MODUL 10 Pendidikan Kewarganegaraan HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA Fakultas Program Studi Ekonomi Akuntansi/Bisnis Tatap Muka 11 Kode MK Disusun/Dirangkum Oleh: MK 90003 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Abstract Kompetensi Dalam bab ini Anda akan mempelajari dan mendiskusikan tentang kebebasan beragama . Setelah anda membaca dan memahami secara mendalam, diharpakan anda dapat menjelaskan tentang pengertian agama, hakikat agama, unsur agama dan kebebasan beragama. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan pengertian agama, memahami dan menjelaskan hakikat agama, Unsur agama , dan memahami dan menjelaskan kebebasan beragama. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA A. PENGERTIAN DAN HAKIKAT AGAMA Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, symbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan/atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hokum, agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama didunia. Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir prilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, music, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, system kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas. Namun, dalam kata-kata Emile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu system yang terpadu yang terdiri dari kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan bahwa 59 % dari populasi dunia adalah beragama, dan 36 % tidak beragama, termasuk 13 % yang ateis, dengan penurunan 9 % pada keyakinan agama dari tahun 2005. Rata-rata, wanita lebih religious daripada laki-laki. Beberapa orang mengkuti beberapa agama atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah …atau tidak prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme, milanarisme, akulturasi dan adaptasi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkunganya. Kata agama berasal dari bahasan sanskerta, agama yang berarti “tradisi”. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja religare yang berarti mengikat kembali. Maksudnya, dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Menurut Max Muller, akar kata bahasa Inggris “religion” yang dalam bahasa Latin “religio”, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya “takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hatihati tentang hal-hal ilahi,, kesalehan” (kemudian Cicero menurunkan menjadi berarti “ketekunan”). Max 2016 2 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Muller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia dan India, sebagai bagian yang memili struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang disebut agama kuno hari ini, maka akan hanya disebut sebagai “hokum”. Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai “agama”, tetapi mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan beberapa tidak memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh, dharma kata Sansakerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai “agam”, juga berarti hokum. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hokum terdiri dari konsep-konsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa antara “hokum kekaisaran” dan universal atau “hokum Budha”, tetapi ini kemudia menjadi sumber independen dari kekuasaan. Tidak ada setara yang tepat dari “agama” dalam bahasa Ibrani, dan yudaisme tidak membedakan secara jelas antara, identitas keagamaan nasional, ras, atau etnis. Salah satu konsep pusat adalah “halakha”, kadang-kadang diterjemahkan sebagai “hukum”, yang memandu praktek keagamaan dan keyakinan dan banyak spek kehidupan sehari-hari. Penggunaan istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga didasarkan pada sejarah tertentu dan kosakata. Definisi tentang agama disini sedapat mungkin sederhana dan meliputi. Definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Missal Tuhan, Dewa, God, Syangti, Kami Sama dan lainlain atau hanya menyebut sifatnya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain. Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: a. Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan, dan b. Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum, dan lain-lain yang diyakini berasal dari Tuinyahan. Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengerian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, agama 2016 3 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id juga bias diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktifitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bersosialisasi, bagaimana kita beribadah, bernegara dan berbangsa dan sebagainya ditentukan oleh aturan atau tata cara agama. B. DEFINISI AGAMA MENURUT PARA AHLI Di Indonesia, istilah agama digunaka untuk menyebut enam agama yang diakui oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau beum diakui secara resmi disebut “religi” Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhanya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkunganya. Secara khusus agama didefinisikan, sebagai sutu system keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat didunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Juga menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai dengan nilainilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. C. DISKURSUS DAN PRAKTIK KEAGAMAAN Peta tentang persebaran dan populasi agama di dunia dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kategori Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama universal yang mencari penerimaan di seluruh dunia dan secara aktif mencari anggota baru, atau agama etnis yang diidentifikasikan dengan kelompok etnis tertentu dan tidak mencari orang baru untuk bertobat pada agamanya. Yang lain-lain menolak perbedaan, menunjukan bahwa semua praktek agama, apapun asal filosops mereka, adalah etnis karena mereka berasal dari suatu budaya tertentu. Pada abad ke-19 dan abad ke-20, praktek akademik perbandingan agama membagi keyakinan agama kedalam kategori yang didefinisikan secara filosopis disebut “agama-agama dunia”. Namun beberapa sarjana, baru-baru ini telah menyatakan bahwa tidak semua jenis agama harus dipisahkan oleh 2016 4 filosopis yang saling ekslusif, dan selanjutnya bahwa kegunaan menganggap Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id praktek ke Falsafat tertentu, atau bahkan menyebut praktik keagamaan tertentu, ketimbang budaya, politik, atau social di alam yang terbatas. Keadaan saat studi psikologis tentang sifat religuitas menunjukkan bahwa lebih baik untuk merujuk kepada agama sebagai sebagian besar fenomena invariant yang harus dibedakan dari norma-norma budaya (yaitu: “agama”). Beberapa akademisi mempelejari subjek yang telah membagi agama menjadi tiga kategori: a. Agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang transcultural, agama internasional b. Agama pribumi, yang mengacu [ada yang lebih kecil, budaya tertentu atau kelompok agamanegara terentu. c. Gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama baru ini dikembangkan. 2. Kelompok Agama Daftar gerakan-gerakan keagamaan yang masih aktif yang diberikan di sini merupakan upaya untuk meringkas pengaruh regional dan filosopis yang paling penting pada masyarakat local, tetapi tidak berarti keterangan lengkap dari setiap umat beragama, juga tidak menjelaskan elemen yang paling penting dari religiuitas individu. Kelima kelompok agama terbesar menurut jumlah penduduk dunia, diperikirakan mencapai 5 mililliar orang, yaitu Kristen, Islam, Budhha, Hindu (dengan angkat relative untuk Budha dan Hindu tergantung pada sejarah mana sinkretisme) dan agama taradisional rakyat cina. Agama dan kepercyaan yang dicantumkan dibawah ini merupakan agama dan kepercyaan dengan jumlah pemeluk yang signipikan di seluruh dunia. Beberapa komunitas diberbagai belahan dunia juga memeluk berbagai aliran kepercyaan yang dianggap sebagai golongan minoritas dan belum dipaparkan. 3. Kekerasan Perang salib adalah serangkaian dari kampanye militer berjuang terutama antara Kristen Eropa dan Muslim. Ditampilkan di sini adalah adegan pertempuran dari Perang Salib Pertama. Charles Selengut mengkarakterisasiikan frase “ agama dan kekerasan” sebagai “gemuruh”, mennyatakan bahwa “agama dianggap menentang kekerasan dan kekuatan untuk pedamaian dan rekonsilasi. Ia mengakui, bagaimanapun, bahwa” sejarah dan kitab suci agama-agama didunia memberitahu ceirta kekerasan dan perang karena mereka berbicara tentang perdamaian dan cinta. Hector Alvalos berpendapat bahwa, karena agama mengklaim kemurahan ilahi untuk diri mereka sendiri, dan melawan kelompok lain, hal kebenaran ini mengarah kepada kekerasan karena konflik 2016 5 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id klaim untuk sebuah keunggulan, beralasan banding yang diverifikasi kepada Tuhan, yang kemudian tidak dapat diadili secara objektif. Kritik agama dari Christopher Hitchens dan Richard Dawkins melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa agama luar biasa merugikan kepada masyarakat dengan menggunakan kekerasaan untuk mempromosikan tujuan mereka, dengan cara yang didukun dan dimanfaatkan oleh para pemimpin mereka. Regina Schwartz, berpendapat bahwa semua agama monoteistik secara inheren kekerasan karena suatu ekslusivisme yang pasti mendorong kekerasan terhadap mereka yang dianggap orang luar. Lawrence Wechsler menegaskan bahwa Schwartz tidak hanya menyatakan bahwa agama-agama Agama Ibrahim memiliki warisan kekerasan, tetapi warisan sebenarnya genosida di alam. Byron Bland menegaskan bahwa salah satu alas an yang paling menonjol untuk “kebangkitan sekuler dalam pemikiran Barat” adalah reaksi terhadap kekerasan agama dari abad 16 dan 17. Dia menegaskan bahwa “sekuler adalah cara hidup dengan perbedaan agama yang telah menghasilkan begitu banyak horor. Dalam sekularitas, entitas politik memiliki surat perintah untuk membuat keputusan independen dari kebutuhan untuk menegakkan versi tertentu ortodoksi agama. Memang mungkin mereka bertentangan dengan keyakinan tertentu yang dipegang teguh jika dibuat untuk kepentingan kesejahteraan bersama. Dengan demikian salah satu tujuan penting dari sekuler adalah untuk membatasi kekerasan”. Richard Dawkins telah menyatakan bahwa kekejaman Stalin dipengaruhi bukan oleh atheism, tetapi dengan dogma Marxisme, dan menyimpulkan bahwa sementara Stalin dan Mao kebetulan adalah atheis, mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan dalam nama ateisme. Pada kesempatan lain Dawkins telah membalas argument bahwa Adolf Hitler dan Josef Stalin yang anti religious dengan respon bahwa Hitler dan Stalin juga sama tumbuh kumis, dalam upaya untuk menunjukkan argument yang menyesatkan. Sebaliknya, Dawkins berpendapat bahwa dalam The God Delusion bahwa “Yang penting bukanlah apakah Hitler dan Stalin ateis, namun apakah ateisme secara sistematis memengaruhi orang untuk melakukan hal-hal buruk. Tidak ada bukti kecuali tentang hal itu”. Dawkins menambahkan bahwa Hitler sebenarnya, berulang kali menegaskan keyakinan yang kuat dalam agama Kristen, tetapi kekejamannya tidak lebih disebabkan teisme ketimbang Stalin atau Mao adalah untuk ateisme mereka. Dalam semua tiga kasus ini, menurutnya, tingkat pelaku religuitas adalah insidentil. D’Souza menjawab bahwa seorang individu tidak perlu secara eksplisit memanggil ateisme dalam melakukan kekejaman jika sudah tersirat dalam pandangannya, seperti halnya dalam Marxisme. 2016 6 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 4. Sains. Ilmu agama, menurut praktisi agama, bisa diperoleh dari pemimpin agama, teks-teks suci, kitab suci, atau wahyu pribadi. Beberapa agama melihat pengetahuan seperti terbatas dalam lingkup dan sebatas cocok untuk menjawab pertanyaan, yang lain melihat pengetahuan agama sebagai memainkan peran yang lebih terbatas, sering sebagai pelengkap pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan fisik. Penganut berbagai agama-agama sering mempertahankan bahwa pengetahuan agama yang diperoleh melalui teks-teks suci atau wahyu adalah mutlak dan sempurna dan dengan demikian menciptakan sebuah kosmologi agama yang menyertainya, meskipun bukti seperti yang sering disebut toutologis dan umumnya terbatas pada teks-teks agama dan wahyu yang membentuk dasar dari keyakinan mereka. Sebaliknya, metode ilmiah kemajuan pengetahuan dengan menguji hipotesis untuk mengembangkan teori-teori melalui penjelasan fakta atau evaluasi oleh eksperimen dan dengan demikian hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan kosmologi tentang alam semesta yang dapat diamati dan diukur. Ini mengembangkan teori-teori dunia yang paling sesuai dengan bukti-bukti fisik yang diamati. Semua pengetahuan ilmiah tunduk pada perbaikan di kemudian, atau bahkan penolakan langsung, dalam menghadapi bukti tambahan yang mendukung. Teori-teori ilmiah yang memiliki dominan besar terhadap bukti yang menguntungkan sering diperlakukan sebagai de facto verietes dalam bahasa umum, seperti teori relativitas umum dan seleksi alam untuk menjelaskan masing-maing mekanisme gravitasi dan evolusi. Mengenai agama dan ilmu pengetahuan, Albert Einstein menyatakan (1940): “untuk ilmu pengetahuan hanya bisa memastikan apa yang ada, tapi tidak yang seharusnya, dan di luar pertimbangan nilai domainnya dari segala macam tetap diperlukan. Agama, di sisi yang lain, hanya berurusan dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia, tidak dapat dibenarkan berbicara tentang fakta-fakta dan hubungan antara fakta. Kini, meski alam agama dan ilmu pengetahuan dalam diri mereka ditandai dengan jelas keluar dari satu sama lain, namun ada di antara dua hubungan timbal balik yang kuat dan dependensi. Meskipun agama bahwa mungkin yang menentukan tujuan, bagaimanapun belajar dari ilmu pengetahuan, dalam arti yang luas, apa yang diartikan akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan”. 5. Hewan kurban. Hewan kurban adalah ritual pembunuhan dan korban binatang untuk menenangkan atau mempertahankan nikmat dengan dewa. Bentuk-bentuk pengorbanan yang dipraktekan dalam banyak agama di seluruh dunia telah muncul historis di hampir semua budaya. 2016 7 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 6. Sekularisme dan tidak beragama. Ranjit Singh mendirikan pemerintahan sekuler di wilayah Punjab pada awal ke-19. Istilah “ateis” (tidak mempercayai pada setiap dewa atau tuhan) dan “agnostic” (keyakinan namun dalam ketidaktahuan tentang keberadaan/eksistensi dewa atau tuhan), meskipun secara khusus bertengtangan dengan para teistik (misalnya Kristen, Yahudi, Islam) dalam ajaran agama, menurut definisi tidak berarti kebalikan dari “agama”. Ada agama (termasuk agama Budha dan Taoisme) yang pada kenyatannya mengelompokkan beberapa pengikut mereka sebagai agnostic, ateis dan nonteistik. Kebalikan sebanarnya dari “agama” adalah kata “tidak beragama”. tidak beragama menggambarkan absen terhadap agama apapun, sedangkan anti-agama menggambarkan oposisi aktif atau keengganan terhadap agama pada umumya. Agama menjadi urusan pribadi secara lebih dalam budaya Barat, diskusi masyarakat menjadi lebih terfokus pada makna politik dan ilmiah, dan sikap keagamaan (dominan Kristen) yang semakin dilihat sebagai tidak relevan untuk kebutuhan dunia Eropa. Di sisi politik, Ludwig Feuerbach merombak keyakinan Kristen dalam terang humanism, membuka jalan bagi karakterisasi terkenal Karl Marx tentang agama sebagai “candu masyarakat”. Sementara itu dalam komunitas ilmiah, T.H. Huxley pada tahun 1869 menciptakan istilah agnostic istilah ini kemudian diadopsi oleh tokoh-tokoh seperti Robert Ingersoll bahwa, sementara secara langsung bertentangan dengan dan novel Kristen, diterima bahkan memeluk di beberapa agama lain. Kemudian, Bertrand Russell mengatakan kepada dunia Mengapa saya bukan seorang Kristen ? yang dipengaruhi beberapa penulis kemudia untuk membahas memisahkan diri mereka dar asuhan agama mereka sendiri dari Islam ke Hindu. Beberapa ateis juga membangun agama parody, misalnya Gereja Sub Genius, atau Monster Spageti Terbang, yang memparodikan argument ketika waktu yang sama yang digunakan oleh perancangan cerdas teori Kreasionisme. Agama parody juga dapat dianggap sebagai pendekatan postmodernisme dengan agama. Misalnya, discordianisme, mungkin sulit untuk mengetahui apakah bahkan ini “serius” ketika pengikutnya tidak hanya mengambil bagian dalam sebuah lelucon yang lebih besar. Lelucon ini, pada gilirannya, dapat menjadi bagian dari jalan besar menuju pencerahan, dan seterusnya infinitum. 7. Kritik agama. Kritik agama memiliki sejarah panjang, akan kembali setidaknya sejauh abad ke-5 SM. Selama zaman klasik, ada kritikus agama di Yunani Kuno, seperti Diagoras “ateis” dari Moles dan di abad ke-1 SM di Roma, dengan Titus Lucretius Carum,s De Rerum Natura. Selama abad pertengahan dan terus ke masa Renaissance, kritikus potensial terhadap agama dianiaya dan sebagian besar 2016 8 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dipaksa untuk tetap diam. Ada kritikus terkenal seperti Giordano Bruno, yang dibakar di tiang kareana tidak setuju dengan otoritas keagamaan. Pada abad ke-17 dan ke-18 dengan Pencerahan, pemikir seperti David Hume dan Voltaire mengkritik agama. Pada abad ke-19, Charles Darwin dan Teori Evolusi menyebabkan meningkatnya skeptisme tentang agama. Thomas Huxley, Jeremy Bentham, Karl Marx, Charles Bradlaugh, Robert Ingersol, dan Mark Twain telah tercatat dalam abad ke-19 dan kritikus abad ke20. Pada abad ke-20, Bertrand Russell, Sigmun Freud, dan lainlain terus mengkritik agama. Sam Harris, Daniel Dennet, Richard Dawkins, Victor J. Stenger, dan Christopher Hitchens adalah kritikus aktif selama akhir abad 20 dan awal abad ke-21 Kritikus menganggap agama sudah menjadi usang, berbahaya bagi individu (misalnya pencucian otak anak-anak, iman kesembuhan, mutilasi alat kelamin perempuan, sunat), merugikan masyarakat (misalnya perang suci, terorisme, pemborosan sumber daya), menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, untuk melakukan control social, dan untuk mendorong tindakan asusila ( misalnya pnegorbanan darah, diskriminasi terhadap kaum homoseksual dan perempuan, dan bentuk-bentuk tertentu dai kekerasan seksual seperti perkosaan). Sebuah kritik utama dari banyak agama adalah bahwa dari mereka membutuhkan keyakinan yang tidak rasional, tidak ilmiah, atau tidak masuk akal, karena keyakinan agama dan tradisi tidak memiliki dasar ilmiah atau rasional. Beberapa kritikus modern, seperti Bryan Caplan, menahan agama yang tidak memiliki utilitas dalam masyarakat manusia; mereka mungkin menganggap agama sebagai irrasional sebagai pemenang Nobel Perdamaian Shirin Ebadi telah berbicara untuk menentang Negara-negara Islam yang tidak demokratis karena membenarkan “tindakan menindas” dalam nama Islam. 8. Kerjasama antar agama. Karena agama tetap diakui dalam pemikiran barat sebagai dorongan universal, banyak praktisi agama bertujuan untuk bersatu dalam dialog antaragama, kerja sama, dan perdamaian agama. Dialog utama yang pertama adalah Parlemen Agama-agama Dunia pada 1897 di Chicagi World Fair, yang tetap penting bahkan saat baik dalam menegaskan “nilai-nilai universal” dan pengakuan keanekaragaman praktek antar budaya yang berbeda. Abad ke 20 terutama telah bermanfaat dalam penggunaan dialog antar agama sebagai cara untuk memecahkan konflik etnis, politik, atau bahkan agama, dengan rekonsiliasi Kristen-Yahudi mewakili reverse lengkap dalam sikap banyak komunitas Kristen terhadap orang Yahudi. Inisiatif antaragama terbaru termasuk “A Commond Word”, diluncurkan pada tahun 2007 dan difokuskan pada membawa para pemimpin Muslim dan Kristen bersama-sama bersatu, yang “CI 2016 9 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id World Dialogue”, yang “Common Ground” inisiatif antara Islam dan Budhisme, dan PBB disponsori “World Interfaith Harmony Week”. 9. Cara Beragama. Dalam praktiknya, cara beragama dapat dibedakan sebagai berikut: a. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnay. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama; b. Formal, yaitu cara beragaimana berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkunganya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamanya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenal hal-hal yang mudah dan Nampak dalam lingkungan masyarakatnya. c. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaa rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengalamannya. Mereka bias berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun. d. Metode pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamnya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari sesembahannya semisal nabi atau rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua. D. UNSUR-UNSUR AGAMA Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agma terdiri dari beberapa unsur pokok sebagai berikut: 1. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada kerugian lagi. 2. Symbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya. 3. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertical antara manusia dan tuhanya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama. 2016 10 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 4. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi. 5. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama. E. FUNGSI AGAMA Adapun beberapa fungsi agama dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok 2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan manusia 3. Merupakan tuntutan prinsip benar atau salah 4. Pedoman mengungkapan rasa kebersamaan 5. Pedoman perasaan keyakinan 6. Pedoman keberadaan 7. Pengngkapanya estetika(keindahan) 8. Pedoman rekreasi dan hiburan 9. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama F. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sebelumnya pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun melalui Keppres Nomor 6/2000, Presiden Abdurrachman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit. Menurut Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1/PNPS/1965 Jo. Undang-undang Nomor 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan yang lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut. Tidak ada agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK Menteri Dalam Negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama dalam KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. SK tersebut 2016 11 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kemudian dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia. Lalu bagaimana hubungan agama dengan Negara dewasa ini ? adalah hal yang sangat penting membicarakan hubungan Negara dengan agama. Apalagi di Indonesia merupakan Negara yang multi religi. Interaksi agama dengan Negara , khusus dalam kasus agama Islam. Hubungan keduanya masih menjadi perdebatan panjang dan intensif di kalangan para pakar muslim. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra yang ditulis Ubaedillah dan Abd. Rojak (2013:31-34), Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, mengatakan:”Perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini”. Karena menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan Negara dan agama dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai sebagai agama (din) dan Negara (daulah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan din dan daulah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan daulah di banyak negar muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di kalangan Negara-negara muslim dewasa ini semakin marak perdebatan Islam dan Negara. Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh ( syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik. Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad SAW berperan ganda, sehingga seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala Negara yang memimpin seluruh system pemerintah awal Islam yang oleh kebanyakan pakar, sangat modern di masanya. Posisi ganda Nabi Muhammad SAW di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identic dengan negara, atau sebalikinya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad SAW tak seorang pun dapat menggantikan peran ganda beliau, sebgai pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus. Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taymiyah mengatakan: bahwa posisi nabi saat itu adalah sebagai rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (alquran), bukan sebagai penguasa. Menurutnya, kalaupun ada pemerintahan, itu hanya sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik dan Negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksisitensi dari Agama Islam. Pendapat ini bersandar kepada ayat Alquran 57:25 yang artinya:” Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan 2016 12 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya”. Sehingga Ibnu Taymiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan pedang “penolong”. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Adapun politik tiada lain sebatas alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama. Hubungan Islam dan negara modern secara teroritis dapat diklasikasikan kedalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik, dan sekularistik. 1. Paradigma integralistik. Paradigma Integralistik hamper sama dengan pandangan Negara teokrasi Islam, paradigm ini mengandung paham/konsep agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Pada paham ini juga memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau Negara (daulah). Dalam pergulatan Islam dan Negara modern, pola hubungan integrative ini kemudia melahirkan konsep tentang agama-negara. Yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hokum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigm integralistik identic dengan paham Addin wa Daulah (Islam sebagai Agama dan Negara), yang sumber hokum positifnya adalah hokum Islam (syariat Islam). Paradigm integralistik ini antara lain dianut oleh Negara Kerajaan Arab Saudi dan penganut Syaih di Iran. Kelompok pencinta Ali a.r. ini menggunakan istilah Imamah sebagai dimaksud dengan istilah daulah yang banyak dirujuk di kalangan Sunni. 2. Paradigma simbiotik. Menurut pandangan simbiotik, hubungan agama dan Negara berada posisi saling embutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualis). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara membutuhkan agama sebagai sumber moral, etika dan spritualitas warga negaranya. Paradigm simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taymiyah tentang Negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa adanya adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Negara tidak akan berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taymiyah tersebut melegitimasi bahwa agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling 2016 13 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku, dalam paradigm ini tidak hanya berasal dari adanya kontrak social (social contrak), tetapi bias diwarnai oleh hokum agama (syariah). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintah Negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan pada kelompok paradigm ini. 3. Paradigm Sekularistik Paradigm Sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda, dam satu sama lainmemiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan itervensi. Negara adalah urusan public, sedangkan agama adalah urusan/wlyah pribadi/ privat masing-masing warga Negara. Pengalaman Negara dan agama Islam di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Uniknya, Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung selesai. Perdebatan tentang Islam dan Nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalisme muslim dengan nasionalis sekuler 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan Negara pada kurunkurun selanjutnya. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep Negara sekuler diwakili oleh nasionalis Muslim Mr. Moch. Natsir dan Soekarno dari kelompok nasionalis sekuler. Menurut Ubaedillah dan Abd. Rojak (2013: 135-137) Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, mengatakan:”bahwa perdebatan Islam dan konsep-konsep ideology sekuler menemukan titik klimaks pada persidangan formal dalam siding-sidang majlis Badan Penyeleidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang, 1945. Para tokoh muslim seperti. H.Agus Salim, KH Mas Mansyur, dan KH. Wahid Hasyim, menyuarakan aspirasi Islam dengan mengajukan konsep Negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Usulan ini bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama dan keyakinannya. Alasan kelompok nasionalis Muslim ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep Negara sekuler. Menurut para nasionalis sekuler, kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alasan mereka menolak konsep Negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis muslim. Bagi mereka Indonesia majemuk, baik agama, suku dan bahasa harus melandasi berdirinya Negara nonagama (sekuler). Pada perhelatan konstitusional ini, tokoh nasionalis sekuler Soekarno merujuk pengalaman Turki modern di bawah Kemal Atatruk dengan konsep agama sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno menyerukan konsep sekulernya tentang lima dasar Negara Indonesia, yang kemudian dikenal Pancasila. 2016 14 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterima oleh kelompok nasionalis Muslim. Bagi mereka selain alas an mayoritas penduduk memeluk , Islam agama ciptaan Allah yang bersifat universal dan lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan bernegara dan kebangsaan Indonesia. Akhir dari perbedaan konstitusional BPUPKI menghasilkan kekhawatiran bagi kelompok nasionalis dari kawasan Indonesia Timur. Kekhawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka mendirikan Negara sendiri dengan memisahkan diri dari konsep NKRI. Ancaman pemisahan dari konsep NKRI melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang tengah berdebat tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, dibalik sengitnya perdebatan tentang dasar dan bentuk Negara, terjadi kesepakatan atau kompromi politik di kalangan tokohtokoh nasionalis baik Muslim maupun sekuler. Klimaks dari siding BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan terselenggaranya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah , mereka menerima konsep kalangan nasionalis sekuler, dengan catatan Negara menjamin dijalankannya syariat Islam bagi pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dengan nama the geltement agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk. Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan Negara di bawah kepemimpinan Soekarno kembali mengalami ketegangan. Sumber ketegangan berpusat pada perdebatan seputar tafsir klausul sila pertama Pancasila, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada pemahaman di kalangan tokoh nasional bahwa NKRI adalah bukan Negara Agama (Islam) dan juga Negara sekuler. Berikut catatan singkat pergumulan Islam dan Negara Indonesia. Pada kurun 1950-1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip demokrasi parlementer, ketegangan Islam dan Negara kembali terulang dalam bentuk perseterun sengit antara kelompok partai politik Islam, seperti Partai Masyumi, dan Partai NU, dengan partai politik sekuler, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasionalis Indonesia, dan sebagainya. Perseteruan Ideologi Islam versus Ideologi sekuler terjadi dalam persidangan Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama 1955. Pemilihan Umum 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu yang paling demokratis dalam sejarah politik nasional Indonesia, ternyata tak menjamin terselenggaranya proses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun majlis Konstitante hamper rampung menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidakstabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai dampak langsung dari demokrasi parlementer yang diadopsi dari barat. Menurut Soekarno demokrasi ala barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia. Persetruan sengit antara partai-partai harus diakhiri dengan memberlakukan kembali UUD 1945 dibawah sisitem demokrasi 2016 15 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id terpimpin (Guided Democracy) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas, bahkan dinobatkan sebagai presiden seumur hidup. Kekuasaan Presiden Soekarno yang tidak terbatas di bawah demokrasi terpimpin masih tetap mengakomodasi kekuatan Islam. Hubungan Islam dan Negara tercermin pada kepemimpinannya Presiden Soekarno yang menjalankan prinsip fusi politik ciptaannya, Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Nasakom terdiri atas tiga komponen dominan hasil pemilu 1955. PNI, Islam (diwakili NU) dan PKI. Keberadaan PKI sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan suaranya yang sangat signifikan dalam pemilu. Modal kepemipinnan “ tiga kaki” Presiden Soekarno ini menimbulkan keceburuan politik di kalangan kelompok militer di bawah Jenderal A.H. Nasutiaon. Perseteruan politik dan ideology antara TNI denga PKI berdampak pada persekutuan politik antara kelompok Islam dengan militer untuk menhadapi PKI yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti perseteruan ideology sebelumnya, ideology sosialis komunis menjadi alas an utama kelompok Islam untuk berkoalisi dengan TNI melawan paham komunis. System demokrasi terpimpin ala Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 September 1965, gerakan makar ini menurut beberapa ahli merupakan buah perseteruan idelogis panjang antara PKI dengan TNI, khususnya Angkatan Darat, yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah 11 Maret (supersemar), Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) Letnan Jenderal Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komunis di Indonesia. Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad Letjen. Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional yang disahkan oleh Sidang Umum MPRS di bawah pimpinan Jenderal A.H.Nasution pada 1968. Dengan Slogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekwen. Presiden Soeharto melalui kepemimpinan nasional dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. G. ERA SOEHARTO: BABAK BARU HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan Negara di Indonesia. Menurut Imam Azis, dalam A. Ubaedillah dan Abd. Rojak (2004: 138), pola hubungan antara keduanya digolongkan ke dalam dua pola: antagonsitis dan akomodatif. Hubungan antagonistis merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan Negara Orde Baru.sedangkan akomodatif menunjukkan saling membutuhkan antara kelompok Islam dengan negar Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian, sebelum 2016 16 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Azis Thaba, telah terjadi hubungan agama dan negara Orba resiprokalkritis yakni awal dimulainya penurunan ketegangan antara agama dengan Negara Indonesia. Hubungan antagonis antara Negara Orba dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang dilakukan pemerintahan Orba. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an . lalu pada pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan Orba. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam. Menurut Efendy, kebijakan-kebijakan Orba memiliki dampak luas bagi perkembangan politik selanjutnya. Kecenderungan akomodasi Negara terhadap Islam, menurut Affan Gafar, ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecendeungan akomodasionis Islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari akan potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Adapun menurut Thaba, sikap akomodatif Negara terahadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman Negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan Negara, terutama dalam konteks perlakuan dan penerimaan Pancasila. Perubahan sikap umat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari penentang menjadi penerima Pancasila sebagai satusatunya azas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orba yang menguntungkan umat Islam pada masa selanjutnya. Pengesahaan RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, pembolehan pemakaian jilbab bagi siswa Muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawaan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan Amal Bhakti Pancasila yang dipimpin oleh Presiden Soeharto merupakan indicator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan oleh elit penguasa Orde Baru terhadap Islam. Selanjutnya Islam dan Negara pasca Orba harus kembali melestarikan komitme suci para pendiri bangsa (sacred Commitment founding fathers) untuk menjaga kesepakatan membangun masa depan demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai NKRI. Konsep NKRI dengan Pancasila dengan kebhinnekaannya tidak bias dilepaskan dari ijtihad kelompok Islam Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan diaktualisasikan dengan pengembangan ajaran-ajaran Islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan ke-indonesiaan. Persoalan yang sama harus dilakukan pula oleh Negara. Negara mempunyai kewajiban konstitusional untuk menjamin kemajemukan dan demokrasi di Indonesia. Penyelenggara Negara harus tetap menjaga dan mengawal sunnatullah kebhinnekaan Indonesia yang dijamin oleh konstitusi Negara, dengan menindak tegas anasir yang mereduksi kebhinnekaan Indonesia dan keutuhan NKRI. 2016 17 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Jadi dapat dirangkumkan, bahwa hubungan agama dan Negara di Indonesia lebih menganut pada keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah tidak pemisahan antara agama dengan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap Negara dan negarapun punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan agama dan Negara di Indonesia membantu apa yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan simbiotikmutualistik. 2016 18 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Modul ini disadur dari buku Etika Berwarganegara Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi yang disusun oleh Dr. Ir. Arissetyanto Nugroho MM, Dr Dadan Anugrah M.Si, H. Ghazaly Ama La Nora, S.IP, M.Si. cetakan pertama , 2015. Penerbit Graha Ilmu kerjasama dengan Universitas Mercu Buana. 2016 19 Kewarganegaraan Modul 11 D. Machdum Fuady, S.H., M.H. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id