Penurunan Kualitas Savana Bekol sebagai Feeding Ground bagi

advertisement
Penurunan Kualitas Savana Bekol sebagai Feeding Ground bagi Rusa (Cervus timorensis)
dan Banteng (Bos javanicus) di Taman Nasional Baluran Jawa Timur
(Quality Reduction of Bekol Savannah as Feeding Ground to deer (Cervus timorensis) and
bull (Bos javanicus) In Baluran National Park, East Java)
Djufri
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah Darussalam Banda Aceh
E-mail: [email protected]
Abstract
This research aim to know : (1). species of grass eaten by deer and species of grass predominating
area of savannah Bekol. (2). Species eaten by bull, and (3). Factors causing downhill it quality of
savannah Bekol. Method used for inventories of species eaten by deer and bull is method of
transek combined with method square. While to collect data of factors causing downhill it
quality of savannah of Bekol with direct perception in field and muster relevant information
from data sekunder. The conclusion from this research is (1). Found 12 species of grass eaten by
deer, and 3 species among others as dominant species that is bayapan (Brachiaria reptans), red
lamuran (Dichantium coricosum), and tuton (Dactyloctenium aegyptium). (2). found 50 species
as food of bull in savannah Bekol from 60 of species of compiler savannah of this area. (3).
Factors influencing reduction of quality of savannah in Bekol is : Invasion A. nilotia, bush
groaning savannah, existence of tread by animal, fire effect, and over grazing.
Key word : Savannah, Feeding Ground, Quality Savannah
PENDAHULUAN
Taman Nasional Baluran memiliki
potensi satwa liar cukup besar, terutama
spesies satwa rusa timor (Cervus timorensis).
Rusa timor ini merupakan hewan yang
dilindungi menurut UU Ordonansi dan
Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun
1931 no. 134 dan no. 226. Taman Nasional
Baluran mempunyai keanekaragaman satwa
yang cukup tinggi yaitu sekitar 26 jenis
mamalia, 147 spesies burung serta berbagai
spesies fauna lainnya. Kawasan Taman
Nasional Baluran merupakan satu-satunya
kawasan di Pulau Jawa yang mempunyai ciri
khas berupa hamparan savana alami dan
satwa liar banteng (Bos javanicus D’Alton)
sebagai maskot kawasan.
Satwa liar merupakan sumber daya
alam yang dimanfaatkan untuk banyak
kepentingan, meliputi berbagai aspek
kehidupan baik untuk kepentingan ekologis,
ekonomi maupun kebudayaan. Manusia
memanfaatkan satwa liar dengan bebagai
cara
yang
seringkali
menyebabkan
penurunan populasi bahkan beberapa spesies
satwa liar terancam kepunahan. Menurut
Marpaung (1995) satwa liar adalah semua
binatang yang hidup di darat, dan atau di air,
dan atau di udara yang masih mempunyai
sifat-sifat liar, baik yang hidup liar maupun
yang
dipelihara
manusia.
Untuk
kelangsungan hidup satwa liar di suatu
kawasan dibutuhkan daya dukung (carrying
capacity) habitat yang memadai.
Daya dukung habitat adalah
kemampuan suatu areal atau kawasan untuk
mendukung satwa pada suatu periode
tertentu dalam hubungannya dengan
kebutuhan hidup margasatwa, seperti
reproduksi, pertumbuhan, pemeliharaan dan
pergerakan. Daya dukung habitat yang
rendah akan menyebabkan terjadinya
penurunan populasi satwa. Hal ini sangat
mungkin terjadi terutama pada golongan
herbivora yang jenis makanannya sangat
tergantung pada vegetasi tertentu. Demikian
juga sebaiknya, jika populasi melimpah yang
melampaui daya dukung habitat akan
menurunkan kualitas dan kuantitas habitat
satwa yang ada.
Berbagai spesies mamalia besar
seperti kerbau liar (Bubalus bubalis), rusa
(Cervus timorensis), kijang (Muntiacus
muntjak) ataupun berbagai spesies satwa
karnivora seperti ajag (Cuon alpinus) dan
macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa
liar yang dilindungi yang terdapat di Taman
Nasional Baluran. Berbagai spesies satwa
penghuni kawasan tersebut harus senantiasa
dijaga dan dilestarikan keberadaannya,
karena selain merupakan objek penelitian
dan pendidikan, juga berperan menjaga
keseimbangan alam dan ekosistem.
Salah satu upaya yang harus selalu
digalakkan adalah menjaga kelestarian satwa
29
liar tersebut, khususnya banteng sebagai
maskot kawasan. Upaya pihak pengelola
Taman Nasional Baluran dalam rangka
menjaga dan melestarikan keberadaan
populasi banteng adalah dengan memantau
secara rutin dari tahun ke tahun melalui
kegiatan sensus satwa herbivora, dan juga
menjaga kondisi daya dukung kawasan
terhadap satwa tersebut dan melindungi dari
tekanan luar beberapa perburuan liar.
Pengelolaan satwa liar dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain habitat.
Komponen-komponen habitat secara garis
besar
dikelompokkan
menjadi
tiga
komponen utama yaitu makanan, air dan
pelindung. Habitat rusa timor adalah daerahdaerah yang terbuka kering, seperti savana
dengan pohon-pohon dan semak yang
tersebar.
Untuk
memperoleh
informasi
tentang kondisi habitat tempat satwa tersebut
mencari makan, dipandang perlu dilakukan
penelitian. Dengan demikian penelitian ini
bertujuan
mengungkapkan
tentang
penurunan kualitas savana Bekol sebagai
areal mencari makan (feeding ground) baik
bagi rusa maupun banteng, akibat adanya
invasi A. nilotica dan hadirnya semak dalam
jumlah yang banyak di savana. Selain itu
juga menginventaris spesies tumbuhan yang
dimakan oleh kedua satwa tersebut.
METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh data tentang
ketersedian spesies yang dimakan oleh rusa,
digunakan
metode
transek
yang
dikombinasikan dengan metode kuadrat.
Jumlah garis transek yang dibuat sebanyak
10 buah dengan ukuran masing-masing 100
m. Kemudian pada setiap transek dibuat plot
kuadrat sampel seluas 2 m di kiri dan kanan
garis transek sebanyak 5 buah, sehingga total
seluruh kuadrat sampel sebanyak 50 buah.
Selanjutnya untuk mengetahui biomasa
masing-masing
spesies
dilakukan
pemotongan rumput pada 10 plot kuadrat
sampel yang dilakukan 2 kali pemotongan,
yaitu pada bulan April 2004 dan Juli 2004.
Sedangkan
untuk
mengetahui
spesies yang dimakan oleh banteng,
mengacu pada daftar speseis makanan
banteng yang ditulis oleh Hoogerwerf
(1970). Selanjutnya dibandingkan dengan
hasil inventaris spesies yang diperoleh di
lapangan, khususnya di daerah savana baik
yang terbuka maupun savana yang ternaungi
oleh tegakan A. nilotica. Melalui data
perbandingan tersebut akan diketahui
ketersedian makanan banteng di TNB Jawa
Timur.
Data tentang faktor-faktor yang
menyebabkan menurunnya kualitas savana
Bekol dilakukan pengamatan langsung
terhadap gangguan yang terjadi di kawasan
savana. Selain itu digunakan data sekunder
yang tersedia di BTNB, serta menghimpun
informasi dari berbagai sumber, khususnya
literatur yang relevan dengan permasalahan
yang dikaji, serta penelitian terkait
sebelumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketersedian makanan satwa di savana Bekol
Rusa
Spesies rumput yang dimakan oleh
rusa di savana Bekol disajikan pada Tabel-1
dan Gambar-1. Berdasarkan Tabel-1 dapat
dikemukakan bahwa ada 12 spesies rumput
yang menjadi makanan rusa. Bila ditinjau
dari jumlah, relatif memadai sebab ada
beberapa spesies rumput yang menjadi
makanan alternatif bagi rusa. Bila ditinjau
dari biomasa rumput, maka hanya 3 spesies
yang mempunyai nilai biomasa tinggi yaitu
berturut-turut Brachiria reptans (4534 g/2
m2), Dichantium coricosum (2408 gr/2 m2) ,
dan Dactyloctenium aegyptium (2517
g/2m2). Sedangkan yang memiliki nilai
biomasa rendah berturut-turut Leersia
hexandra (142 g/2m2), Eleusine indica (202
g/2m2), dan Axonopux compressus (314
g/2m2).
Dengan
demikian
dapat
dikemukakan
bahwa
rumput
yang
mendominasi savana Bekol ditinjau dari
aspek biomasa adalah Brachiria reptans,
Dichantium coricosum, dan Dactyloctenium
aegyptium. Ketiga spesies ini secara ekologi
merupakan spesies yang menguasai kawasan
dan spesies tersebut juga merupakan
makanan yang digemari oleh rusa.
33
Tabel 1. Rata-rata biomasa (2m2) dan penutupan (20m2) rumput di savana Bekol
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Bayapan
Lamuran
Tuton
Biomasa (g)
Pemotongan
April 2004
4534
2408
2517
Biomasa (g)
Pemotongan
Juli 2004
3264
1733
1812
Lamuran
Empritan
Menjangan
Kawatan
Cakar ayam
Jajagoan
Rumput pait
Gersikan
Belulang
1750
940
672
435
412
368
314
202
142
560
677
484
313
297
264
226
145
102
Nama
Daerah
S p e s i e s
Brachiria reptans
Dichantium coricosum
Dactyloctenium
aegyptium
Polytrias amaura
Eragrostis tenella
Echinochloa colonum
Cynodon dactylon
Digitaria ciliaris
Panicum repens
Axonopus compressus
Lersia hexandra
Eleusine indica
Penutupan
(%)
60
10
10
5
3
2
2
2
2
2
1
1
5000
4500
Biomasa (gram)
4000
3500
Pemotongan April 2004
Pemotongan Juli 2004
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jenis Rumput
Gambar 1. Biomasa rumput makanan rusa di savana Bekol. (1). Brachiria reptans, (2).
Dichantium coricosum, (3). Dactyloctenium aegyptium, (4). Poyitrias amaura, (5).
Eragrostis tenella, (6). Echinocloa colonum, (7). Cynodon dactylon, (8). Digitaria
ciliaris, (9). Panicum repens, (10). Axonopus compressus, (11). Leersia hexandra, (12).
Eleusine indica.
Berdasarkan data pada Gambar-1
dapat dikemukakan suatu fakta bahwa
perbedaan waktu pemotongan rumput antara
bulan April 2004 dan Juli 2004
menunjukkan biomasa yang berbeda,
meskipun pemotongan rumput dilakukan di
tempat yang berdekatan. Hal ini disebabkan
karena di TNB musim sangat berpengaruh
terhadap kualitas rumput. Bulan Maret
merupakan awal musim kemarau sampai
puncaknya September s/d Nopember.
Dengan demikian pemotongan rumput pada
bulan Juli telah menunjukkan bobot biomasa
yang lebih rendah karena rumput sudah
kering, bahkan jika dipotong pada bulan
Nopember kemungkinan besar biomasa
setiap spesies rumput dapat berkurang
mencapai 75%. Kondisi ini merupakan
kendala bagi satwa di TNB yang memiliki
tipe iklim D. Pada saat puncak kemarau
biasanya satwa juga mencari makan di
sekitar hutan yang selalu hijau (ever green
forest)
untuk
mencukupi
kebutuhan
hidupnya.
Berdasarkan data pada Gambar-2
dapat dikemukakan bahwa prosentase
33
penutupan (coverege) rumput di savana
Bekol didominasi oleh Brachiria reptans
(60%), Dichantium coricosum (10%),
Dactyloctenium aegyptium (10%). Data ini
relevan dengan hasil pengukuran parameter
biomasa.
Dengan
demikian
dapat
dikemukakan bahwa makanan andalan bagi
rusa di savana Bekol adalah spesies yang
mempunyai nilai biomasa dan penutupan
yang tinggi.
Spesies rumput tersebut ditemukan
di kawasan savana Bekol terutama yang
sering dijumpai rusa makan yaitu kawasan
savana yang terbuka. Jumlah spesies rumput
yang ditemukan pada penelitian ini lebih
banyak dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya. Utomo (1997) menemukan 8
spesies rumput di savana Bekol. Namun
lebih sedikit dari apa yang pernah dilaporkan
Djufri (1993) menemukan 14 spesies di
savana Bekol. Perbedaan spesies rumput
dipengaruhi oleh musim. Penelitian yang
dilakukan awal musim kemarau (April-Mei)
ditemukan spesies rumput lebih banyak (12
spesies) rumput dibandingkan akhir musim
kemarau. Menurut Partomihardjo (1988)
bahwa vegetasi savana umumnya mencapai
nilai maksimum pada awal musim kemarau,
sedangkan prosentase penutupan maksimum
terjadi pada pertengahan musim hujan.
Pertumbuhan rumput bayapan,
lamuran dan tuton di savana Bekol lebih
bagus dibandingkan dengan jenis lain,
terlihat dari tajuk-tajuk yang menutupi
hampir seluruh kawasan terutama di tempati
yang dilewati garis transek. Tajuk-tajuk yang
lebar serta merata di permukaan tanah
berpengaruh terhadap prosentase penutupan
spesies rumput. Menurut Soerianegara dan
Indrawan (1988) bahwa penutupan biasanya
merupakan perbandingan proyeksi tajuk
terhadap permukaan tanah.
Pertumbuhan tajuk rumput yang
baik dipengaruhi oleh iklim, rumput akan
tumbuh dan berkembang secara maksimal
pada saat pertengahan musim hujan. Iklim
sepanjang tahun di savana menyebabkan
keanekaragaman musiman dalam komposisi
spesies, kerapatan dan struktur rumput.
Dengan demikian savana yang sebagian
besar terdiri atas spesies tumbuhan semusim
akan mengalami kenaikan tajam baik ukuran
tinggi maupun prosentase penutupannya
sejalan dengan meningkatnya curah hujan.
3%
2% 2% 2%1%1%
2%2%
5%
10%
60%
10%
Brachiria reptans
Dactyloctenium aegyptium
Eragrostis tenella
Cynodon dactylon
Panicum repens
Leersia hexandra
Dichantium coricosum
Politrias amaura
Echinocloa colonum
Digitaria ciliaris
Axonopus compressus
Eleusine indica
Gambar 2. Penutupan rumput di savana
Bekol
Tekanan perumputan dari injakan
satwa liar yang ada di savana Bekol
mengakibatkan struktur tanah berubah
menjadi
padat.
Pemadatan
tersebut
mengakibatkan aktivitas mikroorganisme
yang hidup di dalam tanah dan berfungsi
sebagai pengurai menjadi terganggu, karena
pemadatan akan menutup pori-pori tanah
sehingga sirkulasi udara yang masuk dan
keluar dari tanah terhambat atau tidak ada
sama sekali, keadaan ini berpengaruh
terhadap produktivitas rumput, karena
tekanan perumputan yang berat akan
menyebabkan
pertumbuhan
rumput
terhambat. Menurut Alikodra (1980), injakan
kaki satwa dapat menyebabkan struktur
tanah menjadi padat, aerasi menjadi
berkurang sehingga penetrasi air terganggu
dan menimbulkan erosi tanah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyebaran
rumput
adalah
tekanan
perumputan yang berlebihan sehingga dapat
mematikan beberapa spesies rumput sebelum
menghasilkan biji untuk beregenerasi.
Keadaan tanah dan unsur hara tanah
merupakan faktor utama yang menentukan
pembentukan tipe savana. Pada tanah tandus
atau gersang dan tipe tanah menentukan
komposisi spesies rumput yang hidup di
savana.
Penelitian ini berlangsung pada
akhir musim hujan, sehingga sisa-sisa air
hujan masih banyak terdapat di savana yang
menyebabkan tanah menjadi becek dan
genangan air, keadaan ini banyak dijumpai
pada kawasan yang sudah lama terbuka
terutama di tengah-tengah savana Bekol.
Tempat-tempat ini dimanfaatkan rusa
sebagai tempat minum dan berkubang.
Tetapi pada kawasan yang terbuka keadaan
33
rumput masih hijau, sehingga rusa menyukai
tempat tersebut untuk mencari makan.
Gambar 3. Kondisi savana Bekol yang
terinvasi A. nilotica
Berdasarkan
Gambar-3
dapat
terlihat bahwa savana Bekol selain
ditumbuhi rumput juga banyak dijumpai
semak. Spesies semak yang tumbuh di
savana Bekol antara lain widuri (Calotropis
gigantea), orok-orok (Crotalaria striata),
kapasan (Thespesia lanpas), pulutan
(Triumpetta bartramia), tarum (Indigofera
sumatrana), temblek ayam (Lantana
camara), selasi (Vernonia cineria), jarong
(Achyrantes
aspera),
jarong
lelaki
(Stachytarpeta
indica), buah
perahu
(Salvinia pubescens)
dan paci (Leucas
lavandufolia). Semak tersebut sangat
mengganggu kehidupan rumput karena
pertumbuhannya yang cepat dan memiliki
perakaran yang kuat, sehingga rumput kalah
dalam kompetisi memperebutkan ruang
hidup.
Di savana Bekol makanan rusa
timor selain rumput yang banyak dijumpai
adalah biji bidara (Zizipus rotundifolia) dan
pucuk akasia (A. nilotica), tetapi jumlah
yang tersedia sangat sedikit. Untuk itu pihak
pengelola Balai Taman Nasional Baluran
telah melaksanakan suatu program guna
peningkatan populasi rusa yaitu pembinaan
habitat yang dilakukan di savana Bekol yaitu
pembongkaran akasia (A. nilotica) secara
mekanis sehingga dapat merangsang
pertumbuhan rumput.
Penurunan produktivitas rumput
dalam jangka waktu 10 tahun yang
disebabkan oleh penutupan A. nilotica
diperkirakan mencapai lebih dari 90% atau
9% per tahun (Purwanta 1995). Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa dari 420 ha
savana Bekol saat ini hanya sekitar 150 ha
saja yang kondisinya relatif baik, karena
daerah ini telah dibersihkan dari A. nilotica
baik tingkat pohon, sapling dan anakan
secara berkala. Sedangkan 270 ha lainnya
kondisi sudah sangat buruk akibat terinvasi
Keadaan savana Bekol pada saat penelitian
disajikan pada Gambar-3.
A. nilotica (Gambar-18). Hal ini merupakan
ancaman yang sangat serius terhadap
keberadaan savana sebagai sumber makan
utama bagi rusa dan satwa yang lainnya. Di
samping penurunan produktivitas juga
sangat signifikan terjadi penurunan luasan
savana. Hasil pengamatan penutupan savana
oleh A. nilotica sudah mencapai ± 5000 ha
(tahun 2000), saat ini (2006) perkiraan
penutupan A. nilotica telah mencapai 80%
dari luas seluruh savana TNB. Perkiraan ini
berdasarkan pengamatan di lapangan
terhadap sejumlah savana yang ada.
Pertumbuhan A. nilotica sudah sangat
mengkhawatirkan.
Hasil
penelitian
menunjukkan kerapatan mencapai > 2500
batang/ha/tahun (Djufri dan Setiadi, 2004;
Djufri dkk. 2005).
Data di atas menunjukkan bahwa
keberadaan (eksistensi) savana Bekol (± 420
ha) sebagai areal utama kawanan rusa dan
satwa lain mencari makan sudah sangat
mengkhawatirkan. Penurunan luasan savana
dan penurunan biomasa rumput berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup rusa, di
samping faktor lain seperti ancaman dari
predator anjing hutan (ajag) dan perburuan
liar.
Populasi rusa memerlukan tempattempat yang menjamin ketersediaan pakan,
minum,
tempat
berlindung
dan
berkembangbiak untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Populasi satwa akan stabil,
berkembang atau menurun dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan hidup seperti pakan, air,
penutupan vegetasi, sifat hidup seperti
kelahiran, kematian dan daya survival,
keadaan perpindahan satwa imigrasi dan
emigrasi.
Dari hasil penelitian Setyawan
(1996) menunjukkan bahwa jumlah rusa di
savana Bekol sebanyak 202 ekor dan dari
hasil inventarisasi di seluruh savana Taman
Nasional Baluran pada tahun 1997/1998
sebanyak 4.036 ekor (Laporan inventarisasi
mamalia besar di Taman Nasional Baluran
1997). Bila kualitas savana terus mengalami
penurunan dan tidak tertanganinya ancaman
dari predator dan perburian liar, maka sudah
dapat dipastikan populasi rusa akan
mengalami penurunan di masa yang akan
datang.
Rusa tinggal di daerah tebuka dan
kering, seperti di savana atau bukit-bukit
dengan pohon atau belukar yang tersebar.
Rusa tidak begitu tergantung pada adanya
33
air. Daerah penyebaranya vertikal dapat
mencapai ketinggian 2.600 m dpl. Rusa
timor memiliki daya adaptasi lebih tinggi
terhadap lingkungan hidupnya. Menurut
Bukhari dalam Saraswati (2001) rusa
merupakan satwa ruminansia, makananya
terdiri dari rumput, semak, anakan pohon,
dan lain sebagainya. Dari sekian banyak
jenis hijauan yang dimakan rusa, makanan
yang dominan dimakan adalah jenis rumput.
Kebutuhan makanan hijauan setiap ekor
tergantung kepada berat badan, seks, umur
dan aktivitas. Namun sebagai patokan yang
mendekati kenyataan adalah berdasarkan
berat badan. Umumnya hewan ini
membutuhkan bahan makanan hijau
sebanyak 10% dari berat badanya (Bukhari
dalam Saraswati 2001).
Banteng
Pada saat ini kondisi savana Bekol
seluas 420 ha memperlihatkan karakter
sebagai berikut: (a). Sekitar 150 ha berupa
savana terbuka yang tidak dijumpai adanya
pohon A. nilotica, tetapi hanya ditumbuhi
oleh anakan A. nilotica yang berukuran ratarata 25-50 cm, dengan tingkat kerapatan
berkisar 140-400 individu/10 meter persegi.
Komposisi spesies penyusun pada daearah
ini mencapai 60 spesies, disajikan pada
Tabel-2. Pada daerah ini rumput bayapan
(Brachiria reptans) menguasai seluruh
tempat dengan penutupan area mencapai
75%, (b). Sekitar 200 ha berupa savana yang
tertutupi oleh pohon A. nilotica berumur 3-4
tahun, tinggi pohon berkisar 2,5-4 m, dengan
kerapatan pohon rata-rata sekitar 1500/ha.
Komposisi spesies di daerah ini sangat
terbatas karena telah dipengaruhi oleh
kerapatan pohon A. nilotica terkait dengan
intensitas sinar dan kemungkinan adanya
pengaruh zat alelopati yang diproduksi oleh
A. nilotica atau karena adanya kompetisi
antar spesies, dan (c). Sekitar 70 ha berupa
savana yang sudah berubah fungsi menjadi
hutan A. nilotica berumur 4-5 tahun, tinggi
pohon berkisar 5-7,5 meter, dengan
kerapatan pohon A. nilotica mencapai
4500/ha. Di lantai hutan A. nilotica ini
relatif bersih karena hanya dijumpai
beberapa spesies saja yang mampu hidup,
dan kerapatannya sangat rendah. Misalnya
gletengan (Synedrella nudiflora), kapasan
(Abutilon Sp.), bayapan (Brachiria reptans),
jarong (Stachytarpeta indica) dan merakan
(Themeda arguens).
Berdasarkan data pada Tabel-2
dapat dikemukakan bahwa jumlah spesies
yang hidup di savana Bekol yang terbuka
jauh lebih banyak dibandingkan savana yang
ditumbuhi oleh pohon A. nilotica dengan
kerapatan 1500/ha, dan jauh lebih sedikit
lagi spesies yang mampu hidup pada savana
yang telah berubah menjadi hutan A.
nilotica. Bila gejala ini terus berlangsung
pada seluruh savana yang ada di Taman
Nasional Baluran, maka tidak mustahil
komunitas
savana
akan
hilang.
Konsekuensinya adalah hilangnya spesies
rumput yang menjadi pakan utama bagi
herbivora yang hidup di kawasan ini.
Disamping itu, savana yang menjadi salah
satu keunikan dan andalan kawasan ini akan
menjadi
terancam.
Oleh
karenanya,
diharapkan adanya upaya yang serius dari
semua pihak terutama pihak pengelola di
bawah naungan Departemen Kehutanan dan
Perkebunan
(Dephutbun)
sehingga
kerusakan yang meluas akibat invasi A.
nilotica dapat dicegah sedini mungkin
melalui program yang kongkrit dan
komprehensif
meskipun
membutuhkan
tenaga dan dana yang tidak sedikit, bila kita
memang sepakat bahwa kelestarian savana di
kawasan ini harus tetap dilestarikan atau ada
pemikiran lain yang beranggapan bahwa
upaya penanggulangan cukup seperti yang
telah dilakukan selama ini, sembari
menunggu adanya temuan baru bahwa A.
nilotica akan dapat dimanfaatkan secara
lestari (sustainable).
Berdasarkan data pada Tabel-2
dapat dikemukakan bahwa dari 60 spesies
yang ditemukan di savana Bekol, 50 spesies
di antaranya dimakan oleh banteng (83,33%)
dan sisanya 10 spesies (16,67%) tidak
dimakan oleh banteng. Ditinjau dari jumlah
spesies yang dimakan oleh banteng, tidak
mengkhawatirkan, karena spesies yang
dimakan ditemukan di wilayah penelitian
jauh lebih banyak dibandingkan spesies yang
tidak dimakan. Namun, bila dikaitkan
dengan makanan yang lebih disukai oleh
banteng yaitu spesies rumput, maka
kondisinya menjadi tidak lebih baik, sebab
dari seluruh spesies yang ditemukan, spesies
rumput terdiri dari 12 spesies (21,67%).
Meskipun prosentasi masuk dalam kategori
sebagai savana murni sebagaimana yang
ditetapkan oleh Speeding dalam Djufri
(2002) bahwa salah satu kriteria savana
dikatakan
murni
adalah
memenuhi
komposisi spesies rumput paling tidak
mencapai >20% dari seluruh spesies yang
ada. Disamping persyaratan lain seperti
iklim dan sejarah hidup (life history) rumput
33
yang ditemukan di tempat tersebut.
Gambaran
komposisi
familia
yang
menyusun komunitas savana Bekol disajikan
pada Tabel-2.
Tabel 2. Komposisi spesies yang dijumpai di savana Bekol yang terbuka (150 ha) setelah
dilakukan pembongkaran secara mekanik (Pengamat April-Juli, 2004)
Nama
Daerah
Widoro bekol
Akasia berduri
Pilang
Nimba
Jeruk hitam
Petai cina
Nyawon
Kapasan
Temblek ayam
Biduri
Nama
Ilmiah
Zyzipus rotundifolia
Acacia nilotica
Acacia leprosula
Azadirachta indica
Citrus Sp.
Leucaena leucocepala
Vernonia cinerea
Thespesia lanpas
Lantana camara
Calotropis gigantea
Solanum torvum
Ocimum basilicum
Centella asiatica
Mimosa pudica
16.
Rimbang
Kemangi
Pegagan
Putri
malu
(merah)
Putri
malu
(hijau)
Kekosongan
17.
18.
19.
20.
Tarum
Sidagori
Jarong lelaki
Jarong
21.
22.
23.
Pedangan
Bayapan
Susukan
24.
25.
Ceplukan
Semangka
gunung
Patikan kebo
Nyawon ungu
Babadotan
Belulang
Tempuyung
Kacangan
Kacangan
Pulutan
Lamuran merah
Kacangan
Lamuran kecil
Merakan
Buah perahu
Kacangan
Jajagoan
Lamuran putih
Ketulan
Orok-orok
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
Bentuk
Hidup
Anakan
Anakan
Anakan
Anakan
Anakan
Anakan
Semak
Semak
Semak
Semak
DB
DB
DB
TDB
TDB
DB
TDB
TDB
TDB
TDB
Asclepiadaceae
Solanaceae
Lamiaceae
Apiaceae
Mimosaceae
Semak
Herba
Herba
Herba
TDB
DB
DB
DB
Mimosa invisa
Mimosaceae
Herba
DB
Maughania
macrophylla
Indigofera sumatrana
Sida rhombifolia
Stachytarpheta indica
Achyranthes aspera
Fabaceae
Herba
DB
Fabaceae
Malvaceae
Lamiaceae
Herba
Herba
Herba
Herba
DB
DB
TDB
DB
Amaranthaceae
Capparidaceae
Poaceae
Fabaceae
Herba
Herba
Herba
DB
DB
DB
Solanaceae
Cucurbitaceae
Herba
Herba
DB
DB
Euphorbiaceae
Asteraceae
Asteraceae
Poaceae
Asteraceae
Fabaceae
Fabanceae
Malvaceae
Poaceae
Fabaceaa
Poaceae
Poaceae
Salvinaceae
Fabaceae
Poaceae
Poaceae
Asteraceae
Fabaceae
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
Cleome rutudisperma
Brachiaria reptans
Desmodium
heterophylla
Physalis angulata
Melotria Sp.
Euphorbia hirta
Eupatorium suaveolens
Ageratum conyzoides
Eleusine indica
Emilia sonchifolia
Flemengia lineata
Cayanus cayan
Triumfetta bartramia
Dichantium coricosum
Casia seamea
Polytrias amaura
Themeda arguens
Salvinia pubescens
Polygonum mucronata
Panicum repens
Dichantium coricosum
Bidens pilosa
Crotalaria striata
Familia
Rhamnaceae
Mimosaceae
Mimosaceae
Meliaceae
Rutaceae
Mimosaceae
Asteraceae
Malvaceae
Verbenaceae
Ket
33
44.
Tuton
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
Semacam merica
Kembang telang
Orok-orok
Meniran
Meniran
Paci
Teki payung
Gletengan
Kacangan
Rumput gunung
Teki
Sintrong
Rumput pait
Rumput jarum
Emprit-empritan
Alang-alang
Dactyloctenium
aegyptium
Hedyotis corymbosa
Clitoria ternatea
Crotalaria anagyroides
Phyllanthus debilis
Phyllanthus urinaria
Leucas lavandulaefolia
Cyperus pygmaeus
Synedrella nudiflora
Clidemia hirta
Oplismenus burmanii
Cyperus rotundus
Crassocephalum sp.
Axonopus compressus
Digitaria ciliaris
Eragrostis tenela
Imperata cylindrica
Berdasarkan data pada Tabel-2
dapat ditunjukkan bahwa prosentase secara
keseluruhan antara rumput dan non rumput,
maka
savana
Bekol
sudah
sangat
mengkhawatirkan kondisinya di masa
mendatang sebagai areal utama mencari
makan (feeding ground) bagi banteng, jika
tidak dilakukan upaya-upaya pengelolaan
yang memadai. Pembahasan yang rinci
tentang kondisi savana Bekol diuraikan pada
topik pembahasan tentang faktor-faktor yang
menyebabkan menurunnya kualitas savana
Bekol.
Bila dikaitkan dengan data pada
Tabel-3 tentang spesies yang pernah diteliti
untuk makanan banteng, baik di Taman
Nasional Baluran (TNB) maupun di Taman
Nasional Ujung Kulon (TNUK) dapat
dikemukakan bahwa dari 122 spesies sebagai
makanan banteng, hanya 15 spesies
(12,29%) saja yang ditemukan di savana
Bekol. Dari 122 spesies tersebut di atas 62 di
antaranya ditemukan di TNB. Dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa
beberapa spesies yang dulunya tercatat
pernah ditemukan di TNB saat ini spesies
tersebut sudah tidak ditemukan lagi. Hal ini
tentunya mengindikasikan bahwa telah
terjadi suksesi komposisi spesies di TNB
baik yang terjadi secara alami maupun
karena intervensi manusia. Kemungkinan
yang lainnya adalah terbatasnya unit sampel
hanya pada savana, sebab sebagian spesies
yang tercantum pada Tabel-3 dapat
ditemukan pada hutan yang selalu hijau
(ever green forest) di TNB.
Poaceae
Herba
DB
Rubiaceae
Fabaceae
Fabaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Lamiaceae
Cyperaceae
Asteraceae
Fabaceae
Poaceae
Cyperaceae
Asteraceae
Poaceae
Poaceae
Poaceae
Poaceae
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
Herba
DB
DB
DB
DB
DB
DB
DB
TDB
DB
DB
DB
TDB
DB
DB
DB
DB
2%
2%2%
2%
2%2%
3%
3%
2%
2% 2% 2% 2%
22%
5%
18%
5%
5%
8%
POACEAE
MALVACEAE
SOLANACEAE
ASCLEPIADACEAE
AMARANTHACEAE
FABACEAE
EUPHORBIACEAE
MELIACEAE
APIACEAE
CAPPARACEAE
12%
ASTERACEAE
LAMIACEAE
RUTACEAE
SALVINACEAE
CUCURBITACEAE
MIMOSACEAE
CYPERACEAE
VERBENACEAE
RUBIACEAE
RHAMNACEAE
Gambar 2. Komposisi familia penyusun
savana Bekol
Khusus di savana Bekol yang
terbuka seluas 150 ha sebagai areal feeding
ground satwa baik rusa, banteng maupun
kerbau liar, kondisinya sudah tidak alami
lagi, karena kawasan ini sejak tahun 1993
sampai
dengan
1999
dilakukan
pemberantasan A. nilotica seluas 239,5 Ha
baik terhadap pohon maupun pengendalian
anakan. Pemberantasan dilakukan secara
kimiawi menggunakan herbisida sistemik
yang bersifat hormon (Indamin 720 HC dan
2,4 D Dinitropenol) yang dimasukkan ke
dalam lubang pohon yang dibor setinggi
dada dengan kemiringan 450. Pemberantasan
secara fisik atau mekanik dengan cara
memotong
pohon,
membakar,
dan
mencabutnya dengan buldozer. Meskipun
upaya yang dilakukan tersebut belum
memberikan hasil yang menggembirakan.
Berdasarkan data pada Tabel-3
dapat
dikemukakan
bahwa
bila
dikelompokkan spesies yang dimakan oleh
33
banteng, tediri dari 19 familia dan
didominasi oleh familia rumput (Poaceae)
mencapai 36 spesises (29,51%).
Dengan demikian rumput tetap
menjadi makanan utama bagi banteng. Oleh
karenanya, untuk menjaga daya dukung
(carrying capacity) savana Bekol, maka
kelestariannya harus menjadi prioritas
pengelolaan bagi pengelola kawasan BTNB.
Mengingat satwa seperti rusa, banteng,
kerbau liar dan yang lainnya merupakan
maskot bagi TNB baik ditinjau dari aspek
ekologis maupun ekonomis.
Habitat
juga
berarti
suatu
ekosistem, sehingga untuk menjamin
kelestarian habitat berarti kelangsungan dari
setiap hubungan di dalam sistem tersebut
harus diperhatikan. Kondisi habitat masingmasing satwa liar berbeda antara satu dengan
spesies yang lainnya, akan tetapi mempunyai
fungsi yang sama yaitu sebagai penyedia
makanan, sumber air dan tempat berlindung
(cover). Begitu juga halnya dengan banteng,
komponen-komponen tersebut membentuk
satu kesatuan dan dimanfaatkan oleh satwa.
Berdasarkan Anonim dalam Sabarno (2001),
tata ruang tempat tinggal banteng dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu : (a).
Padang pengembalaan (savana) sebagai
tempat makan, minum, bermain dan
istirahat. (b). Daerah berlindung, biasanya
berupa hutan alam primer atau hutan
sekunder yang berdekatan dengan lokasi
padang pengembalaan, dan (c). Daerah
jelajah berupa hutan primer dan hutan
sekunder yang telah mencapai klimaks. Dari
ketiga komponen tata ruang tersebut, dapat
ditemukan di Taman Nasional Baluran. Oleh
karena itu kawasan pelestarian ini sangat
cocok sebagai habitat banteng. Kelestarian
satwa liar banteng sangat tergantung dari
keseimbangan ekosistem yang ada di suatu
kawasan. Keberadaan populasi banteng di
Taman Nasional Baluran mempunyai
peranan yang strategis. Disamping peranan
dalam keseimbangan ekosistem, banteng
merupakan
objek
pemandangan
dan
pengamatan hidupan liar yang sangat
menarik di habitat alaminya.Akan tetapi
banyak hal yang menjadi permasalahan
Keberadaan A. nilotica secara langsung
dapat menurunkan produktivitas rumput.
Dari hasil pengamatan penutupan A. nilotica
mencapai 50%–100% meyebabkan
tidak ada rumput yang mampu
tumbuh (sangat sedikit sekali). Penutupan
30%–50% hanya sedikit rumput yang
mampu tumbuh, namun kelompok semak
dalam menjaga kelestarian
populasi
banteng, antara lain berhubungan dengan
kondisi habitat, sumber air minum satwa dan
gangguan dari luar berupa perburuan liar.
Perlu
upaya
yang
serius
dan
berkesinambungan
dalam
menjaga
kelestarian populasi banteng. Pembinaan
savana sebagai “feeding ground” utama
banteng, pemeliharaan sumber air di musim
kemarau dan penanganan secara tegas
terhadap pelaku pemburuan liar merupakan
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
mengurangi potensi ancaman terhadap
kelestarian satwa “Maskot” Taman Nasional
Baluran tersebut. Peningkatan peran serta
aktif dari masyarakat sekitar kawasan dan
pihak lain yang berkepentingan, seperti LSM
Lingkungan, sangat diharapkan dalam
menunjang upaya pelestarian banteng,
sebagai bagian dari komponen ekosistem di
Taman Nasional Baluran.
Faktor-Faktor yang menurunkan kualitas
savana Bekol
Invasi A. nilotica
Adanya
invasi
A.
nilotica
menyebabkan
tejadinya
penyempitan
kawasan Bekol yang berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup rusa, banteng dan satwa
lainnya terutama terhadap tumbuhan bawah.
A. nilotica mempunyai lapisan tajuk relatif
rapat menyebabkan intensitas sinar matahari
yang sampai di bawahnya menjadi kurang,
sehingga spesies rumput yang ada di
bawahnya akan kalah bersaing untuk
mendapatkan sinar matahari.
Hal ini
menyebabkan spesies rumput tetentu tidak
mampu bertahan dan tumbuh di bawah
tegakan A. nitolica. Meskipun ada spesies
rumput tertentu yang mampu tumbuh dan
bertahan hidup, namun pertumbuhanya
kurang baik.
Selain itu pada gubal, kayu dan
polong Acacia nilotica menghasilkan zat
tanin yang cukup tinggi antara 12%-19%
(Suharti, dalam Barata 2000). Zat tanin ini
jika meresap ke dalam tanah dan mengalami
proses hidrolisis akan menghasilkan asam
gallic dan egallic sebagai senyawa alelopati
(Rice, dalam Suharti 1990).
(widuri, kapasan, jarak, dan lain-lain) relatif
lebih mampu tumbuh di bawah tegakan A
nilotica. Sedangkan rumput dapat tumbuh
lebih baik pada penutupan kurang dari 30%.
Kondisi habitat yang ideal bagi
banteng, tidaklah lepas dari potensi ancaman
yang menyebabkan penurunan kualitas
habitat tersebut. Penurunan kualitas ini
33
sebagian besar disebabkan oleh campur
tangan atau aktivitas manusia dalam
kawasan. Potensi ancaman yang hingga kini
belum terselesaikan dengan baik adalah
adanya invasi A. nilitica. Akibat invasi
tanaman ini, hampir 50% luas savana telah
menjadi tegakan tanaman A. nilotica. Selain
secara kuantitas, terjadi pula penurunan
kualitas dari savana tersebut.
Berbagai upaya dan kegiatan yang
bertujuan mengurangi penyebaran tanaman
ini telah banyak dilakukan. Akan tetapi
karena tingkat pertumbuhan yang sangat
cepat serta sifat fisik dan biologi tanaman
yang mampu hidup di lahan yang kritis atau
ekstrim, maka hasil dari pemberantasan
invasi A. nilotica tersebut belum optimal.
Bahkan banyak terjadi perubahan habitat,
akibat dari kegiatan pembetantasan A.
nilotica sebelumnya tidak diperkirakan.
Luas keseluruhan savana sebelum
terinvasi A. nilotica sekitar 10.000 ha, akan
tetapi akibat adanya invasi tanaman eksotik
tersebut luas savana di Taman Nasional
Baluran tinggal 5.000 ha. Sebagai feeding
ground utama penyedia sumber pakan bagi
banteng dan satwa mamalia besar lainnya,
hal ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan populasi banteng. Terjadi
perubahan pola makan dan pergerakan satwa
di dalam kawasan. Secara kualitas, banyak
spesies tanaman yang tidak disukai oleh
banteng
tumbuh
di
savana
pasca
pemberantasan tegakan A. nilotica, misalnya
di daerah Kramat, setelah penebangan dan
pembakaran tonggak A. nilotica yang
kemudian disusul musim penghujan,
mendorong cepatnya pertumbuhan tanaman
spesies rumput dan herba. Akan tetapi
tanaman yang tumbuh didominasi oleh
spesies yang hurang disukai banteng seperti
kapasan (Thespesia lampas). Sedangkan di
savana Bekol, akibat penebangan dan
perlakuan secara mekanis dengan buldozer
dilakukan ketika musim berbuah, sehingga
biji A. nilotica tersebar, hal ini dapat dilihat
dari banyaknya anakan A. nilotica yang
tumbuh di savana Bekol. Dimana
pertumbuhan anakan tersebut menekan
pertumbuhan rumput dan mengakibatkan
terganggunya proses suksesi di savana
tersebut (Djufri 2004; Sabarno, 2002).
Hal ini diperparah dengan muncul
dan menyebarnya spesies widuri (Calotropis
gigantea), kapasan (Thespesia lanpas),
pulutan (Triumfetta bartramia), tarum
(Indigofera sumatrana), dan lain-lain yang
mendominasi bagian utara savana Bekol.
Akibat lain dari pasca pemberantasan secara
mekanis dengan alat berat yaitu terjadi erosi
tanah yang cukup besar pada musim
penghujan karena terbukanya tanah. Hal ini
berlanjut pada penurunan kesuburan tanah
dan akibatnya mengakibatkan penurunan
produktivitas savana.
Oleh karena itu diperlukan kajian
mendalam menyngkut tahap evaluasi dari
kegiatan yang telah dilakukan serta
dirumuskan suatu metode pemberantasan
tegakan dan seedling A. nilotica yang
diharapkan lebih efektif dan efisien. Dalam
rumusan metoda penanganan savana tersebut
harus
mengutamakan
pertimbangan
ekologis, sehingga gangguan terhadap
keseimbangan ekosistem dapai diminimal.
Dengan harapan bahwa ekosistem savana
yang sebelumnya berupa savana alami akan
kembali pada kondisi fungsinya sebagai
salah satu tata ruang tempat tinggal banteng
yang ideal.
Semak yang menyerang savana
Semak
sangat
mengganggu
kehidupan rumput karena pertumbuhan yang
cepat dan memiliki perakaran yang kuat,
sehingga penyerapan hara dan air akan
dominan. Persaingan antara vegetasi rumput
dan semak dalam mendapatkan sinar
matahari dan unsur hara yang terbatas akan
menghasilkan salah satu vegetasi sebagai
pemenang dan seringkali keberadaan spesies
rumput akan digantikan oleh spesies lain
(semak). Spesies semak yang tumbuh di
savana Bekol antara lain widuri (Calotropis
gigantea), kacang-kacangan (Crotalaria
striata), dan kapasan (Thespesia lampas).
Keberadaan semak juga secara langsung
dapat menurunkan produktivitas rumput
walaupun tidak sebesar A. nilotica. Pada
penutupan semak >50% tidak ada rumput
yang tumbuh. Pada penutupan semak 3050% pertumbuhan rumput hanya 30% dan
pada penutupan < 30% rumput dapat tumbuh
di atas 30%.
Penyebaran semak yang cepat dapat
menurunkan kesuburan tanah terutama pada
kawasan yang ditumbuhi oleh semak dari
familia
Malvaceae,
Asclepiadaceae,
Lamiacea, Verbenaceae, dan Asteraceae,
biasanya tanah yang ditumbuhinya akan
kering dan gersang, serta miskin unsur hara
yang ada di dalam tanah karena telah
diabsorpsi oleh akar tanaman tersebut,
sehingga rumput dan vegetasi lain tidak
mampu tumbuh di bawah semak.
33
Tabel 4. Densitas, biomasa dan penutupan semak yang menyerang savana Bekol
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
S p e s
i
s
Thespesia lanpas
Vernonia cinerea
Calotropis gigantea
Indigofera sumatrana
Stachytarpeta indica
Achyranthes aspera
Triumfetta bartramia
Lantana camara
Crotalaria setriata
Salviniea pubescens
Leucas lavandufolia
Nama Daerah
Kapasan
Selasi
Biduri
Tarum
Jarong lelaki
Jarong
Pulutan
Temblek ayam
Orok-orok
Buah perahu
Paci
Persaingan antara vegetasi rumput
dan semak dalam mendapatkan sinar
matahari dan unsur hara yang terbatas akan
menghasilkan salah satu vegetasi sebagai
pemenang dan seringkali keberadaan spesies
satu akan digantikan oleh spesies lain jika
spesies tersebut kalah bersaing (Sutarman
1996). Berkaitan dengan hal di atas, maka
vegetasi rumput merupakan salah satu
vegetasi yang kalah bersaing, karena spesies
rumput yang hidup di savana memerlukan
sinar matahari penuh yaitu pada tempattempat terbuka. Jika dibiarkan, keberadaan
rumput di savana Bekol dapat saja
digantikan oleh semak dan keadaan ini akan
berpengaruh terhadap produktivitas rumput
dan daya dukung savana untuk memenuhi
kebutuhan pakan satwa herbivora, sehingga
berakibat buruk pada perkembangbiakan
rusa, banteng dan herbivora lainnya di
savana TNB.
Pengaruh injakan satwa terhadap tanah
dan rumput
Tanah di bawah naungan yang
banyak terdapat bekas injakan kaki rusa
timor akan membentuk cekungan-cekungan
sehingga tanah menjadi lembab dan becek
yang akhirnya tumbuhan penutup tanah
menjadi busuk dan mati. Hal ini
mengakibatkan menurunnya porositas dan
aerasi tanah. Tekanan terhadap rumput dari
injakan satwa liar yang ada di savana Bekol
mengakibatkan struktur tanah berubah
menjadi
padat.
Pemadatan
tersebut
mengakibatkan aktivitas mikroorganisme
yang hidup di dalam tanah yang berfungsi
Densitas
Individu/200
m
938
734
400
458
246
173
184
80
209
137
109
Rata-Rata
Biomasa (g)
Penutupan
(%)/ha
656,70
513,80
280,00
320,60
172,20
121,10
128,80
112,45
167,20
123,30
76,30
50
20
5
5
3
3
4
3
3
2
2
sebagai pengurai menjadi terganggu, karena
pemadatan akan menutup pori-pori tanah
sehingga sirkulasi udara yang masuk dan
keluar dari tanah terhambat atau tidak sama
sekali. Keadaan ini
mempengaruhi
produktivitas rumput.
Berdasarkan data pada Tabel-5
dapat dikemukakan bahwa populasi bakteri
tanah di bawah vegetasi yang diamati
berkisar antara 115.000 hingga 340.000 per
gram tanah. Jumlah populasi ini apabila
dibandingkan dengan populasi pada tanahtanah yang subur tergolong rendah.
Umumnya tanah mengandung populasi
bakteri tanah 106 CFU/g tanah (Alexander
dalam Setiawati, 2001). Tipe dan jumlahnya
tergantung pada jenis tanah, pengelolaan
tanah dan vegetasi (Evans et al. dalam
Bowen dan Rovira 1999). Jenis tanah di
savana Bekol adalah Grumosol (DEPHUT
1995), tekstur tanah liat berdebu dengan tipe
liat yang mendominasi adalah tipe 2:1, tipe
liat ini dapat mengadsorpsi bakteri ke dalam
permukaan partikel liat.
Keberadaan fungi tanah juga
bervariasi
tergantung
dari
jumlah
vegetasinya. Populasi fungi berkisar anatara
190.000 hingga 1.030.000 propagul/g tanah.
Jumlah populasi fungi termasuk cukup
tinggi. Fungi tanah sebagian besar bersifat
heterotrof, yang sangat tergantung kepada
sumber C sebagai sumber energinya.
Mikroba perombak selulosa dan
mikroba pelarut fosfat merupakan mikroba
yang sangat menguntungkan bagi tanah.
Populasi mikroba perombak selulosa
berkisar
33
57.000 hingga 138.500/g tanah, sedangkan
populasi mikroba pelarut fosfat berkisar
23.000 hingga 63.000/g tanah.
Tabel 5. Populasi mikroflora tanah di bawah beberapa tipe vegetasi yang dominan
No.
Vegetasi
Bakteri
(104/g
tanah)
1.
Zizypus
22
rotundifolia
2.
Azadirachta
15
indica
3.
Calotropis
32,5
gigantea
4.
Acacia
nilotica
34
(P)
5.
Acacia
nilotica
16,5
(A)
6.
Brachiria reptans
30
7.
Ocimum
11,5
basilicum
Keterangan : P = Pohon, A = Anakan
Sumber : Setiawati 2001
Inventarisasi
spesies
mikroba
perombak selulosa berkaitan erat dengan
kandungan karbon dari tanaman yang
sebagian besar berada dalam bentuk
selulosa. Oleh karena sebagian besar
vegetasi di savana memberikan selulosa,
maka peranan mikroba perombak selulosa
sangat besar. Populasi mikroba perombak
selulosa yang ditemukan sebagian besar
adalah bakteri dan fungi, hal ini berkaitan
dengan kondisi pH tanah yang netral (6,5
hingga 7,6). (Alexander dalam Setiawati
2001). Aktivitas perombakan selulosa oleh
mikroba ini secara enzimatis dengan enzim
selulase. Enzim mengkatalisis bentuk
selulosa menjadi bentuk yang lebih
sederhana, tergantung pada mikroba yang
terlibat. Mikroba perombak selulosa yang
bersifat aerob akan merubah gula sederhana
menjadi CO2 dalam proses metabolismenya,
sedangkan mikroba yang bersifat anaerob
merubahnya menjadi asam organik dan
alkohol.
Mikroba pelarut fosfat ditemukan
pada semua rhizosfer tanaman. Dari hasil
pengujian potensi di laboratorium, beberapa
isolat mempunyai kemampuan melarutkan
fosfat yang cukup baik dan kecepatan
melarutkan juga tinggi. Salah satu bakteri
pelarut fosfat yang diisolasi di daerah
rhizosfer tanaman nimba (Azadirchta indica)
mempunyai diameter hallo zone 11 mm,
Mikroba
perombak
selulosa
(103/g
tanah)
103,5
Mikroba
pelarut
Fosfat
(103/g
tanah)
44,5
Mikoriza
(dalam
50 g tanah)
19,5
57
23
10
19
162
63
10
72
131,5
34,5
20
31
80
23
20
103
35,5
138,5
58
28
29
20
10
Fungi
(104/g
tanah)
35
20
dengan indeks kelarutan 1,4 dan mampu
melarutkan pada hari kedua pengujian.
Artinya kemampuan ini dapat dimanfaatkan
untuk memperbaiki kesuburan tanah dan
pertumbuhan tanaman, khususnya rumput
Brachiria reptans, Dichantium coricosum
dan Dactyloctenium aegyptium, karena
selain dapat melarutkan P yang sukar larut,
beberapa
mikroba
pelarut
fosfat
mengeluarkan zat perangsang tumbuh (ZPT)
seperti gibberelin, IAA, auksin, dan lain
sebagainya.
Endomikroriza yang dapat diamati
dari rhizosfer tanaman, menunjukkan jumlah
yang rendah, karena sifatnya yang harus
bersimbiose dengan tanaman inang. Pada
umumnya jumlah mikoriza tergantung pada
tanaman inangnya dan fase pertumbuhan
tanaman.
Jumlah populasi mikoflora tanah di
daerah perakaran sangat tergantung pada
vegetasi yang ada di atasnya, karena adanya
”rhizosfer effect”. Rhizosfer menstimulasi
perkembangan
mikroorganisme
karena
adanya senyawa organik (substrat organik)
yang dikeluarkan oleh akar tanaman (Bolton
1993). Jumlah mikroorgnisme meningkat
dengan meningkatnya jumlah substrat
eksudat
akar,
Beberapa
faktor
mempengaruhi
pelepasan
bahan-bahan
organik dari akar, antara lain spesies
tanaman, fase umur tanaman (development
33
plant stage), temperatur, sinar matarhari,
kelembaban tanah, kelembaban udara, nutrisi
tanaman, pengaruh mikrobia tanah dan
sruktur tanah (Bowen & Rovira 1999).
Substrat soluble yang dilepas oleh
akar tanaman merupakan energi yang
tersedia untuk mikrobia di daerah rhizosfer,
yaitu gula, asam amino, asam organik, asam
lemak dan sterol, zat pengatur tumbuh,
nukleotida, enzim dan kadang-kadang
vitamin (Bowen & Rovira 1999).
Karakteristik dan jumlah senyawa yang
dikeluarkan tergantung kepada spesies
tanaman, umur dan kondisi lingkungan
tempat tumbuh tanaman (Rao 1994), dan tipe
akar tanaman (Siviasithamparam et al.
1979).
Sebanyak
10-30%
fotosintat
ditranslokasikan ke sistem perakaran dan
akan dilepaskan dari akar masuk ke daerah
rhizosfer dalam waktu kurang dari 12 jam.
Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah
mikroba tanah. Sifat kimia tanah di savana
Bekol disajikan pada Tabel-6.
Tabel 6. Sifat kimia tanah di savana Bekol
No.
V e g e t a s i
pH
C-organik
tanah (%)
N-total
(%)
C/N
Ratio
1.
2.
3.
4.
5.
Zizyphus rotundifolia
Azadirachta indica
Calotropis gigantea
Acacia nilotica (Pohon)
Acacia nilotica
(Anakan)
Brachiria reptans
Ocimum basilicum
7,47
7,43
7,33
6,76
7,67
0,45
0,40
0,36
0,49
0,52
0,0315
0,0338
0,0319
0,0321
0,0323
14
12
11
15
16
P-Bray I
(ppm
P2O5)
31,58 T
12,77 S
17,60
15,14
15,86
7,61
7,87
0,51
0,32
0,0329
0,0321
15
10
16,21
16,38
6.
7.
Beberapa sifat kimia tanah di
bawah vegetasi yang diamati tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel6). Reaksi tanah netral hingga agak alkalis,
kadar C-organik tanah sangat rendah, kadar
N-total tanah sangat rendah, ratio C/N
sedang. P-tersedia dalam ekstrak Bray I
sedang, kecuali di bawah vegetasi bidara
(Zizyphus rotundifolia) tergolong tinggi.
Tekstur untuk semua tanah di bawah
vegetasi liat dengan kandungan liat 50,40%
bersifat khusus yaitu MPS, MPP dan
mikoriza. Populasi mikroba tersebut terbesar
di bawah tanaman biduri (Calotropis
gigantea).
Pengaruh Kebakaran
Data kebakaran yang tersedia
periode 1999-2000 disajikan pada Tabel-7.
Kebakaran di kawasan TNB dapat terjadi
secara alami atau disengaja. Kebakaran yang
disengaja dilakukan oleh masyarakat dengan
berbagai tujuan, antara lain untuk membuka
ladang, menggiring ternak, mengalihkan
perhatian petugas dan lain-lain. Selama
kurun waktu Mei 1999 hingga September
2000, kebakaran di savana Baluran meliputi
areal seluas 569 ha. Peristiwa tersebut
berlangsung selama dua periode musim
kemarau (bulan-bulan kering), yaitu bulan
Mei-September.
Kebakaran tersebut sebagian besar
terjadi di kawasan savana Baluran bagian
utara dan dilakukan secara sengaja. Hal ini
dimungkinkan karena banyak aktivitas
masyarat di daerah Labuhan Merak yang
mencari hasil hutan, dan para pengembala
ternak yang masuk ke dalam kawasan.
Mereka banyak melakukan kegiatan yang
menggunakan api (memasak, merokok dan
lain-lain), sehingga secara langsung dapat
menimbulkan kebakaran, khususnya di
musim kemarau.
33
Tabel 7. Laporan kejadian kebakaran di kawasan savana Taman Nasional Baluran
No.
Waktu
L o k a s i
Labuhan Merak
1.
Mei 1999
Lempuyang
2.
Juni 1999
Labuhan Merak
3.
Juli 1999
Pondok Jaran
4.
Agustus 1999
Labuhan Merak
Demang-Lempuyang
5.
Mei 2000
Cungking, Jeding, Secang, Duluk, Labuhan
Merak
Batu Numpuk-Pondok Jaran
6.
Juni 2000
Lempuyang-Balanan
Gembelina-Pondok Jaran
7.
Juli 2000
Alas Malang, Curah Widuri-Labuah Merak
Lemah Abang, Watu Numpuk-Pondok Jaran
Kandang Laju, Alas Malang, Cumgking, Gentong
8.
Agustus 2000
Watu Numpuk, Lemah Abang-Pondok Jaran
Balanan
September 2000
Plalangan-Perengan
J
U
M
L
A H
Sumber : BTNB 1999
Pepohonan yang tumbuh di savana
dicirikan oleh pohon-pohon berkayu yang
tahan api. Jika intensitas kebakaran tinggi,
maka akhir dari vegetasi klimaks karena
pengaruh api adalah padang rumput.
Sebaliknya jika kebakaran jarang terjadi,
maka spesies pioner, termasuk A. nilotica
menjadi dominan. Hal ini terjadi di sebagian
besar savana datar seperti Bekol, Kramat dan
sekitarnya.
Pengembalaan
yang
berlebihan
(overgrazing)
Permasalahan lain yang turut
menurunkan
kualitas
savana
adalah
meningkatnya intensitas pengembalaan liar
oleh masyarakat di sekitar kawasan.
Kegiatan ini banyak ditemukan terutama di
kawasan TNB bagian utara. Pengembalaan
ini telah dilakukan masyarakat secara turun
temurun dan dari waktu ke waktu jumlah
ternak yang digembalakan semakin banyak
dari tahun ke tahun. Menurut Nugroho et al.
dalam Sabarno (2002), setiap hari ditemukan
 1600 ekor sapi dan  400 ekor
domba/kambing digembalakan secara liar di
kawasa Baluran bagian utara. Padahal daya
dukung savana diduga di bawah jumlah
ternak yang digembalakan, sehingga terjadi
overgrazing yang berat dan mengancam
kelestarian ekosistem savana di kawasan ini.
Luas (Ha)
110
60
173
36,5
17
2
78
10
1,5
8
21
31
81
27
1
2
659
Pengaruh
negatif
meningkatnya
pengembalaan liar di TNB antara lain
berupa: persaingan mendapatkan rumput
antara satwa liar herbivora dengan ternak,
tanah menjadi padat akibat injakan kaki
ternak, kemungkinan penularan penyakit
terhadap satwa liar serta merubah komposisi
rumput di areal pengembalaan menjadi
vegetasi yang tidak disukai oleh ternak
maupun satwa liar, sehingga ternak akan
mencari sumber pakan di tempat lain,
akibatnya
semakin
meluas
areal
pengembalaan.
Banyak usaha yang telah dilakukan
dalam mencegah masuknya pengembalaan
liar di kawasan TNB, misalnya melalui
penyuluhan, pemberian bibit rumput pakan
ternak untuk dibudidayakan, dan lain
sebagainya,
tetapi
hasilnya
belum
memuaskan.
Meskipun
dampak
pengembalaan liar belum begitu nyata,
namun jika berlangsung terus menerus, maka
lambat laun kondisi kawasan yang
dilestarikan sebagai Taman Nasional dapat
mengalami perubahan fungsi sebagai
kawasan konservasi yang secara ideal tidak
terganggu oleh aktivitas kepentingan
manusia.
33
Bawah di Savana Taman
Nasional Baluran Jawa Timur.
Jurnal Analisis Lingkungan.
2(1):135-145.
DAFTAR PUSTAKA
Barata, U.W. 2000. Biomasa, Komposisi dan
Klasifikasi Komunitas Tumbuhan
Bawah pada Tegakan Acacia
nilotica di Taman Nasional
Baluran Jawa Timur. Skripsi.
Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada. Yokyakarta.
Hoogerwerf. 1970. Ujung Kulon. The Land
of The Last. Java Rhinoceros.
Leiden. E.J. Brill.
Marpaung.
BTNB.
1999. Rancangan Pencabutan
Seedling/Anakan
Hasil
Pembongkaran Secara Mekanis,
150 ha di Savana Bekol Taman
Nasional Baluran. Reboisasi
Taman
Nasional
Baluran
Banyuwangi Jawa Timur.
Djufri. 1993. Penentuan Pola Distribusi,
Asosiasi, dan Interaksi Jenis
Tumbuhan Khususnya Padang
Rumput di Taman Nasional
Baluran
Banyuwangi
Jawa
Timur. Tesis. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
_____. 2002. Penentuan Pola Distribusi,
Asosiasi, dan Interaksi Spesies
Tumbuhan Khususnya Padang
Rumput di Taman Nasional
Baluran
Jawa
Timur.
BIODIVERSITAS. Journal of
Biological Diversity. 3(1):181188.
_____. 2004 dan Dede Setiadi. 2004.
Review. Invasi Akasia (Acacia
nilotica) (L.) Willd ex Del. dan
Permasalahannya
di
Taman
Nasional Baluran Banyuwangi
Jawa Timur. Jurnal Analisis
Lingkungan. FMIPA IPB Bogor.
Bogor. 1(2):113-116.
_____. 2004. Review. Acacia nilotica (L.)
Willd
ex.
Del.
dan
Permasalahannya
di
Taman
Nasional Baluran Jawa Timur.
BIODIVERSITAS. Journal of
Biological Diversity. 5 (2):96104.
L. 1995. Tindak Pidana
Terhadap Hutan, Hasil Hutan
dan Satwa. Erlangga. Jakarta.
Purwanta. S. 1995. Studi Produktivitas
Rumput Savana Bekol Taman
Nasional
Baluran.
Skripsi.
Fakultas Kehutanan. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sabarno.
M.Y. 2002. Savana Taman
Nasional
Baluran.
BIODIVERSITAS. Journal of
Biological Diversity. 3(1):207212.
Saraswati, Atik. Daya Dukung Savana Bekol
terhadap Keberadaan Rusa Timor
(Cervus timorensis). Proseding
Seminar
Nasional
Taman
Nasional Baluran I.
Setyawan, B.W. 1996. Studi Daya Dukung
Padang Pengembalaan Bekol
Terhadap Jumlah Rusa (Cervus
timorensis). Di Taman Nasional
Baluran, Banyuwangi. Skripsi.
Institut
Pertanian
Malang,
Malang.
Suharti. 1990. Acacia nilotica Tanaman
Sekat bakar di Taman Nasional
Baluran. Duta Rimba. Vol. 16:4156.
Sutarman. 1996. Ekologi Umum. Institut
Pertanian Malang. Malang.
_____, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul
Qayim.
2005.
Pengaruh
Kerapatan
Tegakan
Akasia
(Acacia nilotica) (L.) Willd. Ex
Del. terhadap Komposisi dan
Keanekaragaman
Tumbuhan
33
Download