ANALISA SOIL LIQUEFACTION AKIBAT GELOMBANG LAUT DI TAMPERAN PACITAN Bobby Ichwansyah (1), Dr.Ir.Wahyudi,M.Sc.(2), Sholihin,ST,MT(3) 1 Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan ABSTRAK Soil Liquefaction merupakan suatu fenomena dimana massa tanah hilang dalam presentase yang sangat besar pada tahanan gesernya akibat beban monotik, siklik, maupun beban kejut dimana beban tersebut mengalir seperti cairan hingga tegangan geser partikel tersebut rendah seperti berkurangnya daya dukung geser yang dimilikinya. Dimana penyebabnya bisa karena gempa maupun beban siklik seperti gelombang. Tugas akhir ini membahas mengenai analisa soil liquefaction akibat gelombang laut di Pantai Tamperan Pacitan. Analisa soil liquefaction dilakukan dengan menghitung Safety Factor dengan variasi gelombang. Dari analisa yang telah dilakukan, diketahui bahwa hasil dari semua perhitungan Safety Factor jauh lebih besar daripada 1 (SF >> 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa soil liquefaction tidak terjadi di Pantai Tamperan Pacitan. Kata kunci : soil liquefaction, tegangan geser, tegangan efektif, tekanan pori, CRR (Cyclic Resistance Ratio), CSR (Cyclic Stress Ratio) landslide pada daerah tersebut. Mereka mengukur kenaikan tekanan air pori pada tanah tersebut, tetapi sensor yang mereka letakkan mengalami kerusakan selama terjadinya badai, ini membuat evaluasi secara kuantitatif terhadap data tersebut menjadi sulit (Sassa, 2001). Sebagai hasilnya, hanya pngetahuan yang terbatas yang telah tersedia untuk memahami proses terjadinya wave-induced liquefaction, pada sedimen dasar laut yang berupa jenis tanah pasir, yang mungkin dapat menunjukkan kelakuan sedimen dasar laut di bawah pengaruh beban gelombang dengan pemodelan yang sederhana. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Gempa berpotensi menimbulkan berbagai macam fenomena alam. Salah satu diantaranya adalah soil liquefaction yang dapat menyebabkan penurunan tanah, yang selanjutnya dapat mengakibatkan kerusakan yang fatal pada bangunan di daerah itu. Dengan begitu, di daerah seismic, kebutuhan akan analisis yang rasional dan perkiraan-perkiraan objektif yang memiliki resiko harta dan kehidupan bukan hanya kebutuhan akademis. Pacitan merupakan salah satu kota di Propinsi Jawa Timur yang terletak di bagian Selatan barat daya. Kota Pacitan terletak di antara 1100 55′ – 1110 25′ Bujur timur dan 70 55′ – 80 17′ Lintang Selatan. Dengan batas administrasi sebelah timur adalah Kabupaten Trenggalek, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) dan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo. Selain akibat gempa, soil liquefaction juga bisa terjadi karena beban siklis seperti gelombang laut. Pengaruh gelombang pada ketidak-stabilan sedimen dasar laut telah menjadi sebuah subjek yang sangat penting dalam biang penelitian yang ada hubungannya dengan transportasi sedimen dasar laut, stabilitas pipa bawah laut serta interaksi dengan bangunan pelindung pantai seperti breakwater. Beberapa peristiwa bahaya yang berhubungan dengan gelombang badai maupun pasang surut telah banyak dibahas oleh para peneliti terdahulu. Breakwater dengan atau tanpa rubble mound, telah diketahui mengalami penurunan yang sangat signifikan akibat adanya pengaruh dari gelombang badai (Sakai, 1999). Kota Pacitan berupa daratan rendah, selebihnya berupa daerah pantai yang memanjang dari sebelah barat sampai timur di bagian selatan. Pantai merupakan salah satu obyek wisata andalan dari Pacitan. Banyak pantai yang indah dan eksotis yang terdapat di sana. Dalam upayanya mengembangkan Pacitan sebagai salah satu pusat pariwisata di Jawa Timur yang lebih maju maka dibangun infrastrukturinfrastruktur yang menunjang seperti pembangunan pelabuhan, dermaga, breakwater maupun lainnya. Bagaimanapun juga, kesulitan mendapatkan pengukuran serta pengamatan yang akurat mengenai perilaku sedimen dasar laut di bawah pengaruh gelombang, menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dalam kebanyakan kasus. Beberapa peneliti bahkan memasang sensor tekanan air pori pada saat terjadinya badai yang menyebabkan Berdasarkan kondisi tanah dan kondisi lingkungan di daerah pesisir Pacitan, ada kemungkinan terjadinya soil liquefaction. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh gelombang yang berinteraksi dengan 1 permukaan tanah dasar laut (seabed). Oleh karena itu, soil liquefaction perlu dipelajari dengan cara mengidentifikasi lokasi yang berpotensi liquefaction dengan menghindari pembangunan diatasnya. Gambar 1.Peta Pacitan 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan dari tugas akhir ini adalah : 1.5 Batasan Masalah Dalam tugas akhir ini akan dibatasi pada masalahmasalah berikut : 1. Apakah di daerah Tamperan Pacitan berpotensi terjadi soil liquefaction akibat gelombang laut ? 2. Bagaimana pengaruh variasi tinggi dan panjang gelombang terhadap potensi soil liquefaction di daerah Tamperan Pacitan ? 1. Daerah penelitian terletak di Tamperan Pacitan. 2. Data tanah di ambil di Tamperan Pacitan. 3. Data gelombang di Pacitan. 2. Dasar Teori 2.1 Umum Soil Liquefaction merupakan suatu fenomena dimana massa tanah hilang dalam presentase yang sangat besar pada tahanan gesernya akibat beban monotik, siklik, maupun beban kejut dimana beban tersebut mengalir seperti cairan hingga tegangan geser partikel tersebut rendah seperti berkurangnya daya dukung geser yang dimilikinya (Sladen et al,1985). Dimana penyebabnya bisa karena gempa maupun beban siklik seperti gelombang. Peristiwa tersebut secara visual akan tampak dengan munculnya lumpur pasir di permukaan tanah (sand boiling), atau rembesan air melalui rekahan tanah, tenggelamnya struktur di permukaan tanah, atau munculnya struktur yang lebih ringan ke permukaan tanah seperti man hole. 1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam tugas akhir ini adalah : 1. Mengetahui kemungkinan soil liquefaction di Tamperan Pacitan akibat gelombang laut. 2. Mengetahui pengaruh variasi tinggi dan panjang gelombang terhadap potensi soil liquefaction di daerah Tamperan Pacitan 1.4 Manfaat Hasil Penelitian dalam tugas akhir ini diharapkan : 1. Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat diketahui lokasi Pacitan mana saja yang mungkin mengalami fenomena soil liquefaction akibat gelombang laut. Selain itu, dari penelitian ini, juga diharapkan dapat ditentukan tindakan preventif yang dilakukan apabila benar terjadi soil liquefaction di daerah Pacitan. 2. Dapat dijadikan rujukan untuk Instansi terkait atau pihak yang akan melakukan penelitian lebih lanjut di bidang yang sama Para ahli menyebutkan bahwa soil liquefaction inilah yang menjadi penyebab utama kerusakan parah yang terjadi di wilayah Kobe, Jepang, pada tahun 1996 serta di wilayah Alaska pada tahun 1964 (The Japanese Geotechinal Society, 1998). Setelah pergerakan tanah akibat terjadinya gempa bumi di daerah tersebut berhenti, butiran-butiran tanah yang menjadi penyangga/pondasi bagi struktur-struktur yang ada di 2 atasnya mengalami penurunan secara signifikan. Dan hal ini menyebabkan struktur-struktur tersebut mengalami kegagalan/keruntuhan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa soil liquefaction serta area tanah di sekitarnya yang mengalami kegagalan, biasanya terjadi sehubungan dengan peristiwa gempa bumi yang dashyat. memberikan suatu tekanan di partikel-partikel tanah sehingga mempengaruhi kepadatan dari tanah tersebut. Fenomena soil liquefaction lebih mudah dipahami pada Gambar di bawah ini serta Persamaan 2.1 hingga Persamaan 2.8 berikut : Tidak hanya soil liquefaction akibat gempa saja yang berbahaya. Soil liquefaction akibat gelombang juga tidak bisa di kesampingkan. Banyak bangunan laut seperti breakwater, pipa bawah laut serta strukturstruktur di tengah laut yang rusak akibat pengaruh soil liquefaction. Ketika tekanan air yang ditimbulkan oleh beban gelombang berinteraksi dengan sedimen dasar laut, tekanan air pori (pore watre pressure) yang dimiliki oleh sedimen tersebut juga akan berubah seiring dengan waktu. Perubahan tersebut menyebabkan naikknya tekanan pori, dimana kenaikan air pori tersebut dapat menjadi penyebab berkurangnya tegangan efektif yang dimiliki oleh sedimen dasar laut tersebut. Dalam kondisi tertentu, tegangan efektif dari sedimen dasar laut tersebut dapat bernilai nol. Ini berarti bahwa soil liquefaction. Gambar 2.1 Skematis mengenai gaya-gaya yang bekerja Beberapa peristiwa bahaya yang berhubungan dengan gelombang badai maupun pasang surut telah banyak dibahas oleh para peneliti terdahulu. Breakwater dengan atau tanpa rubble mound, telah diketahui mengalami penurunan yang sangat signifikan akibat adanya pengaruh dari gelombang badai (Sakai, 1999). Selain itu, kegagalan offshore platform dan pipeline system juga telah diketahui bahwa hal tersebut juga berhubungkan dengan pengaruh gelombang yang mengakibatkan pergerakan sedimen, baik itu berupa fine-grained sand maupun silt (Bea & Audibertet, 1980). Gambar 2.2 Interaksi Gaya-gaya yang bekerja Gambar 2.3 Faktor- Faktor gaya yang bekerja Dari gambar 2.3 dapat diketahui hubungan antara gaya normal ( N dalam newton),gaya geser (F dalam newton) dan sudut geser ( ) sebagai berikut : 2.2 Soil Liquefaction Liquefaction merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat getaran. Getaran yang dimaksud dapat berupa getaran yang berasal dari gempa bumi maupun yang berasal dari pembebanan cepat lainnya. Ketika mengalami getaran tersebut sifat lapisan tanah berubah menjadi seperti cairan sehingga tak mampu menopang beban bangunan di dalam atau di atasnya. Pada umumnya Soil liquefaction dapat diartikan sebagai fenomena dimana massa tanah hilang dalam presentase yang sangat besar pada tahanan gesernya akibat beban monotik, siklik, maupun beban kejut dimana beban tersebut mengalir seperti sebuah cairan hingga tegangan geser partikel tersebut rendah seperti berkurangnya daya dukung geser yang dimilikinya Sladen et al.(1985). tan Φ = (2.1) dengan memperhitungkan faktor tekanan air ( u dalam N/m2) , maka Persamaan (2.1) dapat dituliskan sebagai berikut : F = (N – Au) tan Φ (2.2) Dimana A adalan luasan efektif dalam m2. Apabila kita membagi kedua ruas pada Persamaan (2.2) dengan A, maka didapatkan : = ( Secara umum, soil liquefaction telah diartikan sebagai sebuah proses transformasi/perubahan bentuk padat ke bentuk cair sebagai konsekuensi dari naiknya tekanan pori-pori tanah dan berkurangnya tegangan efektifnya. Liquefaction biasanya terjadi pada tanah yang jenuh air, dimana seluruh rongga-rongga dari tanah tersebut dipenuhi oleh air. Pada saat mengalami getaran, air ini – u ) tan Φ (2.3) dengan : 3 =τ (2.4) =σ (2.5) dimana τ adalah tegangan geser tanah (N/m2) dan σ adalah tegangan total (N/m2) Yang menjadi faktor permanen dari fenomena soil liquefaction ini adalah karakteristik serta parameter-parameter tanah itu sendiri. Telah diketahui diawal bahwa tanah rentan mengalami fluidization ketika secara relatif, material tanah yang pulvurent tersebut terkena tekanan. Dimana tekanan ini disebabkan dari peningkatan tekanan air pori tanah tersebut akibat bertambah atau berkurangnya kandungan air yang dimiliki tanah oleh tanah. Aggravating Factors (Faktor Pemicu) Faktor pemicu yang utama adalah terjadinya gempa bumi dan beban siklis yang disebabkan oleh gelombang laut pada suatu area tertentu. Dimana energi yang ditimbulkan tersebut dapat menyebabkan tanah kehilangan kohesivitasnya dan cukup untuk mengakibatkan soil liquefaction. Ditambah lagi, campur tangan manusia dapat menjadi faktor pemicu dari terjadinya soil liquefaction. Subtitusi Persamaan (2.4) dan (2.5) ke dalam Persamaan (2.3) menghasilkan : τ = ( σ – u ) tan Φ (2.6) Kita ketahui bahwa tegangan total adalah fungsi dari tegangan efektif dan tekanan air pori : σ = σ‟ + u (2.7) maka persamaan (2.6) dapat ditulis sebagai berikut: τ = σ‟ tan Φ (2.8) dari persamaan (2.6) dan (2.8) dapat disimpulkan bahwa soil liquefaction dapat terjadi apabila tekanan air pori naik hingga mendekati harga tegangan total. Hal ini akan menyebabkan hilangnya tegangan efektif (σ‟= 0) sehingga tanah cenderung bersifat seperti benda cair. Untuk memahami proses terjadinya liquefaction, perlu kita pahami terlebih dahulu bahwa suatu endapan tanah terdiri dari partikel-partikel. Jika kita perhatikan setiap partikel tersebut letaknya saling berdekatan, sehingga setiap partikel memiliki kontak dengan partikel yang lain. Dengan adanya kontak antar partikel tersebut, tanah menjadi memiliki suatu kekuatan untuk memikul beban di atasnya, sebab kondisi seperti ini menjadikan beban yang berada di atas tanah akan dipikul secara bersamaan oleh seluruh partikel. Dan akhirnya beban tersebut akan di salurkan ke lapisan batuan dasar di bagian bawah lapisan tanah tersebut. Sebelum terjadinya gempa bumi, tekanan air pada suatu tanah secara relatif rendah. Namun setelah menerima getaran, tekanan air dalam tanah meningkat, sehingga dapat menggerakkan partikel-partikel tanah dengan mudah. Setelah digerakkan oleh air, maka partikel tanah tidak memiliki lagi kekuatan atau daya dukung tanah, sehingga daya dukung sepenuhnya berasal dari tegangan pori. Pada kondisi ini, tanah sudah berbentuk cairan yang tidak memiliki kestabilan, sehingga beban-beban yang ada di atas tanah tersebut seperti beban dari struktur bangunan akan ambles kedalam tanah. Sebaliknya tangki-tangki yang berada di dalam tanah akan mengapung dan muncul ke permukaan tanah. Pada kondisi normal, air tersebut memiliki tekanan air pori yang relatif rendah. Pada saat menerima tekanan dari getaran secara tiba-tiba, air tersebut akan terdesak sehingga ia akan menaikkan tekanannya untuk mencari jalan keluar. Namun, pada saat terjadinya gempa, air tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk berdisipasi keluar dari tanah melalui rongga-rongga tanah, sehingga sebagai gantinya air tersebut mendorong partikel-partikel tanah sehingga beberapa partikel tanah sebelumnya berhubungan menjadi menjauh. Dan akhirnya partikel tanah tidak dapat mendistribusikan beban lagi dengan maksimal. Penggetaran pada tanah yang paling sering memicu peningkatan tegangan pori adalah penggetaran yang berasal dari gempa bumi atau beban gelombang saja, tetapi aktivitas-aktivitas yang berkaitan konstruksi seperti peledakan dapat juga menyebabkan peningkatan tegangan air pori tersebut Chassagneux et al. (1998). 2.2 Mekanisme Soil Liquefaction Menurut Chassagneux et al. (1998), liquefaction merupakan fase dimana tanah akan mengalami perubahan bentuk dari padatan menjadi bentuk cair. Liquefaction ini terjadi karena adanya dua fenomena dengan mekanisme yang berbeda, yaitu: Pada kondisi seperti ini, sebagian besar beban dipikul oleh air. Sehingga pemikulan beban pada tanah tersebut menjadi tidak stabil. Kondisi ini dapat dianalogikan seperti beban sebuah kapal yang mengapung diatas air. Apabila air tidak dapat memikul beban dari kapal tersebut, maka kapal tersebut akan tenggelam ke dalam air. Terlalu besarnya tekanan air pori pada material pulvurent/quick-sands (pasir hisap). Terjadinya perubahan struktur pada tanah yang sensitif atau thixotropic soils (quick-sands). Hal tersebut terjadi juga pada beban dari gedung pada tanah yang mengalami liquefaction, maka gedung tersebut akan tenggelam ke dalam tanah. Dalam satu kejadian yang lebih ekstrim lagi, tekanan air pori dapat menjadi sangat tinggi sehingga banyak lebih banyak lagi partikel yang terdorong sehingga tidak ada lagi yang berhubungan. Dalam kasus-kasus yang demikian, kekuatan tanah itu akan menjadi sangat kecil, dan akan Sebagaimana fenomena alam yang lain, soil liquefaction juga mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fenomena tersebut (Chassagneux et al.1998), antara lain: Faktor – faktor permanen 4 bertindak lebih seperti suatu zat cair dibanding suatu padat. suatu suspensi. Lowe (1975) juga menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya fenomena liquifaksi akibat pengaruh gelombang. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) tipe atau jenis tanah, khususnya ukuran butiran tanah: penelitian yang telah dilakukannya menyebutkan bahwa jenis tanah pasir lebih mudah dan lebih cepat untuk ter-liquifaksi dibandingkan jenis-jenis tanah yang lain, seperti gravel, silt dan lempung. (2) densitas relatif atau rasio air pori: pasir dengan densitas rendah, lebih mudah untuk mengalami proses liquifaksi dibandingkan dengan pasir berdensitas lebih padat; (3) intial confining pressure; (4) intensitas gerakan tanah; dan (5) durasi dari gerakan tanah tersebut. 2.4 Soil Liquefaction akibat pengaruh gelombang Lebih dari tiga dekade, soil liquefaction pada dasar laut yang terjadi akibat pengaruh gelombang telah menjadi tantangan yang sangat serius bagi pengembangan struktur, baik yang akan terpasang di pantai maupun yang akan terpasang di lepas pantai. Respon dari tanah dasar laut menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menganalisa dan merancang struktur lepas pantai. Bagian yang terpenting dalam peninjauan respon endapan non-kohesif adalah potensi ketidak-stabilan tanah dasar laut sebagai hasil dari berlebihnya tekanan pori yang akan terjadi pada tanah akibat beban siklis dari gelombang. Bagian yang dekat dengan pantai tetapi jauh dari surf zone, merupakan lokasi dimana dasar laut terpengaruh oleh tekanan dinamik yang sangat kuat akibat pergerakan gelombang transient (Noorzad et al., 2009). Tekanan tersebut menimbulkan tegangan siklis pada tanah dan menyebabkan terjadinya tekanan pori secara tahap demi tahap. Bila tekanan pori yang terjadi besarnya sama dengan tegangan total tanah, maka akan menyebabkan terjadinya liquifaksi awal. Strukturstruktur yang dibangun di atas tanah cenderung untuk tidak stabil dan dapat menyebabkan kegagalan pada struktur, tergantung pada posisi serta proses terjadinya tekanan pori yang berlebih. c. Fluidization Fluidization ini terjadi bila fluida mengalir secara vertikal melewati butiran-butiran sedimen, dan dengan menggunakan gaya drag yang dimiliki oleh butiranbutiran tersebut, fluida tadi tersuspensi dan mengangkat butiran-butiran sedimen melawan gaya gravitasi. Ketika fluida tersebut bergerak secara vertikal melewati butiran-butiran solid yang tak berkohesi, porositas sedimen tersebut berubah. Pada saat kecepatan rembesan (seepage) meningkat, terjadi kesetimbangan antara gaya gravitasi dan gaya drag dan peristiwa ini sering disebut sebagai kondisi incipient dimana kecepatan fluidisasi minimum. Pada saat kecepatan rembesan mencapai puncaknya, permukaan dasar laut mengembang secara cepat, porositas meningkat dan endapan sedimen berubah menjadi butiran-butiran pembentuk sedimen (grain) yang kemudian akan bercampur dengan air laut dan tersuspensi. Keadaan inilah yang disebut sedimen mengalami fluidization secara sempurna. Dalam beberapa penelitian yang berhubungan dengan hal tersebut, respon dari sedimen laut terhadap gelombang telah banyak mendapatkan perhatian, utamanya yang berhubungan dengan stabilitas offshore platforms, sistem perpipaan maupun fasilitas lainnya. Berbagai macam prosedur analisa telah banyak dilakukan guna memperkirakan terjadinya ketidakstabilan pada sedimen dasar laut akibat pengaruh gelombang. Lowe (1975) menyebutkan bahwa terjadinya ketidak-stabilan tersebut berasal dari keluarnya cairan yang ada pada struktur tanah tersebut. Dia juga menambahkan bahwa ada tiga mekanisme dasar yang terjadi yang dapat menyebabkan permukaan tanah dasar laut menjadi tidak stabil, yaitu : 2.5 a. Perembesan (Seepage) Pergerakan fluida yang melewati butiran-butiran sedimen merupakan respon yang terjadi akibat adanya tekanan pada permukaan sedimen dasar laut tersebut. Inilah yang kemudian disebut proses perembesan air pada sela-sela partikel tanah. Proses perembesan ini tidak mampu diukur kecepatannya, tetapi hal ini sangat berbahaya karena aliran rembesan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan tanah yang nantinya akan dapat menyebabkan terjadinya liquifaksi atau fluidisasi. b. Initial Liquefaction Tahapan ini terjadi bila sedimen mengalami ketidakstabilan akibat hilangnya tegangan geser yang dimiliknya, sebagai pengaruh dari meningkatnya tekanan air pori yang disebabkan oleh perembesan. Pada proses liquifaksi ini, biasanya butir-butir sedimen bercampur dengan air laut yang kemudian membentuk Proses Soil Liquefaction akibat pengaruh gelombang laut Soil liquefaction merupakan fenomena yang sering terjadi pada lapisan tanah jenuh air (tanah pasir) dan jarang kejadian tersebut terjadi pada lapisan tanah lainnya. Para ahli telah mengklasifikasikan proses terjadinya fenomena soil liquefaction ini menjadi dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah terjadinya perubahan tekanan air pori yang disebabkan oleh pembentukan awal pembebanan siklis. Pada tahap ini, tekanan pori yang dimaksud adalah tekanan pori isolasi (oscillatory pore pressure) serta tekanan pori sisa (residual pore pressure). Tahap ini disebut sebagai tahapan awal terjadinya proses liquifaksi tersebut, dimana lapisan tanah pada dasar laut berperilaku seperti fluida dengan densitas tertentu yang merupakan hasil bercampurnya antara air laut dengan pasir dasar laut. Sedangkan residual pore pressure dihasilkan dari deformasi plastis lapisan tanah dasar laut yang besarnya sama dengan excess pore pressure pada setiap beban gelombang siklis Tahapan kedua adalah terjadinya proses cyclic transient liquefaction dengan terjadinya fase pelambatan pada tekanan pori, dimana fenomena ini terjadi setelah tahapan pertama selesai. Pada tahap ini, lapisan pasir pada dasar laut menjadi lebih padat dan excess pore 5 pressure hanya terdiri dari oscillatory pore pressure saja.Pada tahapan kedua ini residual pore pressure tidak terjadi. Gambar 2.4 menunjukkan secara lengkap proses terjadinya liquifaksi yang terdiri dari dua tahapan utama tersebut. pasir di dasar laut dalam rentang waktu yang relatif singkat, dan selama proses tersebut lapisan pasir mengalami perubahan densitas (kerapatan butiran). Kemudian bagian terakhir dari gambar tersebut menunjukkan bahwa proses soil liquefaction serta densification terjadi pada bagian paling atas dari lapisan dasar laut. 2.6 Metode Untuk Mengevaluasi Terjadinya Soil Liquefaction akibat Beban Gelombang Untuk menganalisis terjadinya soil liquefaction akibat beban gelombang, kita menggunakan metode yang diperkenalkan oleh Chang et al. (2004). Langkah yang digunakan adalah : a.Menentukan tegangan geser siklis dari partikel tanah di dasar laut. Chang et al. (2004) berdasarkan hasil percobaannya menyatakan bahwa tegangan geser dari partikel tanah dasar laut akan berubah pada variasi rentang gelombang siklis antara 100 hingga 1000 beban siklis. Karena terjadi variasi rentang gelombang siklis yang signifikan, kemudian mereka memutuskan bahwa tegangan geser siklis partikel tanah dasar laut akan mengalami perubahan berdasarkan pada 1000 beban siklis. Gambar 2.4 Tahapan pokok pada peristiwa liquefaction (Yu et al., 2001). Gambar 2.4 menunjukkan proses pengukuran terhadap tekana air pori yang dilakukan pada lapisan tanah pasir di dasar laut. Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa tahapan awal terjadinya fenomena soil liquefaction ini terdiri dari tiga bagian, yakni progressive liquefaction process, dimana pada bagian ini terjadinya peningkatan pada residual pore presuurenya. Kemudian bagian selanjutnya adalah terjadinya sustaining liquefaction process. Dan bagian terakhir pada tahapan awal terjadinya fenomena soil liquefaction ini adalah densification process, dimana pada bagian ini residual pore pressure hilang. Selama tahapan kedua pada proses liquifaksi ini, residual pore pressure sepenuhnya hilang. Chang et al. (2004) juga memberiikan hubungan antara rasio tegangan siklis (Cyclic Stress Ratio) yang menyebabkan liquifaksi dengan parameter tinggi gelombang (H), panjang gelombang (L), kedalaman laut (h) serta massa jenis sedimen yang mengalami fenomena liquifaksi (ρ‟), yaitu : CSR = (2.8) Mekanisme terjadinya proses soil liquefaction dan densification pada lapisan tanah pasir dasar laut akibat pengaruh oscillating water pressure ditunjukkan secara sistematik pada gambar 2.5. Dengan π H L h ρ ρ‟ = 3,14 = tinggi gelombang (m) = panjang gelombang (m) = kedalaman laut (m) = massa jenis air laut (1025 kg/m3) = massa jenis sedimen (kg/m3) Kemudian setelah diketahui harga dari Cyclic Stress Ratio (CSR), langkah berikutnya adalah mendefinisikan Cyclic Resistance Ratio (CRR), yaitu (Noorzad et al.,2009) : CRR = Gambar 2.5 Proses Liquefaction dan Densification (Yu et al., 2001). (2.9) τ0 = initial static shear stress (N/m2) σ‟0 = tegangan normal efektif (N/m2) Dimana τ0 = σ‟ tan Ø (2.10) σ‟0 = ½ H ( γ - γw) (2.11) γ = γd ( 1 + w ) (2.12) Dengan : γ = Berat Volume Tanah (N/m3) γw = Berat Volume Air (N/m3) γd = Berat Volume Kering (N/m3) w = Water Content (%) Pada bagian pertama merupakan kondisi awal lapisan tanah pasir dasar laut. Kemudian pada gambar kedua adalah proses pencairan (liquefied process) dan fluida yang ada pada kondisi tersebut merupakan hasil pencampuran antara pasir dengan air laut. Kemudian bagian ketiga dalam gambar tersebut menunjukkan proses setelah terjadinya liquifaksi mencapai kedalaman yang maksimum lapisan pasir secara berangsur-angsur mengalami proses sedimentasi (pemadatan). Pada bagian keempat, ditunjukkan bahwa lapisan pasir yang mengalami proses sedimentasi mendekati permukaan 6 b. Menentukan Safety Factor Standard Penetration Test terutama digunakan untuk memperkirakan kekakuan relatif dan kekuatan (daya dukung) dari tanah. Dan langkah terakhir untuk mendefinisikan terjadi atau tidaknya fenomena soil liquefaction adalah dengan cara menentukan Safety Factor (SF), yakni (Noorzad et al.,2009) : SF = 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengolahan Data 3.1.1. Perhitungan Cyclic Resistance Ratio (CRR) Tugas akhir ini secara garis besar akan membahas tentang potensi liquefaction yang akan terjadi pada kondisi tanah di daerah Tamperan Pacitan akibat beban gelombang laut. Dari data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa sebagian besar kandungan tanah di daerah tersebut adalah jenis tanah sand (pasir). Tetapi soil liquefaction hanya terjadi pada tanah yang loose. Tanah yang loose ini dapat diketahui dari pengujian SPT. Tanah yang loose memiliki nilai harga N-SPT < 10 (lihat tabel 2.1). Oleh karena itu dalam analisa yang digunakan untuk titik SB 1 kedalaman yang akan di analisa hanya sampai kedalaman 8 m karena pada kedalaman 8 – 20 m tanah di sana bukan merupakan jenis tanah sand yang loose. Begitu juga pada titik SB 2 kedalaman yang di analisa hanya sampai kedalaman 10 m karena pada kedalaman 10 – 20 m, tanah di sana bukan merupakan jenis tanah sand yang loose. (2.13) SF tersebut merupakan komponen terpenting dalam perhitungan untuk memprediksi terjadi atau tidaknya soil liquefaction. Jha dan Suzuki (2008) memberikan sebuah hubungan antara besarnya harga SF dengan fenomena soil liquefaction yang akan terjadi, jika harga SF ≤ 1, maka dapat dipastikan pada daerah tersebut akan mengalami soil liquefaction,tetapi bila harga SF > 1, maka tidak akan terjadi liquifaksi tanah pada daerah tersebut. 2.7 Standart Penetration Test Percobaan ini adalah suatu macam percobaan dinamis yang berasal dari Amerika Serikat. Suatu alat yang dinamakan “spilt spoon sampler” dimasukkan kedalam tanah pada dasar lubang bor dengan memakai suatu beban penumbuk (drive weight) seberat 140 pound (63 kg) yang dijatuhkan dari ketinggian 30 in (75 cm). Setelah “split spoon” ini dimasukkan 6 in (15 cm) jumlah pukulan ditentukan untuk memasukannya 12 in (30 cm) berikutnya. Jumlah pukulan ini disebut nilai N (N number or N value) dengan satuan pukulan/kaki (blows per foot). Setelah percobaan selesai, split spoon dikeluarkan dari lubang bor dan di buka untuk mengambil contoh tanah yang tertahan didalamnya. Contoh ini dapat dipakai untuk percobaan klasifikasi semacam Batas Atterberg dan ukuran butir, tetapi kurang sesuai untuk percobaan lain karena diameter terlampau kecil dan tidak dapat dianggap sungguh-sungguh asli. Berdasarkan data tanah dari pemboran SPT yang dilakukan di Tamperan Pacitan dapat diketahui harga CRR untuk masing-masing SB dengan menggunakan persamaan 2.9, seperti ditunjukan oleh Tabel 3.1 sebagai berikut : Tabel 3.1 Hasil Perhitungan CRR Kualitas hasil tes tergantung pada beberapa faktor, seperti energi yang sebenarnya disampaikan kepada kepala batang bor, sifat dinamis (impedansi) dari batang bor, metode pengeboran dan stabilisasi lubang. Nilai “ N “ yang diperoleh dengan percobaan Standart Penetration Test dapat dihubungkan secara empris dengan beberapa sifat lain daripada tanah yang bersangkutan. SPT (N30, blows/0.3 m) Loose < 10 Medium Dense 10 - 30 Dense >30 Depth σ‟ τ CRR SB 1 0–8m 24628,01 6649,51 0,27 SB 2 0 – 10 m 30738,35 11680,57 0.38 Karena dalam penyelesain tugas akhir ini digunakan 8 macam variasi tinggi dan panjang gelombang, yaitu gelombang rata-rata (wave ave), gelombang maksimum (wave max), gelombang 25 tahunan (wave 25), gelombang 50 tahunan (wave 50), gelombang 75 tahunan (wave 75), gelombang 100 tahunan (wave 100), gelombang 125 tahunan (wave 125), dan gelombang 10 tahunan (wave 150), maka harus dipahami dari awal bahwa harga CRR untuk masingmasing lapisan tersebut, tidak akan terpengaruh oleh variasi perhitungan yang dilakukan atau dengan kata lain, nilai dari CRR tersebut akan selalu tetap. Perlawanan (N30) telah berkorelasi dengan kepadatan relatif tanah granular. Pasir dan kerikil dapat diklasifikasikan seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1, Broms (1986). Relative Density Titik Pengeboran 3.1.2. Perhitungan Cyclic Stress Ratio (CSR) Setelah diketahui harga CRR dari masing-masing lapisan yang ditinjau, langkah selanjutnya adalah mengestimasi harga CSR. Harga Cyclic Stress Ratio (CSR) dapat dicari dengan menggunakan rumus Persamaan 2.8. serta berdasarkan variasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena perhitungan CRR terletak di tengah-tengah kedalaman yang telah Tabel 2.1. Classification of sand and gravel after Broms (1986) 7 ditentukan maka untuk harga CSR juga harus mengikutinya. Hasil dari seluruh perhitungan CSR ditunjukkan oleh Tabel 3.2 – Tabel 3.9, sebagai berikut : Tabel 3.7 Hasil Perhitungan CSR Dengan Variasi Gelombang 100 Tahunan Tabel 3.2 Hasil Perhitungan CSR Dengan Variasi Gelombang Maksimum Titik Pengeboran Depth CSR SB 1 0–8m 0,1544 SB 2 0 – 10 m 0,1593 Depth CSR SB 1 0–8m 0,0706 SB 2 0 – 10 m 0,0740 Depth CSR SB 1 0–8m 0,1147 SB 2 0 – 10 m 0,1190 Depth CSR SB 1 0–8m 0,1279 SB 2 0 – 10 m 0,1321 SB 1 0–8m 0,1395 SB 2 0 – 10 m 0,1457 Titik Pengeboran Depth CSR SB 1 0–8m 0,1427 SB 2 0 – 10 m 0,1484 Titik Pengeboran Depth CSR SB 1 0–8m 0,1458 SB 2 0 – 10 m 0,1514 3.1.3. Perhitungan Safety Factor (SF) Setelah dari hasil perhitungan sebelumnya didapatkan harga parameter- parameter CRR dan CSR, berikutnya adalah mengestimasi SF dengan menggunakan persamaan 2.13. SF merupakan parameter terpenting dan mutlak yang harus diperhitungkan dalam proses identifikasi bahaya yang disebabkan oleh soil liquefaction. Hasil perhitungan SF selengkapnya ditunjukkan oleh Gambar 3.1, sebagai berikut : Tabel 3.5 Hasil Perhitungan CSR Dengan Variasi Gelombang 50 Tahunan Titik Pengeboran CSR Tabel 3.8 Hasil Perhitungan CSR Dengan Variasi Gelombang 150 Tahunan Tabel 3.4 Hasil Perhitungan CSR Dengan Variasi Gelombang 25 Tahunan Titik Pengeboran Depth Tabel 3.8 Hasil Perhitungan CSR Dengan Variasi Gelombang 125 Tahunan Tabel 3.3 Hasil Perhitungan CSR Dengan Variasi Gelombang Rata-Rata Titik Pengeboran Titik Pengeboran Tabel 3.6 Hasil Perhitungan CSR Dengan Variasi Gelombang 75 Tahunan Titik Pengeboran Depth CSR SB 1 0–8m 0,1352 SB 2 0 – 10 m 0,1401 Gambar 3.1 Perbandingan antara SF vs H (m) di titik SB 1 dan di titik SB 1 8 Karena berdasarkan perhitungan dengan menggunakan berbagai macam variasi gelombang sampai periode ulang 150 Tahunan, tidak terjadi kemungkinan soil liquefaction. Untuk karena itu kita memprediksi kemungkinan terjadinya soil liquefaction dengan cara mencari harga tinggi gelombang paling maksimum sampai terjadi kemungkinan adanya bahaya soil liquefaction. Perhitungan untuk mencari harga SF sama seperti yang dilakukan pada perhitungan variasi gelombang. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada gambar 3.2, sebagai berikut : Engng., ASCE, 106,No. 1, 853-869. Chang et al. 2004. „3-D liquefaction Potensial Analysis of Seabed at Nearshore Area‟. Journal of Marine Science and Techology,2004,12(3): 141-51 Chassagneaux et al. 1998. “Methology for Liquefaction Hazard Studies: New Tool and Recent Applications”. BRGM,Thematic Centre for Natural Geological Risks,PII: S 0 2 67-7261 (98) 00013-X Jha, S. K. and Kiichi Suzuki. 2008.”Realibility Analysis of Soil Liquefaction Based on Standard Penetration Test”. Computers and Geotechnics, 36 (2009) 589596. Lowe, D. R. 1975. “Water Escape Structures In CoarseGrained Sediments”. Sedimentology, (1975) 22, 157-204. Noorzad et al. 2009. “The Effect of Structures on The Wave-Induced Liquefaction Potential of Seabed Sand Deposits”. Applied Ocean Research, 31(2009) 25-30. Sakai, T. 2009. “Introduction To Wave-Seabed Interaction”. New Coastal Engineering in Global Environtment (ed. Sawaragi, T. 1363pp), 357-359. Gambar 3.2 Perbandingan antara SF vs H (m) di titik SB 1 dan di titik SB 2 Sladen et al. 1985. “Back Analysis of The Nerleck Berm Liquefaction Slides”. Canadian Geotechnical Journal. 22. 4. 579-588. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari analisis yang telah dilakukan pada Bab IV, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasar perhitungan Safety Factor untuk semua variasi tinggi dan panjang gelombang sampai periode ulang 150 tahunan dapat disimpulkan bahwa di daerah Tamperan Pacitan tidak terjadi kemungkinan Soil Liquefaction. 2. Soil Liquefaction di daerah Tamperan Pacitan akan terjadi pada tinggi gelombang 5,7 m dan panjang gelombang 27,16 m untuk titik SB 1 dengan kedalaman 0 - 8 m. Pada titik SB 2 dengan kedalaman 0 - 10 m soil liquefaction akan terjadi pada tinggi 7,7 m dan panjang gelombang 25,47 m. The Japanese Geotechnical Society. 1998. Remedial Measures Againts Soil Liquefaction. A.A. Balkema.Rotterdam, Netherlands Triatmojo, Bambang, 1999, “ Teknik Pantai”, Beta Offset, Jogyakarta Yu et al. 2001. “Progressive Liquefaction Process of Loosely Deposited Sand Bed Under Oscillating Water Pressure on Its Surface”. J. Geotech. Eng., JSCE. No. 680/III-55, 1-14 5.2 Saran Dalam analisa yang dilakukan, hanya memakai dua data titik bor (soil boring). Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal, maka apabila dilakukan analisa lagi sebaiknya menggunakan lebih banyak data tanah (soil boring) agar mendapatkan potensi soil liquefaction yang lebih terperinci. DAFTAR PUSTAKA Bea, R. G. & Audibert,M. E. 1980. “ Offshore Platforms and Pipelines in Mississipi River Data”.J. Geotech. 9