1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kasus terjadinya penyakit kanker di dunia selalu bertambah dari tahun
ke tahun. Berbagai metode seperti kemoterapi, operasi, radiasi dan
transplantasi telah banyak dilakukan pada penderita kanker untuk mengobati
penyakit mematikan ini. Kemoterapi merupakan metode yang paling sering
digunakan karena dapat menangani kanker yang sudah menyebar dalam
tubuh penderita. Akan tetapi kemoterapi ini dapat memberikan efek samping
yang cukup berbahaya bila dilakukan dalam jangka waktu yang panjang.
Usaha pencarian agen kemoterapi lain yang lebih ringan efek sampingnya
telah banyak dilakukan, namun tampaknya tidak begitu membuahkan hasil
yang memuaskan. Sehingga, saat ini sedang marak diupayakan penemuan
agen pendamping kemoterapi yang dapat meminimalkan efek samping dari
agen kemoterapi utama.
Salah satu agen kemoterapi yang banyak digunakan di Indonesia adalah
doxorubicin. Hal ini dikarenakan harga obat generik dari doxorubicin sangat
murah sehingga dapat digunakan oleh penderita kanker menengah-ke bawah.
Namun penggunaan doxorubicin dapat menyebabkan efek samping,
diantaranya adalah menurunkan sistem imum pasien dan memicu
1
2
terbentuknya radikal bebas (ROS) yang dapat merusak sel yang kemudian
berujung pada kematian seluler. Sehingga perlu digunakan agen pendamping
kemoterapi untuk mengatasi efek samping dari doxorubicin.
Indonesia kaya akan tanaman berkhasiat obat, tetapi dari 35.000-40.000
tanaman obat yang tumbuh subur di Indonesia, hanya 940 jenis yang sudah
ditemukan dan baru 80 jenis sudah diproduksi untuk pembuatan obat
(Dennin, 2000). Sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat agen
pendamping kemoterapi yang sedang dibutuhkan, namun belum ditemukan.
Dari berbagai pencarian yang telah dilakukan, ditemukan Ficus septica
Burm. f. atau yang lebih dikenal dengan tanaman awar-awar yang
memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Berbagai penelitian yang dilakukan oleh Nurcahya (2007) dan Sekti et
al. (2008) diketahui bahwa ekstrak etanolik daun awar-awar memiliki efek
sitotoksik terhadap sel kanker. Skrining senyawa aktif yang dilakukan
terhadap daun awar-awar menunjukkan bahwa ada senyawa golongan
alkaloid, flavonoid dan fenolik, misalnya fenantroindolisidin (Damu et al.,
2005), resveratrol dan genistein. Senyawa-senyawa tersebut dilaporkan
memang memiliki potensi yang baik sebagai sitotoksik aktif, antiproliferatif
dan induktor apoptosis (Wu et al., 2002 cit Lansky et al., 2008; Yang et al.,
2005; Damu et al., 2005). Sedangkan senyawa golongan flavonoid dan
fenolik telah dikenal luas sebagai antioksidan alamiah.
3
Nugroho et al. (2011) melanjutkan penelitian dengan melakukan
fraksinasi bertingkat ekstrak etanolik awar-awar terstandar sehingga
menghasilkan empat macam fraksi yaitu fraksi larut n-heksan, fraksi tak larut
n-heksan, fraksi larut etil asetat dan fraksi tak larut etil asetat. Uji sitotoksik
pada galur sel T47D dengan MTT assay menunjukkan bahwa fraksi tak larut
n-heksan (IC50 : 9.3 μg/mL) dan fraksi larut etil asetat (IC50 : 13.7 μg/mL)
memberikan efek sitotoksik yang paling tinggi. Penelitian lanjutan pada
tahun 2012 menunjukkan bahwa pemberian fraksi etil asetat bersama agen
kemoterapi doxorubicin memberikan efek sinergis dan tingkat apoptosis yang
lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal dengan doxorubicin saja. Oleh
karena itu, ekstrak awar-awar sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai
agen pendamping kemoterapi doxorubicin untuk pasien kanker. Namun
sampai saat ini belum ada penelitian yang menyatakan bahwa ekstrak
etanolik daun awar-awar, khususnya fraksi tidak larut n-heksan yang mampu
meningkatkan sistem imun untuk menekan efek imunosupresan penggunaan
doxorubicin serta efek antioksidannya.
Untuk dapat mencapai tujuan besar tersebut maka penelitian ini akan
difokuskan pada penelusuran potensi immunostimulator fraksi tidak larut nheksan dari ekstrak etanolik awar-awar serta pengujian efek antioksidannya.
Parameter yang akan diperhatikan adalah kemampuan proliferasi limfosit dan
IC50. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu landasan ilmiah
mengenai aplikasi senyawa aktif awar-awar sebagai agen pendamping
doxorubicin dan dipublikasikan dalam suatu jurnal internasional.
4
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu
1. Apakah pemberian fraksi tak larut n-heksan ekstrak etanolik awar-awar
(Ficus septica Burm. f) dapat meningkatkan proliferasi limfosit pada tikus
galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin secara signifikan?
2. Seberapa poten efek peningkatan proliferasi limfosit akibat pemberian
fraksi tak larut n-heksan ekstrak etanolik awar-awar (Ficus septica Burm.
f) pada tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin
dibandingkan dengan yang hanya dipejani doxorubicin saja?
3. Seberapa poten efek antioksidan fraksi tak larut n-heksan ekstrak etanolik
awar-awar (Ficus septica Burm. f) dengan metode DPPH?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian besar untuk
menelusuri aktivitas imunomodulator dari fraksi aktif ekstrak etanolik awarawar (Ficus septica Burm. f) sebagai agen kokemoterapi bersama
doxorubicin secara in vivo.
Secara khusus, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji efek
immunostimulator fraksi aktif ekstrak etanolik awar-awar (Ficus septica
Burm. f), khususnya fraksi tidak larut n-heksan terhadap proliferasi limfosit
5
pada tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin dan menguji
efek antioksidannya.
D.
Manfaat Penelitian
1. Memanfaatkan sumber daya hayati Indonesia secara optimal sebagai
sumber pengobatan.
2. Memperbanyak informasi, khususnya awar-awar sebagai obat pendamping
kemoterapi.
3. Menemukan agen obat baru yang dapat digunakan oleh masyarakat
Indonesia dengan efek samping ringan.
E.
Tinjauan Pustaka
1. Kanker dan Kemoterapi
Kanker atau biasa disebut neoplasma ganas adalah penyakit yang
ditandai dengan kelainan siklus sel yang menimbulkan kemampuan sel
untuk tumbuh tidak terkendali, menyerang ke jaringan tubuh yang lain, dan
bermigrasi ke jaringan tubuh yang lain (metastasis) melalui peredaran darah
dan sistem limfa. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh NCI Amerika
Serikat, kematian yang disebabkan oleh kanker di Amerika Serikat pada
tahun 2013 mencapai 580.350 dari 1.660.290 kasus yang ditemukan.
6
Berdasarkan survey tersebut kemudian diketahui bahwa kanker adalah
penyebab terbesar kedua kematian di Amerika Serikat (NCI, 2013).
Sedangkan di Indonesia, penyakit kanker menjadi penyumbang kematian
ketiga terbesar setelah penyakit jantung (Tempo, 2006). Data tersebut
menunjukkan bahwa kanker memiliki insidensi yang tinggi dan sangat
berbahaya bagi manusia.
Kanker dapat terjadi ketika sel-sel tubuh mulai tumbuh secara tidak
terkendali. Hal inilah yang membedakannya dengan sel normal. Sel normal
akan tumbuh, membelah, dan mati secara teratur. Sel normal tersebut
membelah hanya untuk mengganti sel yang telah rusak atau mati dan
memperbaiki kerusakan. Sedangkan sel kanker, alih-alih akan mati, mereka
akan hidup lebih lama dari sel-sel normal dan terus membentuk sel-sel
abnormal yang baru. Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan
oleh adanya mutasi DNA. DNA yang rusak ini kemudian mengubah pola
pembelahan sel. Mutasi tersebut dapat disebabkan akibat paparan
karsinogen, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan kanker. Dalam keadaan
normal, DNA yang rusak dapat diperbaiki oleh tubuh. Namun dalam sel
kanker, DNA yang rusak tidak dapat diperbaiki.
Kanker dapat tumbuh dalam tubuh tanpa disadari oleh penderita.
Biasanya penderita baru menyadari ia mengidap kanker ketika penderita
mengalami sakit atau keluhan pada bagian tubuh tertentu dimana biasanya
kondisi tersebut sudah cukup parah. Terdapat empat tahap perkembangan
7
kanker (karsinogenesis), yaitu inisiasi, promosi, konversi, dan progresi
tumor. Inisiasi diawali saat karsinogen kimiawi menyebabkan kerusakan
genetik yang tidak dapat diperbaiki. Kerusakan yang terjadi adalah
perubahan struktur molekul pada DNA yang mengakibatkan mutasi dalam
sintesis
DNA.
Mutasi
ini
kemudian
menyebabkan
sel
normal
bertransformasi menjadi sel kanker (Pustzai dan Lewis, 1996). Selanjutnya
sel cenderung menjadi ganas dan lebih agresif (progresi). Pada tahap
metastasis, sel kanker berkemampuan untuk bertranslokasi ke jaringanjaringan lain di dalam tubuh melalui pembuluh darah dan sistem limfa
(Murray et al., 2003) dan membentuk tumor sekunder. Perpindahan sel
kanker dari satu jaringan ke jaringan lain inilah yang merupakan faktor
utama penyebab kematian pada penderita kanker. Keseluruhan proses
karsinogenesis ini memerlukan waktu yang lama, dapat berlangsung selama
beberapa bulan atau beberapa tahun. Sehingga sangat dimungkinkan untuk
dilakukan pengobatan terhadap penyakit kanker ini (Greenwald, 2002).
Pengobatan kanker (kemoterapi) dilakukan dengan cara menghambat
pertumbuhan sel kanker atau membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi dapat
diberikan secara injeksi langsung pada bagian tubuh yang terkena kanker.
Kemoterapi diharapkan dapat mengobati seluruh tubuh, sehingga sel kanker
yang telah bermetastasis juga dapat diterapi. Sedangakan dengan radiasi,
hanya akan mengobati area tertentu pada tubuh (Nurcahyo, 2008). Hal ini
menyebabkan kemoterapi lebih dipilih dibandingkan dengan radiasi.
8
Senyawa kimia yang digunakan sebagai agen kemoterapi biasanya
diberikan berdasarkan tipe, stadium, tingkat keparahan kanker, umur pasien,
dan keinginan untuk menoleransi efek samping yang mungkin muncul.
Pengobatan kanker dengan kemoterapi bertujuan untuk menghilangkan
semua sel kanker dalam tubuh, memperpanjang harapan hidup dan
menyembuhkan gejala kanker. Kemoterapi terkadang merupakan perawatan
satu-satunya tetapi lebih sering dikombinasikan dengan perawatan lain
seperti dengan operasi, radiasi atau transplantasi untuk memberikan hasil
yang baik. Beberapa tipe kemoterapi yang biasa digunakan, yaitu: alkilating
agent,
antimetabolit,
anti-tumor
antibiotik,
mitotic
inhibitors,
dan
nitrosourea (Nurcahyo, 2008). Walaupun kemoterapi sangat berguna dalam
penyembuhan kanker, kemoterapi juga dapat memberikan efek samping
yang tidak diinginkan, salah satunya adalah lebih mudah terkena infeksi
karena melemahnya sistem imun tubuh (Patel et al., 2007).
2. Doxorubicin
Doxorubicin merupakan antibiotik golongan antrasiklin yang banyak
digunakan sebagai agen terapi kanker. Doxorubicin bekerja dengan cara
berinterkalasi dengan DNA, secara langsung akan mempengaruhi transkripsi
dan replikasi. Doxorubicin mampu membentuk komplek tripartite dengan
topoisomerase II dan DNA. Ini menyebabkan penghambatan daur sel
terhenti di fase G1 dan G2 serta memacu terjadinya apoptosis. Doxorubicin
9
dapat membentuk zat perantara yang kemudian bereakasi dengan oksigen
sehingga menghasilkan radikal bebas (ROS) yang mampu merusak dan
menghancurkan sel. Kemampuan sitotoksik tersebut dapat dihasilkan setelah
doxorubicin masuk ke dalam sel. Keberadaan ROS dalam jumlah banyak
mampu menimbulkan kondisi yang disebut stress oksidatif. Stress oksidatif
adalah keadaan dimana radikal bebas di dalam tubuh melebih kapasitas
tubuh untuk menetralisirnya. Akibatnya intensitas proses oksidasi sel-sel
tubuh normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang
lebih banyak (Minotti et al, 2004).
Doxorubicin sering digunakan sebagai agen kemoterapi karena
memiliki spectrum aksi yang luas. Namun, luasnya penggunaan doxorubicin
ternyata menimbulkan efek samping, antara lain nausea, vomiting dan
aritmia jantung. Doxorubicin juga dapat menyebabkan neuropenia
(penurunan sel darah putih), penurunan interleukin-2 (IL-2) dan produksi
interferon-γ (INF-γ), sehingga menyebabkan penurunan sel sitotoksik
natural killer (NK), proliferasi limfosit, dan rasio CD4+/CD8+ (Anonim,
2001).
10
Gambar 1. Struktur molekul doxorubicin
3. Sistem Imun Manusia
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk
melindungi dan mempertahankan keutuhan tubuh dari bahaya yang
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan (Baratawidjaja, 2000).
Organisme yang menyebabkan penyakit, organ transplantasi dan sel kanker
dideteksi ketika masuk dan setelah dikenali oleh sistem imun sebagai benda
asing yang tidak diharapkan, atau disebut juga antigen, maka segera
dihancurkan sebelum menimbulkan masalah lebih lanjut. Sistem imunitas
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti genetik, umur, kondisi metabolik,
anatomi, status gizi, fisiologi manusia itu sendiri dan sifat benda asing
(Bellanti, 1993).
Respon imun didefinisikan sebagai respon atau reaktifitas yang
terjadi jika ada kontak dengan molekul yang memiliki konfigurasi spesifik
atau antigen. Respon imun menjalankan tiga fungsi yaitu pertahanan
(defense), homeostatis dan pengawasan (surveillance). Fungsi pertahanan
bertujuan untuk mempertahnkan tubuh dari infeksi mikroorganisme. Fungsi
homeostatis untuk mempertahankan dari jenis sel tertentu dan memusnahkan
sel-sel yang tidak berguna. Sedangkan fungsi pengawasan bertujuan untuk
memonitor dan menghancurkan sel abnormal atau sel mutan (Bellanti,
1993).
11
Sistem imun yang mempertahankan keutuhan tubuh terdiri dari
sistem imun non-spesifik dan spesifik. Respon imun spesifik adalah respon
imun yang timbul setelah sel imun terpapar antigen. Sedangkan respon imun
non-spesifik adalah respon imun yang timbul secara langsung walaupun
belum terpapar antigen (Batarawidjaja, 2000).
Respon imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal
benda yang dianggap asing bagi dirinya secara spesifik. Benda asing yang
pertama kali muncul akan dikenali oleh sistem imun spesifik sehingga
terjadi sensitisasi sel-sel imun. Bila sel imun yang telah tersensitisasi
tersebut terpapar kembali dengan beda asing yang sama, maka benda asing
tersebut akan cepat dikenali yang kemudian akan langsung dihancurkan
(Bellanti 1993). Repon imun spesifik terdiri atas dua macam imunitas yaitu
imunitas humoral dan imunitas seluler. Imunitas humoral dilakukan oleh sel
plasma (sel limfosit B dewasa) yang mensekresikan antibodi. Sedangkan
imunitas seluler dijalankan oleh sel limfosit T yang berfungsi dalam
penolakan jaringan asing yang dicangkok dan menghancurkan sel-sel tumor
atau sel yang terinfeksi (Ganong, 2008).
Respon imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan
dalam menghadapi serangan berbagai antigen dan dapat memberikan respon
langsung terhadap antigen. Sistem tersebut disebut non-spesifik karena tidak
ditujukan terhadap antigen tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir
(Baratawidjaja, 2000). Sistem imun non-spesifik umunya merupakan
12
imunitas bawaan (innate immunity) dalam arti bahwa respon terhadap zat
asing dapat terjadi walaupun tubuh tidak pernah terpapar zat tersebut
(Kresno, 1996).
4. Limfosit
Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu sel dalam sistem
pertahanan tubuh dan apabila dibandingkan dengan eritrosit, leukosit
memiliki ukuran molekul yang lebih besar dan bebas bergerak. Leukosit
terdiri dari 75% sel granulosit dan 25% sel agranulosit yang terbentuk dari
dalam sumsum tulang belakang (Bratawidjaja, 2000). Yang termasuk
kelompok agranulosit adalah sel limfosit dan monosit, sedangkan yang
termasuk kelompok granulosit (bergranula) adalah basofil, neutrofil, dan
eosinofil (Ganong,2008).
Tabel 1. Komposisi leukosit, eritrosit dan platelet dalam darah
Elemen seluler
1. Leukosit
Granulosit
- Neutrofil
Rata-rata sel/ml
9000
Kisaran
Normal
4000 – 11000
% dari leukosit
normal
-
5400
3000 – 6000
50 – 70
13
- Eusinofil
- Basofil
Non Granulosit
- Limfosit
- Monosit
2. Eritrosit
- Laki-laki
- Wanita
3. Platelet
Sumber : Ganong (2008)
275
35
150 – 300
0 – 100
1–4
0,4
2750
540
1500 – 4000
300 - 600
20 – 40
2–8
2 – 5 x 105
-
5,4 x 106
4,8 x 106
-
Bagian yang paling berperan dalam sistem kekebalan tubuh adalah
sel darah putih. Fungsi utamanya adalah memakan penyusup asing,
mengeluarkan zat kimia yang vital untuk sistem imun, dan saling
mengontrol sel darah putih lain dalam menjalankan fungsinya.
Sel yang bertindak dalam respon kekebalan spesifik tergolong dalam
dua golongan besar limfosit yaitu limfosit T (sel-T) dan limfosit B (sel-B).
Sel-sel tersebut dapat mengenali benda asing dan membedakannya dari sel
jaringan sendiri. Kemampuan mengenal limfosit tersebut dibedakan oleh
adanya reseptor pada sel permukaan (Baratawidjaja, 2000).
14
Gambar 2. Sel limfosit manusia
Limfosit T yang diturunkan dari sel-sel induk sumsum tulang, tetapi
proliferasi dan diferensiasinya terjadi di dalam kelenjar timus. Sebanyak 9095% dari semua sel timus akan mati dan hanya 5-10%-nya menjadi matang
dan akan meninggalkan timus masuk ke dalam sirkulasi. Faktor timosin
dapat ditemukan dalam dalam peredaran darah sebagai hormon asli (true
hormone) dan dapat memberikan pengaruhnya terhadapa diferensiasi sel-T
di perifer (Baratawidjaja, 2000).
Limfosit T terlibat dalam pengenalan antigen pada reaksi imun
seluler, termasuk sensitivitas kontak pada kulit terhadap zat-zat kimia biasa
dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit T membuat beraneka
ragam zat perantara yang disebut limfokin yang dapat mengaktifkan limfosit
dan limfosit T lainnya. Aktivitas limfosit T dapat diukur dengan mengukur
kemampuannya berproliferasi akibat penambahan ekstrak tertentu dari
tanaman (Baratawijaja, 2000).
Limfosit B merupakan limfosit yang berkembang dan berdiferensiasi
dengan sumsung tulang pada mamalia. Limfosit B mengenali antigen
dengan adanya molekul antibodi pada membran selnya yang bekerja sebagai
reseptor. Sebuah limfosit B hanya dapat membuat satu jenis antibodi dengan
satu spesifitas tertentu sehingga diperlukan banyak limfosit B utnuk
15
mengenali sekian banyak antigen di dalam lingkungannya (jumlahnya
sekitar 107) (Fawcett, 2002).
Perkembangan dari limfosit B dalam sumsum tulang adalah tidak
tergantung (independen) akan tetapi perkembangan selanjutnya memerlukan
rangsangan dari antigen. Limfosit B dalam keadaan istirahat berukuran kecil
dangan sedikit sekali sitoplasma, dan bila diaktifkan berkembang menjadi
limfoblas. Beberapa limfoblas berkembang menjadi sel memori. Atas
pengaruh
antigen
dan
limfosit
T,
limfosit
B
berproliferasi
dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang sama seperti reseptor yang ada di
permukaan sel prekursornya. Limfosit B yang matang akan berubah menjadi
limfosit B memori yang dapat memberikan respon imun yang lebih cepat
(Baratawidjaja, 2000).
Ada heterogenitas yang lebih besar dari limfosit daripada pembagian
sederhana ke dalam kelas T dan B. Sejumlah subkelas limfosit T telah
diuraikan. Beberapa bekerja sebagai sel “pembantu” (Th: T-helper) yang
berperan menolong limfosit B dalam diferensiasi dan memproduksi
antibodi. Selain itu sel T-helper juga melepas limfokin yang mengaktifkan
limfosit sehingga dapat menghancurkan patogen yang dimakannya dan selsel lainnya. Sel Ts (T-supressor) berperan menekan aktivitas Sel T yang lain
dan Sel B, sedangkan yang lain lagi merupakan sel Tcyt (T-cytotoxic) yang
fungsi
utamanya
adalah
(Baratawidjaja, 2000).
mengeliminir
sel
yang
terinfeksi
virus
16
5. Uji Proliferasi Limfosit
Proliferasi sel adalah proses diferensiasi dan pembelahan sel secara
mitosis yang merupakan fungsi biologis tubuh. Proliferasi dari sel limfosit
dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen. Pada proses
tersebut dihasilkan sel-sel efektor aktif yang berperan pada respon spesifik
atau non spesifik.
Kemampuan proliferasi sel limfosit menunjukkan secara tidak
langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan. Berbagai
bahan pangan telah diteliti mengenai aktivitasnya sebagai imunostimulan,
beberapa dipercaya mampu menstimulasi proliferasi sel limfosit untuk
meningkatkan sistem imunitas (Zakaria et al., 1996).
Pengukuran proliferasi sel limfosit dapat dilakukan dengan metode
kolorimetri, yaitu dengan melakukan pewarnaan sel menggunakan MTT (3[4,5-dimetilthiazol-2yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide) untuk menghitung
jumlah sel hidup dalam sumur kultur sel. Larutan MTT dapat bereaksi
dengan enzim suksinat dehidrogenase pada sel sehingga garam tetrazolium
yang berwarna kuning menjadi kristal biru formazan yang kemudian dapat
dibaca absorbansinya menggunakan Microplate Reader. Enzim suksinat
dehidrogenase adalah enzim yang disintesis oleh mitokondria pada semua
sel. Semakin banyak terbentuk warna formazan, berarti semakin banyak
17
jumlah enzim yang menghidrolisis garam tetrazolium. Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah sel yang hidup juga banyak (Doyle dan Griffiths, 2000).
Selain penggunaan metode MTT, pengukuran proliferasi limfosit
juga dapat dilakukan menggunakan metode pewarnaan biru tripan. Biru
tripan merupakan larutan buffer isotonik. Dengan menggunakan metode
pewarnaan biru tripan, sel yang hidup dapat dibedakan dengan sel mati. Sel
yang hidup akan terlihat tidak berwarna (terang dan cerah) dan berbentuk
bulat, sedangkan sel yang mati akan berwarna biru dan mengkerut. Warna
biru pada sel yang mati disebabkan oleh pecahnya dinding sel yang
mengakibatkan warna biru dari biru tripan masuk dan mewarnai keseluruhan
sel. Sedangkan pada sel hidup, dinding sel tidak pecah sehingga pewarna
tidak masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Viabilitas sel yang baik terlihat
dengan semakin banyaknya jumlah sel yang hidup (Ananta, 2000). Namun
pada metode pewarnaan biru tripan hasil yang diberikan tidak selalu
berbanding lurus dengan metode MTT. Hal ini dapat dikarenakan terjadinya
kesalahan positif maupun negatif pada pembacaan absorbansi pada metode
MTT ataupun pengambilan sel yang tidak merata pada metode pewarnaan
biru tripan (Krisnawati, 2007).
6. Imunomodulator
Imunomodulasi adalah cara untuk mengembalikan dan memperbaiki
sistem imun yang fungsinya terganggu atau menekan sistem imun yang
berlebihan fungsinya. Sedangkan imunomodulator adalah senyawa tertentu
18
yang dapat meningkatkan respon imun atau perlindungan terhadap patogen
atau tumor (Alamgir dan Uddin, 2010).
Senyawa atau obat golongan imunomodulator bekerja menurut tiga
cara,
yaitu
imunorestorasi,
imunostimulasi,
dan
imunosupresi
(Baratawidjaja, 2000).
a. Imunorestorasi
Imunorestorasi adalah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem
imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem
imun seperti immunoglobulin.
b. Imunostimulasi
Imunostimulasi adalah cara untuk memperbaiki fungsi sistem imun dengan
menggunakan
bahan
yang
merangsang
sistem
imun
tersebut.
Imunostimulator dapat merangsang terjadinya proliferasi, diferensiasi, dan
aktivasi sel-sel pengatur imun.
c. Imunosupresi
Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respon imun.
Imunosupresi sangat berguna sangat berguna dalam klinik terutama pada
transplantasi dalam usaha mencegah reaksi penolakan dari pada berbagai
19
penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik,
seperti autoinflamasi dan autoimun.
7. Awar-awar (Ficus septica Burm. f.)
Tanaman awar-awar (Ficus septica Burm.F) merupakan tanaman asli
Indonesia. Tanaman tersebut mempunyai nama daerah : Sirih Popar
(Ambon) Tagalolo, Bei, Loloyan (Minahasa); Ki ciyat (Sunda); Awar awar
(Jawa); Bar-abar (Madura); Awar awar (Belitung); Tobotobo (Makasar);
Dausalo (Bugis); Bobulutu (Halmahera Utara); Tagalolo (Ternate). Selain
itu, tanaman tersebut juga mempunyai nama asing : Papua Nugini: Omia
(Kurereda, Northern Province), Manibwohebwahe (Wagawaga, Milne Bay),
Bahuerueru (Vanapa, Central Province). Philippines: Hauili (Filipino),
Kauili (Tagalog), Sio (Bikol). Nama simplisia adalah Fici septicae folium
(daun awar-awar) (Anonim, 2005).
Klasifikasi tanaman dari Awar-awar adalah sebaga berikut:
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
20
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas
: Dilleniidae
Ordo
: Urticales
Famili
: Moraceae (suku nangka-nangkaan)
Genus
: Ficus
Spesies
: Ficus septica Burm.F
(Van Steenis, 1975)
Gambar 3. Tanaman Awar-awar (Ficus septica Burm. f.)
Awar-awar dapat berupa pohon atau semak tinggi, yang berdiri tegak
setinggi 1-5 meter. Batang pokok bengkok-bengkok, lunak, ranting bulat
silindris, berongga, gundul, bergetah bening. Daunnya berupa penumpu
tunggal, besar, sangat runcing, daun tunggal, bertangkai, duduk daun
21
berseling atau berhadapan, bertangkai sepanjang 2,53 cm. Daunnya
berbentuk bulat telur atau elips, dengan pangkal membulat, ujung
menyempit cukup tumpul, tepi rata, berukuran 9-30 x 9-16 cm, bagian
atasnya berwarna hijau tua mengkilat, dengan banyak bintik-bintik yang
pucat, bagian bawahnya berwarna hijau muda, sisi kiri kanan tulang daun
tengah dengan 6-12 tulang daun samping; kedua belah sisi tulang daun
menyolok karena warnanya yang pucat. Bunganya merupakan bunga
majemuk susunan periuk berpasangan, bertangkai pendek, pada pangkalnya
dengan 3 daun pelindung, berwarna hijau muda atau hijau abu-abu,
berdiameter lebih kurang 1,5 cm, pada beberapa tanaman ada bunga jantan
dan bunga gal, pada yang lain bunga betina. Sedangkan buahnya bertipe
periuk, berdaging, berwarna hijau-hijau abu-abu, berdiameter 1,5-2 cm.
Waktu berbunga awar-awar adalah antara Januari-Desember. Tumbuhan ini
banyak ditemukan di Jawa dan Madura; tumbuh pada daerah dengan
ketinggian 1200 m di atas permukaan laut, banyak ditemukan di tepi jalan,
semak belukar dan hutan terbuka (Anonim, 2005).
Daun awar-awar diketahui mengandung senyawa flavonoid genistin
dan kaempferitrin, kumarin, senyawa fenolik, pirimidin dan alkaloid antofin,
10S, 13aR-antofin N-oxide, dehidrotylophorin, ficuseptin A, tylophorin, 2Demetoksitylophorin,
14α-Hidroksiisotylopcrebin
N-oxide,
saponin
triterpenoid, sterol (Wu et al., 2002 cit Lansky et al., 2008, Yang et al.,
2005, Damu et al., 2005). Alkaloid yang terkandung pada batang awar-awar
antara lain adalah fenantroindolisidin (ficuseptin B, ficuseptin C, ficuseptin
22
D, 10R,13aR-tylophorin N-oxide, 10R,13aR-tylocrebrin N-oxide, 10S,13aRtylocrebrin N-oxide, 10S,13aR-isotylocrebrin N-oxide, dan 10S,13aSisotylocrebrin N-oxide) (Damu et al., 2005). Daun dan akar mengandung
stigmasterol dan β-sitosterol. Daun dan batang mengandung alkaloid
isotylocrebin dan tylocrebin (Wu et al., 2002 cit Lansky et al., 2008).
Alkaloid fenantroindolisidin dalam daun daun dan batang awar-awar
memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker. Aktivitas sitotoksik
fenantroindolisidin tersebut menunjukkan nilai potensi yang tinggi pada cell
lines carcinoma KB-VI (multidrugs resistance cell) dan KB-3-1 (sensitive
cell).
Alkaloid fenantroindolisin
pada batang awar-awar diketahui
mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker nasofaring HONE-1
(human nasopharyngeal carcinoma) dan sel kanker lambung NUGC (human
gastric cancer) (Damu et al., 2005). Selain itu, daun awar-awar memiliki
efek anti inflamasi melalui penghambatan inducible nitric oxide synthase
(iNOS) dan enzim siklooksigenase-2 (COX-2) (Yang et al., 2005).
Isoflavonoid genistin diketahui dapat menghambat pertumbuhan dan
proliferasi dari berbagai kanker, salah satunya kanker prostat (Morito et al.,
2001).
23
Gambar 4. Struktur kimia senyawa kandungan Ficus septica.
Keterangan : Kandungan alkaloid berupa senyawa antofin (1), 2-Demethoxytylophorine (2),
Isotylocrebine(3),
Dehydrotylophorine
Tylocrebine (4), Tylophorine (5), 10S,13aR-anofine N-oxide (6),
(7),
dan
Ficuseptine
A
(8),
kandungan
flavonoid
berupa
kaempferitrin (10) dan genistin (11), serta senyawa kumarin\(9) (Wu et al., 2002 cit Lansky
et al., 2008).
Kumarin umbelliprenin dan senyawa fenolik resveratrol diketahui
memiliki aktivitas stotoksik pada sel MCF7 (Lim et al., 2008). Penelitian
Chu et al. (2001) membuktikan kumarin eskuletin mampu menginduksi
24
apoptosis dan menurunkan ekspresi protein Bcl-2 hingga 58% pada sel
leukemia HL-60 selama inkubasi 9 jam. Penelitian Guisado et al. (2005)
menyatakan bahwa senyawa fenolik resveratrol menginduksi apoptosis
melalui down-regulation NFκB pada penghambatan jalur signaling
PI3K/Akt
yang mengakibatkan
penurunan
ekspresi
protein
Bcl-2.
Triterpenoid Amooranin dari tanaman tropis India Amoora rohituka
menginduksi apoptosis dengan menurunkan ekspresi protein Bcl-2 serta
memotong caspase 8, 9, 6, Bid pada sel kanker payudara MCF-7 (Rabi et
al., 2007).
Dari penelitian yang dilakukan Sekti et al. (2008) dan Pratama et al.
(2011) diketahui bahwa ekstrak etanolik dari daun awar-awar mampu
memberikan efek sitotoksik pada sel MCF-7D dan T47D. Namun setelah
dilakukan fraksinasi, didapatkan hasil bahwa fraksi tak larut n-heksan dan
fraksi tidak larut etil asetat yang memberikan efek sitotoksik paling tinggi
(Nugroho et al., 2011).
8. Antioksidan dan Mekanisme Kerja Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang mampu melindungi sel melawan
kerusakan yang ditimbulkan oleh kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal
bebas (Reactive Oxygen Species), seperti oksigen, superoksid, radikal
peroksid dan radikal hidroksil.
25
Antioksidan memiliki dua jenis yaitu sebagai pemberi atom hidrogen
dan memperlambat laju autooksidasi. Antioksidan (AH) yang mempunyai
fungsi sebagai pemberi atom hidrogen disebut antioksidan primer. Senyawa
ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida dan
mengubahnya ke bentuk stabil sedangkan turunan radikal antioksidan (A*)
tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipid. Sedangkan
antioksidan yang mempunyai fungsi memperlambat laju autooksidasi
disebut dengan antioksidan sekunder. Fungsi kedua ini dijalankan dengan
berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai oksidan dengan
mengubah radikal lipid ke bentuk yang lebih stabil (Gordon, 1993). Dengan
kata lain, molekul antioksidan menginaktivasi molekul radikal bebas
menjadi non-radikal yang tidak berbahaya bagi sel.
Penambahan antioksidan primer dengan konsentrasi rendah pada lipid
dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisasi dan propagasi.
Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut stabil
dan tidak memiliki cukup energi untuk bereaksi dengan molekul lipid lain
membentuk radikal lipid baru (Gordon, 1993).
Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil
sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami. Contoh antioksidan alamiah
yang telah dikenal luas adalah senyawa golongan flavonoid, turunan asam
sinamat, kumarin, dan tokoferol. Senyawa polifenol seperti flavonoid
26
mampu mengangkap radikal dengan cara menyumbang satu elektron kepada
elektron yang tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga banyaknya
redikal bebas menjadi berkurang (Pokorni et al., 2001).
Banyak
penelitian
membuktikan
bahwo
komponen
bioaktif
memberikan efek positif pada kesehatan. Komponen bioaktif ini dapat
menghindarkan penyakit degeneratif melaui sifatnya sebagai antioksidan,
selain itu juga mampu bekerja melaui aktivitas stimulasi system imun.
Aktivitas antioksidan komponen bioaktif dapat juga memperbaiki system
imun dengan jalan melindungi dari serangan radikal (Widiastuti, 2000).
9. Metode DPPH
Uji aktivitas antioksidan paling umum dilakukan dengan metode
DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). DPPH adalah sumber radikal bebas
stabil berwarna ungu yang digunakan untuk pengujian kemampuan
penangkapan radikal bebas. Metode DPPH berfungsi untuk mengukur
aktivitas penghambatan radikal bebas. Metode ini sangat cocok untuk
skrining awal berbagai sampel terutama ekstrak tumbuhan (Pokorni et al.,
2001).
Campuran reaksi berupa sampel dan DPPH yang dilarutkan dalam
etanol dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37°C dan dibaca pada λ
517 nm pada spetrofotometer. Sebagai akibatnya, penambahan senyawa yang
27
bereaksi sebagai antiradikal (sampel) akan menurunkan konsentrasi DPPH.
Adanya penurunan konsentrasi DPPH ditunjukkan dengan menurunnya
absorbansi dibandingkan dengan absorbansi kontrol yang tidak diberi senyawa
antiradikal (sampel) (Rohman dan Riyanto, 2004).
10. Ekstraksi
Ekstraksi atau penyarian adalah proses penarikan komponen yang
diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih
komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya.
Kecepatan penyarian dipengaruhi oleh kecepatan difusi zat yang larut
melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang
mengandung zat tersebut. Simplisia yang lunak mudah ditembus oleh cairan
penyari, karena itu pada penyarian tidak perlu diserbuk sampai halus,
sebaliknya pada simplisia yang keras, perlu dihaluskan terlebih dahulu
sebelum dilakukan penyarian. Simplisia merupakan bahan alam yang
digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga,
kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Sedangkan
hasil penyarian simplisia berupa sediaan kering, kental, atau cair disebut
ekstrak (Khopkar, 2003).
Menurut cara pengoprasiannya, ekstraksi dibedakan menjadi tiga,
yaitu ekstraksi dengan penekanan mekanik, ekstraksi dengan menggunakan
pelarut, dan ekstraksi dengan pemanasan. Berdasakan cairan penyari yang
28
digunakan, ekstraksi dibedakan menjadi ekstraksi dengan menggunakan fase
cair dan ekstraksi dengan menggunakan fase organik. Fase cair dilakukan
dengan menggunakan penyari air, sedangkan fase organik dilakukan dengan
menggunakan penyari organik. Prinsip metode ekstraksi menggunakan
penyari organik adalah bahan yang diekstrak kontak langsung dengan
pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti dengan melakukan pemisahan
bahan yang telah diekstrak (Khopkar, 2003).
Pemilihan penyari juga harus mempertimbangkan polaritas senyawa
yang akan diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbedabeda dalam penyari yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah
larut pada penyari yang relatif sama kepolarannya. Pelarut polar akan
melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa
non polar (Khopkar, 2003).
Beberapa metode yang digunakan pada proses penyarian, antara lain
infundasi, maserasi, perkolasi, dan soxhletasi. Pada metode tersebut sering
dilakukan modifikasi untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
29
F.
Keterangan Empiris
Fraksi tidak larut n-heksan dari ekstrak etanolik awar-awar bersifat
sebagai immunostimulator sehingga dapat mengatasi efek imunosupresan
dari doxorubicin dan juga memiliki aktivitas antioksidan untuk melawan
radikal bebas.
G. Rencana Penelitian
Penelitian ini dilakukan bertahap sesuai dengan tujuan penelitian.
Untuk mencapai tujuan penelitian maka dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Pembuatan fraksi tidak larut n-heksan,
2. Uji antioksidan,
3. Penyiapan hewan uji,
4. Perlakuan in vivo,
5. Uji imunostimulatorr,
a. Isolasi sel limfosit,
b. Preparasi suspensi sel limfosit,
c. Uji pertumbuhan dan proliferasi sel limfosit,
6. Analisis hasil.
Download