesia periode 1990-2006 tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan. Menurut John Dewey, pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya intelektual, maupun daya emosional atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. (Syaiful Sagala,2005: 3) Fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan. Diasumsikan bahwa orang yang berpendidikan akan terhindar dari kebodohan dan juga kemiskinan, karena dengan modal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui proses pendidikan ia mampu mengatasi berbagai problema kehidupan yang dihadapinya. Kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang tentu sesuai tingkat pendidikan yang diikutinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka diasumsikan semakin tinggi pula pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya. Hal ini menggambarkan bahwa fungsi pendidikan dapat meningkatkan kesejahteraan, karena orang yang berpendidikan dapat terhindar dari kebodohan maupun kemiskinan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah membimbing ke arah suatu tujuan yang kita nilai tinggi. UUSPN No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban 106 bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan pada akhirnya harus diajukan pada upaya mewujudkan sebuah masyarakat yang ditandai adanya keluhuran budi dalam diri individu, keadilan dalam negara dan sebuah kehidupan yang lebih bahagia dan saleh dari setiap individunya. Dari uraian diatas dapat dilihat betapa pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan manusia. Selain itu, pendidikan dan perekonomian mempunyai hubungan dan harus berjalan beriringan karena keduanya harus saling mendukung demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dilihat dari sudut pandang keilmuan ekonomi, pendidikan dipandang sebagai usaha penanaman modal insani (human capital) yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Winardi (1989:177) menegaskan bahwa ekonomika adalah suatu studi tentang upaya manusia memperoleh kemakmuran materiil manusia. Konsep ekonomi menjadi dasar atau landasan pendidikan, karena itu kondisi ekonmomi mempengaruhi kemampuan dan kegiatan pendidikan. Berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, Karet alam merupakan salah satu komoditi industri hasil tanaman tropis yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam mendukung perekonomian nasional, utamanya sebagai sumber perolehan devisa dan sumber nafkah berjuta-juta petani karet di pedesaan sehingga dapat membendung arus urbanisasi, serta sebagai penyedia lapangan kerja bagi buruh pabrik karet. (Depdag,2006:1) 107 Akan tetapi produktivitas perkebunan karet masih rendah karena sebagian besar perkebunan karet dikelola oleh petani yang umumnya masih sangat sederhana dan tidak menjamin mutu produk yang dihasilkan karena belum sepenuhnya menerapkan teknik dan manajemen usaha yang efisien selain faktor pemilikan teknologi dan kemampuan sumberdaya petani masih rendah, sehingga sampai di pasaran, produk karet Indonesia dikenal sebagai yang bermutu rendah. Hasil-hasil pengolahan dari petani tersebut kemudian diolah lebih lanjut oleh pabrik-pabrik yang terkadang mengeluarkan biaya lagi untuk mengelola karet dari petani karena tidak bersih atau kurang bermutu. Pada sebagian lokasi harga yang diterima di tingkat petani masih relatif rendah (60-75% dari harga FOB) karena belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet rakyat (bokar). Kemiskinan yang serius masih mewarnai kehidupan para petani karet. Upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai peremajaan dan pembangunan kebun karet serta pemeliharaan tanaman secara intensif. Karena lebih dari 90 persen kebun rakyat kondisinya hampir mirip hutan karet, dengan usia tanaman yang sudah tua. Pemerintah perlu melakukan terobosan baru dalam membangun perkebunan karet-rakyat, baik yang sudah ada maupun yang belum/dalam proses pengembangan sehingga dapat meraih kembali posisi Indonesia sebagai produsen karet-alam terbesar di dunia yang semakin bersaing. 108 Selain itu, diperlukan juga pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan sumber daya petani agar dapat menerapkan teknik dan manajemen usaha yang efisien hingga dapat menghasilkan karet yang banyak dan bermutu dengan biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dan pendapatan yang didapatkan lebih banyak. Selain petani, perlu juga meningkatkan sumber daya untuk para pengusaha ekspor karet itu sendiri seperti melakukan diklat atau pelatihan tentang ekspor, melakukan pameran-pameran, mencari peluang atau pasar baru di luar negeri untuk mengekspor karet, melakukan kerjasama dengan para pengekspor dari negara lain, dan memelihara hubungan dengan pemasaran yang sudah ada. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani dan menghapus berbagai dimensi kemiskinan, meningkatkan ekspor karet, pertumbuhan ekonomi meningkat, maka kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik pun semakin terbuka.