Penurunan Kualitas Savana Bekol sebagai Feeding Ground bagi Rusa (Cervus timorensis) dan Banteng (Bos javanicus) di Taman Nasional Baluran Jawa Timur (Quality Reduction of Bekol Savannah as Feeding Ground to deer (Cervus timorensis) and bull (Bos javanicus) In Baluran National Park, East Java) Djufri Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah Darussalam Banda Aceh E-mail: [email protected] Abstract This research aim to know : (1). species of grass eaten by deer and species of grass predominating area of savannah Bekol. (2). Species eaten by bull, and (3). Factors causing downhill it quality of savannah Bekol. Method used for inventories of species eaten by deer and bull is method of transek combined with method square. While to collect data of factors causing downhill it quality of savannah of Bekol with direct perception in field and muster relevant information from data sekunder. The conclusion from this research is (1). Found 12 species of grass eaten by deer, and 3 species among others as dominant species that is bayapan (Brachiaria reptans), red lamuran (Dichantium coricosum), and tuton (Dactyloctenium aegyptium). (2). found 50 species as food of bull in savannah Bekol from 60 of species of compiler savannah of this area. (3). Factors influencing reduction of quality of savannah in Bekol is : Invasion A. nilotia, bush groaning savannah, existence of tread by animal, fire effect, and over grazing. Key word : Savannah, Feeding Ground, Quality Savannah PENDAHULUAN Taman Nasional Baluran memiliki potensi satwa liar cukup besar, terutama spesies satwa rusa timor (Cervus timorensis). Rusa timor ini merupakan hewan yang dilindungi menurut UU Ordonansi dan Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 no. 134 dan no. 226. Taman Nasional Baluran mempunyai keanekaragaman satwa yang cukup tinggi yaitu sekitar 26 jenis mamalia, 147 spesies burung serta berbagai spesies fauna lainnya. Kawasan Taman Nasional Baluran merupakan satu-satunya kawasan di Pulau Jawa yang mempunyai ciri khas berupa hamparan savana alami dan satwa liar banteng (Bos javanicus D’Alton) sebagai maskot kawasan. Satwa liar merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk banyak kepentingan, meliputi berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis, ekonomi maupun kebudayaan. Manusia memanfaatkan satwa liar dengan bebagai cara yang seringkali menyebabkan penurunan populasi bahkan beberapa spesies satwa liar terancam kepunahan. Menurut Marpaung (1995) satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup liar maupun yang dipelihara manusia. Untuk kelangsungan hidup satwa liar di suatu kawasan dibutuhkan daya dukung (carrying capacity) habitat yang memadai. Daya dukung habitat adalah kemampuan suatu areal atau kawasan untuk mendukung satwa pada suatu periode tertentu dalam hubungannya dengan kebutuhan hidup margasatwa, seperti reproduksi, pertumbuhan, pemeliharaan dan pergerakan. Daya dukung habitat yang rendah akan menyebabkan terjadinya penurunan populasi satwa. Hal ini sangat mungkin terjadi terutama pada golongan herbivora yang jenis makanannya sangat tergantung pada vegetasi tertentu. Demikian juga sebaiknya, jika populasi melimpah yang melampaui daya dukung habitat akan menurunkan kualitas dan kuantitas habitat satwa yang ada. Berbagai spesies mamalia besar seperti kerbau liar (Bubalus bubalis), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak) ataupun berbagai spesies satwa karnivora seperti ajag (Cuon alpinus) dan macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa liar yang dilindungi yang terdapat di Taman Nasional Baluran. Berbagai spesies satwa penghuni kawasan tersebut harus senantiasa dijaga dan dilestarikan keberadaannya, karena selain merupakan objek penelitian dan pendidikan, juga berperan menjaga keseimbangan alam dan ekosistem. Salah satu upaya yang harus selalu digalakkan adalah menjaga kelestarian satwa 29 liar tersebut, khususnya banteng sebagai maskot kawasan. Upaya pihak pengelola Taman Nasional Baluran dalam rangka menjaga dan melestarikan keberadaan populasi banteng adalah dengan memantau secara rutin dari tahun ke tahun melalui kegiatan sensus satwa herbivora, dan juga menjaga kondisi daya dukung kawasan terhadap satwa tersebut dan melindungi dari tekanan luar beberapa perburuan liar. Pengelolaan satwa liar dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain habitat. Komponen-komponen habitat secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga komponen utama yaitu makanan, air dan pelindung. Habitat rusa timor adalah daerahdaerah yang terbuka kering, seperti savana dengan pohon-pohon dan semak yang tersebar. Untuk memperoleh informasi tentang kondisi habitat tempat satwa tersebut mencari makan, dipandang perlu dilakukan penelitian. Dengan demikian penelitian ini bertujuan mengungkapkan tentang penurunan kualitas savana Bekol sebagai areal mencari makan (feeding ground) baik bagi rusa maupun banteng, akibat adanya invasi A. nilotica dan hadirnya semak dalam jumlah yang banyak di savana. Selain itu juga menginventaris spesies tumbuhan yang dimakan oleh kedua satwa tersebut. METODE PENELITIAN Untuk memperoleh data tentang ketersedian spesies yang dimakan oleh rusa, digunakan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat. Jumlah garis transek yang dibuat sebanyak 10 buah dengan ukuran masing-masing 100 m. Kemudian pada setiap transek dibuat plot kuadrat sampel seluas 2 m di kiri dan kanan garis transek sebanyak 5 buah, sehingga total seluruh kuadrat sampel sebanyak 50 buah. Selanjutnya untuk mengetahui biomasa masing-masing spesies dilakukan pemotongan rumput pada 10 plot kuadrat sampel yang dilakukan 2 kali pemotongan, yaitu pada bulan April 2004 dan Juli 2004. Sedangkan untuk mengetahui spesies yang dimakan oleh banteng, mengacu pada daftar speseis makanan banteng yang ditulis oleh Hoogerwerf (1970). Selanjutnya dibandingkan dengan hasil inventaris spesies yang diperoleh di lapangan, khususnya di daerah savana baik yang terbuka maupun savana yang ternaungi oleh tegakan A. nilotica. Melalui data perbandingan tersebut akan diketahui ketersedian makanan banteng di TNB Jawa Timur. Data tentang faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya kualitas savana Bekol dilakukan pengamatan langsung terhadap gangguan yang terjadi di kawasan savana. Selain itu digunakan data sekunder yang tersedia di BTNB, serta menghimpun informasi dari berbagai sumber, khususnya literatur yang relevan dengan permasalahan yang dikaji, serta penelitian terkait sebelumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketersedian makanan satwa di savana Bekol Rusa Spesies rumput yang dimakan oleh rusa di savana Bekol disajikan pada Tabel-1 dan Gambar-1. Berdasarkan Tabel-1 dapat dikemukakan bahwa ada 12 spesies rumput yang menjadi makanan rusa. Bila ditinjau dari jumlah, relatif memadai sebab ada beberapa spesies rumput yang menjadi makanan alternatif bagi rusa. Bila ditinjau dari biomasa rumput, maka hanya 3 spesies yang mempunyai nilai biomasa tinggi yaitu berturut-turut Brachiria reptans (4534 g/2 m2), Dichantium coricosum (2408 gr/2 m2) , dan Dactyloctenium aegyptium (2517 g/2m2). Sedangkan yang memiliki nilai biomasa rendah berturut-turut Leersia hexandra (142 g/2m2), Eleusine indica (202 g/2m2), dan Axonopux compressus (314 g/2m2). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa rumput yang mendominasi savana Bekol ditinjau dari aspek biomasa adalah Brachiria reptans, Dichantium coricosum, dan Dactyloctenium aegyptium. Ketiga spesies ini secara ekologi merupakan spesies yang menguasai kawasan dan spesies tersebut juga merupakan makanan yang digemari oleh rusa. 33 Tabel 1. Rata-rata biomasa (2m2) dan penutupan (20m2) rumput di savana Bekol No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Bayapan Lamuran Tuton Biomasa (g) Pemotongan April 2004 4534 2408 2517 Biomasa (g) Pemotongan Juli 2004 3264 1733 1812 Lamuran Empritan Menjangan Kawatan Cakar ayam Jajagoan Rumput pait Gersikan Belulang 1750 940 672 435 412 368 314 202 142 560 677 484 313 297 264 226 145 102 Nama Daerah S p e s i e s Brachiria reptans Dichantium coricosum Dactyloctenium aegyptium Polytrias amaura Eragrostis tenella Echinochloa colonum Cynodon dactylon Digitaria ciliaris Panicum repens Axonopus compressus Lersia hexandra Eleusine indica Penutupan (%) 60 10 10 5 3 2 2 2 2 2 1 1 5000 4500 Biomasa (gram) 4000 3500 Pemotongan April 2004 Pemotongan Juli 2004 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jenis Rumput Gambar 1. Biomasa rumput makanan rusa di savana Bekol. (1). Brachiria reptans, (2). Dichantium coricosum, (3). Dactyloctenium aegyptium, (4). Poyitrias amaura, (5). Eragrostis tenella, (6). Echinocloa colonum, (7). Cynodon dactylon, (8). Digitaria ciliaris, (9). Panicum repens, (10). Axonopus compressus, (11). Leersia hexandra, (12). Eleusine indica. Berdasarkan data pada Gambar-1 dapat dikemukakan suatu fakta bahwa perbedaan waktu pemotongan rumput antara bulan April 2004 dan Juli 2004 menunjukkan biomasa yang berbeda, meskipun pemotongan rumput dilakukan di tempat yang berdekatan. Hal ini disebabkan karena di TNB musim sangat berpengaruh terhadap kualitas rumput. Bulan Maret merupakan awal musim kemarau sampai puncaknya September s/d Nopember. Dengan demikian pemotongan rumput pada bulan Juli telah menunjukkan bobot biomasa yang lebih rendah karena rumput sudah kering, bahkan jika dipotong pada bulan Nopember kemungkinan besar biomasa setiap spesies rumput dapat berkurang mencapai 75%. Kondisi ini merupakan kendala bagi satwa di TNB yang memiliki tipe iklim D. Pada saat puncak kemarau biasanya satwa juga mencari makan di sekitar hutan yang selalu hijau (ever green forest) untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan data pada Gambar-2 dapat dikemukakan bahwa prosentase 33 penutupan (coverege) rumput di savana Bekol didominasi oleh Brachiria reptans (60%), Dichantium coricosum (10%), Dactyloctenium aegyptium (10%). Data ini relevan dengan hasil pengukuran parameter biomasa. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa makanan andalan bagi rusa di savana Bekol adalah spesies yang mempunyai nilai biomasa dan penutupan yang tinggi. Spesies rumput tersebut ditemukan di kawasan savana Bekol terutama yang sering dijumpai rusa makan yaitu kawasan savana yang terbuka. Jumlah spesies rumput yang ditemukan pada penelitian ini lebih banyak dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Utomo (1997) menemukan 8 spesies rumput di savana Bekol. Namun lebih sedikit dari apa yang pernah dilaporkan Djufri (1993) menemukan 14 spesies di savana Bekol. Perbedaan spesies rumput dipengaruhi oleh musim. Penelitian yang dilakukan awal musim kemarau (April-Mei) ditemukan spesies rumput lebih banyak (12 spesies) rumput dibandingkan akhir musim kemarau. Menurut Partomihardjo (1988) bahwa vegetasi savana umumnya mencapai nilai maksimum pada awal musim kemarau, sedangkan prosentase penutupan maksimum terjadi pada pertengahan musim hujan. Pertumbuhan rumput bayapan, lamuran dan tuton di savana Bekol lebih bagus dibandingkan dengan jenis lain, terlihat dari tajuk-tajuk yang menutupi hampir seluruh kawasan terutama di tempati yang dilewati garis transek. Tajuk-tajuk yang lebar serta merata di permukaan tanah berpengaruh terhadap prosentase penutupan spesies rumput. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) bahwa penutupan biasanya merupakan perbandingan proyeksi tajuk terhadap permukaan tanah. Pertumbuhan tajuk rumput yang baik dipengaruhi oleh iklim, rumput akan tumbuh dan berkembang secara maksimal pada saat pertengahan musim hujan. Iklim sepanjang tahun di savana menyebabkan keanekaragaman musiman dalam komposisi spesies, kerapatan dan struktur rumput. Dengan demikian savana yang sebagian besar terdiri atas spesies tumbuhan semusim akan mengalami kenaikan tajam baik ukuran tinggi maupun prosentase penutupannya sejalan dengan meningkatnya curah hujan. 3% 2% 2% 2%1%1% 2%2% 5% 10% 60% 10% Brachiria reptans Dactyloctenium aegyptium Eragrostis tenella Cynodon dactylon Panicum repens Leersia hexandra Dichantium coricosum Politrias amaura Echinocloa colonum Digitaria ciliaris Axonopus compressus Eleusine indica Gambar 2. Penutupan rumput di savana Bekol Tekanan perumputan dari injakan satwa liar yang ada di savana Bekol mengakibatkan struktur tanah berubah menjadi padat. Pemadatan tersebut mengakibatkan aktivitas mikroorganisme yang hidup di dalam tanah dan berfungsi sebagai pengurai menjadi terganggu, karena pemadatan akan menutup pori-pori tanah sehingga sirkulasi udara yang masuk dan keluar dari tanah terhambat atau tidak ada sama sekali, keadaan ini berpengaruh terhadap produktivitas rumput, karena tekanan perumputan yang berat akan menyebabkan pertumbuhan rumput terhambat. Menurut Alikodra (1980), injakan kaki satwa dapat menyebabkan struktur tanah menjadi padat, aerasi menjadi berkurang sehingga penetrasi air terganggu dan menimbulkan erosi tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran rumput adalah tekanan perumputan yang berlebihan sehingga dapat mematikan beberapa spesies rumput sebelum menghasilkan biji untuk beregenerasi. Keadaan tanah dan unsur hara tanah merupakan faktor utama yang menentukan pembentukan tipe savana. Pada tanah tandus atau gersang dan tipe tanah menentukan komposisi spesies rumput yang hidup di savana. Penelitian ini berlangsung pada akhir musim hujan, sehingga sisa-sisa air hujan masih banyak terdapat di savana yang menyebabkan tanah menjadi becek dan genangan air, keadaan ini banyak dijumpai pada kawasan yang sudah lama terbuka terutama di tengah-tengah savana Bekol. Tempat-tempat ini dimanfaatkan rusa sebagai tempat minum dan berkubang. Tetapi pada kawasan yang terbuka keadaan 33 rumput masih hijau, sehingga rusa menyukai tempat tersebut untuk mencari makan. Gambar 3. Kondisi savana Bekol yang terinvasi A. nilotica Berdasarkan Gambar-3 dapat terlihat bahwa savana Bekol selain ditumbuhi rumput juga banyak dijumpai semak. Spesies semak yang tumbuh di savana Bekol antara lain widuri (Calotropis gigantea), orok-orok (Crotalaria striata), kapasan (Thespesia lanpas), pulutan (Triumpetta bartramia), tarum (Indigofera sumatrana), temblek ayam (Lantana camara), selasi (Vernonia cineria), jarong (Achyrantes aspera), jarong lelaki (Stachytarpeta indica), buah perahu (Salvinia pubescens) dan paci (Leucas lavandufolia). Semak tersebut sangat mengganggu kehidupan rumput karena pertumbuhannya yang cepat dan memiliki perakaran yang kuat, sehingga rumput kalah dalam kompetisi memperebutkan ruang hidup. Di savana Bekol makanan rusa timor selain rumput yang banyak dijumpai adalah biji bidara (Zizipus rotundifolia) dan pucuk akasia (A. nilotica), tetapi jumlah yang tersedia sangat sedikit. Untuk itu pihak pengelola Balai Taman Nasional Baluran telah melaksanakan suatu program guna peningkatan populasi rusa yaitu pembinaan habitat yang dilakukan di savana Bekol yaitu pembongkaran akasia (A. nilotica) secara mekanis sehingga dapat merangsang pertumbuhan rumput. Penurunan produktivitas rumput dalam jangka waktu 10 tahun yang disebabkan oleh penutupan A. nilotica diperkirakan mencapai lebih dari 90% atau 9% per tahun (Purwanta 1995). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dari 420 ha savana Bekol saat ini hanya sekitar 150 ha saja yang kondisinya relatif baik, karena daerah ini telah dibersihkan dari A. nilotica baik tingkat pohon, sapling dan anakan secara berkala. Sedangkan 270 ha lainnya kondisi sudah sangat buruk akibat terinvasi Keadaan savana Bekol pada saat penelitian disajikan pada Gambar-3. A. nilotica (Gambar-18). Hal ini merupakan ancaman yang sangat serius terhadap keberadaan savana sebagai sumber makan utama bagi rusa dan satwa yang lainnya. Di samping penurunan produktivitas juga sangat signifikan terjadi penurunan luasan savana. Hasil pengamatan penutupan savana oleh A. nilotica sudah mencapai ± 5000 ha (tahun 2000), saat ini (2006) perkiraan penutupan A. nilotica telah mencapai 80% dari luas seluruh savana TNB. Perkiraan ini berdasarkan pengamatan di lapangan terhadap sejumlah savana yang ada. Pertumbuhan A. nilotica sudah sangat mengkhawatirkan. Hasil penelitian menunjukkan kerapatan mencapai > 2500 batang/ha/tahun (Djufri dan Setiadi, 2004; Djufri dkk. 2005). Data di atas menunjukkan bahwa keberadaan (eksistensi) savana Bekol (± 420 ha) sebagai areal utama kawanan rusa dan satwa lain mencari makan sudah sangat mengkhawatirkan. Penurunan luasan savana dan penurunan biomasa rumput berpengaruh terhadap kelangsungan hidup rusa, di samping faktor lain seperti ancaman dari predator anjing hutan (ajag) dan perburuan liar. Populasi rusa memerlukan tempattempat yang menjamin ketersediaan pakan, minum, tempat berlindung dan berkembangbiak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Populasi satwa akan stabil, berkembang atau menurun dipengaruhi oleh keadaan lingkungan hidup seperti pakan, air, penutupan vegetasi, sifat hidup seperti kelahiran, kematian dan daya survival, keadaan perpindahan satwa imigrasi dan emigrasi. Dari hasil penelitian Setyawan (1996) menunjukkan bahwa jumlah rusa di savana Bekol sebanyak 202 ekor dan dari hasil inventarisasi di seluruh savana Taman Nasional Baluran pada tahun 1997/1998 sebanyak 4.036 ekor (Laporan inventarisasi mamalia besar di Taman Nasional Baluran 1997). Bila kualitas savana terus mengalami penurunan dan tidak tertanganinya ancaman dari predator dan perburian liar, maka sudah dapat dipastikan populasi rusa akan mengalami penurunan di masa yang akan datang. Rusa tinggal di daerah tebuka dan kering, seperti di savana atau bukit-bukit dengan pohon atau belukar yang tersebar. Rusa tidak begitu tergantung pada adanya 33 air. Daerah penyebaranya vertikal dapat mencapai ketinggian 2.600 m dpl. Rusa timor memiliki daya adaptasi lebih tinggi terhadap lingkungan hidupnya. Menurut Bukhari dalam Saraswati (2001) rusa merupakan satwa ruminansia, makananya terdiri dari rumput, semak, anakan pohon, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak jenis hijauan yang dimakan rusa, makanan yang dominan dimakan adalah jenis rumput. Kebutuhan makanan hijauan setiap ekor tergantung kepada berat badan, seks, umur dan aktivitas. Namun sebagai patokan yang mendekati kenyataan adalah berdasarkan berat badan. Umumnya hewan ini membutuhkan bahan makanan hijau sebanyak 10% dari berat badanya (Bukhari dalam Saraswati 2001). Banteng Pada saat ini kondisi savana Bekol seluas 420 ha memperlihatkan karakter sebagai berikut: (a). Sekitar 150 ha berupa savana terbuka yang tidak dijumpai adanya pohon A. nilotica, tetapi hanya ditumbuhi oleh anakan A. nilotica yang berukuran ratarata 25-50 cm, dengan tingkat kerapatan berkisar 140-400 individu/10 meter persegi. Komposisi spesies penyusun pada daearah ini mencapai 60 spesies, disajikan pada Tabel-2. Pada daerah ini rumput bayapan (Brachiria reptans) menguasai seluruh tempat dengan penutupan area mencapai 75%, (b). Sekitar 200 ha berupa savana yang tertutupi oleh pohon A. nilotica berumur 3-4 tahun, tinggi pohon berkisar 2,5-4 m, dengan kerapatan pohon rata-rata sekitar 1500/ha. Komposisi spesies di daerah ini sangat terbatas karena telah dipengaruhi oleh kerapatan pohon A. nilotica terkait dengan intensitas sinar dan kemungkinan adanya pengaruh zat alelopati yang diproduksi oleh A. nilotica atau karena adanya kompetisi antar spesies, dan (c). Sekitar 70 ha berupa savana yang sudah berubah fungsi menjadi hutan A. nilotica berumur 4-5 tahun, tinggi pohon berkisar 5-7,5 meter, dengan kerapatan pohon A. nilotica mencapai 4500/ha. Di lantai hutan A. nilotica ini relatif bersih karena hanya dijumpai beberapa spesies saja yang mampu hidup, dan kerapatannya sangat rendah. Misalnya gletengan (Synedrella nudiflora), kapasan (Abutilon Sp.), bayapan (Brachiria reptans), jarong (Stachytarpeta indica) dan merakan (Themeda arguens). Berdasarkan data pada Tabel-2 dapat dikemukakan bahwa jumlah spesies yang hidup di savana Bekol yang terbuka jauh lebih banyak dibandingkan savana yang ditumbuhi oleh pohon A. nilotica dengan kerapatan 1500/ha, dan jauh lebih sedikit lagi spesies yang mampu hidup pada savana yang telah berubah menjadi hutan A. nilotica. Bila gejala ini terus berlangsung pada seluruh savana yang ada di Taman Nasional Baluran, maka tidak mustahil komunitas savana akan hilang. Konsekuensinya adalah hilangnya spesies rumput yang menjadi pakan utama bagi herbivora yang hidup di kawasan ini. Disamping itu, savana yang menjadi salah satu keunikan dan andalan kawasan ini akan menjadi terancam. Oleh karenanya, diharapkan adanya upaya yang serius dari semua pihak terutama pihak pengelola di bawah naungan Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) sehingga kerusakan yang meluas akibat invasi A. nilotica dapat dicegah sedini mungkin melalui program yang kongkrit dan komprehensif meskipun membutuhkan tenaga dan dana yang tidak sedikit, bila kita memang sepakat bahwa kelestarian savana di kawasan ini harus tetap dilestarikan atau ada pemikiran lain yang beranggapan bahwa upaya penanggulangan cukup seperti yang telah dilakukan selama ini, sembari menunggu adanya temuan baru bahwa A. nilotica akan dapat dimanfaatkan secara lestari (sustainable). Berdasarkan data pada Tabel-2 dapat dikemukakan bahwa dari 60 spesies yang ditemukan di savana Bekol, 50 spesies di antaranya dimakan oleh banteng (83,33%) dan sisanya 10 spesies (16,67%) tidak dimakan oleh banteng. Ditinjau dari jumlah spesies yang dimakan oleh banteng, tidak mengkhawatirkan, karena spesies yang dimakan ditemukan di wilayah penelitian jauh lebih banyak dibandingkan spesies yang tidak dimakan. Namun, bila dikaitkan dengan makanan yang lebih disukai oleh banteng yaitu spesies rumput, maka kondisinya menjadi tidak lebih baik, sebab dari seluruh spesies yang ditemukan, spesies rumput terdiri dari 12 spesies (21,67%). Meskipun prosentasi masuk dalam kategori sebagai savana murni sebagaimana yang ditetapkan oleh Speeding dalam Djufri (2002) bahwa salah satu kriteria savana dikatakan murni adalah memenuhi komposisi spesies rumput paling tidak mencapai >20% dari seluruh spesies yang ada. Disamping persyaratan lain seperti iklim dan sejarah hidup (life history) rumput 33 yang ditemukan di tempat tersebut. Gambaran komposisi familia yang menyusun komunitas savana Bekol disajikan pada Tabel-2. Tabel 2. Komposisi spesies yang dijumpai di savana Bekol yang terbuka (150 ha) setelah dilakukan pembongkaran secara mekanik (Pengamat April-Juli, 2004) Nama Daerah Widoro bekol Akasia berduri Pilang Nimba Jeruk hitam Petai cina Nyawon Kapasan Temblek ayam Biduri Nama Ilmiah Zyzipus rotundifolia Acacia nilotica Acacia leprosula Azadirachta indica Citrus Sp. Leucaena leucocepala Vernonia cinerea Thespesia lanpas Lantana camara Calotropis gigantea Solanum torvum Ocimum basilicum Centella asiatica Mimosa pudica 16. Rimbang Kemangi Pegagan Putri malu (merah) Putri malu (hijau) Kekosongan 17. 18. 19. 20. Tarum Sidagori Jarong lelaki Jarong 21. 22. 23. Pedangan Bayapan Susukan 24. 25. Ceplukan Semangka gunung Patikan kebo Nyawon ungu Babadotan Belulang Tempuyung Kacangan Kacangan Pulutan Lamuran merah Kacangan Lamuran kecil Merakan Buah perahu Kacangan Jajagoan Lamuran putih Ketulan Orok-orok No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. Bentuk Hidup Anakan Anakan Anakan Anakan Anakan Anakan Semak Semak Semak Semak DB DB DB TDB TDB DB TDB TDB TDB TDB Asclepiadaceae Solanaceae Lamiaceae Apiaceae Mimosaceae Semak Herba Herba Herba TDB DB DB DB Mimosa invisa Mimosaceae Herba DB Maughania macrophylla Indigofera sumatrana Sida rhombifolia Stachytarpheta indica Achyranthes aspera Fabaceae Herba DB Fabaceae Malvaceae Lamiaceae Herba Herba Herba Herba DB DB TDB DB Amaranthaceae Capparidaceae Poaceae Fabaceae Herba Herba Herba DB DB DB Solanaceae Cucurbitaceae Herba Herba DB DB Euphorbiaceae Asteraceae Asteraceae Poaceae Asteraceae Fabaceae Fabanceae Malvaceae Poaceae Fabaceaa Poaceae Poaceae Salvinaceae Fabaceae Poaceae Poaceae Asteraceae Fabaceae Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB DB Cleome rutudisperma Brachiaria reptans Desmodium heterophylla Physalis angulata Melotria Sp. Euphorbia hirta Eupatorium suaveolens Ageratum conyzoides Eleusine indica Emilia sonchifolia Flemengia lineata Cayanus cayan Triumfetta bartramia Dichantium coricosum Casia seamea Polytrias amaura Themeda arguens Salvinia pubescens Polygonum mucronata Panicum repens Dichantium coricosum Bidens pilosa Crotalaria striata Familia Rhamnaceae Mimosaceae Mimosaceae Meliaceae Rutaceae Mimosaceae Asteraceae Malvaceae Verbenaceae Ket 33 44. Tuton 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. Semacam merica Kembang telang Orok-orok Meniran Meniran Paci Teki payung Gletengan Kacangan Rumput gunung Teki Sintrong Rumput pait Rumput jarum Emprit-empritan Alang-alang Dactyloctenium aegyptium Hedyotis corymbosa Clitoria ternatea Crotalaria anagyroides Phyllanthus debilis Phyllanthus urinaria Leucas lavandulaefolia Cyperus pygmaeus Synedrella nudiflora Clidemia hirta Oplismenus burmanii Cyperus rotundus Crassocephalum sp. Axonopus compressus Digitaria ciliaris Eragrostis tenela Imperata cylindrica Berdasarkan data pada Tabel-2 dapat ditunjukkan bahwa prosentase secara keseluruhan antara rumput dan non rumput, maka savana Bekol sudah sangat mengkhawatirkan kondisinya di masa mendatang sebagai areal utama mencari makan (feeding ground) bagi banteng, jika tidak dilakukan upaya-upaya pengelolaan yang memadai. Pembahasan yang rinci tentang kondisi savana Bekol diuraikan pada topik pembahasan tentang faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya kualitas savana Bekol. Bila dikaitkan dengan data pada Tabel-3 tentang spesies yang pernah diteliti untuk makanan banteng, baik di Taman Nasional Baluran (TNB) maupun di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dapat dikemukakan bahwa dari 122 spesies sebagai makanan banteng, hanya 15 spesies (12,29%) saja yang ditemukan di savana Bekol. Dari 122 spesies tersebut di atas 62 di antaranya ditemukan di TNB. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa beberapa spesies yang dulunya tercatat pernah ditemukan di TNB saat ini spesies tersebut sudah tidak ditemukan lagi. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa telah terjadi suksesi komposisi spesies di TNB baik yang terjadi secara alami maupun karena intervensi manusia. Kemungkinan yang lainnya adalah terbatasnya unit sampel hanya pada savana, sebab sebagian spesies yang tercantum pada Tabel-3 dapat ditemukan pada hutan yang selalu hijau (ever green forest) di TNB. Poaceae Herba DB Rubiaceae Fabaceae Fabaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Lamiaceae Cyperaceae Asteraceae Fabaceae Poaceae Cyperaceae Asteraceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba Herba DB DB DB DB DB DB DB TDB DB DB DB TDB DB DB DB DB 2% 2%2% 2% 2%2% 3% 3% 2% 2% 2% 2% 2% 22% 5% 18% 5% 5% 8% POACEAE MALVACEAE SOLANACEAE ASCLEPIADACEAE AMARANTHACEAE FABACEAE EUPHORBIACEAE MELIACEAE APIACEAE CAPPARACEAE 12% ASTERACEAE LAMIACEAE RUTACEAE SALVINACEAE CUCURBITACEAE MIMOSACEAE CYPERACEAE VERBENACEAE RUBIACEAE RHAMNACEAE Gambar 2. Komposisi familia penyusun savana Bekol Khusus di savana Bekol yang terbuka seluas 150 ha sebagai areal feeding ground satwa baik rusa, banteng maupun kerbau liar, kondisinya sudah tidak alami lagi, karena kawasan ini sejak tahun 1993 sampai dengan 1999 dilakukan pemberantasan A. nilotica seluas 239,5 Ha baik terhadap pohon maupun pengendalian anakan. Pemberantasan dilakukan secara kimiawi menggunakan herbisida sistemik yang bersifat hormon (Indamin 720 HC dan 2,4 D Dinitropenol) yang dimasukkan ke dalam lubang pohon yang dibor setinggi dada dengan kemiringan 450. Pemberantasan secara fisik atau mekanik dengan cara memotong pohon, membakar, dan mencabutnya dengan buldozer. Meskipun upaya yang dilakukan tersebut belum memberikan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data pada Tabel-3 dapat dikemukakan bahwa bila dikelompokkan spesies yang dimakan oleh 33 banteng, tediri dari 19 familia dan didominasi oleh familia rumput (Poaceae) mencapai 36 spesises (29,51%). Dengan demikian rumput tetap menjadi makanan utama bagi banteng. Oleh karenanya, untuk menjaga daya dukung (carrying capacity) savana Bekol, maka kelestariannya harus menjadi prioritas pengelolaan bagi pengelola kawasan BTNB. Mengingat satwa seperti rusa, banteng, kerbau liar dan yang lainnya merupakan maskot bagi TNB baik ditinjau dari aspek ekologis maupun ekonomis. Habitat juga berarti suatu ekosistem, sehingga untuk menjamin kelestarian habitat berarti kelangsungan dari setiap hubungan di dalam sistem tersebut harus diperhatikan. Kondisi habitat masingmasing satwa liar berbeda antara satu dengan spesies yang lainnya, akan tetapi mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai penyedia makanan, sumber air dan tempat berlindung (cover). Begitu juga halnya dengan banteng, komponen-komponen tersebut membentuk satu kesatuan dan dimanfaatkan oleh satwa. Berdasarkan Anonim dalam Sabarno (2001), tata ruang tempat tinggal banteng dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : (a). Padang pengembalaan (savana) sebagai tempat makan, minum, bermain dan istirahat. (b). Daerah berlindung, biasanya berupa hutan alam primer atau hutan sekunder yang berdekatan dengan lokasi padang pengembalaan, dan (c). Daerah jelajah berupa hutan primer dan hutan sekunder yang telah mencapai klimaks. Dari ketiga komponen tata ruang tersebut, dapat ditemukan di Taman Nasional Baluran. Oleh karena itu kawasan pelestarian ini sangat cocok sebagai habitat banteng. Kelestarian satwa liar banteng sangat tergantung dari keseimbangan ekosistem yang ada di suatu kawasan. Keberadaan populasi banteng di Taman Nasional Baluran mempunyai peranan yang strategis. Disamping peranan dalam keseimbangan ekosistem, banteng merupakan objek pemandangan dan pengamatan hidupan liar yang sangat menarik di habitat alaminya.Akan tetapi banyak hal yang menjadi permasalahan Keberadaan A. nilotica secara langsung dapat menurunkan produktivitas rumput. Dari hasil pengamatan penutupan A. nilotica mencapai 50%–100% meyebabkan tidak ada rumput yang mampu tumbuh (sangat sedikit sekali). Penutupan 30%–50% hanya sedikit rumput yang mampu tumbuh, namun kelompok semak dalam menjaga kelestarian populasi banteng, antara lain berhubungan dengan kondisi habitat, sumber air minum satwa dan gangguan dari luar berupa perburuan liar. Perlu upaya yang serius dan berkesinambungan dalam menjaga kelestarian populasi banteng. Pembinaan savana sebagai “feeding ground” utama banteng, pemeliharaan sumber air di musim kemarau dan penanganan secara tegas terhadap pelaku pemburuan liar merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengurangi potensi ancaman terhadap kelestarian satwa “Maskot” Taman Nasional Baluran tersebut. Peningkatan peran serta aktif dari masyarakat sekitar kawasan dan pihak lain yang berkepentingan, seperti LSM Lingkungan, sangat diharapkan dalam menunjang upaya pelestarian banteng, sebagai bagian dari komponen ekosistem di Taman Nasional Baluran. Faktor-Faktor yang menurunkan kualitas savana Bekol Invasi A. nilotica Adanya invasi A. nilotica menyebabkan tejadinya penyempitan kawasan Bekol yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup rusa, banteng dan satwa lainnya terutama terhadap tumbuhan bawah. A. nilotica mempunyai lapisan tajuk relatif rapat menyebabkan intensitas sinar matahari yang sampai di bawahnya menjadi kurang, sehingga spesies rumput yang ada di bawahnya akan kalah bersaing untuk mendapatkan sinar matahari. Hal ini menyebabkan spesies rumput tetentu tidak mampu bertahan dan tumbuh di bawah tegakan A. nitolica. Meskipun ada spesies rumput tertentu yang mampu tumbuh dan bertahan hidup, namun pertumbuhanya kurang baik. Selain itu pada gubal, kayu dan polong Acacia nilotica menghasilkan zat tanin yang cukup tinggi antara 12%-19% (Suharti, dalam Barata 2000). Zat tanin ini jika meresap ke dalam tanah dan mengalami proses hidrolisis akan menghasilkan asam gallic dan egallic sebagai senyawa alelopati (Rice, dalam Suharti 1990). (widuri, kapasan, jarak, dan lain-lain) relatif lebih mampu tumbuh di bawah tegakan A nilotica. Sedangkan rumput dapat tumbuh lebih baik pada penutupan kurang dari 30%. Kondisi habitat yang ideal bagi banteng, tidaklah lepas dari potensi ancaman yang menyebabkan penurunan kualitas habitat tersebut. Penurunan kualitas ini 33 sebagian besar disebabkan oleh campur tangan atau aktivitas manusia dalam kawasan. Potensi ancaman yang hingga kini belum terselesaikan dengan baik adalah adanya invasi A. nilitica. Akibat invasi tanaman ini, hampir 50% luas savana telah menjadi tegakan tanaman A. nilotica. Selain secara kuantitas, terjadi pula penurunan kualitas dari savana tersebut. Berbagai upaya dan kegiatan yang bertujuan mengurangi penyebaran tanaman ini telah banyak dilakukan. Akan tetapi karena tingkat pertumbuhan yang sangat cepat serta sifat fisik dan biologi tanaman yang mampu hidup di lahan yang kritis atau ekstrim, maka hasil dari pemberantasan invasi A. nilotica tersebut belum optimal. Bahkan banyak terjadi perubahan habitat, akibat dari kegiatan pembetantasan A. nilotica sebelumnya tidak diperkirakan. Luas keseluruhan savana sebelum terinvasi A. nilotica sekitar 10.000 ha, akan tetapi akibat adanya invasi tanaman eksotik tersebut luas savana di Taman Nasional Baluran tinggal 5.000 ha. Sebagai feeding ground utama penyedia sumber pakan bagi banteng dan satwa mamalia besar lainnya, hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi banteng. Terjadi perubahan pola makan dan pergerakan satwa di dalam kawasan. Secara kualitas, banyak spesies tanaman yang tidak disukai oleh banteng tumbuh di savana pasca pemberantasan tegakan A. nilotica, misalnya di daerah Kramat, setelah penebangan dan pembakaran tonggak A. nilotica yang kemudian disusul musim penghujan, mendorong cepatnya pertumbuhan tanaman spesies rumput dan herba. Akan tetapi tanaman yang tumbuh didominasi oleh spesies yang hurang disukai banteng seperti kapasan (Thespesia lampas). Sedangkan di savana Bekol, akibat penebangan dan perlakuan secara mekanis dengan buldozer dilakukan ketika musim berbuah, sehingga biji A. nilotica tersebar, hal ini dapat dilihat dari banyaknya anakan A. nilotica yang tumbuh di savana Bekol. Dimana pertumbuhan anakan tersebut menekan pertumbuhan rumput dan mengakibatkan terganggunya proses suksesi di savana tersebut (Djufri 2004; Sabarno, 2002). Hal ini diperparah dengan muncul dan menyebarnya spesies widuri (Calotropis gigantea), kapasan (Thespesia lanpas), pulutan (Triumfetta bartramia), tarum (Indigofera sumatrana), dan lain-lain yang mendominasi bagian utara savana Bekol. Akibat lain dari pasca pemberantasan secara mekanis dengan alat berat yaitu terjadi erosi tanah yang cukup besar pada musim penghujan karena terbukanya tanah. Hal ini berlanjut pada penurunan kesuburan tanah dan akibatnya mengakibatkan penurunan produktivitas savana. Oleh karena itu diperlukan kajian mendalam menyngkut tahap evaluasi dari kegiatan yang telah dilakukan serta dirumuskan suatu metode pemberantasan tegakan dan seedling A. nilotica yang diharapkan lebih efektif dan efisien. Dalam rumusan metoda penanganan savana tersebut harus mengutamakan pertimbangan ekologis, sehingga gangguan terhadap keseimbangan ekosistem dapai diminimal. Dengan harapan bahwa ekosistem savana yang sebelumnya berupa savana alami akan kembali pada kondisi fungsinya sebagai salah satu tata ruang tempat tinggal banteng yang ideal. Semak yang menyerang savana Semak sangat mengganggu kehidupan rumput karena pertumbuhan yang cepat dan memiliki perakaran yang kuat, sehingga penyerapan hara dan air akan dominan. Persaingan antara vegetasi rumput dan semak dalam mendapatkan sinar matahari dan unsur hara yang terbatas akan menghasilkan salah satu vegetasi sebagai pemenang dan seringkali keberadaan spesies rumput akan digantikan oleh spesies lain (semak). Spesies semak yang tumbuh di savana Bekol antara lain widuri (Calotropis gigantea), kacang-kacangan (Crotalaria striata), dan kapasan (Thespesia lampas). Keberadaan semak juga secara langsung dapat menurunkan produktivitas rumput walaupun tidak sebesar A. nilotica. Pada penutupan semak >50% tidak ada rumput yang tumbuh. Pada penutupan semak 3050% pertumbuhan rumput hanya 30% dan pada penutupan < 30% rumput dapat tumbuh di atas 30%. Penyebaran semak yang cepat dapat menurunkan kesuburan tanah terutama pada kawasan yang ditumbuhi oleh semak dari familia Malvaceae, Asclepiadaceae, Lamiacea, Verbenaceae, dan Asteraceae, biasanya tanah yang ditumbuhinya akan kering dan gersang, serta miskin unsur hara yang ada di dalam tanah karena telah diabsorpsi oleh akar tanaman tersebut, sehingga rumput dan vegetasi lain tidak mampu tumbuh di bawah semak. 33 Tabel 4. Densitas, biomasa dan penutupan semak yang menyerang savana Bekol No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. S p e s i s Thespesia lanpas Vernonia cinerea Calotropis gigantea Indigofera sumatrana Stachytarpeta indica Achyranthes aspera Triumfetta bartramia Lantana camara Crotalaria setriata Salviniea pubescens Leucas lavandufolia Nama Daerah Kapasan Selasi Biduri Tarum Jarong lelaki Jarong Pulutan Temblek ayam Orok-orok Buah perahu Paci Persaingan antara vegetasi rumput dan semak dalam mendapatkan sinar matahari dan unsur hara yang terbatas akan menghasilkan salah satu vegetasi sebagai pemenang dan seringkali keberadaan spesies satu akan digantikan oleh spesies lain jika spesies tersebut kalah bersaing (Sutarman 1996). Berkaitan dengan hal di atas, maka vegetasi rumput merupakan salah satu vegetasi yang kalah bersaing, karena spesies rumput yang hidup di savana memerlukan sinar matahari penuh yaitu pada tempattempat terbuka. Jika dibiarkan, keberadaan rumput di savana Bekol dapat saja digantikan oleh semak dan keadaan ini akan berpengaruh terhadap produktivitas rumput dan daya dukung savana untuk memenuhi kebutuhan pakan satwa herbivora, sehingga berakibat buruk pada perkembangbiakan rusa, banteng dan herbivora lainnya di savana TNB. Pengaruh injakan satwa terhadap tanah dan rumput Tanah di bawah naungan yang banyak terdapat bekas injakan kaki rusa timor akan membentuk cekungan-cekungan sehingga tanah menjadi lembab dan becek yang akhirnya tumbuhan penutup tanah menjadi busuk dan mati. Hal ini mengakibatkan menurunnya porositas dan aerasi tanah. Tekanan terhadap rumput dari injakan satwa liar yang ada di savana Bekol mengakibatkan struktur tanah berubah menjadi padat. Pemadatan tersebut mengakibatkan aktivitas mikroorganisme yang hidup di dalam tanah yang berfungsi Densitas Individu/200 m 938 734 400 458 246 173 184 80 209 137 109 Rata-Rata Biomasa (g) Penutupan (%)/ha 656,70 513,80 280,00 320,60 172,20 121,10 128,80 112,45 167,20 123,30 76,30 50 20 5 5 3 3 4 3 3 2 2 sebagai pengurai menjadi terganggu, karena pemadatan akan menutup pori-pori tanah sehingga sirkulasi udara yang masuk dan keluar dari tanah terhambat atau tidak sama sekali. Keadaan ini mempengaruhi produktivitas rumput. Berdasarkan data pada Tabel-5 dapat dikemukakan bahwa populasi bakteri tanah di bawah vegetasi yang diamati berkisar antara 115.000 hingga 340.000 per gram tanah. Jumlah populasi ini apabila dibandingkan dengan populasi pada tanahtanah yang subur tergolong rendah. Umumnya tanah mengandung populasi bakteri tanah 106 CFU/g tanah (Alexander dalam Setiawati, 2001). Tipe dan jumlahnya tergantung pada jenis tanah, pengelolaan tanah dan vegetasi (Evans et al. dalam Bowen dan Rovira 1999). Jenis tanah di savana Bekol adalah Grumosol (DEPHUT 1995), tekstur tanah liat berdebu dengan tipe liat yang mendominasi adalah tipe 2:1, tipe liat ini dapat mengadsorpsi bakteri ke dalam permukaan partikel liat. Keberadaan fungi tanah juga bervariasi tergantung dari jumlah vegetasinya. Populasi fungi berkisar anatara 190.000 hingga 1.030.000 propagul/g tanah. Jumlah populasi fungi termasuk cukup tinggi. Fungi tanah sebagian besar bersifat heterotrof, yang sangat tergantung kepada sumber C sebagai sumber energinya. Mikroba perombak selulosa dan mikroba pelarut fosfat merupakan mikroba yang sangat menguntungkan bagi tanah. Populasi mikroba perombak selulosa berkisar 33 57.000 hingga 138.500/g tanah, sedangkan populasi mikroba pelarut fosfat berkisar 23.000 hingga 63.000/g tanah. Tabel 5. Populasi mikroflora tanah di bawah beberapa tipe vegetasi yang dominan No. Vegetasi Bakteri (104/g tanah) 1. Zizypus 22 rotundifolia 2. Azadirachta 15 indica 3. Calotropis 32,5 gigantea 4. Acacia nilotica 34 (P) 5. Acacia nilotica 16,5 (A) 6. Brachiria reptans 30 7. Ocimum 11,5 basilicum Keterangan : P = Pohon, A = Anakan Sumber : Setiawati 2001 Inventarisasi spesies mikroba perombak selulosa berkaitan erat dengan kandungan karbon dari tanaman yang sebagian besar berada dalam bentuk selulosa. Oleh karena sebagian besar vegetasi di savana memberikan selulosa, maka peranan mikroba perombak selulosa sangat besar. Populasi mikroba perombak selulosa yang ditemukan sebagian besar adalah bakteri dan fungi, hal ini berkaitan dengan kondisi pH tanah yang netral (6,5 hingga 7,6). (Alexander dalam Setiawati 2001). Aktivitas perombakan selulosa oleh mikroba ini secara enzimatis dengan enzim selulase. Enzim mengkatalisis bentuk selulosa menjadi bentuk yang lebih sederhana, tergantung pada mikroba yang terlibat. Mikroba perombak selulosa yang bersifat aerob akan merubah gula sederhana menjadi CO2 dalam proses metabolismenya, sedangkan mikroba yang bersifat anaerob merubahnya menjadi asam organik dan alkohol. Mikroba pelarut fosfat ditemukan pada semua rhizosfer tanaman. Dari hasil pengujian potensi di laboratorium, beberapa isolat mempunyai kemampuan melarutkan fosfat yang cukup baik dan kecepatan melarutkan juga tinggi. Salah satu bakteri pelarut fosfat yang diisolasi di daerah rhizosfer tanaman nimba (Azadirchta indica) mempunyai diameter hallo zone 11 mm, Mikroba perombak selulosa (103/g tanah) 103,5 Mikroba pelarut Fosfat (103/g tanah) 44,5 Mikoriza (dalam 50 g tanah) 19,5 57 23 10 19 162 63 10 72 131,5 34,5 20 31 80 23 20 103 35,5 138,5 58 28 29 20 10 Fungi (104/g tanah) 35 20 dengan indeks kelarutan 1,4 dan mampu melarutkan pada hari kedua pengujian. Artinya kemampuan ini dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman, khususnya rumput Brachiria reptans, Dichantium coricosum dan Dactyloctenium aegyptium, karena selain dapat melarutkan P yang sukar larut, beberapa mikroba pelarut fosfat mengeluarkan zat perangsang tumbuh (ZPT) seperti gibberelin, IAA, auksin, dan lain sebagainya. Endomikroriza yang dapat diamati dari rhizosfer tanaman, menunjukkan jumlah yang rendah, karena sifatnya yang harus bersimbiose dengan tanaman inang. Pada umumnya jumlah mikoriza tergantung pada tanaman inangnya dan fase pertumbuhan tanaman. Jumlah populasi mikoflora tanah di daerah perakaran sangat tergantung pada vegetasi yang ada di atasnya, karena adanya ”rhizosfer effect”. Rhizosfer menstimulasi perkembangan mikroorganisme karena adanya senyawa organik (substrat organik) yang dikeluarkan oleh akar tanaman (Bolton 1993). Jumlah mikroorgnisme meningkat dengan meningkatnya jumlah substrat eksudat akar, Beberapa faktor mempengaruhi pelepasan bahan-bahan organik dari akar, antara lain spesies tanaman, fase umur tanaman (development 33 plant stage), temperatur, sinar matarhari, kelembaban tanah, kelembaban udara, nutrisi tanaman, pengaruh mikrobia tanah dan sruktur tanah (Bowen & Rovira 1999). Substrat soluble yang dilepas oleh akar tanaman merupakan energi yang tersedia untuk mikrobia di daerah rhizosfer, yaitu gula, asam amino, asam organik, asam lemak dan sterol, zat pengatur tumbuh, nukleotida, enzim dan kadang-kadang vitamin (Bowen & Rovira 1999). Karakteristik dan jumlah senyawa yang dikeluarkan tergantung kepada spesies tanaman, umur dan kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman (Rao 1994), dan tipe akar tanaman (Siviasithamparam et al. 1979). Sebanyak 10-30% fotosintat ditranslokasikan ke sistem perakaran dan akan dilepaskan dari akar masuk ke daerah rhizosfer dalam waktu kurang dari 12 jam. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah mikroba tanah. Sifat kimia tanah di savana Bekol disajikan pada Tabel-6. Tabel 6. Sifat kimia tanah di savana Bekol No. V e g e t a s i pH C-organik tanah (%) N-total (%) C/N Ratio 1. 2. 3. 4. 5. Zizyphus rotundifolia Azadirachta indica Calotropis gigantea Acacia nilotica (Pohon) Acacia nilotica (Anakan) Brachiria reptans Ocimum basilicum 7,47 7,43 7,33 6,76 7,67 0,45 0,40 0,36 0,49 0,52 0,0315 0,0338 0,0319 0,0321 0,0323 14 12 11 15 16 P-Bray I (ppm P2O5) 31,58 T 12,77 S 17,60 15,14 15,86 7,61 7,87 0,51 0,32 0,0329 0,0321 15 10 16,21 16,38 6. 7. Beberapa sifat kimia tanah di bawah vegetasi yang diamati tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel6). Reaksi tanah netral hingga agak alkalis, kadar C-organik tanah sangat rendah, kadar N-total tanah sangat rendah, ratio C/N sedang. P-tersedia dalam ekstrak Bray I sedang, kecuali di bawah vegetasi bidara (Zizyphus rotundifolia) tergolong tinggi. Tekstur untuk semua tanah di bawah vegetasi liat dengan kandungan liat 50,40% bersifat khusus yaitu MPS, MPP dan mikoriza. Populasi mikroba tersebut terbesar di bawah tanaman biduri (Calotropis gigantea). Pengaruh Kebakaran Data kebakaran yang tersedia periode 1999-2000 disajikan pada Tabel-7. Kebakaran di kawasan TNB dapat terjadi secara alami atau disengaja. Kebakaran yang disengaja dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai tujuan, antara lain untuk membuka ladang, menggiring ternak, mengalihkan perhatian petugas dan lain-lain. Selama kurun waktu Mei 1999 hingga September 2000, kebakaran di savana Baluran meliputi areal seluas 569 ha. Peristiwa tersebut berlangsung selama dua periode musim kemarau (bulan-bulan kering), yaitu bulan Mei-September. Kebakaran tersebut sebagian besar terjadi di kawasan savana Baluran bagian utara dan dilakukan secara sengaja. Hal ini dimungkinkan karena banyak aktivitas masyarat di daerah Labuhan Merak yang mencari hasil hutan, dan para pengembala ternak yang masuk ke dalam kawasan. Mereka banyak melakukan kegiatan yang menggunakan api (memasak, merokok dan lain-lain), sehingga secara langsung dapat menimbulkan kebakaran, khususnya di musim kemarau. 33 Tabel 7. Laporan kejadian kebakaran di kawasan savana Taman Nasional Baluran No. Waktu L o k a s i Labuhan Merak 1. Mei 1999 Lempuyang 2. Juni 1999 Labuhan Merak 3. Juli 1999 Pondok Jaran 4. Agustus 1999 Labuhan Merak Demang-Lempuyang 5. Mei 2000 Cungking, Jeding, Secang, Duluk, Labuhan Merak Batu Numpuk-Pondok Jaran 6. Juni 2000 Lempuyang-Balanan Gembelina-Pondok Jaran 7. Juli 2000 Alas Malang, Curah Widuri-Labuah Merak Lemah Abang, Watu Numpuk-Pondok Jaran Kandang Laju, Alas Malang, Cumgking, Gentong 8. Agustus 2000 Watu Numpuk, Lemah Abang-Pondok Jaran Balanan September 2000 Plalangan-Perengan J U M L A H Sumber : BTNB 1999 Pepohonan yang tumbuh di savana dicirikan oleh pohon-pohon berkayu yang tahan api. Jika intensitas kebakaran tinggi, maka akhir dari vegetasi klimaks karena pengaruh api adalah padang rumput. Sebaliknya jika kebakaran jarang terjadi, maka spesies pioner, termasuk A. nilotica menjadi dominan. Hal ini terjadi di sebagian besar savana datar seperti Bekol, Kramat dan sekitarnya. Pengembalaan yang berlebihan (overgrazing) Permasalahan lain yang turut menurunkan kualitas savana adalah meningkatnya intensitas pengembalaan liar oleh masyarakat di sekitar kawasan. Kegiatan ini banyak ditemukan terutama di kawasan TNB bagian utara. Pengembalaan ini telah dilakukan masyarakat secara turun temurun dan dari waktu ke waktu jumlah ternak yang digembalakan semakin banyak dari tahun ke tahun. Menurut Nugroho et al. dalam Sabarno (2002), setiap hari ditemukan 1600 ekor sapi dan 400 ekor domba/kambing digembalakan secara liar di kawasa Baluran bagian utara. Padahal daya dukung savana diduga di bawah jumlah ternak yang digembalakan, sehingga terjadi overgrazing yang berat dan mengancam kelestarian ekosistem savana di kawasan ini. Luas (Ha) 110 60 173 36,5 17 2 78 10 1,5 8 21 31 81 27 1 2 659 Pengaruh negatif meningkatnya pengembalaan liar di TNB antara lain berupa: persaingan mendapatkan rumput antara satwa liar herbivora dengan ternak, tanah menjadi padat akibat injakan kaki ternak, kemungkinan penularan penyakit terhadap satwa liar serta merubah komposisi rumput di areal pengembalaan menjadi vegetasi yang tidak disukai oleh ternak maupun satwa liar, sehingga ternak akan mencari sumber pakan di tempat lain, akibatnya semakin meluas areal pengembalaan. Banyak usaha yang telah dilakukan dalam mencegah masuknya pengembalaan liar di kawasan TNB, misalnya melalui penyuluhan, pemberian bibit rumput pakan ternak untuk dibudidayakan, dan lain sebagainya, tetapi hasilnya belum memuaskan. Meskipun dampak pengembalaan liar belum begitu nyata, namun jika berlangsung terus menerus, maka lambat laun kondisi kawasan yang dilestarikan sebagai Taman Nasional dapat mengalami perubahan fungsi sebagai kawasan konservasi yang secara ideal tidak terganggu oleh aktivitas kepentingan manusia. 33 Bawah di Savana Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Jurnal Analisis Lingkungan. 2(1):135-145. DAFTAR PUSTAKA Barata, U.W. 2000. Biomasa, Komposisi dan Klasifikasi Komunitas Tumbuhan Bawah pada Tegakan Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yokyakarta. Hoogerwerf. 1970. Ujung Kulon. The Land of The Last. Java Rhinoceros. Leiden. E.J. Brill. Marpaung. BTNB. 1999. Rancangan Pencabutan Seedling/Anakan Hasil Pembongkaran Secara Mekanis, 150 ha di Savana Bekol Taman Nasional Baluran. Reboisasi Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur. Djufri. 1993. Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Jenis Tumbuhan Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. _____. 2002. Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Spesies Tumbuhan Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. BIODIVERSITAS. Journal of Biological Diversity. 3(1):181188. _____. 2004 dan Dede Setiadi. 2004. Review. Invasi Akasia (Acacia nilotica) (L.) Willd ex Del. dan Permasalahannya di Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur. Jurnal Analisis Lingkungan. FMIPA IPB Bogor. Bogor. 1(2):113-116. _____. 2004. Review. Acacia nilotica (L.) Willd ex. Del. dan Permasalahannya di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. BIODIVERSITAS. Journal of Biological Diversity. 5 (2):96104. L. 1995. Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa. Erlangga. Jakarta. Purwanta. S. 1995. Studi Produktivitas Rumput Savana Bekol Taman Nasional Baluran. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sabarno. M.Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran. BIODIVERSITAS. Journal of Biological Diversity. 3(1):207212. Saraswati, Atik. Daya Dukung Savana Bekol terhadap Keberadaan Rusa Timor (Cervus timorensis). Proseding Seminar Nasional Taman Nasional Baluran I. Setyawan, B.W. 1996. Studi Daya Dukung Padang Pengembalaan Bekol Terhadap Jumlah Rusa (Cervus timorensis). Di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi. Skripsi. Institut Pertanian Malang, Malang. Suharti. 1990. Acacia nilotica Tanaman Sekat bakar di Taman Nasional Baluran. Duta Rimba. Vol. 16:4156. Sutarman. 1996. Ekologi Umum. Institut Pertanian Malang. Malang. _____, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim. 2005. Pengaruh Kerapatan Tegakan Akasia (Acacia nilotica) (L.) Willd. Ex Del. terhadap Komposisi dan Keanekaragaman Tumbuhan 33