scabiosis - Loka Penelitian Kambing Potong

advertisement
Laporan Kasus Mandiri
Koasistensi Magang II
di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih-SUMUT
SCABIOSIS
Oleh
ESKAYANTI PASARIBU, SKH
NIM. 1302101020091
Di bawah bimbingan Drh. Anwar
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2014
SCABIOSIS
1. Signalement dan Anamnesa
Pada hari Senin, 13 Januari 2014, ketika melakukan active service,
mahasiswi ko-asistensi mendapatkan seekor kambing mengalami scabies.
Kambing tersebut berjenis kelamin betina no. 42575, berumur sekitar 9 tahun,
dengan petugas kandang bernama Ismail Sembiring. Kambing penderita adalah
kambing berjenis Boerka berwarna coklat-keputihan dengan berat badan sekitar
10 kg.
Oleh pengurus kandang dilaporkan bahwa kambing tersebut tersebut nafsu
makan baik tetapi terlihat lemas, tidak aktif bergerak dan tampak menggarukgaruk tubuhnya dan disekitar telinga, punggung, panggul dan ekor terlihat adanya
keropeng dan adanya bau yang khas dari tubuhnya. Konsistensi feses normal dan
volumenya banyak. Terdapat 4 dari 6 ekor kambing sekandang yang mengalami
gejala tersebut. Kelompok kambing tersebut dipelihara secara intensif,
dikandangkan dalam satu kandang dengan sistem head to head, dengan pakan dan
minum disediakan. Pakan yang biasanya diberikan adalah rumput ladang dan
rumput raja (king grass) serta konsentrat. Kandang tampak bersih, kering dan
sejuk.
Gambar 1. Kambing yang terinfeksi Scabie
2. Pemeriksaan Klinis
Pada pemeriksaan klinis, kambing menunjukkan gejala lesu dan malas
bergerak. Nafsu makan baik dan masih mau minum. Kondisi umum kambing
masih baik. Selaput lendir normal, dan tidak ada eksudat dari lubang-lubang
kumlah. Tidak ada pembesaran limfoglandula superfisial. Suhu rectal 390 C. Pada
pemeriksaan dengan auskultasi; frekuensi pulsus 130 per menit, frekuensi nafas
49 per menit, dan terdapat discharge pada saluran pernafasan (hidung).
Palpasi/penekanan secara kuat dengan jari-jari tangan pada daerah flank (fossa
para-lumbar) tonus rumen hilang, yang ditandai dengan masih dapat dirabanya
legokan rumen beberapa menit (pada pemeriksaan ini sekitar 2-3 menit) setelah
tekanan ditiadakan. Pada rumen juga teraba adanya ingesta lunak dalam rumen.
Secara perkusi tidak ditemukan adanya penimbunan gas pada daerah rumen.
Tekanan turgor kulit normal tetapi terlihat pada legok lapar atau pada daerah flank
tulang rusuk yang menonjol menandakan kambing kurus.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosa yang
dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan kerokan kulit dibawah mikroskop
yang berguna untuk menentukan jenis parasit tungau tersebut.
PEMBAHASAN
1. Pengenalan
Scabies adalah penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di
Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau
Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala klinis gatal pada kulit. Parasit S.
scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit
yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit, dan mengganggu
kesehatan masyarakat (ISKANDAR, 1982., SARDJONO et al., 1998).
Semua hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada seluruh tubuh,
namun predileksi serangan scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda, pada
kerbau di punggung, paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar mata,
hidung, jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh. Penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada kambing dibandingkan pada domba (MANURUNG et al., 1990).
2. Etiologi
Scabies, penyakit kulit menular yang disebabkan oleh seekor tungau
(kutu/mite) yang bernama Sarcoptes scabei, filum Arthopoda, kelas Arachnida,
ordo Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia oleh S. Scabei var homonis,
pada babi oleh S. scabie var suis, pada kambing oleh S. scabie var caprae, pada
biri-biri oleh S. scabie var ovis. Tungau ini berbentuk bundar dan mempunyai
empat pasang kaki. Dua pasang kaki dibagian anterior menonjol keluar melewati
batas badan dan dua pasang kaki bagian posterior tidak melewati batas badan.
Sarcoptes betina yang berada di lapisan kulit stratum corneum dan lucidum
membuat terowongan ke dalam lapisan kulit. Di dalam terowongan inilah
Sarcoptes betina bertelur.
Sarcoptes scabie betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih
kurang 7 – 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab,
contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya
masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang. (HARTADI, 1988).
Keterangan : 1. Anus, 2. Telur, 3. Alat kelamin
Sumber : SUNGKAR, 1991
Gambar 2. Sarcoptes scabiei A. Betina tampak dorsal,
B. Jantan tampak ventral
3. Patogenesis
Siklus Hidup
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan)
yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat
hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah
dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3
milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai
mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup
sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam
terowongan, tetapi dapat juga keluar (FAUST dan RUSSEL, 1977).
Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk,
jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Akibat terowongan yang digali Sarcoptes
betina dan hypopi yang memakan sel-sel di lapisan kulit itu, penderita mengalami
rasa gatal, akibatnya penderita menggaruk kulitnya sehingga terjadi infeksi
ektoparasit dan terbentuk kerak berwarna coklat keabuan yang berbau anyir.
Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan
waktu antara 8 – 12 hari (Andi, Djuanda.1999).
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva
meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva
berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan
mati setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi.
4. Gejala klinis
Kambing penderita scabies memperlihatkan gejala gatal-gatal pada kulit,
kemudian kulit akan melepuh terutama di daerah muka dan punggung, akhirnya
cepat meluas ke seluruh tubuh. Kambing yang terinfeksi penyakit scabies
menunjukkan gejala kekurusan, penurunan kualitas kulit, di samping itu dapat
menimbulkan kematian (MANURUNG et al., 1992).
Keterangan : A. Permukaan kulit, B. Terowongan pada lapisan tanduk, C. Telur,
D. S. scabiei
Sumber : HOEDOJO, 1989
Gambar 3. Sarcoptes scabiei bunting membuat terowongan dan
bertelur di kulit
5. Pemeriksaan Patologi Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan
secara mikroskopik. Pemeriksaan Laboratorium dilakukan untuk konfirmasi
diagnosis S. scabie dapat ditemukan didalam terowongan yang dibuat oleh tungau
tersebut. Kemudian diidentifikasi. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut : Mengeluarkan S. scabiei dengan ujung jarum atau skalpel dari
bagian terminal terowongan dan memeriksanya dibawah mikroskop setelah lebih
dulu dimasukan dalam tetesan KOH 10% yang ditempatkan diatas kaca objek
(BINTARI, 1979).
Membuat kerokan kulit di daerah sekitar papula, kemudian dibuat sediaan
di atas kaca objek dengan kaca tutup, selanjutnya diperiksa dibawah mikroskop
(Ovedoff, David. 2002).
Membuat tes tinta terowongan dengan cara menggosok papula yang
terdapat pada kulit menggunakan ujung pena yang mengandung tinta. Setelah
papula tertutup oleh tinta dan didiamkan selama 20 - 30 menit, tinta kemudian
diusap/dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes ini dinyatakan positif
bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa
garis-garis zig-zag (HOEDOJO, 1989).
6. Diagnosa
Dasar diagnosis scabies adalah
gejala klinis,
diagnosis scabies
dipertimbangkan bila terdapat riwayat gatal yang persisten dengan gejala-gejala
klinis seperti yang diuraikan di atas dan konfirmasi agen penyebab tungau, larva,
telur atau kotorannya dengan pemeriksaan mikroskopis (SUNGKAR, 1991).
Seperti tanda cardinal yaitu Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang
disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab
dan panas (Handoko. R, 2001). Penyakit ini menyerang terak secara berkelompok
dalam satu kandang yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal
keadaan hiposensitisasi, yang mana seluruh ternak terkena dalam 1 kandang,
walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita
ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata
panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika
timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan
lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari, siku bagian luar, lipat kaki bagian depan,
ambing (betina), umbilicus, glutea (pantat), genitalia eksterna (jantan) dan perut
bagian bawah. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
Terdapat beberapa bentuk scabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal,
sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut
antara lain (Sungkar, S, 1991):
1. Scabies pada orang bersih (scabies of cultivated). Bentuk ini ditandai
dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga
sangat sukar ditemukan.
2. Scabies incognito. Bentuk ini timbul pada scabies yang diobati dengan
kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau
tetap ada dan penularan masih bisa terjadi. Scabies incognito sering juga
menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan
mirip penyakit lain.
3. Scabies nodular. Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang
gatal. Nodus biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genitalia
laki-laki, inguinal dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi
hipersensetivitas terhadap tungau scabies. Pada nodus yang berumur lebih
dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap
selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi
pengobatan anti scabies dan kortikosteroid.
4. Scabies yang ditularkan melalui hewan. Di Amerika, sumber utama scabies
adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan scabies manusia yaitu tidak
terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi
biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak/memeluk
binatang
kesayangannya
yaitu
paha,
perut, dada dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih
mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4 – 8 minggu) dan dapat sembuh
sendiri karena S. scabiei var. Hewan tidak dapat melanjutkan siklus
hidupnya pada manusia.
7. Prognosis
Pada umumnya sacabiosis akan sembuh dengan pengobatan konvensional
secara berkala.
8. Terapi dan Pencegahan
Semua kambing yang berkontak dengan penderita harus diobati.
Pengobatan scabies dengan memberikan suntikan IVERMECTIN 0.5 ml/10 kg
berat badan. Pengobatan scabies harus dilakukan secara serentak pada daerah
yang terserang scabies agar tidak tertular kembali penyakit scabies, yang
terpenting dalam pengobatan scabies, adalah seluruh kambing yang tinggal
ditempat yang sama dengan penderita juga harus diobati. Semua perkakas
kambing yang terinfeksi scabies
seperti tempat minum, tempat pakan harus
dijemur dibawah sinar matahari. Tujuannya agar tungau mati karena sinar
matahari.
Gambar 4. Penyuntikan IVERMECTIN 0,5 ml secara sub kutan
DAFTAR PUSTAKA
Andi, Djuanda.1999. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. FK UI. Yogyakarta
Anonimus.
2003.
Penyakit
Scabies
dan
pengobatannya
http://www.medinfo.co.uk/condition/scabies.html
BINTARI, 1979. Dasar Prasitologi Klinis. PT. Gramedia, Jakarta. hal. 535.
FAUST, E.C. and P.F. RUSSEL. 1977. Craig and Faust’s Clinical Parasitology.
Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 614-617.
HOEDOJO. 1989. Diagnosis Skabies dengan Tinta. Maj. Parasitol. Ind. 2(3&4):
91- 96.
HARTADI, S. 1988. Penyakit Zoonosis pada Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
FK UNDIP. Semarang. hal 8-23.
ISKANDAR, T. 1982. Invasi ulang scabies (Sarcoptes scabiei) pada kerbau
lumpur (Bos bubalus) dengan pengobatan salep asuntol 50 WP
konsentrasi 2% dan perubahan patologik kulit. Penyakit
Hewan. 23: 21- 23.
MANURUNG, J. 1990. Prevalensi kutu, pinjal dan tungau pada kambing dan
domba di 4 Kabupaten di Jawa Timur. Seminar Parasitologi
Nasional VI dan Kongres Perkumpulan Pemberantasan
Penyakit Parasit (P4I) V. Pandaan, Jawa Timur 23-25 Juni
1990.
Ovedoff, David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Bina Rupa Aksara: Jakarta
SARDJONO, T.W. 1998. Faktor-faktor terhadap keberhasilan Penanggulangan
scabies di Pondok Pesantren. Maj. Parasitol. Ind., 11: 33-42.
Download