PENGELOMPOKKAN TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis

advertisement
2
merupakan marka genetik yang sering
digunakan
untuk
mempelajari
sistem
perkawinan dan struktur populasi (Steffen et
al. 1993), pautan (linkage), pemetaan
kromoson, dan analisis populasi (Silva et
al.1999).
Penggunaan marker yang mempunyai
derajat polimorfisme yang tinggi (Highly
polymophic) diharapkan dapat menjawab
tantangan yang sering dihadapi dalam
pemuliaan tanaman. Berdasarkan penanda
SSR akan didapatkan pola pita yang bersifat
polimorfik yang kemudian direkonstruksi
menjadi
pohon
filogenetik
untuk
mengelompokkan tanaman kelapa sawit yang
belum diketahui identitasnya.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengelompokkan 58 tanaman kelapa sawit
yang sebelumnya tidak diketahui identitasnya
dengan menggunakan Simple Sequence
Repeat (SSR) marker sebagai informasi dasar
dalam mencari indukan baru kelapa sawit
yang memiliki sifat unggul. Hipotesis
penelitian ini yaitu Simple Sequence Repeat
(SSR) marker dapat digunakan secara efektif
dan efisien untuk mengelompokkan tanaman
kelapa sawit dari populasi tanaman
perkebunan kelapa sawit rakyat yang
sebelumnya belum diketahui identitasnya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah untuk mengetahui tanaman
kelapa sawit yang sebelumnya belum
diketahui
identitasnya
dan
dapat
dikelompokkan dengan mudah dengan
menggunakan teknik molekuler, selain itu
juga dapat dilihat tingkat keragaman dan
kekerabatannya, serta mempermudah dan
mempersingkat waktu pemilihan genotip
untuk melakukan program pemuliaan varietas
unggul secara berkelanjutan guna mencapai
target peningkatkan produktivitas tanaman
kelapa sawit untuk memenuhi permintahan
pasar lokal maupun global.
TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)
dewasa ini mejadi komoditas primadona
Indonesia. Orientasi ekspor pada tanaman
kelapa sawit membuat tanaman ini
mempunyai prospek masa depan yang sangat
cerah dan diprediksikan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun (Risza 1994).
Kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia
terus
meningkat
ini
sebagai
akibat
pertumbuhan penduduk dan peningkatan
pendapatan domestik bruto. Minyak kelapa
sawit merupakan komoditas yang mempunyai
nilai strategis karena merupakan bahan baku
untuk pembuatan minyak makan. Permintaan
akan minyak makan di dalam dan luar negeri
yang kuat merupakan indikasi pentingnya
peranan komoditas kelapa sawit dalam
perekonomian bangsa (Pahan 2008).
Tanaman kelapa sawit berasal dari negara
Afrika tepatnya dari kawasan Nigeria di
Afrika Barat. Perdagangan kelapa sawit
sendiri pertama kali dilakukan pada abad XVI,
yakni diperdagangkan ke Inggris pada tahun
1588-1590. Tanaman kelapa sawit mulai
masuk ke Indonesia pada tahun 1847 dibawa
oleh bangsa Belanda dengan bibit yang
berasal dari Bourbon (Rheunion) atau
Mauritius sebanyak dua batang dan dari
Amsterdam juga dua batang. Bibit tersebut
ditanam di Kebun Raya Bogor untuk
dijadikan tanaman koleksi. Perkebunan kelapa
sawit di Indoneisia dipelopori oleh seseorang
berkebangsaan Belgia yaitu Adrien Hallet
yang telah mempunyai pengalaman menanam
kelapa sawit di Afrika (Setyamidjaja 2006).
Seiring dengan perkembangannya di masa itu
hingga tahun 1939 telah tercatat ada 66
perkebunan kelapa sawit dengan areal sekitar
100.000 di Indonesia, dan hingga kini
jumlahnya semakin meningkat hingga
mencapai 6.3 juta ha pada tahun 2007
(Pardamean 2008).
Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan
pada
divisi
Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa
Palmaceae, suku Cocoideae, marga Elaeis dan
jenis Elaeis guineensis Jacq. Varietas atau
tipenya dapat digolongkan berdasarkan tebal
tipisnya cangkang dan warna buah. Terdapat
tiga varietas berdasarkan tebal tipisnya
cangkang (endocarp) yaitu, Dura, Pisifera,
dan Tenera. Sedangkan berdasarkan warna
buah dikenal tiga varietas yaitu, Nigrescens,
Virescens, dan Albescens (Setyamidjadja
2006).
Pahan (2008) menyatakan bahwa kelapa
sawit tumbuh dengan baik pada dataran
rendah di daerah tropis yang beriklim basah,
yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23.5°
LU sampau 23.5° LS. Curah hujan yang
dibutuhkan kelapa sawit untuk dapat tumbuh
dengan baik yaitu ≥2000 mm/tahun dan
merata sepanjang tahun dengan periode bulan
kering (<100mm/bulan) tidak lebih dari 3
bulan. Temperatur siang hari rata-rata 2933°C dan malam hari 22-24°C dengan
penyinaran matahari sepanjang tahun minimal
3
5 jam per hari. Kelapa sawit akan tumbuh
dengan baik pada ketinggian <500 m dari
permukaan air laut.
Tanaman ini mempunyai tinggi mencapai
24 meter. Daun kelapa sawit merupakan daun
majemuk dan berwarna hijau tua dengan
pelepah berwarna sedikit lebih muda.
Batangnya diselimuti pelepah hingga umur 12
tahun, setelah umur 12 tahun pelepah yang
mengering akan terlepas sehingga tanaman
kelapa sawit terlihat mirip dengan tanaman
kelapa. Morfologi tanaman kelapa sawit
terlihat pada Gambar 1(a). Akar serabut
tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan
samping. Selain itu juga terdapat beberapa
akar napas yang tumbuh mengarah ke
samping atas untuk mendapatkan tambahan
aerasi. Bunga jantan dan betina terpisah dan
memiliki waktu pematangan berbeda sehingga
sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri.
Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan
panjang sementara bunga betina terlihat lebih
besar dan mekar (Sitohang 2010).
Umur ekonomis kelapa sawit yang
dibudidayakan umumnya 25 tahun. Tanaman
kelapa sawit mulai menghasilkan pada umur
24-30 bulan. Buah yang pertama keluar masih
dinyatakan sebagai buah pasir yang artinya
belum dapat diolah pabrik kelapa sawit karena
kandungan
minyaknya
masih
rendah
(Pardamean 2008). Buah sawit mempunyai
warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga
merah tergantung bibit yang digunakan.
Gambar bentuk buah kelapa sawit terlihat
pada Gambar 1(b). Buah bergerombol dalam
tandan yang muncul dari tiap pelepah. Buah
terdiri dari tiga lapisan yaitu eksoskarp
(bagian kulit buah berwarna kemerahan dan
licin), mesoskarp (serabut buah) dan
endoskarp (cangkang pelindung inti). Inti
sawit merupakan endosperma dan embrio
dengan kandungan minyak inti berkualitas
tinggi (Sitohang 2010).
Kelapa sawit menghasilkan buah yang
disebut tandan buah segar (TBS). Setelah
diolah, tandan buah akan menghasilkan
minyak. Menurut Pardamean (2008) minyak
yang dihasilkan kelapa sawit terdiri atas dua
macam yaitu crude palm oil (CPO) yang
berasal dari daging buah (mesocarp) dan palm
kernel oil (PKO) yang berasal dari inti sawit.
Kedua minyak tersebut dapat diolah menjadi
beberapa jenis minyak siap pakai seperti
minyak goreng atau diolah lebih lanjut untuk
produk lain.
Menurut Pahan (2008) kelapa sawit kaya
akan kandungan nutrisi yang sangat
bermanfaat bagi tubuh. Minyak dan lemak
nabati merupakan sumber vitamin A, D, dan E
serta berfungsi sebagai pembawa vitamin K.
Sedangkan minyak kelapa sawit merupakan
sumber minyak yang kaya vitamin A, dimana
kandungan betakaroten mencapai 1000 mg/kg.
Di dalam minyak kelapa sawit terkandung
asam linoleat yang dibutuhkan secara esensial
untuk nutrisi manusia. Seperti jenis minyak
nabati lainnya, minyak kelapa sawit
mengandung kadar kolesterol yang rendah,
yaitu sekitar 3 mg/kg. Tidak heran jika
Minyak Kelapa Sawit (MKS) digunakan
untuk memenuhi kebutuhan dalam berbagai
bidang.
Minyak kelapa sawit banyak digunakan
sebagai bahan baku makanan seperti mentega,
es krim, makanan ternak, dan pembuatan
asam lemak. MKS juga digunakan sebagai
bahan baku kosmetika dan obat-obatan, bahan
baku industri berat dan ringan, dan yang
paling terbaru minyak kelapa sawit dijadikan
sebagai sumber energi alternatif biodiesel
yang dibuat dengan cara esterifikasi dan atau
transesterifikasi minyak sawit dan alkohol
rantai pendek. Limbah yang dihasilkan dari
pengolahan kelapa sawit berupa tandan
kosong, limbah cair, dan cangkang juga dapat
dimanfaatkan diantaranya untuk pembuatan
pulp, bahan baku pembuatan kertas, pupuk
kompos, dan bahan baku industri furtural
untuk bahan dasar pakan ternak (Pahan 2008).
Daun
Batang
Buah
(a)
(b)
Gambar 1 (a) Morfologi pohon kelapa sawit
(b) Buah kelapa sawit (Pardamean
2008)
4
Keragaman Genetik
Indonesia merupakan salah satu negara
yang telah lama mendapatkan pengakuan
dunia sebagai negara yang memiliki
kenekaragaman
hayati
sangat
tinggi
(megabiodiversity). Sehingga tak perlu
diragukan lagi keberadaan berjuta-juta spesies
hayati di Indonesia mengundang banyak
ilmuwan untuk menjadikan sebagai obyek
penelitian guna pengembangan ilmu dan
teknologi. Kemajuan ilmu dan teknologi ini
telah membuka khasanah baru untuk
memanfaatkan sumber hayati ini. Dewasa ini,
sumber-sumber gen dari beberapa organisme
dapat dilacak dan dipindahkan ke organisme
lain untuk tujuan perbaikan penampilan dan
keturunan organism tersebut (genetically
modified organisms) (Suryanto 2003).
Berbagai macam populasi hayati tersebar
di seluruh wilayah Indonesia. Populasi
menunjukkan sekumpulan individu dengan
ciri-ciri yang sama (spesies) yang hidup
menempati ruang sama pada waktu tertentu.
Anggota populasi secara alamiah saling
berinteraksi satu sama lain dan bereproduksi
diantara
sesamanya.
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa populasi merupakan
sarana pertukaran alel antar individu.
Pertukaran alel secara acak tersebut
menghasilkan
kombinasi
gen
yang
menjadikan keragaman genetik dalam suatu
populasi. Keragaman genetik merupakan
variasi genetik di dalam setiap spesies yang
mencakup aspek biokimia, struktur, dan sifat
organisme yang diturunkan secara fisik dari
induknya dan dibentuk dari DNA (Damayanti
2007).
Keragaman genetik dapat terjadi karena
berbagai faktor. Suryanto (2003) menyatakan
bahwa keragaman genetik dapat terjadi karena
adanya perubahan nukleotida penyusun DNA.
Perubahan
tersebut
mungkin
dapat
memberikan
pengaruh
fenotipe
suatu
organisme yang dapat dipantau dengan mata
telanjang, atau mempengaruhi reaksi individu
terhadap lingkungan tertentu. Sedangkan
secara umum penyebab keragaman genetik
dari suatu populasi adalah adanya mutasi,
rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat
ke tempat lain (Campbell et al. 2002).
Pengkajian karakter bahan genetik telah
menghasilkan
kemajuan
perkembangan
penelaahan suatu organisme yang sangat
dinamis bagi peningkatan kesejahteraan
manusia. Pada tahun 1983 Avise & Lansman
dan juga Brown berhasil mengungkapkan
peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam
studi keragaman genetika dan biologi populasi
pada hewan. Ukurannya yang kecil dan juga
memiliki karakteristik berbeda karena
perbedaan lokasi dalam sel, serta jumlah
salinan (copy) lebih banyak dibanding DNA
inti yakni lebih dari 1000 salinan (copy)
membuat mtDNA dapat dijadikan sebagai
penanda genetika.
Suryanto (2003) menyatakan bahwa
analisis keragaman genetik dapat dilakukan
melalui analisis hasil elektroforesis DNA.
Pita-pita DNA yang terbentuk menunjukkan
polimorfisme sehingga dapat diketahui posisiposisi tertentu dalam pohon filogeni.
Beberapa program statistik khusus digunakan
untuk membantu analisis ini yaitu NT-Sys dan
Treecon. Untuk membedakan satu organisme
dengan organisme lain digunakan bobot
molekul dari pita-pita yang terbentuk.
Penggunaan cara ini akan merujuk pada
kesepakatan biner seperti jika ada pita pada
suatu posisi berat molekul dianggap bernilai 1
sedangkan jika tidak ada bernilai 0.
Informasi hubungan genetik antara
individu dan di antara spesies mempunyai
kegunaan penting bagi perbaikan tanaman
(Julisaniah 2008). Salah satu kegiatan penting
yang memerlukan analisis keragaman genetik
yaitu pemuliaan tanaman. Dalam program
pemuliaan tanaman, pendugaan hubungan
genetik sangat berguna untuk mengelola
plasma
nutfah,
identifikasi
kultivar,
membantu seleksi tetua untuk persilangan,
serta mengurangi jumlah individu yang
dibutuhkan untuk pengambilan sampel dengan
kisaran keragaman genetik yang luas (Thoman
et al. 1994).
Keragaman genetik merupakan salah satu
dasar untuk mengetahui tingkat perubahan
nilai keberhasilan seleksi suatu populasi
(Wulandari 2008). Semakin tinggi keragaman
genetik semakin tinggi pula peluang untuk
mendapatkan sumber gen bagi karakter yang
akan diperbaiki (Martono 2009). Keragaman
genetik suatu tanaman yang sangat sempit
menimbulkan kesulitan dalam seleksi,
dilakukan mutasi untuk meningkatkan
keragaman genetik. Sehingga memungkinkan
pemulia melakukan seleksi genotip tanaman
sesuai dengan tujuan pemuliaan yang
dikehendaki. Mutasi menunjukkan terjadinya
perubahan materi genetik pada tingkat genom,
kromosom, DNA, atau gen sehingga
mengakibatkan terjadinya keragaman genetik
(Soeranto 2003).
Marka Molekuler
Marka molekuler merupakan metode
penunjuk keberadaan rangkaian nukleotida
5
(DNA). Marka dapat menyandikan suatu sifat
atau
memberikan
informasi
tentang
keberadaan posisi suatu sekuen konservasi di
dalam genom atau non fungsional (Marta
2010). Marka ini akan menganalisis hubungan
pada tingkat DNA, sehingga perubahan yang
tidak terlihat dengan penanda lainnya dapat
diketahui dengan penanda DNA (Pandin
2010). Marka DNA dapat digunakan untuk
mengidentifikasi plasma nutfah yang memiliki
karakter khusus jika marka DNA tersebut
berasosiasi
kuat
dengan
gen
yang
mengendalikan karakter yang diinginkan.
Pemilihan marka yang akan digunakan dalam
analisis genetik perlu mempertimbangkan
tujuan yang diinginkan, sumber dana yang
dimiliki, fasilitas yang tersedia, serta
kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe
marka (Azrai 2006).
Brown et al. (1996) menyatakan bahwa
penanda DNA dapat digunakan untuk
identifikasi suatu individu atau genotip,
derajat kekerabatan antar genotip, dan adanya
variasi genetika suatu populasi tanaman.
Penanda DNA juga dapat menentukan
determinasi gen atau kompleks gen yang
diinginkan dalam suatu genotip spesifik, dan
pengembangan varietas tanaman baru melalui
transformasi (Lande dan Thompson 1990).
Selain itu penanda molekular dapat pula
digunakan untuk DNA fingerprinting tetua
untuk
memperkirakan
penampakan
turunannya (hybrid), transgen backcross,
homozigositas, dan peta genetika Quantitative
Trait Loci (QTL). Menurut Azrai (2006)
marka molekular sangat membantu dalam
identifikasi galur-galur dalam analisis sidik
jari (fingerprinting) karena dapat memberikan
informasi untuk perencanaan program
pemuliaan, terutama dalam pembentukan
segregasi baru, varietas hibrida, dan sintetik
unggul baru, serta dalam menentukan tetua
yang digunakan untuk memilih pasangan
persilangan baru.
Gupta et al. (2002) mengklasifikasikan
marka molekuler ke dalam beberapa generasi,
diantaranya generasi pertama berdasarkan
fragmen restriksi (Restriction Fragment
Length Polymorphisms-RFLP) yang telah
dilaporkan pada genom manusia pada awal
1980. Disusul dengan marka generasi kedua
pada tahun 1990 yang meliputi mikrosatelit
(Simple Sequence Repeats-SSRs) dan AFLPs
(Amplified Fragment Length Polymorphisms)
berbasiskan fingerprinting. Selanjutnya marka
generasi ketiga muncul dengan tingkat yang
lebih spesifik pada penyandi terkait ekspresi
(Expressed Sequence Tags-ESTs) dan SNPs
(Single Nucleotide Polymorphisms) diakhir
1990.
Marka molekular juga dikelompokkan
berdasarkan prinsip dan metodenya. Ada
empat jenis marka molekular berdasarkan
prinsip dan metodenya. Pertama adalah marka
yang berdasarkan hibridisasi probe/pelacak.
RFLFs merupakan marka yang mempunyai
tingkat polimorfik yang disebabkan subtitusi,
penyisipan, penghilangan, atau translokasi
dalam genom (Gupta et al. 2002). Marka ini
memisahkan fragmen DNA berdasarkan
sistem pemotongan enzim restriksi seperti
EcoRI dan HindIII yang dilanjutkan proses
hibridisasi probe pada teknik Southern
blotting. Marka ini bersifat kodominan tetapi
mempunyai keterbatasan dalam perakitan
yang hanya dikonstruksi dari klon cDNA yang
telah diketahui, kuantitas dan kualitas DNA
yang dibutuhkan sangat tinggi serta
dibutuhkan laboratorium khusus menangani
radioaktif.
Kedua adalah marka yang berdasarkan
polymerase chain reaction (PCR) yang
dikelompokan dalam satu atau dua primer
pengamplifikasi, terdiri atas lima jenis marka
yaitu RAPD, STSs, SCARs, AFLP dan
mikrosatelit. RAPD merupakan marka yang
mengamplifikasi genom dengan satu primer
spesifik secara acak (Williams et al. 1990)
dan pasangan primer spesifik. Sementara itu,
STSs (Sequence-Tagged Sites) merupakan
sekuen unik pendek yang mengidentifikasi
satu atau lebih loci dan dapat teramplifikasi
dengan
PCR.
SCARs
(Sequence
Characterized Amplified Regions) sama
halnya seperti STS, merupakan primer yang
mengidentifikasi RFLP loci dan ESTs
(Expressed Sequence Tags). AFLP merupakan
DNA fingerprinting yang berbasis pada
amplifikasi PCR pada suatu set fragmen
restriksi yang telah diligasikan suatu sekuen
yang telah diketahui, biasanya akan
teramplifikasi menggunakan MseI atau EcoRI.
AFLP mempunyai sifat marka dominan
sehingga dapat digunakan dalam studi tingkat
polimorfik (Powell et al. 1996). Mikrosatelit
atau simple sequence repeats (SSRs)
merupakan marka yang berdasarkan PCR
dengan
menggunakan
primer
yang
menggabungkan
sekuen
komplementer
spesifik dalam DNA target yang mempunyai
tingkat kepercayaan lebih tinggi (Azrai 2006).
Penanda molekuler berdasarkan PCR dan
dilanjutkan dengan hibridisasi merupakan
kelompok ketiga yang dilakukan dengan
teknik
fingerprinting
oligonukleotida
menggunakan fragmen RAPD. Kelompok
6
terakhir yakni sequencing dan chip DNA
berdasarkan penanda. Kelompok ini dapat
dilakukan menggunakan gel sebagai dasar
untuk mendapatkan hasil PCR untuk deteksi
SNP.
Muladno (2002) menyatakan bahwa ada
beberapa kelebihan dari penggunaan marka
molekular. Keberadaan penanda molekuler di
dekat gen akan membantu penentuan posisi
gen (Muladno 2002). Selain itu, penanda
molekuler menunjukkan polimorfisme yang
tinggi sehingga dapat mendeteksi keragaman
genetika. Suatu penanda akan efektif jika
dapat membedakan antara dua tetua yang
berbeda genotip dan terwariskan pada
keturunannya. Keberhasilan penggunaan suatu
marka penyeleksi dalam kegiatan pemuliaan
bergantung pada tiga syarat utama yang harus
dipenuhi yaitu: 1) tersedianya peta genetik
dengan jumlah marka polimorfis yang cukup
memadai sehingga dapat mengidentifikasi
QTL atau gen-gen mayor target secara akurat,
2) marka terkait erat dengan QTL atau gen
mayor target pada peta genetik yang sudah
dikonstruksi, dan 3) kemampuan menganalisis
sejumlah besar tanaman secara efektif.
Simple Sequence Repeats (SSR)
DNA genom terdiri atas DNA sekuen khas
(specific sequence) dan DNA sekuen berulang
(repetitive sequence). DNA sekuen berulang
dalam genom eukariot dapat mencapai lebih
dari 90% DNA total yang ada dalam genom
tanaman (Weising et al. 1995). Makin besar
ukuran genom suatu tanaman, cenderung
makin besar pula proporsi DNA sekuen
berulangnya. Dari beberapa hasil penelitian
diketahui proporsi DNA sekuen berulang
dalam genom tanaman jagung mencapai 60%
(Gupta et al. 1984), gandum dan kerabat
liarnya mencapai 1270% (Flavel 1980)
kedelai mencapai 60% (Walbot & Goldberg
1979), dan pada padi mencapai 50%
(McCouch et al. 1988). Terdapat tiga kelas
pengulangan fraksi DNA pada individu
eukariot, yaitu fraksi sangat berulang (highly
repeated fraction), fraksi berulang secara
moderat (moderatly repeated fraction), dan
fraksi tidak berulang (nonrepeated fraction).
Fraksi sekuen sangat berulang terdiri atas (1)
satelit DNA, (2) minisatelit DNA dan (3)
mikrosatelit DNA. Pengulangan sekuennya
tersusun secara tandem.
Simple Sequence Repeats (SSR) atau yang
sering disebut mikrosatelit merupakan salah
satu marka generasi kedua yang berkembang
pada awal tahun 1990 karena potensinya yang
besar dalam menganalisis berbagai keragaman
populasi atau individu. Simple Sequence
Repeats (SSR) adalah sekuen sederhana yang
berulang dari 1-4 nukleotida dengan jumlah
ulangan dari mikrosatelit biasanya kurang dari
100 (Liu 1998). Mikrosatelit atau dikenal juga
dengan nama Short Tandem Repeats (STRs)
atau Variabel Number of Tandem Repeats
(VNTR) merupakan untaian basa nukleotida
yang tersebar di dalam genom, baik genom
inti (SSRs) maupun genom organel.
Mikrosatelit genom organel terdiri dari
mikrosatelit
kloroplas
(cpSSRs)
dan
mikrosatelit mitokondria (mtSSRs) dengan
tipe dominan mononukleotida. Mikrosatelit
yang berasal dari genom organel ini banyak
digunakan untuk studi antar spesies karena
sifat dari genom organel ini hanya diturunkan
secara uniparental.
SSR dapat menentukan genotip individu,
dengan mendeteksi suatu segmen DNA yang
mengandung pola perulangan sederhana dari
basa nitrogen. Untuk selanjutnya sekuen DNA
tersebut dapat dikenali dengan teknik PCR
(Mullis and Faloona 1987) menggunakan
primer yang dibuat sesuai dengan urutan
spesifik dari pola perulangan tersebut.
Kelebihan dari SSR yaitu SSR bersifat
kodominan yang berarti dapat digunakan
untuk membedakan alel heterozigot dengan
alel homozigot sehingga dapat dimanfaatkan
untuk mendeteksi induk suatu individu serta
menguji hasil persilangan individu (Prihatin
2006). Selain itu juga dapat mendeteksi
keragaman alel pada tingkat tinggi, serta
mudah dan tidak terlalu mahal untuk
dianalisis
dengan
menggunakan
PCR
(Moeljopawiro 2010).
Penggunaan mikrosatelit relatif mudah
dengan menggunakan PCR, karena dapat
menjangkau seluruh kromosom (Prasetiyono
et al.2003). Produk PCR tersebut dapat
dipisahkan
dengan
elektroforesis
gel
poliakrilamida yang dapat mendeteksi variasi
mikrosatelit dalam jumlah kecil (1-2 pb).
Beberapa lokus mikrosatelit memiliki jumlah
alel yang banyak (>20 pb per lokus), yang
bisa digunakan untuk identifikasi populasi
yang kompleks, sedangkan lokus yang lebih
sedikit digunakan untuk mempelajari genetik
populasi dan konstruksi filogenetik. Hasil
elektroforesis tersebut dapat menentukan
ukuran produk PCR dan berapa kali
dinukleotida diulang tiap alelnya. Akan lebih
bagus apabila hasil PCR mekrosatelit hanya
menghasilkan dua pita, tetapi sering
ditemukan minor band (pita tipis) ada
bersama mayor band (pita tebal), biasanya
7
minor band hanya berbeda dua nukleotida saja
dengan mayor band.
Banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh
mikrosatelit dibanding dengan penanda
molekular lainnya menjadikan mikrosatelit
sebagai pilihan yang baik untuk studi
keragaman genetik dan heterozigositas
(Nasution 2010). Penggunaan mikrosatelit
dalam studi-studi genetik telah banyak
dilakukan untuk studi genetik populasi,
ekologi, pemuliaan tanaman, aliran gen (gene
flow) dan keragaman genetik intraspesies
maupun interspesies.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR
merupakan
metode
untuk
melipatgandakan (amplifikasi) potongan DNA
dalam waktu yang singkat secara in vitro.
Reaksi polimerasi DNA ditemukan oleh Kary
Mullis pada tahun 1985. PCR merupakan
tenik kunci dalam molekular genetik yang
hanya menggunakan sedikit potongan kecil
dari DNA atau RNA untuk analisis, sehingga
memiliki efisiensi yang sangat tinggi dalam
menggandakan potongan atau sekuens DNA
atau RNA tertentu dalam jumlah besar
(amplifikasi). Salah satu keuntungan PCR
adalah teknik ini lebih baik dari teknik
kloning biasa, karena tidak perlu pemurnian
bahan. Dengan menggunakan PCR, proses
amplifikasi dapat dilakukan dalam tabung dan
hanya memerlukan waktu beberapa jam. PCR
menjadi sarana yang sensitif, selektif, dan
sangat cermat untuk memperbanyak rangkaian
DNA yang diinginkan. Spesifitas reaksi ini
berdasarkan pada penggunaan dua primer
oligonukleotida yang berhibridisasi menjadi
rangkaian komplementer pada untai DNA
yang berlawanan dan mengapit rangkaian
sasaran (Bintang 2010).
Komponen yang dibutuhkan dalam reaksi
PCR adalah (1) DNA target (template), yaitu
fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2)
oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen
oligonukleotida
pendek
(15-25
basa
nukleotida) yang digunakan untuk mengawali
sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida
trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP,
dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase,
yaitu enzim yang melakukan katalis reaksi
sintesis rantai DNA. Komponen lain yang
juga penting adalah senyawa bufer (Yuwono
2006).
Taq DNA polimerase merupakan enzim
tahan panas yang diisolasi dari bakteri
termofilik Thermus aquaticus. Enzim ini akan
mengkatalisis pemanjangan primer pada
reaksi
PCR.
Primer
merupakan
oligonukleotida pendek yang menempel pada
fragmen DNA target yang diinginkan.
Oligonukleotida yang digunakan sebagai
primer paling sedikit merupakan gabungan
dari 16 pasang basa, disarankan menggunakan
20-24 pasang basa. Primer yang terlalu
pendek tidak menempel secara spesifik pada
DNA
target
sehingga
akan
terjadi
penggandaan pada daerah yang tidak spesifik
pada DNA target, sedangkan primer yang
terlalu panjang akan sulit untuk menempel
pada DNA target sehingga amplifikasi tidak
terjadi. Keberadaan dNTP dan konsentrasi
larutan bufer dalam reaksi PCR, dapat
mempengaruhi spesifitas amplikon. Reaksi
PCR membutuhkan suatu bufer yang
mengandung MgCl2 karena aktivitas enzim
polimerase dipengaruhi oleh konsentrasi ion
Mg2+. Magnesium (Mg) dapat meningkatkan
aktivitas enzim secara maksimal pada
konsentrasi 2 mM, konsentrasi yang lebih
tinggi dapat menghambat aktivitas Taq DNA
polimerase (Sambrook & Russell 2001).
PCR mempunyai beberapa tahapan reaksi
yang memiliki peran berbeda-beda. Reaksi
dalam PCR meliputi pembukaan rantai DNA
utas ganda, penempelan primer, dan
perpanjangan rantai DNA baru oleh DNA
polimerase dari arah 5’ ke 3’. Satu siklus
dalam PCR terdiri dari tiga tahapan, yaitu
denaturasi, annealing (penempelan primer),
dan extension seperti yang terdapat pada
Gambar 2. Pemisahan untai DNA (denaturasi)
dilakukan pada suhu 90-95°C selama 15 detik
sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA
menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi
cetakan (template) tempat penempelan primer
dan tempat kerja DNA polimerase.
Selanjutnya
proses
hibridisasi
primer
(annealing) yang dilakukan pada suhu 55°C
agar terjadi hibridisasi dengan pita DNA
selama satu menit. Tahapan yang terakhir
yaitu sintesis DNA (extension), pada tahapan
ini larutan dipanaskan lagi menjadi 72°C yang
merupakan suhu optimum Taq DNA
polimerase untuk polimerisasi selama 30
detik. Polimerisasi DNA akan mensintesis
pita-pita
DNA
baru
dengan
cara
memanjangkan rantai primer (Bintang 2010).
Ketiga tahapan tersebut dilakukan
berulang kali dalam mesin PCR. Pengulangan
pada umumnya dilakukan antara 25-30 kali
(siklus) bergantung dari jumlah DNA yang
diinginkan sehingga pada akhir siklus akan
didapatkan molekul-molekul DNA rantai
ganda yang baru hasil polimerasi dalam
jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan
8
Gambar 2 Tahapan reaksi PCR
(Bintang 2010)
dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan
(Yuwono 2006). Banyaknya siklus amplifikasi
tergantung pada konsentrasi DNA target di
dalam campuran reaksi. Sedikitnya diperlukan
25 siklus untuk melipatgandakan satu kopi
sekuen DNA target di dalam genom mamalia
agar hasilnya dapat dilihat secara langsung,
misalnya dengan elektroforesis gel agarosa
(Sambrook et al. 1989).
Elektroforesis Gel Agarose
Elektroforesis merupakan suatu cara untuk
memisahkan
fraksi-fraksi
campuran
berdasarkan
pergerakan
partikel-pertikel
koloid yang bermuatan dibawah pengaruh
medan listrik. Teknik elektroforesis banyak
digunakan untuk analisis asam nukleat, virus,
enzim, dan protein. Pada umumnya cara ini
digunakan untuk menentukan berat molekul
(BM), mendeteksi kemurnian dan kerusakan
protein atau asam nukleat menetapkan titik
isolistrik, serta memisahkan spesies-spesies
yang berbeda secara kualitatif dan kuantitatif
(Bintang 2010).
Prinsip elektroforesis adalah memisahkan
molekul berdasarkan muatannya. DNA yang
bermuatan negatif akan bergerak ke arah
kutub positif selama elektroforesis karena
adanya gugus fosfat. Fragmen DNA
mempunyai muatan negatif yang sama untuk
tiap-tiap ukuran panjang, sehingga pergerakan
DNA ini akan memiliki kecepatan yang sama
untuk mencapai kutub positif (Clark &
Christopher 2008).
Mobilitas
elektroforesis
terutama
tergantung pada konsentrasi medium, ukuran
atau bentuk, dan muatan molekul. Tanda dan
besarnya muatan yang dibawa oleh gugusgugus yang terionisasi bervariasi, tergantung
pada kekuatan ionik dan pH medium. Oleh
karena itu, pemisahan molekul-molekul
efektif dengan cara menyeleksi terlebih
dahulu konsentrasi medium yang tepat
(Bintang 2010).
Beberapa faktor yang harus diperhatikan
dalam elektroforesis
diantaranya adalah
medium penyangga, sampel, bufer, dan medan
listrik. Medium penyangga yang digunakan
mempunyai
keuntungan masing-masing,
konsentrasi gel harus disesuaikan agar tidak
terlalu encer dan juga tidak terlalu padat.
Sampel harus diperhatikan juga karena ukuran
molekul yang lebih besar menyebabkan
migrasi menurun dan kekuatan elektroforesis
disekitar larutan meningkat, selain itu
perbedaan bentuk molekul juga dapat
mempengaruhi pergerakan molekul dan
kekuatan elektrostatik. Dalam elektroforesis,
bufer yang digunakan harus berinteraksi
dengan molekul yang dipisahkan, dan pH
yang digunakan harus sedemikian rupa
sehingga campuran molekul dapat dipisahkan
satu sama lain tetapi tidak terdenaturasi.
Medan listrik harus diperhatikan karena
sumber listrik yang stabil diperlukan untuk
menghasilkan aliran listrik dengan voltase
yang konstan (Bintang 2010).
Elektroforesis gel tidak hanya digunakan
sebagai metode analisis tetapi secara rutin
digunakan untuk persiapan pemurnian
fragmen-fragmen
DNA
tertentu.
Gel
merupakan suatu jaringan kompleks molekul
polimer. Molekul DNA bermuatan negatif di
dalam medan listrik bergerak melalui gel
dengan kecepatan yang berbeda tergantung
ukurannya. Molekul yang kecil dapat dengan
mudah melewati gel sehingga bergerak lebih
cepat dibandingkan molekul yang besar.
Keuntungan khusus yang diperoleh dari
elektroforesis gel adalah pita DNA dapat
dideteksi dengan kepekaan yang tinggi
(Bintang 2010).
Gel yang digunakan adalah agarosa yang
berasal dari ekstrak rumput laut yang telah
dimurnikan. Agarose digunakan untuk
memisahkan fragmen-fragmen DNA dengan
ukuran dari rentang ratusan hingga 20.000 kb.
Agarose bersifat tidak toksik, kompleks
berupa bubuk yang terdiri dari campuran
polimer dengan dua unit dasar galaktosa,
Download