BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan gender bukan permasalahan baru yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini sangat kentara di dalam
pembagian posisi ataupun kegiatannya di dalam kehidupan. Laki-laki cenderung
memiliki posisi dan kegiatan yang berbau maskulin, sedangkan perempuan mengarah
pada posisi dan kegiatan yang mencitrakan kefemininan. Bukan hanya itu saja, status
sosial yang mereka sandang juga berbeda. Laki-laki cenderung dianggap mempunyai
status sosial yang tinggi, sedangkan perempuan dipandang rendah. Perbedaan inilah
yang menjadi masalah utama dari munculnya ketidakadilan gender di dalam
masyarakat.
Gender berbeda dengan jenis kelamin. Menurut Baron dan Byrne (2004),
menjelaskan bahwa gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan
jenis kelamin individu, termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan, dan atribut lain
yang mendefinisikan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam
kebudayaan yang ada. Jenis kelamin lebih didefinisikan sebagai istilah biologis
berdasarkan anatomi dan fisik antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan yang
dibawa oleh gender juga lebih rumit dibandingkan dengan jenis kelamin. Gender
menekankan pada identitas diri yang tercipta dan merupakan bagian dari suatu konsep
diri dalam label sebagai “laki-laki” atau “perempuan” (Baron dan Byrne, 2004:188).
Di dalam sebuah komunitas (fandom) juga tak pelak dari permasalahan
gender. Posisi perempuan di dalam komunitas terlihat sama saja dengan posisinya di
dalam masyarakat. Masyarakat memang merupakan sebuah komunitas akan tetapi
dalam lingkup yang besar. Fandomlebih mengarah kepada suatu komunitas khusus
yang berisi para penggemar (fans) yang menggemari sesuatu atau seseorang yang
terkenal, seperti grup band, grup idola, penyanyi, atau artis sekalipun (Storey, 2006).
Fandom lahir karena pengaruh perkembangan budaya populer dari Jepang, yang
14
kemudian dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, terutama kalangan remaja. Fandom
sendiri(fan- kependekan dari fanatic dan akhiran –dom, seperti pada kata kingdom,
freedom, dan lain-lain) merupakan sebuah istilah untuk merujuk suatu subkultur yang
dibentuk oleh para penggemar berdasarkan rasa simpati dan persahabatan karena
memiliki suatu ketertarikan terhadap satu hal yang sama dengan penggemar yang
lainnya (Jenkins, 2006). Para penggemar biasanya lebih tertarik pada hal-hal yang
detil terhadap sesuatu yang mereka sukai, dan mereka bisa menghabiskan waktu
mereka berada dalam fandom tersebut untuk mendapatkan atau saling bertukar
informasi tentang sesuatu yang mereka gemari tersebut.
Permasalahan gender yang terjadi dalam fandom juga tidak hanya dari posisi
fans perempuan di mata fans laki-lakinya, tetapi juga mengarah pada fandom itu
sendiri. Fandom cenderung memiliki minat tersendiri dalam pembentukannya,
sehingga para anggota dari fandom tersebut juga memiliki minat yang sama dengan
tujuan dari pembentukan fandom. Fandom juga seperti memiliki gender sendiri. Jika
minat mereka kepada idola yang berjenis kelamin laki-laki maka secara otomatis para
penggemar di dalam fandom tersebut adalah perempuan, sebaliknya jika minat
kepada idola yang berjenis kelamin perempuan maka secara otomatis para
penggemarnya adalah laki-laki. Hal inilah yang terjadi di dalam fandom JKT48. Ada
penggolongan khusus di mata masyarakat tentang fandom JKT48, dimana memang
banyak sekali penggemar laki-laki, sehingga tercipta label bahwa semua fans JKT48
adalah laki-laki dan perempuan yang ada di dalam situ adalah sesuatu yang “aneh”.
Bahkan posisi fans perempuan di dalam sebuah fandomjuga bisa berpengaruh dalam
membuat pandangan terhadap fans perempuan itu oleh masyarakat. JKT48 sendiri
merupakan grup idola pertama yang ada di Indonesia, dan juga sister group pertama
dari AKB48 yang berasal dari luar Jepang.
JKT48 Jogja Fans merupakan salah satu dari sekian banyak fandom regional
JKT48 yang ada di Indonesia. Fandom ini berbasis di kota Yogyakarta dan seperti
fandom regional lainnya para anggota di dalamnya kebanyakan laki-laki. Namun, di
dalam fandomini ada juga fans perempuannya. Bukan merupakan pemandangan yang
15
biasa, karena kebanyakan fandom dari JKT48 memang dipenuhi oleh laki-laki.
Bahkan setiap teater yang JKT48 lakukan kebanyakan yang menonton adalah lakilaki.
Seperti yang sudah banyak diketahui orang, fans JKT48 sebagian besar adalah
laki-laki. Masyarakat umum melihat bahwa setiap konser JKT48 selalu dipenuhi oleh
fans laki-laki dari berbagai daerah. Bukan hanya waktu konser, tetapi juga disetiap
kegiatan yang dilakukan oleh JKT48 juga dipenuhi oleh fans laki-laki, seperti waktu
pembuatan video klip single terbaru JKT48 yang berjudul “Fortune Cookies in Love”
yang melibatkan fans dari JKT48 dan kebanyakan adalah laki-laki. Jadi tidak heran
jika banyak perempuan yang mungkin tidak suka dengan kehadiran JKT48. Tapi
ternyata pada kenyataannya, saat ini fans dari JKT48 bukan hanya laki-laki saja,
tetapi juga perempuan. Terbukti dengan diadakannya teater khusus untuk perempuan
dan anak-anak di Theater Show JKT48 di Mall FX, Jakarta. Mungkin memang
terdengar aneh jika ada yang mengetahui perempuan menyukai atau menggemari
JKT48, yang seluruh member atau personilnya adalah perempuan juga.
Hal tersebut memicu peneliti untuk melakukan penelitian tentang fans
perempuan dari grup idola JKT48. Hal tersebut juga mengacu pada adanya masalah
perbedaan gender yang memberikan citra bahwa perempuan tidak berhak dan tidak
boleh menyukai idola yang sama-sama perempuan, sebab itu akan menjadi
“keanehan” di mata masayarakat umum, terutama dikalangan perempuan sendiri.
Mereka, para perempuan yang menyukai atau menggemari JKT48, akan dipandang
“aneh” karena akan dianggap menyukai sesama jenis, baik oleh kaum laki-laki
ataupun kaum perempuan lainnya. Di sisi lain, hal itu juga bertentangan dengan hak
yang dimiliki oleh setiap perempuan. Pandangan seperti itulah yang memicu
munculnya stereotipe tentang perempuan penggemar JKT48. Mereka dianggap
menyalahi kodrat mereka sebagai seorang perempuan yang seharusnya menggemari
grup-grup atau artis yang berlawanan jenis. Perempuan yang menjadi penggemar atau
fans JKT48 seperti menjadi sesuatu yang tabu di kalangan masyarakat.
16
Di dalam komunitas JKT48 Jogja Fans Club, fans perempuan jarang
mendapat kesempatan untuk ikut aktif di dalam komunitas. Fans perempuan lebih
banyak hanya mengikuti apa yang sudah dihasilkan dari sebuah diskusi, yang
keputusannya diambil oleh fans laki-laki. Fans perempuan dianggap tidak sejajar
dengan fans laki-laki yang tingkat idolling-nya lebih tinggi. Anggapan-anggapan
seperti inilah yang membentuk suatu stereotipe terhadap fans perempuan dari JKT48.
Ketidakadilan gender sangat terlihat dari pandangan stereotipe itu. Kesan bahwa fans
perempuan itu tidak boleh atau tidak patut menggemari JKT48 semakin terbentuk.
Pikiran bahwa fans JKT48 hanyalah laki-laki semakin terpatri di dalam pikiran
masyarakat.
Pengaruh besarnya fanatisme juga menjadi suatu isu yang sering terjadi di
dalam sebuah fandom. Besarnya fanatisme antara anggota satu dengan anggota
lainnya di dalam sebuah fandom juga berbeda. Sikap fanatik inilah yang juga
menjadikan jarak antara fans laki-laki dengan fans perempuan di dalam JKT48 Jogja
Fans. Fans laki-laki sangat fanatik dalam mendukung idola mereka di JKT48.
Mereka bisa melakukan apa saja untuk mendukung idola mereka masing-masing.
Berbeda dengan fans perempuan, mereka lebih mendukung dengan cara yang normalnormal saja, tidak bertindak fanatik maupun keras dalam mendukung idolanya di
JKT48.
Fanatisme yang ditunjukkan oleh fans laki-laki lebih banyak saat melihat
konser yang dilakukan oleh JKT48, baik itu di teater maupun konser di luar teater
mereka. Mereka biasa melakukan chanting1, wotagei2, bahkan mengikuti gerak koreo
dari lagu yang dibawakan oleh JKT48. Selain itu, mereka juga banyak menghabiskan
uang untuk membeli berbagai macam merchandise, cd album maupun single terbaru
dari JKT48, dan juga pernak-pernik lainnya baik itu dibuat oleh Official JKT48 atau
fanmade buatan fans yang lainnya.
1
2
Chanting merupakan teriakan penyemangat yang diteriakan fans kepada idolanya.
Wotagei merupakan gerak tarian yang dilakukan fans menggunakan lightstick
17
Penelitian tentang gender memang belum banyak mendapat perhatian,
khususnya permasalahan gender di dalam sebuahfandom. Sikap fanatik yang
ditunjukkan oleh fans laki-laki bisa menjadi pemicu munculnya masalah gender di
dalam fandom. Penelitian gender pada umumnya membahas tentang posisi
perempuan di dalam sebuah panggung politik, ekonomi, atau kehidupan
kemasyarakatan. Di dalam dunia ilmu komunikasi, penelitian tentang gender lebih
banyak menekankan pada bias gender dalam film, iklan, ataupun media massa
lainnya. Untuk itulah peneliti membahas gender di dalam sebuah komunitas agar
wawasan dan pengetahuan tentang permasalahan gender semakin luas.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana relasi gender yang tercipta antara fans perempuan JKT48 dan fans lakilaki JKT48 di dalam komunitas (fandom) JKT48 di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui relasi gender di dalam komunitas JKT48 di
Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui bentuk partisipasi fans perempuan JKT48 di dalam
komunitas.
3. Untuk
mengetahui
seberapa
besar
peran
gender
mempengaruhi
keberadaan fans perempuan JKT48 di dalam komunitas
D. Kerangka Pemikiran
1.
Perbedaan Konsep Gender dan Jenis Kelamin (Sex)
Gender dan jenis kelamin (seks) merupakan dua konsep yang berbeda, namun
kerap disalahartikan sebagai konsep yang sama. Perbedaan penggunaan kata
“gender” dan “seks” lebih menekankan bahwa perbedaan antara laki-laki dan
perempuan muncul lebih luas dari kultur daripada sumber biologis. Kata-kata
“keperempuan-perempuanan” atau “kelaki-lakian” maupun kata “maskulin” dan
18
kata “feminin” kepada seseoarang tidak merujuk pada makna yang bersumber
pada seks (jenis kelamin), tapi lebih diartikan secara kultural. Jadi untuk
memahami apa itu gender, perlu terlebih dahulu memahami perbedaannya dengan
“seks” itu sendiri.
Pandangan yang kurang benar dari dua konsep tersebut sering kali
menimbulkan adanya ketidakadilan gender. Hal ini dikarenakan sebab-sebab dan
bentuk-bentuk ketidakadilan dianggap sebagai hal yang wajar. Perbedaan gender
dianggap sebagai hasil dari adanya perbedaan antara laki-laki dan peremouan
secara natural. Padahal, sifat-sifat yang dibentuk oleh lingkungan dan kultural
bisa dpertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Pertukaran sifat laki-laki dan
perempuan tersebut bisa berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat
lain, atau bahkan dari suatu kelas masyarakat ke kelas lain yang berbeda.
Seks dan gender mempunyai dua makna yang sama yaitu “jenis kelamin”,
tetapi secara mendasar keduanya berbeda. Jenis kelamin(sex) merupakan
pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada
kelamin tertentu secara permanen, perbedaannya sama seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, yang mengambil bentuk laki-laki dan perempuan. Gender
lebih merupakan suatu sifat yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural,
sehingga tercipta sifat maskulin dan feminine dalam diri laki-laki ataupun
perempuan. Dalam pemaknaan yang lebih luas gender dapat diartikan sebagai
perangkat nilai, harapan, keyakinan dan seringkali stereotipe yang seharusnya
diperankan oleh laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosialnya. Oleh karena
itu, kita harus memahami terlebih dahulu secara rinci tetang gender dan jenis
kelamin (sex).
1.1
Konsep Gender Dipengaruhi oleh Faktor Budaya (Nurture)
Gender, dalam kamus Inggris-Inggris Oxford didefinisikan sebagai
kata benda.
19
Dalam The concise Oxford Dictionary of Current English (1990), gender
didefinisikan sebagai berikut.
n. I. a. the grammatical classification of nouns and related words,
roughly corresponding to the two sexes and the sexlessness. b. each of
the class of the nouns (see MASCULINE, FEMININE, NEUTER,
COMMON adj. 6). 2. (of) nouns and related words) the property of
belonging to such a class. 3. Colloq. a person’s sex.
Mansour Fakih (2003:7) menyebutkan bahwa definisi gender dalam
bahasa Indonesia masih mengikuti definisi gender dalam bahasa Inggris
yang tidak membedakan secara jelas pengertian gender dan sex. Fakih
berpendapat bahwa belum ada uraian yang secara singkat dan jelas
mampu menjelaskan konsep gender dan mengapa konsep tersebut penting
untuk memahami ketidakadilan sosial (Fakih, 2003:7).
Pendapat tersebut dapat diterima karena memang konsep gender
sendiri sangat susah untuk didefinisikan dan senantiasa mengalami
perubahan terus menerus. Konsep tentang gender sendiri berubah-ubha
seiring dengan perkembangan feminism itu sendiri. Kaum feminis
awalnya melihat gender sebagai sebuah realitas yang tetap dan tidak
berubah-ubah. Gender dilihat sebagai suatu kualitas yang dimiliki oleh
kedua jenis kelamin sejak awal lahirnya. Artinya gender mempunyai
makna yang berkorespondensi dengan jenis kelamin (sex).
Kaum feminis yang mengkritik media massa pada umumnya masih
memakai pandangan gender sebagai realitas. Isu yang menjadi perhatian
utama kaum feminis ini adalah isu tentang “distorsi” (van Zoonen,
1999:30). Kaum feminis mempermasalahkan pencitraan perempuan yang
seringkali merugikan kepentingan kaum perempuan. Perempuan sering
digambarkan hanya dalam wilayah domestik sedangkan perempuan yang
20
berada dalam sektor public selalu digambarkan negatif. Kaum feminis
melihat bahwa media massa telah mengaburkan realitas tentang
perempuan. Pandangan diatas mempunyai kelemahan pada asumsinya
yang mengatakan bahwa gender adalah sebuah realitas (van Zoonen
1999:31). Dengan mengatakan bahwa media massa telah mengaburkan
realitas tentang perempuan, maka dapat diartikan bahwa sesunguhnya ada
realitas perempuan yang sebenarnya.
Pada masyarakat umum, persepsi tentang perempuan mungkin hanya
sebatas pada jenis kelamin dan cirri-ciri fisiknya saja, tetapi pada
kenyataannya berkembang berbagai bentuk “kualitas keperempuanan”
yang tidak berhubungan dengan jenis kelamin perempuan. Sebagai contoh
kaum lesbian, queer, dan transeksual. Selain itu ada juga kaum laki-laki
yang lebih feminin daripada kaum perempuan.
Van Zoonen (1999:40) memberikan pemahaman gender sebagai suatu
wacana, yakni seperangkat deskripsi dan preskripsi tentang perbedaan
jenis kelamin yang sering kali tumpang tindih dan kontradiktif. Gender,
sebagai wacana, dibentuk oelh berbagai macam praktik sosial dan wacana
lain yang berhubungan. Oleh karena itu pemaknaan gender akan berlainan
antara satu tempat dengan tempat lainnya , sesuai dengan konteks sosial
historis masing-masing tempat tersebut. Dengan kata lain, gender akan
dimaknai dengan bukan lagi sebagai kualitas individu yang tetap
melainkan sebagai bagian dari proses dimana individu sebagai subyek
dibentuk secara terus menerus, bahkan dalam cara yang paradoks (van
Zoonen, 1999: 33).
Mansour Fakih berpendapat bahwa gender sendiri lebih diartikan
kepada suatu sifat yang melekat pada kamu laki-laki maupun perempuan
dan dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Laki-laki dianggap
sebagai makhluk yang kuat, jantan, dan perkasa. Sedangkan perempuan,
sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan.
21
Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan peran,
kedudukan dan sifat
yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun
perempuan melaui konstruksi secara sosial maupun kultural (Nurhaeni,
2009). Sedangkan menurut Oakley (1972) dalam Fakih (1999), gender
adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan
bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh
manusia melalui
proses sosial dan kultural. Lebih lanjut dikemukakan oleh Haspels dan
Suriyasarn (2005), gender adalah sebuah variabel sosial untuk
menganalisa perbedaan laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan
peran, tanggung jawab dan kebutuhan serta peluang dan hambatan.
Mereka yang berorientasi pada kebudayaan, menganggap bahwa
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan oleh
faktor biologis (nature), melainkan disebabkan karena adanya faktor
budaya. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologis, dan menjadi
terinstitusionalisasi. Institusi ini berfungsi sebagai wadah sosialisasi,
dimana adat, norma-norma, serta kebiasaan yang berlaku diwariskan
secara turun-menurun. Akan tetapi, perbedaan peran yang kaku hanya
berlaku pada masyarakat tradisional yang perkembangan teknologinya
masih terbelakang.
Sebelum ada teknologi yang berkembang, tugas serta peran utama
perempuan adalah melahirkan, menyusui, dan segala aktivitas yang
berkaitan dengan pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Keadaan ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan peran yang
kemudian menjadi suatu norma yang berlaku di dalam masyarakat. Saat
ini, perkembangan teknologi semakin pesat, sehingga perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan dapat berubah. Perubahan tersebut bisa
menghilangkan kendala biologis yang menghambat kaum perempuan
22
untuk bekerja di sektor-sektor yang tadinya didominasi oleh kaum lakilaki.
Peran gender yang disebabkan oleh perbedaan biologis menjadi tidak
relevan, karena peran tersebut bisa digantikan dengan adanya teknologi
yang telah maju pesat. Hal ini semakin menguatkan bahwa perbedaan
gender bukan ditentukan oleh faktor biologis, tetapi karena pengaruh
sosial budaya di masyarakat.
Beberapa bukti dikemukakan oleh Friedl (dalam Megawangi, 1999),
adanya keterlibatan wanita dalam peperangan suku di Afrika Barat, dan
para wanita yang memegang tampuk kepemimpinan penting di beberapa
negara Asia Selatan. Serta, adanya bukti bahwa di beberapa negara Asia
Tenggara para wanita juga mempunyai kekuatan otot yang relatif sama
dengan pria karena para wanita mengerjakan hal yang sama dengan para
pria. Semuanya ini menjadi bukti bahwa perempuan dapat pula
mempunyai peran seperti laki-laki, dan ini dapat terwujud jika tradisi
budaya memang mendukung konsep gender yang seperti ini.
1.2
Perbedaan Alami Laki-laki dan Perempuan (Nature)
Seks atau jenis kelamin merupakan pembagian jenis kelamin manusia
secara biologis dan melekat pada salah satu jenis kelamin tertentu (dalam
Mansour Fakih). Konsep seks sendiri merujuk pada sifat laki-laki maupun
perempuan secara biologis. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan
menghasilkan sperma, sedangkan perempuan mempunyai rahim, saluran
melahirkan dan menyusui, serta menghasilkansel telur. Kondisi seperti
inilah yang dinamakan sebagai sebuah ketentuan biologis.
Charles Darwin (dalam Megawangi, 1990:95) dalam bukunya, The
Descent of Man, menuliskan bahwa “laki-laki berbeda dengan wanita
dalam hal ukuran, kekuatan tubuh,… dan seterusnya, juga dalam hal
23
pemikiran.” Darwin juga membuat analogi antara perbedaan jenis kelamin
pada manusia dan yang terdapat pada beberapa spesies mamalia.
Konsep jenis kelamin (sex) tidaklah serumit konsep gender, karena
pada dasarnya jenis kelamin (sex) hanya didasarkan pada perbedaan jenis
kelamin secara biologis, yang tidak dapat untuk diubah.
Pearson dkk (1995:6) mengatakan bahwa:
“sex refers to biological categories, male and female, determined by
the presence of XX chromosomes for females and an XY chromosomes
patterns for males. The chromosomes provide genetic information that
produces sex characteristic, such as the penis and the scortum in the
male and the clitoris and vagina in the female”.
2.
Relasi Gender: Antara Kesetaraan dan Ketimpangan Gender
Konsep gender yang dipahami oleh sebagian besar orang hanya dalam
konteks perempuan dan masalah keperempuanannya saja. Hal ini menjadikan
pemahaman gender menjadi sangat bias dan sangat sempit sebagai sebuah
konsep. Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin, dia tidak hanya
membiacarakan perempuan saja ataupun laki-laki saja, bukan juga konsep
tentang perbedaan biologis yang dimiliki oleh keduanya. Gender merupakan
perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan (dibentuk)
oleh masyarakat atau kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya dan
struktur sosial yang berbeda-beda di setiap daerah, suku, agama, dan negara.
Echols dan Shaadily (1976) memaknai gender sebagai jenis kelamin,
sedangkan Faqih (1999) memaknai gender sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.
Dengan begitu terlihat jelas bahwa pembedaan gender laki-laki dan
perempuan tidak hanya mengacu pada perbedaan biologisnya saja, tetapi juga
mencakup nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai
tersbetu nantinya yang akan menentukan peranan laki-laki dan perempuan
24
dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang di dalam bermasyarakat
(Kantor Men. UPW 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender
merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena
konstruksi sosial, dan bukan jenis kelaminnya. Gender dapat berubah dengan
sendirinya dari waktu ke waktu sesuai dengan konstruksi masyarakat yang
bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.
Memahami gender juga termasuk memahami relasi antara laki-laki
dan perempuan serta bagaimana relasi itu dibangun dan didukung oleh
masyarakat. Sama seperti halnya dengan konsep kelas, ras, suku, dan agama,
gender merupakan alat analisis untuk memahami relasi-reasi sosial antara
laki-laki dan perempuan. Sampai sekarang ini, hambatan bagi terwujudnya
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan lebih banyak disebabkan oleh
kesenjangan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh masyarakat.
Kerancuan yang disebabkan oleh perbedaan persepsi seks dalam konteks
sosial budaya dan status, serta peran yang melekat pada relasi laki-laki dan
perempuan pada akhirnya memberikan asumsi kepada masyarakat luas bahwa
perempuan
adalah
subordinat
laki-laki.
Kesenjangan
relasi
tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor sejarah, ekonomi, budaya, dan agama yang
mengakar kuat secara turun-temurun di dalam masyarakat.
Seiring
dengan
perkembangan
jaman,
semestinya
banyak
menyadarakan masyarakat bahwa asumsi yang muncul dan melekat pada
perempuan itu tidak selamanya benar, begitu juga sebaliknya terhadap lakilaki. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan berbagai kasus yang
memperlihatkan jika pandangan itu tidak selalu berlaku linier. Namun dalam
kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi laki-laki dan
perempuan banyak mengalami hambatan baik dari kalangan laki-laki, maupun
perempuan.
Fakih (1999) mengemukakan pendapat bahwa ada beberapa hal yang
menjadi
penolakan
dalam
menggunakan
25
analisis
gender.
Pertama,
mempertanyakan status perempuan identik dengan menggugat konsep-konspe
yang telah mapan. Kedua, adanya kesalahpahaman tentang mengapa
permasalahan kaum perempuan dipersoalkan. Ketida, diskursus tentang relasi
laki-laki dan perempuan pada dasarnya membahas hubungan kekuasaan yang
sangat pribadi, yang melibatkan pribadi masing-masing serta menyangkut
“hal-hal khusus” yang dinikmati oleh setiap individu.
Diskriminasi
terhadap
perempuan
yang
terus
terjadi
masih
menunjukkan bahwa pemahaman serta usaha-usaha untuk mewujudkan
kesetaraan gender masih banyak menemukan kendala. masih kuatnya budaya
patriarkis masih meposisikan perempuan pada stereotip, peran, dan posisi
yang termarginalkan. Padahal, relasi yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan dalam segala aspek kehidupan dapat mendorong percepatan proses
pembangunan yangdilandasi dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi tanpa
adanya imperioritas satu jenis kelamin di satu sisi dan superioritas jenis
kelamin di sisi lainnya.
Kesetaraan gender dalam tataran praksis selalu diartikan sebagai
kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami oleh perempuan. Istilah ini sering
dikaitkan dengan diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan,
perilaku tak adil, dan semacamnya. Keadaan-keadaan tersebut memang dapat
membangkitkan emosi, rasa kesal, dan memicu rasa simpati yang besar
kepada kaum perempuan. Konsep kesetaraan gender memang merupakan
suatu konsep yang sangat rumit dan kontroversial. Belum ada konsensus
mengenai apa yang disebut dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Ada yang berpendapat bahwa kesetaraan adalah kesetaraan hak dan
kewajiban, ada yang menyebutkan kesejajaran, akan tetapi masih belum jelas
arti dari konsep tersebut.
Relasi pada dasarnya adalah suatu hubungan antar manusia, dimana
relasi tersebut menentukan struktur masyarakat. Relasi didasarkan pada
komunikasi antar individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, dapat
26
disebutkan bahwa komunikasi merupakan dasar eksistensi suatu kelompok
masyarakat.Relasi merupakan hubungan interaksi yang terjadi antara dua
individu atau lebih dalam suatu proses perilaku. Di dalam ilmu sosial relasi
sosial
dikenal
sebagai
hubungan
sosial.
Proses
perilaku
tersebut
memperhitungkan reaksi perilaku yang akan diberikan oleh individu lain
sesuai dengan arti yang diinterpretasikan oleh masing-masing individu.
Dengan demikian, hubungan sosial yang terjadi berisikan kemungkinan
bahwa para individu yang terlibat memaknai arti sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan dahulu sebelumnya. Menurut Gillin dan Gillin, hubungan sosial
atau relasi sosial merupakan hubungan yang dinamis yang menyangkut
hubungan
antarindividu,
anatar
individu
dengan
kelompok,
dan
antarkelompok. Relasi juga merupakan bagian dari proses komunikasi antara
dua individu. Komunikasi yang berlangsung bisa berupa komunikasi verbal,
maupun non verbal.
Relasi atau hubungan dalam masyarakat ini, baik dalam bentuk
individu atau perorangan maupun dengan kelompok-kelompok dan antar
kelompok manusia itu sendiri mewujudkan segi dinamika perubahan dan
perkembangan masyarakat. Relasi yang tercipta tentu saja mempunyai nilainilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Relasi gender
merupakan hubungan yang terjadi di masyarakat dengan mengacu pada peran
dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dibedakan antara
maskulinitas dan feminitas.Relasi gender adalah akibat dari konstruksi sosial
yang ada di dalam masyarakat. Dalam relasi gender di dalam kelompok
gender tertentu, ada gender yang berada di atas (dominan), didominasi, dan
yang setara. Di dalam masyarakat patriarki, laki-laki sebagai gender yang
mendominasi, sedangkan perempuan menjadi gender yang terdominasi
(subordinat) oleh laki-laki. Relasi yang tidak setara dan lebih bersifat
dominasi-subordinasi tersebut pada akhirnya memberikan celah bagi
27
terciptanya kekerasan yang dialami oleh perempuan baik dalam bentuk fisik,
psikis, maupun ekonomi.
3.
Feminisme Gender
Feminisme
gender
hampir
disamaartikan
dengan
feminisme
psikoanalisa, dimana feminisme ini membedakan antara gender laki-laki dan
perempuan dari segi fisiknya. Namun, feminisme gender ini mempunyai
perbedaan dari feminisme psikoanalisa. Jika dalam feminisme psikoanalisa
lebih menekankan pada perkembangan psikoseksual laki-laki dan perempuan,
sedangkan feminisme gender lebih menekankan pada perkembangan moral
laki-laki dan perempuan, yang disebut psikomoral. Menurut feminisme
gender, anak laki-laki dan perempuan tumbuh menjadi laki-laki dan
perempuan (dewasa) dengan nilai-nilai serta kebaikan gender yang khas (1)
merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan laki-laki dan
pentingnya keterikatan pada kehidupan perempuandan (2) berfungsi untuk
memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat
patriarkal (Tong, 2009: 224).
Menurut Carol Gilligan (dalam Tong, 2009), penekanan laki-laki
terhadap
keterpisahan
dan
otonomi
mengarahkan
mereka
untuk
mengembangkan suatu gaya penalaran moral (dan pemikiran) yang
menekankan pada keadilan, ketidakberpihakan, dan hak. Sebaliknya,
penekanan perempuan pada hubungan dan keterikatan mengarahkan mereka
untuk mengembangkan gaya penalaran moral (dan pemikiran) yang
menekankan pada keinginan, kebutuhan, dan kepentingan dari sekelompok
orang tertentu. Gilligan mengklaim bahwa kebanyakan ahli dalam teori
perkembangan moral telah keliru menggunakan norma laki-laki sebagai
norma manusia yang digunakan untuk mengukur perkembangan moral
perempuan dan laki-laki, kebanyakan dari mereka menyimpulkan bahwa
28
secara moral perempuan kurang berkembang dibandingkan laki-laki(dalam
Tong, 2009: 224).
Sama seperti Gilligan, Nel Noddings berpendapat bahwa perempuan
dan laki-laki berbicara dalam bahasa moral yang berbeda, dan bahwa
kebudayaan kita lebih menguntungkan etika keadilan yang maskulin daripada
etika keadilan yang feminine (dalam Tong, 2009:230).Noddings menilai,
meski perempuan bisa berbicara bahasa keadilan sebagaimana laki-laki, akan
tetapi itu bukanlah bahasa moral asli perempuan. Namun, Noddings
mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Gilligan, bahwa suatu etika
kepedulian bukan saja berbeda, melainkan lebih baik dari etika keadilan. Bagi
Noddings, hubungan manusia bukanlah mengenai hak abstrak manusia,
melainkan mengenai kebutuhan konkret individu tertentu.
4.
Komunitas Penggemar (Fandom) Sebagai Produk Budaya Populer
Budaya populer mulai dikenal pada akhir tahun 1950-an atau pada
awal 1960-an. Budaya pop merupakan suatu gerakan seni masyarakat luas
secara umum melawan seni yang serius dan dianggap terlalu mapan dan
ekslusif untuk kalangan tertentu saja. Gerakan ini merambah ke seluruh
bidang seni, terutama seni lukis, musik, dan sastra.budaya populer dapat
diidentifikasikan dengan budaya massa, dimana karya seni merupakan sebuah
produk missal dan bersifat untuk memeuhi kebutuhan (konsumsi).
Budaya pop merupakan budaya yang muncul dari interaksi sehari-hari,
suatu kebutuhan dan keinginan, serta fenomena-fenomena sosial dari
sekelompok orang yang hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Stuart Hall
menggambarkan bahwa budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni
muncul, dan wilayah di mana hegemoni berlangsung, (dalam Storey, 2006:3)
Budaya populer yang lahir dari cultural studies merupakan sebuah
produksi yang pada akhirnya diterima di tengah-tengah masyarakat. Budaya
populer bersifat produksi, asrtistik dan komersial, dan diciptakan untu
29
konsumsi massa serta dan dapat diproduksi kembali serta dapat digunakan
untuk mengekspresika dan memahami selera masyarakat luas.
Budaya populer dianggap sebagai budaya tandingan dari budaya tinggi
dan budaya rakyat. Budaya ini menjadi populer karena adanya bantuan
berbagai media, yang membuatnya menjadi tersebar dan dinikmati oleh
berbagai khalayak. Akhirnya, budaya ini pun dianggap sebagai budaya yabg
selalu terikat dengan perdagangan, karena kontennya juga yang membuat
penikmatnyamenjadi konsumtif.
Dalam mengkonsumsi budaya populer, sering kali masyarakat
cenderung kemudian membentuk suatu komunitas atau yang sering disebut
sebagai fandom. Fandommerupakan bentuk dari produksi budaya populer.
Fandom berasal dari bahasa Inggris yang mempunya makna fan- kependekan
dari fanatic, dan akhiran –domyang mempunya arti sama dengan yang ada
dalam kingdom, freedom ,dll. Dengan kata lain fandommerupakan sebuah
istilah yang digunakan untuk merujuk pada sebuah subkultur di mana anggota
yang ada di dalamnya memiliki suatu ikatan, rasa simpati, dan persahabatan
yang dipicu oleh suatu ketertarikan yang sama. Para anggota di dalam fandom
ini biasanya memiliki kegemaran yang sama terhadap sesuatu atau seseorang
yang dijadikan sebagai simbol dari ikatan tersebut.
Para penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan
praktik budaya pop. Menurut Joli Jenson (1992), literature mengenai
kelompok penggemar dihantuioleh citra penyimpangan. Penggemar selalu
dicirikan sebagai sesuatu kefanatikan yang potensial. Hal ini berarti bahwa
kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan
dengan kegilaan (Storey, 2006:157). Jenson menambahkan bahwa ada dua
tipe patologi penggemar, pertama individu yang terobsesi (biasanya fans lakilaki) dan kerumunan histersi (biasanya fans perempuan) (Jenson dalam
Storey, 2006). Kedua kategori kelompok tersebut lahir dari pembacaan
tertentu dan kritik atas modernitas yang tak diakui, di mana para pembaca
30
dipandang sebagai symptom psikologis dari dugaan disfungsi sosial. Dengan
kata lain, komunitas penggemar (fandom) merupakan suatu symptom
(patologis) yang tampak dari kemungkinan runtuhnya budaya, moral, dan
sosial yang tak terelakkan lagi mengikuti transisi dari masyarakat pedesaan
dan agrikultural menuju masyarakat industrial dan urban.
Fandom atau komunitas merupakan produk dari budaya populer itu
sendiri. Di dalam komunitas, anggotanya dituntut untuk mengkonsumsi apaapa yang menjadi produk budaya populer itu, seperti musik, serial televisi,
film, sastra, dan lain sebagainya. Dari situlah para anggotanya mempunyai
satu ketertarikan yang sama di dalam komunitasnya. Menurut Jenkins,
penggemar adalah komunitas yang konsumen yang sangat aktif dan vocal
yang aktivitas-aktivitasnya mengarahkan perhatian pada proses pemberian
(makna) kultural ini… Para penggemar tidaklah unik dalam status mereka
sebagai pemburu tekstual, kendati demikian mereka telah mengembangkan
tindakan berburu menjadi sebentuk seni. (Jenkins, dalam Storey 2006: 161162).
Budaya penggemar ini menggiring komunitas yang terbentuk untuk
mengkonsumsi produk budaya populer yang berkembang dan sesuai dengan
minat atau ketertarikan mereka pada suatu produk. Akan tetapi saat ini,
budaya penggemar tidak hanya selalu pada konsumsi, tetapi juga sudah mulai
untuk memproduksi, misalnya lagu, novel, puisi, cerita-cerita pendek (yang
sering disebut fan-fiction), dan video. Penggemar, dalam diskursus budaya
populer, adalah sebuah kata yang tidak dapat diabaikan. Penggemar selalu
dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial, artinya, kelompok
penggemar dilihat melalui kacamata kefanatikan yang berlebihan dan sering
dianggap gila.
31
Lawrence Grossberg (dalam Storey 2006: 168) mengemukakan bahwa
para penggemar merupakan satu fraksi elit dari sekian khalayak konsumen
pasif yang lebih besar. Menurutnya, penggemar selalu berada dalam konflik
yang terus-menerus, tak hanya dengan struktur kekuasaan, tetapi juga dengan
khalayak konsumen media. Para penggemar menciptakan makna-makna untuk
berkomunikasi dengan penggemar lainnya, makna-makna ini kemudian
bersirkulasi dan memberikan penampilan publik sehingga membentuk suatu
kelompok sosial, yaitu kelompok penggemar. (storey halaman 164) Melalui
ritual konsumsi ini, suatu kelompok atau subkultur membentuk identitas yang
bermakna. Pemberian makna selektif dan penggunaan kelompok atas apa
yang disediakan oleh pasar bekerja serentak untuk mendefinisikan,
merefleksikan, dan memperjelas perbedaan kelompok.
5.
Urban Tribe Sebagai Komunitas
Seorang sosiologis dari Perancis, Michel Maffesoli dalam bukunya
“Le Temps des Tribus” atau The Time of the Urban (1988) mendefinisikan
urban tribe sebagai berikut:
“were young city people that gathered in relatively small, fluid group.
These groups shared common interest that were, in general different from
the interest of mainstream culture.”
Pendapat lainnya muncul dari Ethan Watters (2003):
“to describe a group of individuals, usually young professionals living
in large cities, that form communities to provide the emotional support of
an extended family.”
32
Kaum urban pada dasarnya adalah kaum pendatang yang mendiami suatu
wilayah yang luas kemudian memiliki pola kehidupan sosial yang kekotakotaan. Kaum urban sering disamakan sebagaimana kaum rural (pedesaan),
padahal sudah jelas kaum urban berbeda dengan kaum rural. Kaum urban
menganut gaya hidup yang kekota-kotaan, sedangkan kaum rural masih
menganut pemahaman pedesaaan. Kota sangat jelas berbeda dengan desa,
bukan hanya dari sisi ukuran dan pola kegiatan perekonomiannya, tetapi juga
dari sisi gaya hidup, jaringan atau komunikasi antar sesama, dan juga cara
hidup mereka yang berbeda. Heterogenitas, keragaman, dan perubahan
merupakan sebuah analogi perbedaan pekerjaan, kelas sosial, latar belakang
kebudayaan, dan juga kepentingan.
Perbedaan antara kehidupan kaum urban dan kaum rural adalah dasar
dari kajian urban di abad ke-20. Istilah itu digunakan untuk mengartikan
perbedaan dua istilah tersebut, tapi pokok dari konten tersebut tetap memiliki
kemiripan. Pedesaan menggambarkan kesederhanaan, sedangkan perkotaan
menggambarkan kerumitan. Daerah rural sendiri menjadi contoh bagi keadaan
peraturan, peran atau tugas, serta hubungan persaudaraan yang stabil,
sedangkan kota dibentuk oleh adanyan inovasi, perubahan, dan kekacauan.
Kota merupakan pusat segala keragaman, heterogenitas, dan kondisi sosial
yang baru. Desa atau kota kecil menggambarkan tradisi, keadaan sosial yang
tetap namun berkelanjutan, dan keselarasan budaya. Kondisi stereotip juga
melingkupi orang kota yang memiliki kecanggihan tetapi kurang memiliki
perasaan yang nyata.
Kaum urban tak lepas dari komunitas yang menjadi bagian dari
lingkungannya. Komunitas menjadi hal penting dimana kaum urban bisa
saling bersosialisasi, berhubungan, dan juga menjalin relasi satu sama lain.
Komunitas tidak memiliki definisi yang khusus, atau definisi umum yang
33
sering digunakan. Para antropolog berpendapat bahwa komunitas merupakan
sekumpulan orang yang secara umum terlokalisasi dan semi terisolasi di
dalam suatu wilayah. Para ekolog berpendapat bahwakaum urban bisa
memiliki “komunitas tanpa kedekatan”. Hal ini selalu dikaitkan dengan
pengertian sebagai populasi lokal suatu wilayah yang saling bergantung pada
kebutuhan sehari-hari. Komunitas menyediakan jaringan antara keluarga,
kelompok
primer,
dan
masyarakat
yang
lebih
luas.
Komunitas
menginterpretasikan realitas dalam tingkatan lokal sehingga hal itu terlihat
diatur oleh anggota komunitas.
Komunitas tidak hanya memiliki satu defisini saja, ada berbagai
definisi yang diungkapkan oleh para ahli. Robert Park misalnya, ia
mendefinisikan bahwa komunitas itu mempunyai karakter yang esensial.
“the essential characteristic of a community, so conceived, are those
of: 1)a population territorially organized, 2) more or less completely
rooted in the soil it occupies, 3) its individual unit living in a
relationship of mutual interdependence… (Park 1936)”
George Hilery Jr (1955) mendefinisikan komunitas sebagai berikut:
“community as a group, a process, a social system, a geographic
place, a consciousness of kind, a totally of attitudes, a common
lifestyle, the possession of common ends, local self-sufficiency, and on
and on.”
Di dalam masyarakat urban, komunitas menjadi salah satu media yang bisa
digunakan untuk berkomunikasi satu sama lainnya. Masyarakat urban pada
dasarnya juga merupakan suatu komunitas, karena mereka terdiri dari
sekumpulan orang, menempati suatu wilayah tertentu, dan memiliki
34
keragaman budaya. Selain dari definisi di atas, ada beberapa elemen yang bisa
membentuk sebuah komunitas:
1) Adanya proses sosialisasi,
2) Mempunyai peraturan dan norma-norma yang berlaku untuk kontrol
sosial,
3) Adanya stratifikasi dan diferensiasi sosial,
4) Komunikasi antara individu satu dengan individu lainnya,
5) Terdapat institusi sosial, seperti ekonomi, pendidikan, pemerintahan, dan
lain-lain.
Sebenarnya, semua orang hidup di dalam suatu komunitas. Kota besar
(metropolitan) bisa dilihat sebagai komunitas individual dalam jumlah yang
besar yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Wilayah perkotaan memang
cukup luas, sehingga di antara masyarakatnya mungkin tidak mempunyai
perasaan emosional yang saling bertautan. Akan tetapi, perasaan emosional itu
akan terasa di dalam lingkup kecil daerah tempat tinggal mereka. Di dalam
masyarakat urban, komunitas bisa berada di dalam komunitas. Masyarakat
urban merupakan suatu komunitas, karena di dalamnya ada populasi individu,
wilayah, dan elemen-elemen pembentuk suatu komunitas, dan di dalamnya
akan tumbuh komunitas-komunitas lain yang lebih spesifik, bisa berkaitan
dengan status sosial, pendidikan, agama, kegemaran, ekonomi, dan
sebagainya.
Kelompok penggemar merupakan fitur umum dari budaya populer dalam
masyarakat industri. Kelompok penggemar seringnya bergabung dengan
bentuk budaya yang mencemari sistem nilai dominan seperti musik pop, novel
35
romantic, komik, bintang Hollywood. Halini tergabung dengan selera budaya
formasi subordinat orang kebanyakan, terutama dengan pemberdayaan
kombinasi gender, umur, kelas, dan ras (Fiske, 1992:29 dalam Lewis).
Para penggemar merupakan bagian palin gmenarik yang tampak dalam
praktik budaya pop. Penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan
yang potensial. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai
perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan.
Penggemar dipahami sebagai korban-korban pasif dari media massa.
Media massa mengkonstruksi wacana kepada penggemar dan membentuk
theatre of mind dalam diri mereka sendiri. Hal ini menyebabkan penggemar
tidak bisa mendiskriminasikan dan menciptakan jarak antara diri mereka dan
objek-objek kesenangan. Stereotip yang paling umum adalah kelompokkelompok gadis dan perempuan histeris yang meneriaki para selebritis idola
mereka, kelompok penggemar yang saling bersaing mengadopsi gaya
idolanya atau kelompok penggemar yang rela melakukan apa saja demi
bertemu dengan idolanya.
Para penggemar terhubung dengan sumber media yang jauh dengan
beberapa cara yang berbeda melalui mediasi keluarga, teman serta lingkungan
sosial yang lain. Hal tersebut juga relevan ketika memasukkan fandom ke
dalam kategori yang sama dengan cara yang tidak terlalu spontan dan
dimanipulasi oleh media. Pengalaman penggemar selalu mengkarakteristikkan
keadan yang terhubungan dengan penampilan tertentu, juga pada jenis
penampilan tertentu, seperti jenis musik, genre, film. Kelemahan dari fandom
ini adalah atraksi medium, sebagai ekspresi lama penggemar. Versi yang
paling kuat meliputi derajat tinggi investasi emosional pada personalitas
media. Beberapa sedikit sama, bisa terjadi pada pengikut serial televise
tertentu, ketika tambahan karakter fiksi bercampur dengan karakter aktor atau
36
ketika perbedaan antara fiksi dan realita tak terlihat secara kasat mata
(McQuail, 2005:445).
Fandom
sering
dipandang
dengan
kritik
ketidakdewasaan
dan
ketidakrasionalan sebagai sebuah produk dari budaya massa dan contoh
perilaku massa. Fandom juga merupakan pemikiran yang terbaik sebagai
sesuatu yang kolektif. Fandom selalu dihubungkan dengan media sebagai
pemuas dan jembatan jarak nyata antara idola dan penggemarnya. Namun, hal
itu bisa juga menjadi pengalaman menyakitkan dimana di dalamnya terdapat
ekspektasi tinggi dan emosi yang mengejutkan dan bisa membuat penggemar
berpotensi mendapat ejekan..
6.
Komunikasi di dalam Kelompok
6.1 Pengertian Komunikasi Kelompok
Secara sadar atau tidak, manusia menjadi bagian dalam kelompok-
kelompok tertentu. Kelompok tersebut merupakan bagian dari kehidupan
sosial manusia. Kelompok merupakan sekumpulan orang yang mempunyai
tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan
bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai
bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Dengan kata lain,
tidak semua kerumuan orang itu disebut sebagai kelompok, misalnya antrian
di loket, orang-orang yang menunggu bis di halte, dan sebagainya. Disebut
kelompok karena didasarkan dengan adanya kesadaran pada anggotaanggotanya akan ikatan sama yang mempersatukan mereka, serta interaksi
yang terjalin antara anggota satu dengan anggota lainnya.
Interaksi di dalam kelompok sangat penting untuk menjalin ikatan
antar anggota yang ada di dalamnya. Goldhaber mengemukakan pentingnya
komunikasi dalam organisasi dan kelompok sebagai berikut:
37
“The lifeblood of the organization
The glue that binds organization
The oil that smooths the organization’s functions
The thread that ties system together
The force that pervade the organization
The binding agents that cement all relationship” (Steven A. Beebe
dan John T. Masterson. 1982. Communicating in Small group:
principles and practices. Illinois: Scott, Foresman and Company Ltd.
Hal 4)
Olmsted, dalam bukunya yang berjudul “The Small Group” mengemukakan
bahwa kelompok dibagi menjadi dua macam perspektif, yaitu:
1. Internal
Perspektif internal memfokuskan diri pada kajian dinamika yang terjadi di
dalam kelompok, seperti pola komunikasi, norma kelompok, pemecahan
masalah dalam kelompok, peran keseluruhan aspek dalam menjaga
keseimbangan hidup kelompok. Menurut perspektif internal, kelompok
dibedakan menjadi 2 jenis:
a.
Kelompok Primer
Kelompok ini merupakan kelompok yang paling personal dan dekat
dengan kehidupan individu. Dalam kehidupan sehari-hari individu sangat
bergantung pada kelompok primer sebagai bentuk sosialisasi paling dasar.
Ciri-ciri
kelompok
primer
adalah
warm,
intimate,
“personal”
ties(Olmsted, 1959). Kelompok primer misalnya keluarga, kelompok
persahabatan, kelompok persaudaraan.
b.
Kelompok Sekunder
Kelompok ini merupakan yang memiliki ciri-ciri kebalikan dari kelompok
primer, yaitu cool, impersonal, rational, contractual, formal (Olmsted
38
1959).
Kelompok
sekunder
biasanya
bersifat
professional
dan
mengesampingkan sisi personal, misalnya perusahaan.
2. Eksternal
Perspektif eksternal merupakan sebuah perspektif yang memfokuskan diri
pada peran sebuah kelompok, baik dalam kehidupan individu maupun
bermasyarakat. Perspektif ini lebih menekankan pada aktualisasi kelompok
tersebut di lingkungan luar.
Terdapat beberapa pengertian mengenai komunikasi kelompok yagn
disampaikan oleh para ahli, akan tetapi semua pengertian itu berujung pada
satu pemikiran. Komunikasi kelompok terjadi dalam suatu kelompok kecil
dan mengamati interaksi yang terjadi antar anggota kelompok. Komunikasi
kelompok adalah suatu proses dimana tiga orang atau lebih saling bertukar
informasi untuk mencapai kebersamaan pengertian satu sama lainnya dalam
situasi dimana mereka berkomunikasi. Menurut Kincaid dan Rogers
(1981:256), komunikasi kelompok didefinisikan sebagai komunikasi yang
berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti
dalam rapat, pertemuan, konferensi, dan sebagainya.
Komunikasi kelompok mengacu pada fokus pertukaran informasi
verbal dan non-verbal di antara anggota kelompok. Sebagai anggota, mereka
terlibat dalam komunikasi kelompok kecil dalam membuat, memahami
penafsiran, dan merespon pesan. Goldberg dan Larson (2011:15), menyatakan
bahwa komunikasi kelompok memiliki lingkup yang lebih kecil dibandingkan
komunikasi organisasi. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa
komunikasi kelompok lebih bersifat interpersonal antara satu dengan lainnya
sehingga dalam proses komunikasinya cenderung terjadi sebagai berikut:
a. Komunikasi dalam komunikasi kelompok bersifat homogen
b. Dalam komunikasi kelompok terjadi kesempatan dalam melakukan
tindakan pada saat itu juga
39
c. Arus balik di dalam komunikasi kelompok terjadi secara langsung,
karena komunikator dapat mengetahui reaksi komunikan pada saat
komunikasi sedang berlangsung.
d. Pesan yang diterima dapat bersifat rasional dan bersifat emosional
e. Komunikator dapat mengetahui dan mengenal komunikan.
6.2 Komunikasi Kelompok di dalam Fandom
Fandom pada dasarnya adalah sebuah kelompok kecil dimana terdapat
komunikasi yang terjalin di dalamnya. Komunikasi yang terjalin antar anggota
di dalam fandom untuk memberikan informasi dan mempengaruhi keputusan
baik individu dalam meningkatkan keinginan mereka menjadi bagian dalam
sebuah kelompok yang memiliki kecintaan dan tujuan yang sama. Kebutuhan
bersama tersebut akan menimbulkan rasa memiliki dari para anggotanya
terhadap kelompok tersebut. Hal semacam itu dapat dilihat dari hal-hal berikut
ini:
a.
Adanya loyalitas dari para anggota terhadap anggota lainnya
b.
Adanya loyalitas para anggota terhadap kelompoknya
c.
Kesediaan berkorban secara ikhlas dari para anggota baik secara moril
maupun materiil demi kelangsungan hidup kelompoknya.
Fandom termasuk dalam kategori kelompok primer. Seorang ahli, Charles
Horton Cooley (1909), berpendapat bahwa kelompok primer ditandai dengan
ciri-ciri keakraban komunikasi antar personal anggotanya di dalam kelompok
tersebut, serta memiliki ikatan emosional yang kuat. Jalaludin (2005:142-143)
mengidentifikasikan karakteristik komunikasi dalam kelompok primer,
sebagai berikut:
a.
Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas.
Anggota kelompok berkomunikasi dengan sesame anggota, sehingga
dapat memberikan gambaran tentang kepribadian mereka masing-masing.
40
Dalam karakteristik ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan antar
anggota dalam berkomunikasi dengan anggota lainnya.
b. Komunikasi yang berlangsung bersifat personal, sehingga setiap
anggotanya memandang anggota lainnya sebagai sebuah personal. Hal ini
mengakibatkan akan terdapat perbedaan perilaku dari satu anggota
terhadap anggota lainnya. Kehadiran anggota satu dengan anggota lainnya
akan memberikan perbedaan makna.
c. Komunikasi
lebih menekankan aspek hubungan daripada isi
pembicaraan. Hubungan anggota satu dengan lainnya merupakan
hubungan komunikasi interpersonal yang lebih mengedepankan hubungan
daripada isi pembicaraan atau komunikasi mereka. Hal ini bertujuan untuk
membina hubungan baik antar individu yang melakukan komunikasi.
Dalam kondisi tertentu isi komunikasi bukanlah sesuatu yang penting,
akan tetapi komunikasi dilakukan untuk menjaga hubungan baik saja.
d. Ekspresif dan informal. Maksudnya adalah daam kelompok primer,
berkomunikasi
memberikan
kebebasan
pada
individu
untuk
mengekspresikan diri mereka secara personal. Ekspresi melibatkan
persaan yang ditunjukkan secara personal melalui hubungan emosional.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena hubungan bersifat personal yang
menjadikan masing-masing anggota membangun kedekatan satu sama
lainnya. Informal berarti santai dan tidak kaku.
Setiap anggota dalam komunitas membutuhkan komunikasi dengan
orang lain untuk saling mengenal satu sama lainnya. Tidak hanya untuk
bertukar informasi mengenai idola atau gosip terbaru yang ada di dalam
komunitasnya, tetapi juga untuk saling mengakrabkan diri satu sama lain.
Hal ini dapat mewujudkan suatu relasi yang kuat antar sesama anggota di
dalam komunitas tersebut.
41
Menurut Maslow (dalam Meadow, 1991) manusia memiliki kebutuhan
dasar dan salah satunya adalah rasa memiliki. Di dalam komunitas
(fandom) jika tidak ada komunikasi atau interaksi yang terjadi, antar
anggotanya tidak akan ada rasa untuk saling memiliki. Sehingga hal itu
berakibat pada perpecahan dan tidak akan menjadi suatu komunitas
(fandom) yang kompak. Komunikasi interpersonal menjadi penting untuk
itu karena setiap orang ingin dianggap dimiliki atau memiliki orang lain,
terutama di dalam sebuah komunitas (fandom). Rasa memiliki di dalam
komunitas (fandom) bisa berpengaruh pada terciptanya relasi gender yang
sama. Dengan demikian, komunikasi interpersonal merupakan faktor yang
sangat penting dalam membangun sebuah relasi gender di dalam
komunitas (fandom).
E. Kerangka Konsep
Relasi gender merupakan hubungan yang terjadi di masyarakat dengan
mengacu pada peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dibedakan
antara maskulinitas dan feminitas (Nugroho, 2008). Relasi gender adalah akibat dari
konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat (Nugroho, 2008). Dalam relasi
gender di dalam kelompok gender tertentu, ada gender yang berada di atas (dominan),
didominasi, dan yang setara. Di dalam masyarakat patriarki, laki-laki sebagai gender
yang mendominasi, sedangkan perempuan menjadi gender yang terdominasi
(subordinat) oleh laki-laki. Relasi yang tidak setara dan lebih bersifat dominasisubordinasi tersebut pada akhirnya memberikan celah bagi terciptanya kekerasan
yang dialami oleh perempuan baik dalam bentuk fisik, psikis, maupun ekonomi.
Relasi gender adalah sebuah hubungan yang terjalin antara satu gender
dengan gender yang lainnya. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa dalam suatu
kelompok pasti ada salah satu gender yang dominan (berkuasa) dan satu gender lagi
menjadi subordinat (didominasi) (Mansour, 1999). Mendominasi dan didominasi ini
menjadikan sebuah permasalahan yang kompleks, dimana pada dasarnya setiap
42
manusia memiliki hak dan kedudukan yang sama di dalam kelompoknya. Tak pelak
dari masalah tersebut, dalam komunitas pun mengalami hal yang sama. Banyak
permasalahan yang mungkin terjadi karena perbedaan pandangan antara dua gender
(laki-laki dan perempuan), yang lain karena kekuasaan. Biasanya laki-laki lebih
mendominasi terhadap perempuan, sehingga pertentangan, perbedaan pendapat, dan
rasa didominasi biasa untuk muncul dalam komunitas tersebut.
Di dalam komunitas, relasi sangat dibutuhkan apalagi untuk menjembatani
antara laki-laki dan perempuan. Biasanya laki-laki yang terlalu berkuasa tidak suka
jika ada pertentangan dari kelompok lain terutama perempuan. Beberapa masalah
yang timbul bisa karena adanya pandangan beda gender tersebut. Gender, seperti
yang kita ketahui, masih menjadi masalah yang belum juga menemukan titik
temunya. Masyarakat memandang gender laki-laki lebih kuat daripda gender
perempuan, karena pandangan gender itu hanya menurut pandangan fisiknya saja,
bukan pada konstruksi gender yang dibentuk oleh lingkungan di mana dia tinggal.
JKT48 Jogja Fans (JJF) merupakan sebuah komunitas di Yogyakarta yang
mengagumi kelompok grup idola JKT48. Anggota di dalamnya bukan hanya laki-laki
saja, tetapi juga perempuan. Seperti yang diketahui, JKT48 saat ini tidak hanya
memiliki penggemar laki-laki, tetapi juga mempunyai banyak penggemar perempuan.
Dalam JJF pun perempuan boleh bergabung selama memiliki ketertarikan yang sama
terhadap JKT48 maupun 48family lainnya. Tergabungnya fans perempuan di dalam
komunitas (fandom) yang notabene merupakan fandom untuk laki-laki, karena
48family termasuk JKT48 kesemua anggotanya adalah perempuan, memiliki potensi
untuk terjadi kesenjangan gender di dalamnya. Fans laki-laki biasanya merasa lebih
berhak dan berkuasa di dalam komunitas tersebut. Sedangkan, fans perempuan
merasa terdominasi dan akhirnya hanya akan menjadi anggota pasif di dalam
komunitas tersebut.
Ketimpangan dan kesenjangan gender akan terjadi dalam komunitas JJF
apabila fans laki-laki bertindak seperti penguasa terhadap fans perempuan. Di dalam
komunitas, seharusnya para penggemar harus saling mendukung satu sama lainnya
43
untuk memperkuat hubungan mereka di dalam komunitas. Komunitas juga akan
semakin solid jika diantara anggotanya tidak ada yang merasa berkuasa karena status
gender yang lebih kuat, ataupun merasa tersubordinat karena status gender yang lebih
lemah.
Komunikasi interpersonal menjadi salah satu faktor penting di dalam
mewujudkan kebersamaan anggota komunitas tersebut. Kesenjangan gender di dalam
JJF dapat dikurangin dengan adanya komunikasi yang terjalin diantara anggota di
dalam JJF. Dengan adanya komunikasi akan membentuk rasa saling memiliki karena
diantara mereka pasti akan saling menganl satu sama lainnya. Sehingga relasi gender
yang seimbang dan tanpa ada lagi pembedaan dalam hal gender dapat terwujud.
Oleh karena itu, peneliti lebih menekankan pada penelitian relasi gender di
dalam komunitas dengan menggunakan pendekatan feminismedan memasukkan
konsep komunikasi interpersonal di dalamnya untuk menunjang teori komunikasi
yang digunakan. Feminisme dipilih karena menurut peneliti pendekatan ini yang
lebih cocok untuk meneliti tentang gender dan relasinya, baik di lingkup yang kecil,
yaitu komunitas, maupun lingkup yang lebih luas, yaitu masyarakat. Sedangkan
konsep komunikasi interpersonal dipilih karena konsep ini tepat untuk mempelajari
interaksi yang ada di dalam komunitas (fandom) JKT48 Jogja Fans tersebut.
Komunikasi interpersonal lebih memperlihatkan komunikasi antara dua orang atau
lebih di dalam sebuah kelompok kecil, dan komunikasi ini sangat cocok untuk
memperlihatkan seberapa dekat anggota di dalam komunitas (fandom) JKT48 Jogja
Fans saling mengenal, terutama anggota laki-laki dengan anggota perempuannya.
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini bertujuan untuk meneliti riset yang menjelaskan fenomena dengan
sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian kualitatif
adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
44
ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati (Bogdan & Taylor, 1992:
21-22). Pendekatan kualitatif ini diharapkan mampu menghasilkan penjelasan yang
mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang diamati dari suatu individu,
kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks
tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.
Metode penelitian merupakan faktor yang penting dalam proses penelitian,
tanpa adanya metodologi maka data penelitian tidak akan dapat dihasilkan. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan metode etnografi. Etnografi dipahami sebagai
suatu studi tentang manusia dalam setting kejadian secara alami dengan separangkat
metode dalam menangkap makna sosial dan kegiatan sehari-hari mereka, melibatkan
penliti dalam partisipasi langsung dalam setting atau kegiatan tertentu, dalam rangka
mengumpulkandata secara sistematis tetapi tanpa makna yang dipaksakan secara
eksternal kepada mereka (Brewer, 2000:10).
Barker (2000:29) mengatakan bahwa studi kultural terpusat pada 3 macam
pendekatan:
a. Etnografi, yang seringkali dikaitkan dengan pendekatan kulturalis dan
lebih menekankan pada pengalaman nyata.
b. Tekstual,
yang
cenderung
memanfaatkan
semiotika,
pasca
strukturalisme dan dekonstruksi.
c. Studi resepsi, yang akar teoritisnya bersifat ekletis.
Studi kultural etnografi terpusat pada eksplorasi kualitatif atas nilai dan makna dalam
konteks hidup secara keseluruhan, dengan masalah-masalah kebudayaan, duniakehidupan, dan identitas (Barker, 2000:30).
Studi etnografi merupakan salah satu bentuk kerja lapangan (fieldwork) yang
memposisikan peneliti menjadi bagian dari riset. Peneliti harus terjun langsung
bahkan menjadi bagian dari kelompok budaya yang sedang dipelajarinya. Proses
kerja lapangan tidak dimaksudkan untuk menjelaskan objektivitas dan menghasilkan
kesimpulan yang dapat digeneralisasikan., tetapi lebih pada suatu usaha untuk
mengkomunikasikan kebenaran-kebenaran ataupun dasar pemikiran para pelaku
45
kebudayaan. Hasil akhir studi etnografi bukan bukan penulisan kembali hasil
penelitian lapangan, akan tetapi merupakan refleksi, pengujian dan argumen tentang
pengalaman yang dibuat dari sudut pandang tertentu (Blasco & Wardle, 2007:9).
2. Informan Penelitian
Dalam penelitian ini informan merupakan sumber atau pelaku fenomena.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, informan adalah orang yang memberikan
informasi, atau orang yang menjadi sumber data di peneleitian (narasumber).
Informan dalam
penelitian ini, dengan mengambil pengertian di atas,
informan adalah fans JKT48 yang tergabung dalam komunitas JKT48 Jogja Fans
Club. Hal ini dilakukan guna mendapatkan latar belakang yang beragam dan
kemudahan akses peneliti. Sedangkan yang menjadi objek penelitian adalah
permasalahan gender yang terjadi di dalam JKT48 Jogja Fans Club.
Dalam penelitian ini setidaknya akan diambil lima orang untuk menjadi
informan. Kelimanya akan mewakili dari masing-masing gender dengan karakteristik
dan latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi usia, latar belakang pendidikan,
lama tergabung dalam JKT48 Jogja Fans, serta demografis atau tempat tinggalnya.
3. Sumber Data
Ada dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Data primer merupakan sumber data utama yang
akan digunakan sebagai acuan dalam menganalisis data yang didapat. Data primer
dalam penelitian ini berasal dari wawancara kepada responden penelitian dan juga
dari obeservasi atau pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di dalam komunitas
tersebut. Kedua cara itu dipilih karena dinilai sangat cocok dalam penelitian kualitatif
dengan pendekatan studi kasus. Wawancara dan observasi secara langsung akan
46
membantu peneliti dalam mendapatkan data utama yang nantinya dianalisis dan
dikaji sesuai dengan teori dan konsep yang digunakan.
Data sekunder merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung
dan menambah analisis data primer. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber
dari dokumen dan artikel yang ada, baik secara cetak maupun artikel dalam media
online. Kedua sumber data tersebut digunakan untuk menunjang data dalam
penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Ada dua cara yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Interview (Wawancara)
Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan interview guide, namun
adanya interview guide tidak membatasi peneliti dalam menggali informasi.
Interview guide hanya digunakan sebagai panduan sehingga pertanyaanpertanyaan yang diajukan pun tidak harus urut sesuai susunan pertanyaan
dalam interview guide. Wawancara pun dilakuakan dalam dua jenis, yakni
bertemu langsung (face-to-face) dan secara online. Saat melakukan online
interview, peneliti memanfaatkan media sosial seperti twitter, facebook, dan
instant message (IM) lainnya sebagai media wawancara. Dalam penelitian ini,
sebagai narasumber wawancara adalah ketua dari komunitas JKT48 Jogja
Fans, ketua dari JKT48 Jogja Girl Fans, dan beberapa anggota dari kedua
fandom tersebut. Hal ini untuk mengetahui bagaimana peran serta komunikasi
yang tercipta antara fans laki-laki dan fans perempuan JKT48 sebagai bentuk
dari relasi gender.
b. Observasi Langsung
Teknik ini merupakan pengambilan data berdasarkan pengamatan secara
langsung yang dilakukan oleh peneliti. Observasi langsung dilakukan untuk
menunjang data yang dihasilkan melalui wawancara kepada responden. Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2013)
47
ada beberapa alasan observasi dilakukan dan dimanfaatkan oleh penelitian
kualitatif. Pertama, pengamatan dilakukan secara langsung. Kedua,
pencatatan pengamatan perilaku dan kejadian dilakukan saat itu juga. Ketiga,
pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang
berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan langsung
yang diperoleh dari data. Keempat, adanya keraguan dari peneliti terhadap
data wawancara. Hal ini biasanya terjadi karena kurang dapat mengingat hasil
wawancara, adanya jarak antara peneliti dengan yang diwawancarai, ataupun
karena emosi dari peneliti sendiri. Kelima, teknik pengamatan memungkinkan
peneliti untuk mampu memahami situasi-situasi yang rumit. Keenam,
dalamkasus-kasus tertentupengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat
dibandingkan dengan teknik komunikasi lainnya.
Observasi ini pada dasarnya merupakan pengamatan secara langsung, dimana
peneliti terlibat di dalam fandom atau komunitas secara langsung serta
mengamati segala bentuk aktivitas dan interaksi yang terjadi diantara para
fans, terutama antara fans laki-laki dengan fans perempuan.
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian etnografi, analisis data dilakukan sejak peneliti melakukan
aktifitas lapangan, yaitu bersamaan dengan tahap pengumpulan data. Data-data
penelitian yang telah terkumpul nantinya akan ditranskrip menjadi data berupa teks
maupun gambar yang mampu memaparkan sebuah pernyataan. Proses pengumpulan
data yang ada juga akan menentukan apakah data yang di dapat dari sebuah subjek
dapat untuk digunakan atau tidak. Data-data yang didapat tersebut, nantinya akan
dianalisis kembali melualu tingkat authenticity dan triangulasi. Kedua komponen
tersebut nantinya akan menganalisis kelayakan data-data yang didapat melalui
tahapan penelitian. Authenticity sendiri merupakan tingkat perluasan konstruksi
personal yang diungkapkan oleh subjek, sehingga data yang didapat nantinya menjadi
48
layak dan memberikan kemudahan dalam melakukan pemahaman yang mendalam
(Kriyantono, 2006:70).
Triangulasi sendiri digunakan untuk menganalisa jawaban subjek dengan data
empiris (sumber data lain) yang tersedia (Kriyantono, 2006). teknik triangulasi yang
digunakan adalah triangulasi metode. Triangulasi merupakan metode sendiri untuk
mengecek keabsahan data, dengan menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan
data untuk mendapatkan data yang sama (Dwijowinoto dalam Kriyantono, 2006:71).
Pada penelitian ini metode wawancara yang digunakan dan observasi menjadi
triangulasi yang mampu menganalisis keabsahan data.
Sebelum hasil analisis data diinterpretasi maka data-data tersebut akan
diklasifikasikan terlebih dahulu. Hal tersebut untuk memudahkan proses interpretasi
data dan menggolongkan data-data tersebut sesuai dengan hasil teknik analisis data
yang telah dikelompokan sesuai dengan kelayakannya, seperti latar belakang
penggunaan media, alat rekam yang digunakan, latar belakang sosiodemograf, dan
lain-lain. Data yang diklasifikasikan kemudian diinterpretasi melalui teori yang
timbul dari latar belakang informan yang memproduksi data tersebut. Dari sini dapat
diketahui relasi yang tercipta, serta perilaku dan komunikasi yang terjadi antar
anggota di dalam fandom JKT48 Jogja Fans. Tanggapan-tanggapan dari wawancara
yang dilakukan oleh peneliti melalui wawancara, ditranskrip dan hasil observasi akan
diinterpretasi menggunakan teori yang telah ditetapkan di awal. Baik itu berupa
kritikan yang berlawanan dengan pandangan peneliti maupun persamaan pendapat
yang diasumsikan oleh peneliti pada awal penelitian.
49
Download