APBN Gagal Dijadikan Stimulus Ekonomi Hendri Saparini, Managing Director Econit Advisory Group. Kamis, 5 Agustus 2010 JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah sejauh ini gagal menjadikan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai stimulus ekonomi nasional. Penggunaan APBN tidak berhasil menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Dalam konteks itu, Kementerian Keuangan bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas tidak mampu mendorong kementerian dan lembaga negara optimal menyerap anggaran untuk menciptakan lapangan kerja, memberdayakan usaha kerakyatan, dan mengembangkan sektor usaha. Demikian rangkuman pendapat Managing Director Econit Advisory Group Hendri Saparini dan peneliti bidang ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam yang disampaikan secara terpisah kepada Suara Karya di Jakarta, Rabu (4/8), terkait satu tahun kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Oktober mendatang. Menurut Hendri, rendahnya penyerapan anggaran selain karena tidak ada solusi dari tahun ke tahun selama lima tahun terakhir, juga cepatnya terjadi perubahaan akibat perencanaan kurang matang. Karena itu, kadang muncul kekhawatiran menyangkut kelangsungan APBN yang sudah ditetapkan pemerintah bersama DPR. "Akhirnya anggaran yang sudah ditetapkan untuk dilaksanakan jadi tertunda karena adanya perubahan," ujarnya. Jika kelemahan perencanaan tidak segera diatasi, menurut Hendri lagi, jelas rendahnya efektivitas APBN akan terus berulang. Akibatnya, APBN gagal menjadi pendorong ekonomi. Hendri menegaskan, rendahnya penyerapan anggaran selama ini terkesan tidak dicarikan solusinya. Penumpukan penyusunan anggaran menjelang akhir tahun dan disahkan secara terburu-buru membuat penyerapan anggaran hanya efektif selama dua bulan di akhir tahun. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah juga justru memberi restu bagi daerah untuk memanfaatkan anggaran yang tak bisa diserap diinvestasikan di surat utang negara (SUN). "Itu, kan, bukan jalan keluar bagi daerah atas masalah anggaran yang menganggur, melainkan malah menambah rendah penyerapan anggaran di daerah," kata Hendri. Itu bisa terjadi karena manajemen fiskal lemah. Artinya, perubahan APBN terlalu gampang dilakukan. Seperti APBN tahun ini, bahkan baru Februari rencana perubahan sudah diajukan. Jadi, menurut Hendri. bagaimana mungkin realisasi anggaran untuk belanja barang dan belanja modal bisa optimal. Hendri menekankan, perencanaan Bappenas tidak maksimal. Itu terjadi karena selama Menkeu dijabat Sri Mulyani Indrawati, perencanaan APBN berada di Kementerian Keuangan. Rencana pembangunan jangka panjang (RPJM) yang disiapkan Bappenas tidak sempat dijabarkan dalam rencana kerja pemerintah (RKP). Akibatnya, selama ini RPJM dan RKP lebih banyak ditangani Kementerian Keuangan. Tak mengherankan jika penjabaran program-program dalam APBN menjadi lemah. "Karena itu, dalam menata anggaran, kewenangan menyusun RPJM harus dijelaskan. Juga perlu dilakukan perbaikan kualitas RPJM agar betul-betul optimal membawa amanah politik anggaran. Kalau perencanaan APBN dilakukan Bappenas dan Presiden melakukan empowering terhadap lembaga tersebut, maka peran pemerintah atau negara menjadi lebih besar. Kementerian Keuangan sendiri hanya sebagai penerjemah dan pelaksana anggaran, bukan merencanakan APBN," tutur Hendri. Dia menambahkan, meski hanya berperan 20 persen dalam kue ekonomi nasional-selebihnya swasta--APBN harus optimal berfungsi sebagai pendorong atau stimulus ekonomi. Apalagi APBN menjadi acuan sektor swasta atau pelaku ekonomi dalam melakukan berbagai kegiatan. "Swasta jadinya tidak terdorong untuk cepat-cepat melakukan ekspansi usaha karena APBN hampir selalu mengalami perubahan -- secara terburu-buru pula. Karena itu, kegiatan investasi juga sulit bisa berjalan mulus," ujar Hendri. Rendahnya realisasi anggaran menyebabkan sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) di akhir tahun jadi membengkak. Tahun 2008 misalnya, silpa mencapai Rp 79 triliun. Sementara tahun 2009 sekitar Rp 37 triliun. Meski turun, kata Hendri, besarnya silpa tetap mencerminkan anggaran di APBN tidak optimal terserap. Senada dengan itu, Latif Adam menuturkan, rendahnya penyerapan anggaran di kementerian/lembaga negara menyebabkan peran APBN sebagai stimulus ekonomi menjadi tidak optimal. "Padahal kita butuh banyak investasi," katanya. Menurut dia, agar penyerapan anggaran maksimal, perlu diterapkan mekanisme pemberian sanksi dan insentif (reward and punishment) bagi tiap kementerian/lembaga negara maupun daerah. Latif juga mempertanyakan perencanaan terkait fungsi koordinasi yang diemban Bappenas. Pasalnya, sering kali proyek yang akan dilaksanakan di daerah membuat bingung pemda. "Banyak juga anggaran yang sifatnya sektoral membingungkan pemda karena kegiatan perencanaan tidak melibatkan pemda. Peran pemda sering kali dimarginalkan. Memang perencanaan itu ada di Bappenas, tetapi sering terjadi program kementerian/lembaga negara yang akan dilaksanakan di daerah malah membuat bingung pemda menyangkut lokasi maupun arah kegiatan proyek bersangkutan," ucapnya. Karena itu, dia menilai, peran stimulus anggaran atau APBN untuk menggerakkan ekonomi nasional tergerus oleh perencanaan diikuti koordinasi yang lemah itu. "Secara langsung, dampaknya tidak begitu signifikan terhadap pertumbuhan, namun dampaknya yang nyata pada proyek infrastruktur menjadi lamban pelaksanaannya," ujar Latif. Sementara itu, mantan Kepala Badan Koordinasi Fiskal (BKF) Anggito Abimanyu mengatakan, perlunya dicari mekanisme terbaik untuk melakukan pembahasan terkait masalah anggaran negara antara pemerintah dan DPR. "Dulu pengalaman saya, kita masih mencari bentuk bagaimana interface (hubungan) yang terbaik antara pemerintah dan DPR dalam membahas anggaran," kata Anggito. Menurut dia, minimal seharusnya terdapat semacam mekanisme SOP untuk menentukan hal tersebut. Apalagi, kata dia, pembahasan anggaran negara harus mendapat persetujuan DPR adalah beragam. Menurut dia, hubungan antara pemerintah dan DPR dalam membahas anggaran seharusnya harmonis tetapi tetap berjarak dan tidak boleh ada benturan kepentingan. Terkait dengan wacana usulan mengubah anggaran negara dari defisit menjadi imbang atau surplus, hal tersebut bukan berarti bahwa Indonesia akan langsung bebas dari utang jatuh tempo. Dia mencontohkan, jika pendapatan suatu negara 110 dan belanjanya 100, meski surplus 10, namun bila terdapat utang jatuh tempo yang harus dibayarkan sebanyak 30, maka berarti masih terdapat beban utang sebanyak 20. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan pengurangan pembiayaan baru dari luar negeri berbentuk utang, sehingga tidak membebani APBN. Kalaupun harus menggunakan pembiayaan luar negeri, Presiden meminta tidak memilih opsi utang, tetapi opsi hibah atau pemutihan utang. (Indra)