2 merupakan marka genetik yang sering digunakan untuk mempelajari sistem perkawinan dan struktur populasi (Steffen et al. 1993), pautan (linkage), pemetaan kromoson, dan analisis populasi (Silva et al.1999). Penggunaan marker yang mempunyai derajat polimorfisme yang tinggi (Highly polymophic) diharapkan dapat menjawab tantangan yang sering dihadapi dalam pemuliaan tanaman. Berdasarkan penanda SSR akan didapatkan pola pita yang bersifat polimorfik yang kemudian direkonstruksi menjadi pohon filogenetik untuk mengelompokkan tanaman kelapa sawit yang belum diketahui identitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan 58 tanaman kelapa sawit yang sebelumnya tidak diketahui identitasnya dengan menggunakan Simple Sequence Repeat (SSR) marker sebagai informasi dasar dalam mencari indukan baru kelapa sawit yang memiliki sifat unggul. Hipotesis penelitian ini yaitu Simple Sequence Repeat (SSR) marker dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk mengelompokkan tanaman kelapa sawit dari populasi tanaman perkebunan kelapa sawit rakyat yang sebelumnya belum diketahui identitasnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah untuk mengetahui tanaman kelapa sawit yang sebelumnya belum diketahui identitasnya dan dapat dikelompokkan dengan mudah dengan menggunakan teknik molekuler, selain itu juga dapat dilihat tingkat keragaman dan kekerabatannya, serta mempermudah dan mempersingkat waktu pemilihan genotip untuk melakukan program pemuliaan varietas unggul secara berkelanjutan guna mencapai target peningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit untuk memenuhi permintahan pasar lokal maupun global. TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dewasa ini mejadi komoditas primadona Indonesia. Orientasi ekspor pada tanaman kelapa sawit membuat tanaman ini mempunyai prospek masa depan yang sangat cerah dan diprediksikan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Risza 1994). Kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia terus meningkat ini sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan domestik bruto. Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis karena merupakan bahan baku untuk pembuatan minyak makan. Permintaan akan minyak makan di dalam dan luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa (Pahan 2008). Tanaman kelapa sawit berasal dari negara Afrika tepatnya dari kawasan Nigeria di Afrika Barat. Perdagangan kelapa sawit sendiri pertama kali dilakukan pada abad XVI, yakni diperdagangkan ke Inggris pada tahun 1588-1590. Tanaman kelapa sawit mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1847 dibawa oleh bangsa Belanda dengan bibit yang berasal dari Bourbon (Rheunion) atau Mauritius sebanyak dua batang dan dari Amsterdam juga dua batang. Bibit tersebut ditanam di Kebun Raya Bogor untuk dijadikan tanaman koleksi. Perkebunan kelapa sawit di Indoneisia dipelopori oleh seseorang berkebangsaan Belgia yaitu Adrien Hallet yang telah mempunyai pengalaman menanam kelapa sawit di Afrika (Setyamidjaja 2006). Seiring dengan perkembangannya di masa itu hingga tahun 1939 telah tercatat ada 66 perkebunan kelapa sawit dengan areal sekitar 100.000 di Indonesia, dan hingga kini jumlahnya semakin meningkat hingga mencapai 6.3 juta ha pada tahun 2007 (Pardamean 2008). Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan pada divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Palmaceae, suku Cocoideae, marga Elaeis dan jenis Elaeis guineensis Jacq. Varietas atau tipenya dapat digolongkan berdasarkan tebal tipisnya cangkang dan warna buah. Terdapat tiga varietas berdasarkan tebal tipisnya cangkang (endocarp) yaitu, Dura, Pisifera, dan Tenera. Sedangkan berdasarkan warna buah dikenal tiga varietas yaitu, Nigrescens, Virescens, dan Albescens (Setyamidjadja 2006). Pahan (2008) menyatakan bahwa kelapa sawit tumbuh dengan baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim basah, yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23.5° LU sampau 23.5° LS. Curah hujan yang dibutuhkan kelapa sawit untuk dapat tumbuh dengan baik yaitu ≥2000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan periode bulan kering (<100mm/bulan) tidak lebih dari 3 bulan. Temperatur siang hari rata-rata 2933°C dan malam hari 22-24°C dengan penyinaran matahari sepanjang tahun minimal 3 5 jam per hari. Kelapa sawit akan tumbuh dengan baik pada ketinggian <500 m dari permukaan air laut. Tanaman ini mempunyai tinggi mencapai 24 meter. Daun kelapa sawit merupakan daun majemuk dan berwarna hijau tua dengan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Batangnya diselimuti pelepah hingga umur 12 tahun, setelah umur 12 tahun pelepah yang mengering akan terlepas sehingga tanaman kelapa sawit terlihat mirip dengan tanaman kelapa. Morfologi tanaman kelapa sawit terlihat pada Gambar 1(a). Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Bunga jantan dan betina terpisah dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar (Sitohang 2010). Umur ekonomis kelapa sawit yang dibudidayakan umumnya 25 tahun. Tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan pada umur 24-30 bulan. Buah yang pertama keluar masih dinyatakan sebagai buah pasir yang artinya belum dapat diolah pabrik kelapa sawit karena kandungan minyaknya masih rendah (Pardamean 2008). Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Gambar bentuk buah kelapa sawit terlihat pada Gambar 1(b). Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Buah terdiri dari tiga lapisan yaitu eksoskarp (bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin), mesoskarp (serabut buah) dan endoskarp (cangkang pelindung inti). Inti sawit merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi (Sitohang 2010). Kelapa sawit menghasilkan buah yang disebut tandan buah segar (TBS). Setelah diolah, tandan buah akan menghasilkan minyak. Menurut Pardamean (2008) minyak yang dihasilkan kelapa sawit terdiri atas dua macam yaitu crude palm oil (CPO) yang berasal dari daging buah (mesocarp) dan palm kernel oil (PKO) yang berasal dari inti sawit. Kedua minyak tersebut dapat diolah menjadi beberapa jenis minyak siap pakai seperti minyak goreng atau diolah lebih lanjut untuk produk lain. Menurut Pahan (2008) kelapa sawit kaya akan kandungan nutrisi yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Minyak dan lemak nabati merupakan sumber vitamin A, D, dan E serta berfungsi sebagai pembawa vitamin K. Sedangkan minyak kelapa sawit merupakan sumber minyak yang kaya vitamin A, dimana kandungan betakaroten mencapai 1000 mg/kg. Di dalam minyak kelapa sawit terkandung asam linoleat yang dibutuhkan secara esensial untuk nutrisi manusia. Seperti jenis minyak nabati lainnya, minyak kelapa sawit mengandung kadar kolesterol yang rendah, yaitu sekitar 3 mg/kg. Tidak heran jika Minyak Kelapa Sawit (MKS) digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam berbagai bidang. Minyak kelapa sawit banyak digunakan sebagai bahan baku makanan seperti mentega, es krim, makanan ternak, dan pembuatan asam lemak. MKS juga digunakan sebagai bahan baku kosmetika dan obat-obatan, bahan baku industri berat dan ringan, dan yang paling terbaru minyak kelapa sawit dijadikan sebagai sumber energi alternatif biodiesel yang dibuat dengan cara esterifikasi dan atau transesterifikasi minyak sawit dan alkohol rantai pendek. Limbah yang dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit berupa tandan kosong, limbah cair, dan cangkang juga dapat dimanfaatkan diantaranya untuk pembuatan pulp, bahan baku pembuatan kertas, pupuk kompos, dan bahan baku industri furtural untuk bahan dasar pakan ternak (Pahan 2008). Daun Batang Buah (a) (b) Gambar 1 (a) Morfologi pohon kelapa sawit (b) Buah kelapa sawit (Pardamean 2008) 4 Keragaman Genetik Indonesia merupakan salah satu negara yang telah lama mendapatkan pengakuan dunia sebagai negara yang memiliki kenekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Sehingga tak perlu diragukan lagi keberadaan berjuta-juta spesies hayati di Indonesia mengundang banyak ilmuwan untuk menjadikan sebagai obyek penelitian guna pengembangan ilmu dan teknologi. Kemajuan ilmu dan teknologi ini telah membuka khasanah baru untuk memanfaatkan sumber hayati ini. Dewasa ini, sumber-sumber gen dari beberapa organisme dapat dilacak dan dipindahkan ke organisme lain untuk tujuan perbaikan penampilan dan keturunan organism tersebut (genetically modified organisms) (Suryanto 2003). Berbagai macam populasi hayati tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Populasi menunjukkan sekumpulan individu dengan ciri-ciri yang sama (spesies) yang hidup menempati ruang sama pada waktu tertentu. Anggota populasi secara alamiah saling berinteraksi satu sama lain dan bereproduksi diantara sesamanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa populasi merupakan sarana pertukaran alel antar individu. Pertukaran alel secara acak tersebut menghasilkan kombinasi gen yang menjadikan keragaman genetik dalam suatu populasi. Keragaman genetik merupakan variasi genetik di dalam setiap spesies yang mencakup aspek biokimia, struktur, dan sifat organisme yang diturunkan secara fisik dari induknya dan dibentuk dari DNA (Damayanti 2007). Keragaman genetik dapat terjadi karena berbagai faktor. Suryanto (2003) menyatakan bahwa keragaman genetik dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA. Perubahan tersebut mungkin dapat memberikan pengaruh fenotipe suatu organisme yang dapat dipantau dengan mata telanjang, atau mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu. Sedangkan secara umum penyebab keragaman genetik dari suatu populasi adalah adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat ke tempat lain (Campbell et al. 2002). Pengkajian karakter bahan genetik telah menghasilkan kemajuan perkembangan penelaahan suatu organisme yang sangat dinamis bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Pada tahun 1983 Avise & Lansman dan juga Brown berhasil mengungkapkan peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragaman genetika dan biologi populasi pada hewan. Ukurannya yang kecil dan juga memiliki karakteristik berbeda karena perbedaan lokasi dalam sel, serta jumlah salinan (copy) lebih banyak dibanding DNA inti yakni lebih dari 1000 salinan (copy) membuat mtDNA dapat dijadikan sebagai penanda genetika. Suryanto (2003) menyatakan bahwa analisis keragaman genetik dapat dilakukan melalui analisis hasil elektroforesis DNA. Pita-pita DNA yang terbentuk menunjukkan polimorfisme sehingga dapat diketahui posisiposisi tertentu dalam pohon filogeni. Beberapa program statistik khusus digunakan untuk membantu analisis ini yaitu NT-Sys dan Treecon. Untuk membedakan satu organisme dengan organisme lain digunakan bobot molekul dari pita-pita yang terbentuk. Penggunaan cara ini akan merujuk pada kesepakatan biner seperti jika ada pita pada suatu posisi berat molekul dianggap bernilai 1 sedangkan jika tidak ada bernilai 0. Informasi hubungan genetik antara individu dan di antara spesies mempunyai kegunaan penting bagi perbaikan tanaman (Julisaniah 2008). Salah satu kegiatan penting yang memerlukan analisis keragaman genetik yaitu pemuliaan tanaman. Dalam program pemuliaan tanaman, pendugaan hubungan genetik sangat berguna untuk mengelola plasma nutfah, identifikasi kultivar, membantu seleksi tetua untuk persilangan, serta mengurangi jumlah individu yang dibutuhkan untuk pengambilan sampel dengan kisaran keragaman genetik yang luas (Thoman et al. 1994). Keragaman genetik merupakan salah satu dasar untuk mengetahui tingkat perubahan nilai keberhasilan seleksi suatu populasi (Wulandari 2008). Semakin tinggi keragaman genetik semakin tinggi pula peluang untuk mendapatkan sumber gen bagi karakter yang akan diperbaiki (Martono 2009). Keragaman genetik suatu tanaman yang sangat sempit menimbulkan kesulitan dalam seleksi, dilakukan mutasi untuk meningkatkan keragaman genetik. Sehingga memungkinkan pemulia melakukan seleksi genotip tanaman sesuai dengan tujuan pemuliaan yang dikehendaki. Mutasi menunjukkan terjadinya perubahan materi genetik pada tingkat genom, kromosom, DNA, atau gen sehingga mengakibatkan terjadinya keragaman genetik (Soeranto 2003). Marka Molekuler Marka molekuler merupakan metode penunjuk keberadaan rangkaian nukleotida 5 (DNA). Marka dapat menyandikan suatu sifat atau memberikan informasi tentang keberadaan posisi suatu sekuen konservasi di dalam genom atau non fungsional (Marta 2010). Marka ini akan menganalisis hubungan pada tingkat DNA, sehingga perubahan yang tidak terlihat dengan penanda lainnya dapat diketahui dengan penanda DNA (Pandin 2010). Marka DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi plasma nutfah yang memiliki karakter khusus jika marka DNA tersebut berasosiasi kuat dengan gen yang mengendalikan karakter yang diinginkan. Pemilihan marka yang akan digunakan dalam analisis genetik perlu mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, sumber dana yang dimiliki, fasilitas yang tersedia, serta kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe marka (Azrai 2006). Brown et al. (1996) menyatakan bahwa penanda DNA dapat digunakan untuk identifikasi suatu individu atau genotip, derajat kekerabatan antar genotip, dan adanya variasi genetika suatu populasi tanaman. Penanda DNA juga dapat menentukan determinasi gen atau kompleks gen yang diinginkan dalam suatu genotip spesifik, dan pengembangan varietas tanaman baru melalui transformasi (Lande dan Thompson 1990). Selain itu penanda molekular dapat pula digunakan untuk DNA fingerprinting tetua untuk memperkirakan penampakan turunannya (hybrid), transgen backcross, homozigositas, dan peta genetika Quantitative Trait Loci (QTL). Menurut Azrai (2006) marka molekular sangat membantu dalam identifikasi galur-galur dalam analisis sidik jari (fingerprinting) karena dapat memberikan informasi untuk perencanaan program pemuliaan, terutama dalam pembentukan segregasi baru, varietas hibrida, dan sintetik unggul baru, serta dalam menentukan tetua yang digunakan untuk memilih pasangan persilangan baru. Gupta et al. (2002) mengklasifikasikan marka molekuler ke dalam beberapa generasi, diantaranya generasi pertama berdasarkan fragmen restriksi (Restriction Fragment Length Polymorphisms-RFLP) yang telah dilaporkan pada genom manusia pada awal 1980. Disusul dengan marka generasi kedua pada tahun 1990 yang meliputi mikrosatelit (Simple Sequence Repeats-SSRs) dan AFLPs (Amplified Fragment Length Polymorphisms) berbasiskan fingerprinting. Selanjutnya marka generasi ketiga muncul dengan tingkat yang lebih spesifik pada penyandi terkait ekspresi (Expressed Sequence Tags-ESTs) dan SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms) diakhir 1990. Marka molekular juga dikelompokkan berdasarkan prinsip dan metodenya. Ada empat jenis marka molekular berdasarkan prinsip dan metodenya. Pertama adalah marka yang berdasarkan hibridisasi probe/pelacak. RFLFs merupakan marka yang mempunyai tingkat polimorfik yang disebabkan subtitusi, penyisipan, penghilangan, atau translokasi dalam genom (Gupta et al. 2002). Marka ini memisahkan fragmen DNA berdasarkan sistem pemotongan enzim restriksi seperti EcoRI dan HindIII yang dilanjutkan proses hibridisasi probe pada teknik Southern blotting. Marka ini bersifat kodominan tetapi mempunyai keterbatasan dalam perakitan yang hanya dikonstruksi dari klon cDNA yang telah diketahui, kuantitas dan kualitas DNA yang dibutuhkan sangat tinggi serta dibutuhkan laboratorium khusus menangani radioaktif. Kedua adalah marka yang berdasarkan polymerase chain reaction (PCR) yang dikelompokan dalam satu atau dua primer pengamplifikasi, terdiri atas lima jenis marka yaitu RAPD, STSs, SCARs, AFLP dan mikrosatelit. RAPD merupakan marka yang mengamplifikasi genom dengan satu primer spesifik secara acak (Williams et al. 1990) dan pasangan primer spesifik. Sementara itu, STSs (Sequence-Tagged Sites) merupakan sekuen unik pendek yang mengidentifikasi satu atau lebih loci dan dapat teramplifikasi dengan PCR. SCARs (Sequence Characterized Amplified Regions) sama halnya seperti STS, merupakan primer yang mengidentifikasi RFLP loci dan ESTs (Expressed Sequence Tags). AFLP merupakan DNA fingerprinting yang berbasis pada amplifikasi PCR pada suatu set fragmen restriksi yang telah diligasikan suatu sekuen yang telah diketahui, biasanya akan teramplifikasi menggunakan MseI atau EcoRI. AFLP mempunyai sifat marka dominan sehingga dapat digunakan dalam studi tingkat polimorfik (Powell et al. 1996). Mikrosatelit atau simple sequence repeats (SSRs) merupakan marka yang berdasarkan PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplementer spesifik dalam DNA target yang mempunyai tingkat kepercayaan lebih tinggi (Azrai 2006). Penanda molekuler berdasarkan PCR dan dilanjutkan dengan hibridisasi merupakan kelompok ketiga yang dilakukan dengan teknik fingerprinting oligonukleotida menggunakan fragmen RAPD. Kelompok 6 terakhir yakni sequencing dan chip DNA berdasarkan penanda. Kelompok ini dapat dilakukan menggunakan gel sebagai dasar untuk mendapatkan hasil PCR untuk deteksi SNP. Muladno (2002) menyatakan bahwa ada beberapa kelebihan dari penggunaan marka molekular. Keberadaan penanda molekuler di dekat gen akan membantu penentuan posisi gen (Muladno 2002). Selain itu, penanda molekuler menunjukkan polimorfisme yang tinggi sehingga dapat mendeteksi keragaman genetika. Suatu penanda akan efektif jika dapat membedakan antara dua tetua yang berbeda genotip dan terwariskan pada keturunannya. Keberhasilan penggunaan suatu marka penyeleksi dalam kegiatan pemuliaan bergantung pada tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu: 1) tersedianya peta genetik dengan jumlah marka polimorfis yang cukup memadai sehingga dapat mengidentifikasi QTL atau gen-gen mayor target secara akurat, 2) marka terkait erat dengan QTL atau gen mayor target pada peta genetik yang sudah dikonstruksi, dan 3) kemampuan menganalisis sejumlah besar tanaman secara efektif. Simple Sequence Repeats (SSR) DNA genom terdiri atas DNA sekuen khas (specific sequence) dan DNA sekuen berulang (repetitive sequence). DNA sekuen berulang dalam genom eukariot dapat mencapai lebih dari 90% DNA total yang ada dalam genom tanaman (Weising et al. 1995). Makin besar ukuran genom suatu tanaman, cenderung makin besar pula proporsi DNA sekuen berulangnya. Dari beberapa hasil penelitian diketahui proporsi DNA sekuen berulang dalam genom tanaman jagung mencapai 60% (Gupta et al. 1984), gandum dan kerabat liarnya mencapai 1270% (Flavel 1980) kedelai mencapai 60% (Walbot & Goldberg 1979), dan pada padi mencapai 50% (McCouch et al. 1988). Terdapat tiga kelas pengulangan fraksi DNA pada individu eukariot, yaitu fraksi sangat berulang (highly repeated fraction), fraksi berulang secara moderat (moderatly repeated fraction), dan fraksi tidak berulang (nonrepeated fraction). Fraksi sekuen sangat berulang terdiri atas (1) satelit DNA, (2) minisatelit DNA dan (3) mikrosatelit DNA. Pengulangan sekuennya tersusun secara tandem. Simple Sequence Repeats (SSR) atau yang sering disebut mikrosatelit merupakan salah satu marka generasi kedua yang berkembang pada awal tahun 1990 karena potensinya yang besar dalam menganalisis berbagai keragaman populasi atau individu. Simple Sequence Repeats (SSR) adalah sekuen sederhana yang berulang dari 1-4 nukleotida dengan jumlah ulangan dari mikrosatelit biasanya kurang dari 100 (Liu 1998). Mikrosatelit atau dikenal juga dengan nama Short Tandem Repeats (STRs) atau Variabel Number of Tandem Repeats (VNTR) merupakan untaian basa nukleotida yang tersebar di dalam genom, baik genom inti (SSRs) maupun genom organel. Mikrosatelit genom organel terdiri dari mikrosatelit kloroplas (cpSSRs) dan mikrosatelit mitokondria (mtSSRs) dengan tipe dominan mononukleotida. Mikrosatelit yang berasal dari genom organel ini banyak digunakan untuk studi antar spesies karena sifat dari genom organel ini hanya diturunkan secara uniparental. SSR dapat menentukan genotip individu, dengan mendeteksi suatu segmen DNA yang mengandung pola perulangan sederhana dari basa nitrogen. Untuk selanjutnya sekuen DNA tersebut dapat dikenali dengan teknik PCR (Mullis and Faloona 1987) menggunakan primer yang dibuat sesuai dengan urutan spesifik dari pola perulangan tersebut. Kelebihan dari SSR yaitu SSR bersifat kodominan yang berarti dapat digunakan untuk membedakan alel heterozigot dengan alel homozigot sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi induk suatu individu serta menguji hasil persilangan individu (Prihatin 2006). Selain itu juga dapat mendeteksi keragaman alel pada tingkat tinggi, serta mudah dan tidak terlalu mahal untuk dianalisis dengan menggunakan PCR (Moeljopawiro 2010). Penggunaan mikrosatelit relatif mudah dengan menggunakan PCR, karena dapat menjangkau seluruh kromosom (Prasetiyono et al.2003). Produk PCR tersebut dapat dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamida yang dapat mendeteksi variasi mikrosatelit dalam jumlah kecil (1-2 pb). Beberapa lokus mikrosatelit memiliki jumlah alel yang banyak (>20 pb per lokus), yang bisa digunakan untuk identifikasi populasi yang kompleks, sedangkan lokus yang lebih sedikit digunakan untuk mempelajari genetik populasi dan konstruksi filogenetik. Hasil elektroforesis tersebut dapat menentukan ukuran produk PCR dan berapa kali dinukleotida diulang tiap alelnya. Akan lebih bagus apabila hasil PCR mekrosatelit hanya menghasilkan dua pita, tetapi sering ditemukan minor band (pita tipis) ada bersama mayor band (pita tebal), biasanya 7 minor band hanya berbeda dua nukleotida saja dengan mayor band. Banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh mikrosatelit dibanding dengan penanda molekular lainnya menjadikan mikrosatelit sebagai pilihan yang baik untuk studi keragaman genetik dan heterozigositas (Nasution 2010). Penggunaan mikrosatelit dalam studi-studi genetik telah banyak dilakukan untuk studi genetik populasi, ekologi, pemuliaan tanaman, aliran gen (gene flow) dan keragaman genetik intraspesies maupun interspesies. Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR merupakan metode untuk melipatgandakan (amplifikasi) potongan DNA dalam waktu yang singkat secara in vitro. Reaksi polimerasi DNA ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1985. PCR merupakan tenik kunci dalam molekular genetik yang hanya menggunakan sedikit potongan kecil dari DNA atau RNA untuk analisis, sehingga memiliki efisiensi yang sangat tinggi dalam menggandakan potongan atau sekuens DNA atau RNA tertentu dalam jumlah besar (amplifikasi). Salah satu keuntungan PCR adalah teknik ini lebih baik dari teknik kloning biasa, karena tidak perlu pemurnian bahan. Dengan menggunakan PCR, proses amplifikasi dapat dilakukan dalam tabung dan hanya memerlukan waktu beberapa jam. PCR menjadi sarana yang sensitif, selektif, dan sangat cermat untuk memperbanyak rangkaian DNA yang diinginkan. Spesifitas reaksi ini berdasarkan pada penggunaan dua primer oligonukleotida yang berhibridisasi menjadi rangkaian komplementer pada untai DNA yang berlawanan dan mengapit rangkaian sasaran (Bintang 2010). Komponen yang dibutuhkan dalam reaksi PCR adalah (1) DNA target (template), yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa bufer (Yuwono 2006). Taq DNA polimerase merupakan enzim tahan panas yang diisolasi dari bakteri termofilik Thermus aquaticus. Enzim ini akan mengkatalisis pemanjangan primer pada reaksi PCR. Primer merupakan oligonukleotida pendek yang menempel pada fragmen DNA target yang diinginkan. Oligonukleotida yang digunakan sebagai primer paling sedikit merupakan gabungan dari 16 pasang basa, disarankan menggunakan 20-24 pasang basa. Primer yang terlalu pendek tidak menempel secara spesifik pada DNA target sehingga akan terjadi penggandaan pada daerah yang tidak spesifik pada DNA target, sedangkan primer yang terlalu panjang akan sulit untuk menempel pada DNA target sehingga amplifikasi tidak terjadi. Keberadaan dNTP dan konsentrasi larutan bufer dalam reaksi PCR, dapat mempengaruhi spesifitas amplikon. Reaksi PCR membutuhkan suatu bufer yang mengandung MgCl2 karena aktivitas enzim polimerase dipengaruhi oleh konsentrasi ion Mg2+. Magnesium (Mg) dapat meningkatkan aktivitas enzim secara maksimal pada konsentrasi 2 mM, konsentrasi yang lebih tinggi dapat menghambat aktivitas Taq DNA polimerase (Sambrook & Russell 2001). PCR mempunyai beberapa tahapan reaksi yang memiliki peran berbeda-beda. Reaksi dalam PCR meliputi pembukaan rantai DNA utas ganda, penempelan primer, dan perpanjangan rantai DNA baru oleh DNA polimerase dari arah 5’ ke 3’. Satu siklus dalam PCR terdiri dari tiga tahapan, yaitu denaturasi, annealing (penempelan primer), dan extension seperti yang terdapat pada Gambar 2. Pemisahan untai DNA (denaturasi) dilakukan pada suhu 90-95°C selama 15 detik sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (template) tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase. Selanjutnya proses hibridisasi primer (annealing) yang dilakukan pada suhu 55°C agar terjadi hibridisasi dengan pita DNA selama satu menit. Tahapan yang terakhir yaitu sintesis DNA (extension), pada tahapan ini larutan dipanaskan lagi menjadi 72°C yang merupakan suhu optimum Taq DNA polimerase untuk polimerisasi selama 30 detik. Polimerisasi DNA akan mensintesis pita-pita DNA baru dengan cara memanjangkan rantai primer (Bintang 2010). Ketiga tahapan tersebut dilakukan berulang kali dalam mesin PCR. Pengulangan pada umumnya dilakukan antara 25-30 kali (siklus) bergantung dari jumlah DNA yang diinginkan sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan 8 Gambar 2 Tahapan reaksi PCR (Bintang 2010) dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yuwono 2006). Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi. Sedikitnya diperlukan 25 siklus untuk melipatgandakan satu kopi sekuen DNA target di dalam genom mamalia agar hasilnya dapat dilihat secara langsung, misalnya dengan elektroforesis gel agarosa (Sambrook et al. 1989). Elektroforesis Gel Agarose Elektroforesis merupakan suatu cara untuk memisahkan fraksi-fraksi campuran berdasarkan pergerakan partikel-pertikel koloid yang bermuatan dibawah pengaruh medan listrik. Teknik elektroforesis banyak digunakan untuk analisis asam nukleat, virus, enzim, dan protein. Pada umumnya cara ini digunakan untuk menentukan berat molekul (BM), mendeteksi kemurnian dan kerusakan protein atau asam nukleat menetapkan titik isolistrik, serta memisahkan spesies-spesies yang berbeda secara kualitatif dan kuantitatif (Bintang 2010). Prinsip elektroforesis adalah memisahkan molekul berdasarkan muatannya. DNA yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah kutub positif selama elektroforesis karena adanya gugus fosfat. Fragmen DNA mempunyai muatan negatif yang sama untuk tiap-tiap ukuran panjang, sehingga pergerakan DNA ini akan memiliki kecepatan yang sama untuk mencapai kutub positif (Clark & Christopher 2008). Mobilitas elektroforesis terutama tergantung pada konsentrasi medium, ukuran atau bentuk, dan muatan molekul. Tanda dan besarnya muatan yang dibawa oleh gugusgugus yang terionisasi bervariasi, tergantung pada kekuatan ionik dan pH medium. Oleh karena itu, pemisahan molekul-molekul efektif dengan cara menyeleksi terlebih dahulu konsentrasi medium yang tepat (Bintang 2010). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam elektroforesis diantaranya adalah medium penyangga, sampel, bufer, dan medan listrik. Medium penyangga yang digunakan mempunyai keuntungan masing-masing, konsentrasi gel harus disesuaikan agar tidak terlalu encer dan juga tidak terlalu padat. Sampel harus diperhatikan juga karena ukuran molekul yang lebih besar menyebabkan migrasi menurun dan kekuatan elektroforesis disekitar larutan meningkat, selain itu perbedaan bentuk molekul juga dapat mempengaruhi pergerakan molekul dan kekuatan elektrostatik. Dalam elektroforesis, bufer yang digunakan harus berinteraksi dengan molekul yang dipisahkan, dan pH yang digunakan harus sedemikian rupa sehingga campuran molekul dapat dipisahkan satu sama lain tetapi tidak terdenaturasi. Medan listrik harus diperhatikan karena sumber listrik yang stabil diperlukan untuk menghasilkan aliran listrik dengan voltase yang konstan (Bintang 2010). Elektroforesis gel tidak hanya digunakan sebagai metode analisis tetapi secara rutin digunakan untuk persiapan pemurnian fragmen-fragmen DNA tertentu. Gel merupakan suatu jaringan kompleks molekul polimer. Molekul DNA bermuatan negatif di dalam medan listrik bergerak melalui gel dengan kecepatan yang berbeda tergantung ukurannya. Molekul yang kecil dapat dengan mudah melewati gel sehingga bergerak lebih cepat dibandingkan molekul yang besar. Keuntungan khusus yang diperoleh dari elektroforesis gel adalah pita DNA dapat dideteksi dengan kepekaan yang tinggi (Bintang 2010). Gel yang digunakan adalah agarosa yang berasal dari ekstrak rumput laut yang telah dimurnikan. Agarose digunakan untuk memisahkan fragmen-fragmen DNA dengan ukuran dari rentang ratusan hingga 20.000 kb. Agarose bersifat tidak toksik, kompleks berupa bubuk yang terdiri dari campuran polimer dengan dua unit dasar galaktosa,