BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan gender bukan permasalahan baru yang ada di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini sangat kentara di dalam pembagian posisi ataupun kegiatannya di dalam kehidupan. Laki-laki cenderung memiliki posisi dan kegiatan yang berbau maskulin, sedangkan perempuan mengarah pada posisi dan kegiatan yang mencitrakan kefemininan. Bukan hanya itu saja, status sosial yang mereka sandang juga berbeda. Laki-laki cenderung dianggap mempunyai status sosial yang tinggi, sedangkan perempuan dipandang rendah. Perbedaan inilah yang menjadi masalah utama dari munculnya ketidakadilan gender di dalam masyarakat. Gender berbeda dengan jenis kelamin. Menurut Baron dan Byrne (2004), menjelaskan bahwa gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan, dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam kebudayaan yang ada. Jenis kelamin lebih didefinisikan sebagai istilah biologis berdasarkan anatomi dan fisik antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan yang dibawa oleh gender juga lebih rumit dibandingkan dengan jenis kelamin. Gender menekankan pada identitas diri yang tercipta dan merupakan bagian dari suatu konsep diri dalam label sebagai “laki-laki” atau “perempuan” (Baron dan Byrne, 2004:188). Di dalam sebuah komunitas (fandom) juga tak pelak dari permasalahan gender. Posisi perempuan di dalam komunitas terlihat sama saja dengan posisinya di dalam masyarakat. Masyarakat memang merupakan sebuah komunitas akan tetapi dalam lingkup yang besar. Fandomlebih mengarah kepada suatu komunitas khusus yang berisi para penggemar (fans) yang menggemari sesuatu atau seseorang yang terkenal, seperti grup band, grup idola, penyanyi, atau artis sekalipun (Storey, 2006). Fandom lahir karena pengaruh perkembangan budaya populer dari Jepang, yang 14 kemudian dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, terutama kalangan remaja. Fandom sendiri(fan- kependekan dari fanatic dan akhiran –dom, seperti pada kata kingdom, freedom, dan lain-lain) merupakan sebuah istilah untuk merujuk suatu subkultur yang dibentuk oleh para penggemar berdasarkan rasa simpati dan persahabatan karena memiliki suatu ketertarikan terhadap satu hal yang sama dengan penggemar yang lainnya (Jenkins, 2006). Para penggemar biasanya lebih tertarik pada hal-hal yang detil terhadap sesuatu yang mereka sukai, dan mereka bisa menghabiskan waktu mereka berada dalam fandom tersebut untuk mendapatkan atau saling bertukar informasi tentang sesuatu yang mereka gemari tersebut. Permasalahan gender yang terjadi dalam fandom juga tidak hanya dari posisi fans perempuan di mata fans laki-lakinya, tetapi juga mengarah pada fandom itu sendiri. Fandom cenderung memiliki minat tersendiri dalam pembentukannya, sehingga para anggota dari fandom tersebut juga memiliki minat yang sama dengan tujuan dari pembentukan fandom. Fandom juga seperti memiliki gender sendiri. Jika minat mereka kepada idola yang berjenis kelamin laki-laki maka secara otomatis para penggemar di dalam fandom tersebut adalah perempuan, sebaliknya jika minat kepada idola yang berjenis kelamin perempuan maka secara otomatis para penggemarnya adalah laki-laki. Hal inilah yang terjadi di dalam fandom JKT48. Ada penggolongan khusus di mata masyarakat tentang fandom JKT48, dimana memang banyak sekali penggemar laki-laki, sehingga tercipta label bahwa semua fans JKT48 adalah laki-laki dan perempuan yang ada di dalam situ adalah sesuatu yang “aneh”. Bahkan posisi fans perempuan di dalam sebuah fandomjuga bisa berpengaruh dalam membuat pandangan terhadap fans perempuan itu oleh masyarakat. JKT48 sendiri merupakan grup idola pertama yang ada di Indonesia, dan juga sister group pertama dari AKB48 yang berasal dari luar Jepang. JKT48 Jogja Fans merupakan salah satu dari sekian banyak fandom regional JKT48 yang ada di Indonesia. Fandom ini berbasis di kota Yogyakarta dan seperti fandom regional lainnya para anggota di dalamnya kebanyakan laki-laki. Namun, di dalam fandomini ada juga fans perempuannya. Bukan merupakan pemandangan yang 15 biasa, karena kebanyakan fandom dari JKT48 memang dipenuhi oleh laki-laki. Bahkan setiap teater yang JKT48 lakukan kebanyakan yang menonton adalah lakilaki. Seperti yang sudah banyak diketahui orang, fans JKT48 sebagian besar adalah laki-laki. Masyarakat umum melihat bahwa setiap konser JKT48 selalu dipenuhi oleh fans laki-laki dari berbagai daerah. Bukan hanya waktu konser, tetapi juga disetiap kegiatan yang dilakukan oleh JKT48 juga dipenuhi oleh fans laki-laki, seperti waktu pembuatan video klip single terbaru JKT48 yang berjudul “Fortune Cookies in Love” yang melibatkan fans dari JKT48 dan kebanyakan adalah laki-laki. Jadi tidak heran jika banyak perempuan yang mungkin tidak suka dengan kehadiran JKT48. Tapi ternyata pada kenyataannya, saat ini fans dari JKT48 bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga perempuan. Terbukti dengan diadakannya teater khusus untuk perempuan dan anak-anak di Theater Show JKT48 di Mall FX, Jakarta. Mungkin memang terdengar aneh jika ada yang mengetahui perempuan menyukai atau menggemari JKT48, yang seluruh member atau personilnya adalah perempuan juga. Hal tersebut memicu peneliti untuk melakukan penelitian tentang fans perempuan dari grup idola JKT48. Hal tersebut juga mengacu pada adanya masalah perbedaan gender yang memberikan citra bahwa perempuan tidak berhak dan tidak boleh menyukai idola yang sama-sama perempuan, sebab itu akan menjadi “keanehan” di mata masayarakat umum, terutama dikalangan perempuan sendiri. Mereka, para perempuan yang menyukai atau menggemari JKT48, akan dipandang “aneh” karena akan dianggap menyukai sesama jenis, baik oleh kaum laki-laki ataupun kaum perempuan lainnya. Di sisi lain, hal itu juga bertentangan dengan hak yang dimiliki oleh setiap perempuan. Pandangan seperti itulah yang memicu munculnya stereotipe tentang perempuan penggemar JKT48. Mereka dianggap menyalahi kodrat mereka sebagai seorang perempuan yang seharusnya menggemari grup-grup atau artis yang berlawanan jenis. Perempuan yang menjadi penggemar atau fans JKT48 seperti menjadi sesuatu yang tabu di kalangan masyarakat. 16 Di dalam komunitas JKT48 Jogja Fans Club, fans perempuan jarang mendapat kesempatan untuk ikut aktif di dalam komunitas. Fans perempuan lebih banyak hanya mengikuti apa yang sudah dihasilkan dari sebuah diskusi, yang keputusannya diambil oleh fans laki-laki. Fans perempuan dianggap tidak sejajar dengan fans laki-laki yang tingkat idolling-nya lebih tinggi. Anggapan-anggapan seperti inilah yang membentuk suatu stereotipe terhadap fans perempuan dari JKT48. Ketidakadilan gender sangat terlihat dari pandangan stereotipe itu. Kesan bahwa fans perempuan itu tidak boleh atau tidak patut menggemari JKT48 semakin terbentuk. Pikiran bahwa fans JKT48 hanyalah laki-laki semakin terpatri di dalam pikiran masyarakat. Pengaruh besarnya fanatisme juga menjadi suatu isu yang sering terjadi di dalam sebuah fandom. Besarnya fanatisme antara anggota satu dengan anggota lainnya di dalam sebuah fandom juga berbeda. Sikap fanatik inilah yang juga menjadikan jarak antara fans laki-laki dengan fans perempuan di dalam JKT48 Jogja Fans. Fans laki-laki sangat fanatik dalam mendukung idola mereka di JKT48. Mereka bisa melakukan apa saja untuk mendukung idola mereka masing-masing. Berbeda dengan fans perempuan, mereka lebih mendukung dengan cara yang normalnormal saja, tidak bertindak fanatik maupun keras dalam mendukung idolanya di JKT48. Fanatisme yang ditunjukkan oleh fans laki-laki lebih banyak saat melihat konser yang dilakukan oleh JKT48, baik itu di teater maupun konser di luar teater mereka. Mereka biasa melakukan chanting1, wotagei2, bahkan mengikuti gerak koreo dari lagu yang dibawakan oleh JKT48. Selain itu, mereka juga banyak menghabiskan uang untuk membeli berbagai macam merchandise, cd album maupun single terbaru dari JKT48, dan juga pernak-pernik lainnya baik itu dibuat oleh Official JKT48 atau fanmade buatan fans yang lainnya. 1 2 Chanting merupakan teriakan penyemangat yang diteriakan fans kepada idolanya. Wotagei merupakan gerak tarian yang dilakukan fans menggunakan lightstick 17 Penelitian tentang gender memang belum banyak mendapat perhatian, khususnya permasalahan gender di dalam sebuahfandom. Sikap fanatik yang ditunjukkan oleh fans laki-laki bisa menjadi pemicu munculnya masalah gender di dalam fandom. Penelitian gender pada umumnya membahas tentang posisi perempuan di dalam sebuah panggung politik, ekonomi, atau kehidupan kemasyarakatan. Di dalam dunia ilmu komunikasi, penelitian tentang gender lebih banyak menekankan pada bias gender dalam film, iklan, ataupun media massa lainnya. Untuk itulah peneliti membahas gender di dalam sebuah komunitas agar wawasan dan pengetahuan tentang permasalahan gender semakin luas. B. Rumusan Masalah Bagaimana relasi gender yang tercipta antara fans perempuan JKT48 dan fans lakilaki JKT48 di dalam komunitas (fandom) JKT48 di Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui relasi gender di dalam komunitas JKT48 di Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui bentuk partisipasi fans perempuan JKT48 di dalam komunitas. 3. Untuk mengetahui seberapa besar peran gender mempengaruhi keberadaan fans perempuan JKT48 di dalam komunitas D. Kerangka Pemikiran 1. Perbedaan Konsep Gender dan Jenis Kelamin (Sex) Gender dan jenis kelamin (seks) merupakan dua konsep yang berbeda, namun kerap disalahartikan sebagai konsep yang sama. Perbedaan penggunaan kata “gender” dan “seks” lebih menekankan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan muncul lebih luas dari kultur daripada sumber biologis. Kata-kata “keperempuan-perempuanan” atau “kelaki-lakian” maupun kata “maskulin” dan 18 kata “feminin” kepada seseoarang tidak merujuk pada makna yang bersumber pada seks (jenis kelamin), tapi lebih diartikan secara kultural. Jadi untuk memahami apa itu gender, perlu terlebih dahulu memahami perbedaannya dengan “seks” itu sendiri. Pandangan yang kurang benar dari dua konsep tersebut sering kali menimbulkan adanya ketidakadilan gender. Hal ini dikarenakan sebab-sebab dan bentuk-bentuk ketidakadilan dianggap sebagai hal yang wajar. Perbedaan gender dianggap sebagai hasil dari adanya perbedaan antara laki-laki dan peremouan secara natural. Padahal, sifat-sifat yang dibentuk oleh lingkungan dan kultural bisa dpertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Pertukaran sifat laki-laki dan perempuan tersebut bisa berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain, atau bahkan dari suatu kelas masyarakat ke kelas lain yang berbeda. Seks dan gender mempunyai dua makna yang sama yaitu “jenis kelamin”, tetapi secara mendasar keduanya berbeda. Jenis kelamin(sex) merupakan pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada kelamin tertentu secara permanen, perbedaannya sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang mengambil bentuk laki-laki dan perempuan. Gender lebih merupakan suatu sifat yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, sehingga tercipta sifat maskulin dan feminine dalam diri laki-laki ataupun perempuan. Dalam pemaknaan yang lebih luas gender dapat diartikan sebagai perangkat nilai, harapan, keyakinan dan seringkali stereotipe yang seharusnya diperankan oleh laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosialnya. Oleh karena itu, kita harus memahami terlebih dahulu secara rinci tetang gender dan jenis kelamin (sex). 1.1 Konsep Gender Dipengaruhi oleh Faktor Budaya (Nurture) Gender, dalam kamus Inggris-Inggris Oxford didefinisikan sebagai kata benda. 19 Dalam The concise Oxford Dictionary of Current English (1990), gender didefinisikan sebagai berikut. n. I. a. the grammatical classification of nouns and related words, roughly corresponding to the two sexes and the sexlessness. b. each of the class of the nouns (see MASCULINE, FEMININE, NEUTER, COMMON adj. 6). 2. (of) nouns and related words) the property of belonging to such a class. 3. Colloq. a person’s sex. Mansour Fakih (2003:7) menyebutkan bahwa definisi gender dalam bahasa Indonesia masih mengikuti definisi gender dalam bahasa Inggris yang tidak membedakan secara jelas pengertian gender dan sex. Fakih berpendapat bahwa belum ada uraian yang secara singkat dan jelas mampu menjelaskan konsep gender dan mengapa konsep tersebut penting untuk memahami ketidakadilan sosial (Fakih, 2003:7). Pendapat tersebut dapat diterima karena memang konsep gender sendiri sangat susah untuk didefinisikan dan senantiasa mengalami perubahan terus menerus. Konsep tentang gender sendiri berubah-ubha seiring dengan perkembangan feminism itu sendiri. Kaum feminis awalnya melihat gender sebagai sebuah realitas yang tetap dan tidak berubah-ubah. Gender dilihat sebagai suatu kualitas yang dimiliki oleh kedua jenis kelamin sejak awal lahirnya. Artinya gender mempunyai makna yang berkorespondensi dengan jenis kelamin (sex). Kaum feminis yang mengkritik media massa pada umumnya masih memakai pandangan gender sebagai realitas. Isu yang menjadi perhatian utama kaum feminis ini adalah isu tentang “distorsi” (van Zoonen, 1999:30). Kaum feminis mempermasalahkan pencitraan perempuan yang seringkali merugikan kepentingan kaum perempuan. Perempuan sering digambarkan hanya dalam wilayah domestik sedangkan perempuan yang 20 berada dalam sektor public selalu digambarkan negatif. Kaum feminis melihat bahwa media massa telah mengaburkan realitas tentang perempuan. Pandangan diatas mempunyai kelemahan pada asumsinya yang mengatakan bahwa gender adalah sebuah realitas (van Zoonen 1999:31). Dengan mengatakan bahwa media massa telah mengaburkan realitas tentang perempuan, maka dapat diartikan bahwa sesunguhnya ada realitas perempuan yang sebenarnya. Pada masyarakat umum, persepsi tentang perempuan mungkin hanya sebatas pada jenis kelamin dan cirri-ciri fisiknya saja, tetapi pada kenyataannya berkembang berbagai bentuk “kualitas keperempuanan” yang tidak berhubungan dengan jenis kelamin perempuan. Sebagai contoh kaum lesbian, queer, dan transeksual. Selain itu ada juga kaum laki-laki yang lebih feminin daripada kaum perempuan. Van Zoonen (1999:40) memberikan pemahaman gender sebagai suatu wacana, yakni seperangkat deskripsi dan preskripsi tentang perbedaan jenis kelamin yang sering kali tumpang tindih dan kontradiktif. Gender, sebagai wacana, dibentuk oelh berbagai macam praktik sosial dan wacana lain yang berhubungan. Oleh karena itu pemaknaan gender akan berlainan antara satu tempat dengan tempat lainnya , sesuai dengan konteks sosial historis masing-masing tempat tersebut. Dengan kata lain, gender akan dimaknai dengan bukan lagi sebagai kualitas individu yang tetap melainkan sebagai bagian dari proses dimana individu sebagai subyek dibentuk secara terus menerus, bahkan dalam cara yang paradoks (van Zoonen, 1999: 33). Mansour Fakih berpendapat bahwa gender sendiri lebih diartikan kepada suatu sifat yang melekat pada kamu laki-laki maupun perempuan dan dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Laki-laki dianggap sebagai makhluk yang kuat, jantan, dan perkasa. Sedangkan perempuan, sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. 21 Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan peran, kedudukan dan sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun perempuan melaui konstruksi secara sosial maupun kultural (Nurhaeni, 2009). Sedangkan menurut Oakley (1972) dalam Fakih (1999), gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural. Lebih lanjut dikemukakan oleh Haspels dan Suriyasarn (2005), gender adalah sebuah variabel sosial untuk menganalisa perbedaan laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab dan kebutuhan serta peluang dan hambatan. Mereka yang berorientasi pada kebudayaan, menganggap bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan oleh faktor biologis (nature), melainkan disebabkan karena adanya faktor budaya. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologis, dan menjadi terinstitusionalisasi. Institusi ini berfungsi sebagai wadah sosialisasi, dimana adat, norma-norma, serta kebiasaan yang berlaku diwariskan secara turun-menurun. Akan tetapi, perbedaan peran yang kaku hanya berlaku pada masyarakat tradisional yang perkembangan teknologinya masih terbelakang. Sebelum ada teknologi yang berkembang, tugas serta peran utama perempuan adalah melahirkan, menyusui, dan segala aktivitas yang berkaitan dengan pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Keadaan ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan peran yang kemudian menjadi suatu norma yang berlaku di dalam masyarakat. Saat ini, perkembangan teknologi semakin pesat, sehingga perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dapat berubah. Perubahan tersebut bisa menghilangkan kendala biologis yang menghambat kaum perempuan 22 untuk bekerja di sektor-sektor yang tadinya didominasi oleh kaum lakilaki. Peran gender yang disebabkan oleh perbedaan biologis menjadi tidak relevan, karena peran tersebut bisa digantikan dengan adanya teknologi yang telah maju pesat. Hal ini semakin menguatkan bahwa perbedaan gender bukan ditentukan oleh faktor biologis, tetapi karena pengaruh sosial budaya di masyarakat. Beberapa bukti dikemukakan oleh Friedl (dalam Megawangi, 1999), adanya keterlibatan wanita dalam peperangan suku di Afrika Barat, dan para wanita yang memegang tampuk kepemimpinan penting di beberapa negara Asia Selatan. Serta, adanya bukti bahwa di beberapa negara Asia Tenggara para wanita juga mempunyai kekuatan otot yang relatif sama dengan pria karena para wanita mengerjakan hal yang sama dengan para pria. Semuanya ini menjadi bukti bahwa perempuan dapat pula mempunyai peran seperti laki-laki, dan ini dapat terwujud jika tradisi budaya memang mendukung konsep gender yang seperti ini. 1.2 Perbedaan Alami Laki-laki dan Perempuan (Nature) Seks atau jenis kelamin merupakan pembagian jenis kelamin manusia secara biologis dan melekat pada salah satu jenis kelamin tertentu (dalam Mansour Fakih). Konsep seks sendiri merujuk pada sifat laki-laki maupun perempuan secara biologis. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan menghasilkan sperma, sedangkan perempuan mempunyai rahim, saluran melahirkan dan menyusui, serta menghasilkansel telur. Kondisi seperti inilah yang dinamakan sebagai sebuah ketentuan biologis. Charles Darwin (dalam Megawangi, 1990:95) dalam bukunya, The Descent of Man, menuliskan bahwa “laki-laki berbeda dengan wanita dalam hal ukuran, kekuatan tubuh,… dan seterusnya, juga dalam hal 23 pemikiran.” Darwin juga membuat analogi antara perbedaan jenis kelamin pada manusia dan yang terdapat pada beberapa spesies mamalia. Konsep jenis kelamin (sex) tidaklah serumit konsep gender, karena pada dasarnya jenis kelamin (sex) hanya didasarkan pada perbedaan jenis kelamin secara biologis, yang tidak dapat untuk diubah. Pearson dkk (1995:6) mengatakan bahwa: “sex refers to biological categories, male and female, determined by the presence of XX chromosomes for females and an XY chromosomes patterns for males. The chromosomes provide genetic information that produces sex characteristic, such as the penis and the scortum in the male and the clitoris and vagina in the female”. 2. Relasi Gender: Antara Kesetaraan dan Ketimpangan Gender Konsep gender yang dipahami oleh sebagian besar orang hanya dalam konteks perempuan dan masalah keperempuanannya saja. Hal ini menjadikan pemahaman gender menjadi sangat bias dan sangat sempit sebagai sebuah konsep. Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin, dia tidak hanya membiacarakan perempuan saja ataupun laki-laki saja, bukan juga konsep tentang perbedaan biologis yang dimiliki oleh keduanya. Gender merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan (dibentuk) oleh masyarakat atau kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya dan struktur sosial yang berbeda-beda di setiap daerah, suku, agama, dan negara. Echols dan Shaadily (1976) memaknai gender sebagai jenis kelamin, sedangkan Faqih (1999) memaknai gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Dengan begitu terlihat jelas bahwa pembedaan gender laki-laki dan perempuan tidak hanya mengacu pada perbedaan biologisnya saja, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai tersbetu nantinya yang akan menentukan peranan laki-laki dan perempuan 24 dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang di dalam bermasyarakat (Kantor Men. UPW 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan jenis kelaminnya. Gender dapat berubah dengan sendirinya dari waktu ke waktu sesuai dengan konstruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan. Memahami gender juga termasuk memahami relasi antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana relasi itu dibangun dan didukung oleh masyarakat. Sama seperti halnya dengan konsep kelas, ras, suku, dan agama, gender merupakan alat analisis untuk memahami relasi-reasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Sampai sekarang ini, hambatan bagi terwujudnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Kerancuan yang disebabkan oleh perbedaan persepsi seks dalam konteks sosial budaya dan status, serta peran yang melekat pada relasi laki-laki dan perempuan pada akhirnya memberikan asumsi kepada masyarakat luas bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki. Kesenjangan relasi tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sejarah, ekonomi, budaya, dan agama yang mengakar kuat secara turun-temurun di dalam masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman, semestinya banyak menyadarakan masyarakat bahwa asumsi yang muncul dan melekat pada perempuan itu tidak selamanya benar, begitu juga sebaliknya terhadap lakilaki. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan berbagai kasus yang memperlihatkan jika pandangan itu tidak selalu berlaku linier. Namun dalam kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi laki-laki dan perempuan banyak mengalami hambatan baik dari kalangan laki-laki, maupun perempuan. Fakih (1999) mengemukakan pendapat bahwa ada beberapa hal yang menjadi penolakan dalam menggunakan 25 analisis gender. Pertama, mempertanyakan status perempuan identik dengan menggugat konsep-konspe yang telah mapan. Kedua, adanya kesalahpahaman tentang mengapa permasalahan kaum perempuan dipersoalkan. Ketida, diskursus tentang relasi laki-laki dan perempuan pada dasarnya membahas hubungan kekuasaan yang sangat pribadi, yang melibatkan pribadi masing-masing serta menyangkut “hal-hal khusus” yang dinikmati oleh setiap individu. Diskriminasi terhadap perempuan yang terus terjadi masih menunjukkan bahwa pemahaman serta usaha-usaha untuk mewujudkan kesetaraan gender masih banyak menemukan kendala. masih kuatnya budaya patriarkis masih meposisikan perempuan pada stereotip, peran, dan posisi yang termarginalkan. Padahal, relasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan dapat mendorong percepatan proses pembangunan yangdilandasi dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi tanpa adanya imperioritas satu jenis kelamin di satu sisi dan superioritas jenis kelamin di sisi lainnya. Kesetaraan gender dalam tataran praksis selalu diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami oleh perempuan. Istilah ini sering dikaitkan dengan diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perilaku tak adil, dan semacamnya. Keadaan-keadaan tersebut memang dapat membangkitkan emosi, rasa kesal, dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan. Konsep kesetaraan gender memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan kontroversial. Belum ada konsensus mengenai apa yang disebut dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada yang berpendapat bahwa kesetaraan adalah kesetaraan hak dan kewajiban, ada yang menyebutkan kesejajaran, akan tetapi masih belum jelas arti dari konsep tersebut. Relasi pada dasarnya adalah suatu hubungan antar manusia, dimana relasi tersebut menentukan struktur masyarakat. Relasi didasarkan pada komunikasi antar individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, dapat 26 disebutkan bahwa komunikasi merupakan dasar eksistensi suatu kelompok masyarakat.Relasi merupakan hubungan interaksi yang terjadi antara dua individu atau lebih dalam suatu proses perilaku. Di dalam ilmu sosial relasi sosial dikenal sebagai hubungan sosial. Proses perilaku tersebut memperhitungkan reaksi perilaku yang akan diberikan oleh individu lain sesuai dengan arti yang diinterpretasikan oleh masing-masing individu. Dengan demikian, hubungan sosial yang terjadi berisikan kemungkinan bahwa para individu yang terlibat memaknai arti sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dahulu sebelumnya. Menurut Gillin dan Gillin, hubungan sosial atau relasi sosial merupakan hubungan yang dinamis yang menyangkut hubungan antarindividu, anatar individu dengan kelompok, dan antarkelompok. Relasi juga merupakan bagian dari proses komunikasi antara dua individu. Komunikasi yang berlangsung bisa berupa komunikasi verbal, maupun non verbal. Relasi atau hubungan dalam masyarakat ini, baik dalam bentuk individu atau perorangan maupun dengan kelompok-kelompok dan antar kelompok manusia itu sendiri mewujudkan segi dinamika perubahan dan perkembangan masyarakat. Relasi yang tercipta tentu saja mempunyai nilainilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Relasi gender merupakan hubungan yang terjadi di masyarakat dengan mengacu pada peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dibedakan antara maskulinitas dan feminitas.Relasi gender adalah akibat dari konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat. Dalam relasi gender di dalam kelompok gender tertentu, ada gender yang berada di atas (dominan), didominasi, dan yang setara. Di dalam masyarakat patriarki, laki-laki sebagai gender yang mendominasi, sedangkan perempuan menjadi gender yang terdominasi (subordinat) oleh laki-laki. Relasi yang tidak setara dan lebih bersifat dominasi-subordinasi tersebut pada akhirnya memberikan celah bagi 27 terciptanya kekerasan yang dialami oleh perempuan baik dalam bentuk fisik, psikis, maupun ekonomi. 3. Feminisme Gender Feminisme gender hampir disamaartikan dengan feminisme psikoanalisa, dimana feminisme ini membedakan antara gender laki-laki dan perempuan dari segi fisiknya. Namun, feminisme gender ini mempunyai perbedaan dari feminisme psikoanalisa. Jika dalam feminisme psikoanalisa lebih menekankan pada perkembangan psikoseksual laki-laki dan perempuan, sedangkan feminisme gender lebih menekankan pada perkembangan moral laki-laki dan perempuan, yang disebut psikomoral. Menurut feminisme gender, anak laki-laki dan perempuan tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan (dewasa) dengan nilai-nilai serta kebaikan gender yang khas (1) merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan laki-laki dan pentingnya keterikatan pada kehidupan perempuandan (2) berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat patriarkal (Tong, 2009: 224). Menurut Carol Gilligan (dalam Tong, 2009), penekanan laki-laki terhadap keterpisahan dan otonomi mengarahkan mereka untuk mengembangkan suatu gaya penalaran moral (dan pemikiran) yang menekankan pada keadilan, ketidakberpihakan, dan hak. Sebaliknya, penekanan perempuan pada hubungan dan keterikatan mengarahkan mereka untuk mengembangkan gaya penalaran moral (dan pemikiran) yang menekankan pada keinginan, kebutuhan, dan kepentingan dari sekelompok orang tertentu. Gilligan mengklaim bahwa kebanyakan ahli dalam teori perkembangan moral telah keliru menggunakan norma laki-laki sebagai norma manusia yang digunakan untuk mengukur perkembangan moral perempuan dan laki-laki, kebanyakan dari mereka menyimpulkan bahwa 28 secara moral perempuan kurang berkembang dibandingkan laki-laki(dalam Tong, 2009: 224). Sama seperti Gilligan, Nel Noddings berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki berbicara dalam bahasa moral yang berbeda, dan bahwa kebudayaan kita lebih menguntungkan etika keadilan yang maskulin daripada etika keadilan yang feminine (dalam Tong, 2009:230).Noddings menilai, meski perempuan bisa berbicara bahasa keadilan sebagaimana laki-laki, akan tetapi itu bukanlah bahasa moral asli perempuan. Namun, Noddings mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Gilligan, bahwa suatu etika kepedulian bukan saja berbeda, melainkan lebih baik dari etika keadilan. Bagi Noddings, hubungan manusia bukanlah mengenai hak abstrak manusia, melainkan mengenai kebutuhan konkret individu tertentu. 4. Komunitas Penggemar (Fandom) Sebagai Produk Budaya Populer Budaya populer mulai dikenal pada akhir tahun 1950-an atau pada awal 1960-an. Budaya pop merupakan suatu gerakan seni masyarakat luas secara umum melawan seni yang serius dan dianggap terlalu mapan dan ekslusif untuk kalangan tertentu saja. Gerakan ini merambah ke seluruh bidang seni, terutama seni lukis, musik, dan sastra.budaya populer dapat diidentifikasikan dengan budaya massa, dimana karya seni merupakan sebuah produk missal dan bersifat untuk memeuhi kebutuhan (konsumsi). Budaya pop merupakan budaya yang muncul dari interaksi sehari-hari, suatu kebutuhan dan keinginan, serta fenomena-fenomena sosial dari sekelompok orang yang hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Stuart Hall menggambarkan bahwa budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di mana hegemoni berlangsung, (dalam Storey, 2006:3) Budaya populer yang lahir dari cultural studies merupakan sebuah produksi yang pada akhirnya diterima di tengah-tengah masyarakat. Budaya populer bersifat produksi, asrtistik dan komersial, dan diciptakan untu 29 konsumsi massa serta dan dapat diproduksi kembali serta dapat digunakan untuk mengekspresika dan memahami selera masyarakat luas. Budaya populer dianggap sebagai budaya tandingan dari budaya tinggi dan budaya rakyat. Budaya ini menjadi populer karena adanya bantuan berbagai media, yang membuatnya menjadi tersebar dan dinikmati oleh berbagai khalayak. Akhirnya, budaya ini pun dianggap sebagai budaya yabg selalu terikat dengan perdagangan, karena kontennya juga yang membuat penikmatnyamenjadi konsumtif. Dalam mengkonsumsi budaya populer, sering kali masyarakat cenderung kemudian membentuk suatu komunitas atau yang sering disebut sebagai fandom. Fandommerupakan bentuk dari produksi budaya populer. Fandom berasal dari bahasa Inggris yang mempunya makna fan- kependekan dari fanatic, dan akhiran –domyang mempunya arti sama dengan yang ada dalam kingdom, freedom ,dll. Dengan kata lain fandommerupakan sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk pada sebuah subkultur di mana anggota yang ada di dalamnya memiliki suatu ikatan, rasa simpati, dan persahabatan yang dipicu oleh suatu ketertarikan yang sama. Para anggota di dalam fandom ini biasanya memiliki kegemaran yang sama terhadap sesuatu atau seseorang yang dijadikan sebagai simbol dari ikatan tersebut. Para penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan praktik budaya pop. Menurut Joli Jenson (1992), literature mengenai kelompok penggemar dihantuioleh citra penyimpangan. Penggemar selalu dicirikan sebagai sesuatu kefanatikan yang potensial. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan (Storey, 2006:157). Jenson menambahkan bahwa ada dua tipe patologi penggemar, pertama individu yang terobsesi (biasanya fans lakilaki) dan kerumunan histersi (biasanya fans perempuan) (Jenson dalam Storey, 2006). Kedua kategori kelompok tersebut lahir dari pembacaan tertentu dan kritik atas modernitas yang tak diakui, di mana para pembaca 30 dipandang sebagai symptom psikologis dari dugaan disfungsi sosial. Dengan kata lain, komunitas penggemar (fandom) merupakan suatu symptom (patologis) yang tampak dari kemungkinan runtuhnya budaya, moral, dan sosial yang tak terelakkan lagi mengikuti transisi dari masyarakat pedesaan dan agrikultural menuju masyarakat industrial dan urban. Fandom atau komunitas merupakan produk dari budaya populer itu sendiri. Di dalam komunitas, anggotanya dituntut untuk mengkonsumsi apaapa yang menjadi produk budaya populer itu, seperti musik, serial televisi, film, sastra, dan lain sebagainya. Dari situlah para anggotanya mempunyai satu ketertarikan yang sama di dalam komunitasnya. Menurut Jenkins, penggemar adalah komunitas yang konsumen yang sangat aktif dan vocal yang aktivitas-aktivitasnya mengarahkan perhatian pada proses pemberian (makna) kultural ini… Para penggemar tidaklah unik dalam status mereka sebagai pemburu tekstual, kendati demikian mereka telah mengembangkan tindakan berburu menjadi sebentuk seni. (Jenkins, dalam Storey 2006: 161162). Budaya penggemar ini menggiring komunitas yang terbentuk untuk mengkonsumsi produk budaya populer yang berkembang dan sesuai dengan minat atau ketertarikan mereka pada suatu produk. Akan tetapi saat ini, budaya penggemar tidak hanya selalu pada konsumsi, tetapi juga sudah mulai untuk memproduksi, misalnya lagu, novel, puisi, cerita-cerita pendek (yang sering disebut fan-fiction), dan video. Penggemar, dalam diskursus budaya populer, adalah sebuah kata yang tidak dapat diabaikan. Penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial, artinya, kelompok penggemar dilihat melalui kacamata kefanatikan yang berlebihan dan sering dianggap gila. 31 Lawrence Grossberg (dalam Storey 2006: 168) mengemukakan bahwa para penggemar merupakan satu fraksi elit dari sekian khalayak konsumen pasif yang lebih besar. Menurutnya, penggemar selalu berada dalam konflik yang terus-menerus, tak hanya dengan struktur kekuasaan, tetapi juga dengan khalayak konsumen media. Para penggemar menciptakan makna-makna untuk berkomunikasi dengan penggemar lainnya, makna-makna ini kemudian bersirkulasi dan memberikan penampilan publik sehingga membentuk suatu kelompok sosial, yaitu kelompok penggemar. (storey halaman 164) Melalui ritual konsumsi ini, suatu kelompok atau subkultur membentuk identitas yang bermakna. Pemberian makna selektif dan penggunaan kelompok atas apa yang disediakan oleh pasar bekerja serentak untuk mendefinisikan, merefleksikan, dan memperjelas perbedaan kelompok. 5. Urban Tribe Sebagai Komunitas Seorang sosiologis dari Perancis, Michel Maffesoli dalam bukunya “Le Temps des Tribus” atau The Time of the Urban (1988) mendefinisikan urban tribe sebagai berikut: “were young city people that gathered in relatively small, fluid group. These groups shared common interest that were, in general different from the interest of mainstream culture.” Pendapat lainnya muncul dari Ethan Watters (2003): “to describe a group of individuals, usually young professionals living in large cities, that form communities to provide the emotional support of an extended family.” 32 Kaum urban pada dasarnya adalah kaum pendatang yang mendiami suatu wilayah yang luas kemudian memiliki pola kehidupan sosial yang kekotakotaan. Kaum urban sering disamakan sebagaimana kaum rural (pedesaan), padahal sudah jelas kaum urban berbeda dengan kaum rural. Kaum urban menganut gaya hidup yang kekota-kotaan, sedangkan kaum rural masih menganut pemahaman pedesaaan. Kota sangat jelas berbeda dengan desa, bukan hanya dari sisi ukuran dan pola kegiatan perekonomiannya, tetapi juga dari sisi gaya hidup, jaringan atau komunikasi antar sesama, dan juga cara hidup mereka yang berbeda. Heterogenitas, keragaman, dan perubahan merupakan sebuah analogi perbedaan pekerjaan, kelas sosial, latar belakang kebudayaan, dan juga kepentingan. Perbedaan antara kehidupan kaum urban dan kaum rural adalah dasar dari kajian urban di abad ke-20. Istilah itu digunakan untuk mengartikan perbedaan dua istilah tersebut, tapi pokok dari konten tersebut tetap memiliki kemiripan. Pedesaan menggambarkan kesederhanaan, sedangkan perkotaan menggambarkan kerumitan. Daerah rural sendiri menjadi contoh bagi keadaan peraturan, peran atau tugas, serta hubungan persaudaraan yang stabil, sedangkan kota dibentuk oleh adanyan inovasi, perubahan, dan kekacauan. Kota merupakan pusat segala keragaman, heterogenitas, dan kondisi sosial yang baru. Desa atau kota kecil menggambarkan tradisi, keadaan sosial yang tetap namun berkelanjutan, dan keselarasan budaya. Kondisi stereotip juga melingkupi orang kota yang memiliki kecanggihan tetapi kurang memiliki perasaan yang nyata. Kaum urban tak lepas dari komunitas yang menjadi bagian dari lingkungannya. Komunitas menjadi hal penting dimana kaum urban bisa saling bersosialisasi, berhubungan, dan juga menjalin relasi satu sama lain. Komunitas tidak memiliki definisi yang khusus, atau definisi umum yang 33 sering digunakan. Para antropolog berpendapat bahwa komunitas merupakan sekumpulan orang yang secara umum terlokalisasi dan semi terisolasi di dalam suatu wilayah. Para ekolog berpendapat bahwakaum urban bisa memiliki “komunitas tanpa kedekatan”. Hal ini selalu dikaitkan dengan pengertian sebagai populasi lokal suatu wilayah yang saling bergantung pada kebutuhan sehari-hari. Komunitas menyediakan jaringan antara keluarga, kelompok primer, dan masyarakat yang lebih luas. Komunitas menginterpretasikan realitas dalam tingkatan lokal sehingga hal itu terlihat diatur oleh anggota komunitas. Komunitas tidak hanya memiliki satu defisini saja, ada berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ahli. Robert Park misalnya, ia mendefinisikan bahwa komunitas itu mempunyai karakter yang esensial. “the essential characteristic of a community, so conceived, are those of: 1)a population territorially organized, 2) more or less completely rooted in the soil it occupies, 3) its individual unit living in a relationship of mutual interdependence… (Park 1936)” George Hilery Jr (1955) mendefinisikan komunitas sebagai berikut: “community as a group, a process, a social system, a geographic place, a consciousness of kind, a totally of attitudes, a common lifestyle, the possession of common ends, local self-sufficiency, and on and on.” Di dalam masyarakat urban, komunitas menjadi salah satu media yang bisa digunakan untuk berkomunikasi satu sama lainnya. Masyarakat urban pada dasarnya juga merupakan suatu komunitas, karena mereka terdiri dari sekumpulan orang, menempati suatu wilayah tertentu, dan memiliki 34 keragaman budaya. Selain dari definisi di atas, ada beberapa elemen yang bisa membentuk sebuah komunitas: 1) Adanya proses sosialisasi, 2) Mempunyai peraturan dan norma-norma yang berlaku untuk kontrol sosial, 3) Adanya stratifikasi dan diferensiasi sosial, 4) Komunikasi antara individu satu dengan individu lainnya, 5) Terdapat institusi sosial, seperti ekonomi, pendidikan, pemerintahan, dan lain-lain. Sebenarnya, semua orang hidup di dalam suatu komunitas. Kota besar (metropolitan) bisa dilihat sebagai komunitas individual dalam jumlah yang besar yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Wilayah perkotaan memang cukup luas, sehingga di antara masyarakatnya mungkin tidak mempunyai perasaan emosional yang saling bertautan. Akan tetapi, perasaan emosional itu akan terasa di dalam lingkup kecil daerah tempat tinggal mereka. Di dalam masyarakat urban, komunitas bisa berada di dalam komunitas. Masyarakat urban merupakan suatu komunitas, karena di dalamnya ada populasi individu, wilayah, dan elemen-elemen pembentuk suatu komunitas, dan di dalamnya akan tumbuh komunitas-komunitas lain yang lebih spesifik, bisa berkaitan dengan status sosial, pendidikan, agama, kegemaran, ekonomi, dan sebagainya. Kelompok penggemar merupakan fitur umum dari budaya populer dalam masyarakat industri. Kelompok penggemar seringnya bergabung dengan bentuk budaya yang mencemari sistem nilai dominan seperti musik pop, novel 35 romantic, komik, bintang Hollywood. Halini tergabung dengan selera budaya formasi subordinat orang kebanyakan, terutama dengan pemberdayaan kombinasi gender, umur, kelas, dan ras (Fiske, 1992:29 dalam Lewis). Para penggemar merupakan bagian palin gmenarik yang tampak dalam praktik budaya pop. Penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan. Penggemar dipahami sebagai korban-korban pasif dari media massa. Media massa mengkonstruksi wacana kepada penggemar dan membentuk theatre of mind dalam diri mereka sendiri. Hal ini menyebabkan penggemar tidak bisa mendiskriminasikan dan menciptakan jarak antara diri mereka dan objek-objek kesenangan. Stereotip yang paling umum adalah kelompokkelompok gadis dan perempuan histeris yang meneriaki para selebritis idola mereka, kelompok penggemar yang saling bersaing mengadopsi gaya idolanya atau kelompok penggemar yang rela melakukan apa saja demi bertemu dengan idolanya. Para penggemar terhubung dengan sumber media yang jauh dengan beberapa cara yang berbeda melalui mediasi keluarga, teman serta lingkungan sosial yang lain. Hal tersebut juga relevan ketika memasukkan fandom ke dalam kategori yang sama dengan cara yang tidak terlalu spontan dan dimanipulasi oleh media. Pengalaman penggemar selalu mengkarakteristikkan keadan yang terhubungan dengan penampilan tertentu, juga pada jenis penampilan tertentu, seperti jenis musik, genre, film. Kelemahan dari fandom ini adalah atraksi medium, sebagai ekspresi lama penggemar. Versi yang paling kuat meliputi derajat tinggi investasi emosional pada personalitas media. Beberapa sedikit sama, bisa terjadi pada pengikut serial televise tertentu, ketika tambahan karakter fiksi bercampur dengan karakter aktor atau 36 ketika perbedaan antara fiksi dan realita tak terlihat secara kasat mata (McQuail, 2005:445). Fandom sering dipandang dengan kritik ketidakdewasaan dan ketidakrasionalan sebagai sebuah produk dari budaya massa dan contoh perilaku massa. Fandom juga merupakan pemikiran yang terbaik sebagai sesuatu yang kolektif. Fandom selalu dihubungkan dengan media sebagai pemuas dan jembatan jarak nyata antara idola dan penggemarnya. Namun, hal itu bisa juga menjadi pengalaman menyakitkan dimana di dalamnya terdapat ekspektasi tinggi dan emosi yang mengejutkan dan bisa membuat penggemar berpotensi mendapat ejekan.. 6. Komunikasi di dalam Kelompok 6.1 Pengertian Komunikasi Kelompok Secara sadar atau tidak, manusia menjadi bagian dalam kelompok- kelompok tertentu. Kelompok tersebut merupakan bagian dari kehidupan sosial manusia. Kelompok merupakan sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Dengan kata lain, tidak semua kerumuan orang itu disebut sebagai kelompok, misalnya antrian di loket, orang-orang yang menunggu bis di halte, dan sebagainya. Disebut kelompok karena didasarkan dengan adanya kesadaran pada anggotaanggotanya akan ikatan sama yang mempersatukan mereka, serta interaksi yang terjalin antara anggota satu dengan anggota lainnya. Interaksi di dalam kelompok sangat penting untuk menjalin ikatan antar anggota yang ada di dalamnya. Goldhaber mengemukakan pentingnya komunikasi dalam organisasi dan kelompok sebagai berikut: 37 “The lifeblood of the organization The glue that binds organization The oil that smooths the organization’s functions The thread that ties system together The force that pervade the organization The binding agents that cement all relationship” (Steven A. Beebe dan John T. Masterson. 1982. Communicating in Small group: principles and practices. Illinois: Scott, Foresman and Company Ltd. Hal 4) Olmsted, dalam bukunya yang berjudul “The Small Group” mengemukakan bahwa kelompok dibagi menjadi dua macam perspektif, yaitu: 1. Internal Perspektif internal memfokuskan diri pada kajian dinamika yang terjadi di dalam kelompok, seperti pola komunikasi, norma kelompok, pemecahan masalah dalam kelompok, peran keseluruhan aspek dalam menjaga keseimbangan hidup kelompok. Menurut perspektif internal, kelompok dibedakan menjadi 2 jenis: a. Kelompok Primer Kelompok ini merupakan kelompok yang paling personal dan dekat dengan kehidupan individu. Dalam kehidupan sehari-hari individu sangat bergantung pada kelompok primer sebagai bentuk sosialisasi paling dasar. Ciri-ciri kelompok primer adalah warm, intimate, “personal” ties(Olmsted, 1959). Kelompok primer misalnya keluarga, kelompok persahabatan, kelompok persaudaraan. b. Kelompok Sekunder Kelompok ini merupakan yang memiliki ciri-ciri kebalikan dari kelompok primer, yaitu cool, impersonal, rational, contractual, formal (Olmsted 38 1959). Kelompok sekunder biasanya bersifat professional dan mengesampingkan sisi personal, misalnya perusahaan. 2. Eksternal Perspektif eksternal merupakan sebuah perspektif yang memfokuskan diri pada peran sebuah kelompok, baik dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat. Perspektif ini lebih menekankan pada aktualisasi kelompok tersebut di lingkungan luar. Terdapat beberapa pengertian mengenai komunikasi kelompok yagn disampaikan oleh para ahli, akan tetapi semua pengertian itu berujung pada satu pemikiran. Komunikasi kelompok terjadi dalam suatu kelompok kecil dan mengamati interaksi yang terjadi antar anggota kelompok. Komunikasi kelompok adalah suatu proses dimana tiga orang atau lebih saling bertukar informasi untuk mencapai kebersamaan pengertian satu sama lainnya dalam situasi dimana mereka berkomunikasi. Menurut Kincaid dan Rogers (1981:256), komunikasi kelompok didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konferensi, dan sebagainya. Komunikasi kelompok mengacu pada fokus pertukaran informasi verbal dan non-verbal di antara anggota kelompok. Sebagai anggota, mereka terlibat dalam komunikasi kelompok kecil dalam membuat, memahami penafsiran, dan merespon pesan. Goldberg dan Larson (2011:15), menyatakan bahwa komunikasi kelompok memiliki lingkup yang lebih kecil dibandingkan komunikasi organisasi. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa komunikasi kelompok lebih bersifat interpersonal antara satu dengan lainnya sehingga dalam proses komunikasinya cenderung terjadi sebagai berikut: a. Komunikasi dalam komunikasi kelompok bersifat homogen b. Dalam komunikasi kelompok terjadi kesempatan dalam melakukan tindakan pada saat itu juga 39 c. Arus balik di dalam komunikasi kelompok terjadi secara langsung, karena komunikator dapat mengetahui reaksi komunikan pada saat komunikasi sedang berlangsung. d. Pesan yang diterima dapat bersifat rasional dan bersifat emosional e. Komunikator dapat mengetahui dan mengenal komunikan. 6.2 Komunikasi Kelompok di dalam Fandom Fandom pada dasarnya adalah sebuah kelompok kecil dimana terdapat komunikasi yang terjalin di dalamnya. Komunikasi yang terjalin antar anggota di dalam fandom untuk memberikan informasi dan mempengaruhi keputusan baik individu dalam meningkatkan keinginan mereka menjadi bagian dalam sebuah kelompok yang memiliki kecintaan dan tujuan yang sama. Kebutuhan bersama tersebut akan menimbulkan rasa memiliki dari para anggotanya terhadap kelompok tersebut. Hal semacam itu dapat dilihat dari hal-hal berikut ini: a. Adanya loyalitas dari para anggota terhadap anggota lainnya b. Adanya loyalitas para anggota terhadap kelompoknya c. Kesediaan berkorban secara ikhlas dari para anggota baik secara moril maupun materiil demi kelangsungan hidup kelompoknya. Fandom termasuk dalam kategori kelompok primer. Seorang ahli, Charles Horton Cooley (1909), berpendapat bahwa kelompok primer ditandai dengan ciri-ciri keakraban komunikasi antar personal anggotanya di dalam kelompok tersebut, serta memiliki ikatan emosional yang kuat. Jalaludin (2005:142-143) mengidentifikasikan karakteristik komunikasi dalam kelompok primer, sebagai berikut: a. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Anggota kelompok berkomunikasi dengan sesame anggota, sehingga dapat memberikan gambaran tentang kepribadian mereka masing-masing. 40 Dalam karakteristik ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan antar anggota dalam berkomunikasi dengan anggota lainnya. b. Komunikasi yang berlangsung bersifat personal, sehingga setiap anggotanya memandang anggota lainnya sebagai sebuah personal. Hal ini mengakibatkan akan terdapat perbedaan perilaku dari satu anggota terhadap anggota lainnya. Kehadiran anggota satu dengan anggota lainnya akan memberikan perbedaan makna. c. Komunikasi lebih menekankan aspek hubungan daripada isi pembicaraan. Hubungan anggota satu dengan lainnya merupakan hubungan komunikasi interpersonal yang lebih mengedepankan hubungan daripada isi pembicaraan atau komunikasi mereka. Hal ini bertujuan untuk membina hubungan baik antar individu yang melakukan komunikasi. Dalam kondisi tertentu isi komunikasi bukanlah sesuatu yang penting, akan tetapi komunikasi dilakukan untuk menjaga hubungan baik saja. d. Ekspresif dan informal. Maksudnya adalah daam kelompok primer, berkomunikasi memberikan kebebasan pada individu untuk mengekspresikan diri mereka secara personal. Ekspresi melibatkan persaan yang ditunjukkan secara personal melalui hubungan emosional. Hal ini sangat mungkin terjadi karena hubungan bersifat personal yang menjadikan masing-masing anggota membangun kedekatan satu sama lainnya. Informal berarti santai dan tidak kaku. Setiap anggota dalam komunitas membutuhkan komunikasi dengan orang lain untuk saling mengenal satu sama lainnya. Tidak hanya untuk bertukar informasi mengenai idola atau gosip terbaru yang ada di dalam komunitasnya, tetapi juga untuk saling mengakrabkan diri satu sama lain. Hal ini dapat mewujudkan suatu relasi yang kuat antar sesama anggota di dalam komunitas tersebut. 41 Menurut Maslow (dalam Meadow, 1991) manusia memiliki kebutuhan dasar dan salah satunya adalah rasa memiliki. Di dalam komunitas (fandom) jika tidak ada komunikasi atau interaksi yang terjadi, antar anggotanya tidak akan ada rasa untuk saling memiliki. Sehingga hal itu berakibat pada perpecahan dan tidak akan menjadi suatu komunitas (fandom) yang kompak. Komunikasi interpersonal menjadi penting untuk itu karena setiap orang ingin dianggap dimiliki atau memiliki orang lain, terutama di dalam sebuah komunitas (fandom). Rasa memiliki di dalam komunitas (fandom) bisa berpengaruh pada terciptanya relasi gender yang sama. Dengan demikian, komunikasi interpersonal merupakan faktor yang sangat penting dalam membangun sebuah relasi gender di dalam komunitas (fandom). E. Kerangka Konsep Relasi gender merupakan hubungan yang terjadi di masyarakat dengan mengacu pada peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dibedakan antara maskulinitas dan feminitas (Nugroho, 2008). Relasi gender adalah akibat dari konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat (Nugroho, 2008). Dalam relasi gender di dalam kelompok gender tertentu, ada gender yang berada di atas (dominan), didominasi, dan yang setara. Di dalam masyarakat patriarki, laki-laki sebagai gender yang mendominasi, sedangkan perempuan menjadi gender yang terdominasi (subordinat) oleh laki-laki. Relasi yang tidak setara dan lebih bersifat dominasisubordinasi tersebut pada akhirnya memberikan celah bagi terciptanya kekerasan yang dialami oleh perempuan baik dalam bentuk fisik, psikis, maupun ekonomi. Relasi gender adalah sebuah hubungan yang terjalin antara satu gender dengan gender yang lainnya. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa dalam suatu kelompok pasti ada salah satu gender yang dominan (berkuasa) dan satu gender lagi menjadi subordinat (didominasi) (Mansour, 1999). Mendominasi dan didominasi ini menjadikan sebuah permasalahan yang kompleks, dimana pada dasarnya setiap 42 manusia memiliki hak dan kedudukan yang sama di dalam kelompoknya. Tak pelak dari masalah tersebut, dalam komunitas pun mengalami hal yang sama. Banyak permasalahan yang mungkin terjadi karena perbedaan pandangan antara dua gender (laki-laki dan perempuan), yang lain karena kekuasaan. Biasanya laki-laki lebih mendominasi terhadap perempuan, sehingga pertentangan, perbedaan pendapat, dan rasa didominasi biasa untuk muncul dalam komunitas tersebut. Di dalam komunitas, relasi sangat dibutuhkan apalagi untuk menjembatani antara laki-laki dan perempuan. Biasanya laki-laki yang terlalu berkuasa tidak suka jika ada pertentangan dari kelompok lain terutama perempuan. Beberapa masalah yang timbul bisa karena adanya pandangan beda gender tersebut. Gender, seperti yang kita ketahui, masih menjadi masalah yang belum juga menemukan titik temunya. Masyarakat memandang gender laki-laki lebih kuat daripda gender perempuan, karena pandangan gender itu hanya menurut pandangan fisiknya saja, bukan pada konstruksi gender yang dibentuk oleh lingkungan di mana dia tinggal. JKT48 Jogja Fans (JJF) merupakan sebuah komunitas di Yogyakarta yang mengagumi kelompok grup idola JKT48. Anggota di dalamnya bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga perempuan. Seperti yang diketahui, JKT48 saat ini tidak hanya memiliki penggemar laki-laki, tetapi juga mempunyai banyak penggemar perempuan. Dalam JJF pun perempuan boleh bergabung selama memiliki ketertarikan yang sama terhadap JKT48 maupun 48family lainnya. Tergabungnya fans perempuan di dalam komunitas (fandom) yang notabene merupakan fandom untuk laki-laki, karena 48family termasuk JKT48 kesemua anggotanya adalah perempuan, memiliki potensi untuk terjadi kesenjangan gender di dalamnya. Fans laki-laki biasanya merasa lebih berhak dan berkuasa di dalam komunitas tersebut. Sedangkan, fans perempuan merasa terdominasi dan akhirnya hanya akan menjadi anggota pasif di dalam komunitas tersebut. Ketimpangan dan kesenjangan gender akan terjadi dalam komunitas JJF apabila fans laki-laki bertindak seperti penguasa terhadap fans perempuan. Di dalam komunitas, seharusnya para penggemar harus saling mendukung satu sama lainnya 43 untuk memperkuat hubungan mereka di dalam komunitas. Komunitas juga akan semakin solid jika diantara anggotanya tidak ada yang merasa berkuasa karena status gender yang lebih kuat, ataupun merasa tersubordinat karena status gender yang lebih lemah. Komunikasi interpersonal menjadi salah satu faktor penting di dalam mewujudkan kebersamaan anggota komunitas tersebut. Kesenjangan gender di dalam JJF dapat dikurangin dengan adanya komunikasi yang terjalin diantara anggota di dalam JJF. Dengan adanya komunikasi akan membentuk rasa saling memiliki karena diantara mereka pasti akan saling menganl satu sama lainnya. Sehingga relasi gender yang seimbang dan tanpa ada lagi pembedaan dalam hal gender dapat terwujud. Oleh karena itu, peneliti lebih menekankan pada penelitian relasi gender di dalam komunitas dengan menggunakan pendekatan feminismedan memasukkan konsep komunikasi interpersonal di dalamnya untuk menunjang teori komunikasi yang digunakan. Feminisme dipilih karena menurut peneliti pendekatan ini yang lebih cocok untuk meneliti tentang gender dan relasinya, baik di lingkup yang kecil, yaitu komunitas, maupun lingkup yang lebih luas, yaitu masyarakat. Sedangkan konsep komunikasi interpersonal dipilih karena konsep ini tepat untuk mempelajari interaksi yang ada di dalam komunitas (fandom) JKT48 Jogja Fans tersebut. Komunikasi interpersonal lebih memperlihatkan komunikasi antara dua orang atau lebih di dalam sebuah kelompok kecil, dan komunikasi ini sangat cocok untuk memperlihatkan seberapa dekat anggota di dalam komunitas (fandom) JKT48 Jogja Fans saling mengenal, terutama anggota laki-laki dengan anggota perempuannya. F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini bertujuan untuk meneliti riset yang menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa 44 ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati (Bogdan & Taylor, 1992: 21-22). Pendekatan kualitatif ini diharapkan mampu menghasilkan penjelasan yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Metode penelitian merupakan faktor yang penting dalam proses penelitian, tanpa adanya metodologi maka data penelitian tidak akan dapat dihasilkan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode etnografi. Etnografi dipahami sebagai suatu studi tentang manusia dalam setting kejadian secara alami dengan separangkat metode dalam menangkap makna sosial dan kegiatan sehari-hari mereka, melibatkan penliti dalam partisipasi langsung dalam setting atau kegiatan tertentu, dalam rangka mengumpulkandata secara sistematis tetapi tanpa makna yang dipaksakan secara eksternal kepada mereka (Brewer, 2000:10). Barker (2000:29) mengatakan bahwa studi kultural terpusat pada 3 macam pendekatan: a. Etnografi, yang seringkali dikaitkan dengan pendekatan kulturalis dan lebih menekankan pada pengalaman nyata. b. Tekstual, yang cenderung memanfaatkan semiotika, pasca strukturalisme dan dekonstruksi. c. Studi resepsi, yang akar teoritisnya bersifat ekletis. Studi kultural etnografi terpusat pada eksplorasi kualitatif atas nilai dan makna dalam konteks hidup secara keseluruhan, dengan masalah-masalah kebudayaan, duniakehidupan, dan identitas (Barker, 2000:30). Studi etnografi merupakan salah satu bentuk kerja lapangan (fieldwork) yang memposisikan peneliti menjadi bagian dari riset. Peneliti harus terjun langsung bahkan menjadi bagian dari kelompok budaya yang sedang dipelajarinya. Proses kerja lapangan tidak dimaksudkan untuk menjelaskan objektivitas dan menghasilkan kesimpulan yang dapat digeneralisasikan., tetapi lebih pada suatu usaha untuk mengkomunikasikan kebenaran-kebenaran ataupun dasar pemikiran para pelaku 45 kebudayaan. Hasil akhir studi etnografi bukan bukan penulisan kembali hasil penelitian lapangan, akan tetapi merupakan refleksi, pengujian dan argumen tentang pengalaman yang dibuat dari sudut pandang tertentu (Blasco & Wardle, 2007:9). 2. Informan Penelitian Dalam penelitian ini informan merupakan sumber atau pelaku fenomena. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, informan adalah orang yang memberikan informasi, atau orang yang menjadi sumber data di peneleitian (narasumber). Informan dalam penelitian ini, dengan mengambil pengertian di atas, informan adalah fans JKT48 yang tergabung dalam komunitas JKT48 Jogja Fans Club. Hal ini dilakukan guna mendapatkan latar belakang yang beragam dan kemudahan akses peneliti. Sedangkan yang menjadi objek penelitian adalah permasalahan gender yang terjadi di dalam JKT48 Jogja Fans Club. Dalam penelitian ini setidaknya akan diambil lima orang untuk menjadi informan. Kelimanya akan mewakili dari masing-masing gender dengan karakteristik dan latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi usia, latar belakang pendidikan, lama tergabung dalam JKT48 Jogja Fans, serta demografis atau tempat tinggalnya. 3. Sumber Data Ada dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer merupakan sumber data utama yang akan digunakan sebagai acuan dalam menganalisis data yang didapat. Data primer dalam penelitian ini berasal dari wawancara kepada responden penelitian dan juga dari obeservasi atau pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di dalam komunitas tersebut. Kedua cara itu dipilih karena dinilai sangat cocok dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Wawancara dan observasi secara langsung akan 46 membantu peneliti dalam mendapatkan data utama yang nantinya dianalisis dan dikaji sesuai dengan teori dan konsep yang digunakan. Data sekunder merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung dan menambah analisis data primer. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari dokumen dan artikel yang ada, baik secara cetak maupun artikel dalam media online. Kedua sumber data tersebut digunakan untuk menunjang data dalam penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Ada dua cara yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a. Interview (Wawancara) Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan interview guide, namun adanya interview guide tidak membatasi peneliti dalam menggali informasi. Interview guide hanya digunakan sebagai panduan sehingga pertanyaanpertanyaan yang diajukan pun tidak harus urut sesuai susunan pertanyaan dalam interview guide. Wawancara pun dilakuakan dalam dua jenis, yakni bertemu langsung (face-to-face) dan secara online. Saat melakukan online interview, peneliti memanfaatkan media sosial seperti twitter, facebook, dan instant message (IM) lainnya sebagai media wawancara. Dalam penelitian ini, sebagai narasumber wawancara adalah ketua dari komunitas JKT48 Jogja Fans, ketua dari JKT48 Jogja Girl Fans, dan beberapa anggota dari kedua fandom tersebut. Hal ini untuk mengetahui bagaimana peran serta komunikasi yang tercipta antara fans laki-laki dan fans perempuan JKT48 sebagai bentuk dari relasi gender. b. Observasi Langsung Teknik ini merupakan pengambilan data berdasarkan pengamatan secara langsung yang dilakukan oleh peneliti. Observasi langsung dilakukan untuk menunjang data yang dihasilkan melalui wawancara kepada responden. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2013) 47 ada beberapa alasan observasi dilakukan dan dimanfaatkan oleh penelitian kualitatif. Pertama, pengamatan dilakukan secara langsung. Kedua, pencatatan pengamatan perilaku dan kejadian dilakukan saat itu juga. Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan langsung yang diperoleh dari data. Keempat, adanya keraguan dari peneliti terhadap data wawancara. Hal ini biasanya terjadi karena kurang dapat mengingat hasil wawancara, adanya jarak antara peneliti dengan yang diwawancarai, ataupun karena emosi dari peneliti sendiri. Kelima, teknik pengamatan memungkinkan peneliti untuk mampu memahami situasi-situasi yang rumit. Keenam, dalamkasus-kasus tertentupengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat dibandingkan dengan teknik komunikasi lainnya. Observasi ini pada dasarnya merupakan pengamatan secara langsung, dimana peneliti terlibat di dalam fandom atau komunitas secara langsung serta mengamati segala bentuk aktivitas dan interaksi yang terjadi diantara para fans, terutama antara fans laki-laki dengan fans perempuan. 5. Teknik Analisis Data Dalam penelitian etnografi, analisis data dilakukan sejak peneliti melakukan aktifitas lapangan, yaitu bersamaan dengan tahap pengumpulan data. Data-data penelitian yang telah terkumpul nantinya akan ditranskrip menjadi data berupa teks maupun gambar yang mampu memaparkan sebuah pernyataan. Proses pengumpulan data yang ada juga akan menentukan apakah data yang di dapat dari sebuah subjek dapat untuk digunakan atau tidak. Data-data yang didapat tersebut, nantinya akan dianalisis kembali melualu tingkat authenticity dan triangulasi. Kedua komponen tersebut nantinya akan menganalisis kelayakan data-data yang didapat melalui tahapan penelitian. Authenticity sendiri merupakan tingkat perluasan konstruksi personal yang diungkapkan oleh subjek, sehingga data yang didapat nantinya menjadi 48 layak dan memberikan kemudahan dalam melakukan pemahaman yang mendalam (Kriyantono, 2006:70). Triangulasi sendiri digunakan untuk menganalisa jawaban subjek dengan data empiris (sumber data lain) yang tersedia (Kriyantono, 2006). teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi metode. Triangulasi merupakan metode sendiri untuk mengecek keabsahan data, dengan menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data yang sama (Dwijowinoto dalam Kriyantono, 2006:71). Pada penelitian ini metode wawancara yang digunakan dan observasi menjadi triangulasi yang mampu menganalisis keabsahan data. Sebelum hasil analisis data diinterpretasi maka data-data tersebut akan diklasifikasikan terlebih dahulu. Hal tersebut untuk memudahkan proses interpretasi data dan menggolongkan data-data tersebut sesuai dengan hasil teknik analisis data yang telah dikelompokan sesuai dengan kelayakannya, seperti latar belakang penggunaan media, alat rekam yang digunakan, latar belakang sosiodemograf, dan lain-lain. Data yang diklasifikasikan kemudian diinterpretasi melalui teori yang timbul dari latar belakang informan yang memproduksi data tersebut. Dari sini dapat diketahui relasi yang tercipta, serta perilaku dan komunikasi yang terjadi antar anggota di dalam fandom JKT48 Jogja Fans. Tanggapan-tanggapan dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti melalui wawancara, ditranskrip dan hasil observasi akan diinterpretasi menggunakan teori yang telah ditetapkan di awal. Baik itu berupa kritikan yang berlawanan dengan pandangan peneliti maupun persamaan pendapat yang diasumsikan oleh peneliti pada awal penelitian. 49