GA AMBARA AN SEL DARAH D MERAH M S SAPI PER RAH FH ( (Friesien H Holstein) PADA MASA M PERTUMBU UHAN ADRY YANUS FAR RDIN ARU UT DEPA ARTEME EN KLINIIK REPR RODUKSII DAN PA ATOLOG GI FAK KULTAS KEDOK KTERAN HEWAN N IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 2010 0 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Sel Darah Merah Sapi Perah FH (Friesien Holstein) pada Masa Pertumbuhan adalah karya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2010 Adryanus Fardin Arut NIM B04061045 ABSTRAK ADRYANUS FARDIN ARUT. Gambaran Sel Darah Merah Sapi Perah FH (Friesien Holstein) pada Masa Pertumbuhan. Dibimbing oleh SUS DERTHI WIDHYARI dan ANITA ESFANDIARI. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang gambaran jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan indeks eritrosit pada sapi FH masa pertumbuhan umur satu sampai 12 bulan. Penelitian ini menggunakan 25 ekor anak sapi FH yang dibagi dalam lima kelompok umur yaitu kelompok umur 1, 3, 6, 9, dan 12 bulan (n=5). Sampel darah diambil melalui vena jugularis dan dimasukan ke dalam tabung berisi antikoagulan (EDTA) untuk dianalisis terhadap jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah eritrosit cenderung meningkat seiring dengan pertambahan umur dari umur satu sampai 6 bulan dan mulai stabil diatas umur enam bulan. Kadar hemoglobin relatif stabil pada umur satu sampai 12 bulan. Nilai hematokrit meningkat pada umur tiga bulan dan mulai stabil diatas umur enam bulan. Kata kunci: Friesien Holstein, eritrosit, hemoglobin, hematokrit ABSTRACT ADRYANUS FARDIN ARUT. Red Blood Cell Profile on Growing Friesien Holstein. Under direction of SUS DERTHI WIDHYARI and ANITA ESFANDIARI. The aim of this study was to obtain the profile of erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematocrit values on growing Friesien Holstein. Twenty five Friesien Holstein calves were used in this study and divided into five group (n=5). Blood sample were taken from jugular vein and were examined for erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematokrit values. The result of this study showed that the mean erythrocyte count was low in the first month of life, increased gradually until 6 month. The hematocrit values were highest in the first 3 month and disposed stable over the sixth month to one years of life. Hemoglobin concentration was stable for 1-12 month old. Keywords: Friesian Holstein, erythrocyte, hemoglobin, hematocrit. © Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. GAMBARAN SEL DARAH MERAH SAPI PERAH FH (Friesien Holstein) PADA MASA PERTUMBUHAN ADRYANUS FARDIN ARUT Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Gambaran Sel Darah Merah Sapi Perah FH (Friesien Holstein) pada Masa Pertumbuhan Nama : Adryanus Fardin Arut NIM : B04061045 Disetujui Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, MSi Dr.drh. Anita Esfandiari, MSi Pembimbing I Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi. Judul skripsi ini adalah Gambaran Sel Darah Merah Sapi Perah FH (Friesien Holstein) pada Masa Pertumbuhan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, MSi selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada drh. Kusdiantoro Muhamad, MSi selaku pembimbing akademik dan kepada keluarga tercinta yang terus mendukung dan memotivasi penulis, serta semua pihak yang telah membantu penulis selama penyelesaian skripsi. Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis menyampaikan permohonan maaf, apabila dalam penulisan ini masih terdapat kesalahan. Penulis juga menerima setiap kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Bogor, November 2010 Adryanus Fardin Arut RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ngada pada tanggal 07 September 1987 dari pasangan Bapak Matias Sudin dan Ibu Fale Maria Yasinta. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2000 di SD Katolik Trikora Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2 Bajawa hingga lulus pada tahun 2003. Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 1 Bajawa. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi wakil ketua organisasi mahasiswa daerah NTT IPB dan anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum di Laboratorium Anatomi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………….... vii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………... viii PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………………… Tujuan Penelitian …………………………………………………… Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 1 2 2 TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah FH (Friesien Holstein) …………………………………. Pemeliharaan Sapi pada Masa Pertumbuhan……………………….. Darah ……………………………………………………………….. Eritropoiesis ………………………………………………………… Eritrosit ……………………………………………………………... Hemoglobin ……………………………………………………….... Nilai - Nilai Hematologi Normal …………………………………… 3 4 7 8 10 11 12 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………… Alat dan Bahan Penelitian ………………………………………….. Hewan yang Digunakan ……………………………………………. Parameter yang Diamati ……………………………………………. Metode Penelitian …………………………………………………... 15 15 15 15 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit ……………………………….................................. Konsentrasi Hemoglobin …………………………………………… Nilai Hematokrit ……………………………………………………. Mean Corpuscular Volume (MCV) ………………………………… Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) …………………………… Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) …………. 18 20 21 23 24 24 SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………. 26 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 27 vii DAFTAR TABEL Halaman 1 Gambaran nilai eritrosit normal sapi dewasa ………………….............. 12 2 Pengaruh umur terhadap hemogram sapi ………………….................... 14 3 Gambaran eritrosit sapi perah FH pada umur 1-12 bulan ……............... 17 4 Indeks eritrosit sapi FH pada umur 1-12 bulan ....................................... 22 viii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Anak sapi Friesien Holstein .................................................................... 3 2 Skema pembentukan eritrosit .................................................................. 9 3 Lapisan darah pada mikrokapiler ............................................................ 13 4 Jumlah eritrosit sapi FH pada kelompok umur 1 - 12 bulan ................... 19 5 Konsentrasi hemoglobin sapi FH pada kelompok umur 1 - 12 bulan …. 20 6 Nilai hematokrit sapi FH pada kelompok umur 1 - 12 bulan ………..... 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang penting sebagai sumber protein hewani. Produk utama sapi adalah daging, susu dan kulit. Tingkat kebutuhan daging dan susu di Indonesia sangat tinggi sedangkan tingkat konsumsi masih rendah. Upaya peningkatan jumlah dan produksi ternak perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Peningkatan jumlah ternak sapi dapat dilakukan melalui suatu usaha pembibitan. Usaha pembibitan sapi sangat tergantung pada keberhasilan manajemen pemeliharaan pedet (Sugeng 1998). Pemeliharaan pedet merupakan pekerjaan penting, karena pedet merupakan gambaran masa depan usaha peternakan sapi. Pedet dibesarkan untuk menggantikan kelompok induk sapi, sehingga diperlukan perawatan dan perhatian khusus pada tahap pembesarannya. Pemeliharaan pedet pada masa prasapih merupakan tahapan yang kritis, khususnya beberapa hari setelah lahir karena pedet belum bisa menghasilkan antibodi (imunoglobulin) dan sistem pencernaannya belum berfungsi secara sempurna. Perubahan pola pakan pada masa prasapih dan lepas sapih cenderung menyebabkan stres bahkan kematian. Pedet lebih rentan terserang penyakit apabila tidak mendapatkan perhatian yang cukup pada masa prasapih (Anonimus 2009) Penyakit dan kematian pada pedet merupakan penyebab utama dari kehilangan nilai ekonomi dalam produksi peternakan. Penyakit-penyakit yang menyerang sapi, sebagian besar menimbulkan perubahan pada gambaran darah sapi. Hal ini karena darah mempunyai peranan yang sangat penting dan kompleks dalam sistem sirkulasi, khususnya dalam sistem pertahanan tubuh terhadap agen penyakit (Martini 1992). Oleh karena itu, pemeriksaan darah dalam menentukan dan menegakkan diagnosa sering dilakukan dan sangat diperlukan oleh dokter hewan. Menurut Mohri et al. (2007), dalam menginterpretasi data hasil pemeriksaan laboratorium dibutuhkan pengetahuan dasar mengenai gambaran fisiologis darah sapi dan parameter acuan setiap uji laboratorium. Parameter acuan 2 yang digunakan harus bersumber dari nilai hasil pemeriksaan darah hewan normal sejenis pada kondisi lingkungan yang sama. Indonesia yang beriklim tropis, hingga saat ini belum banyak laporan mengenai gambaran darah sapi perah sehat pada umur satu sampai dua belas bulan. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan data gambaran darah sapi perah pada umur satu sampai dua belas bulan yang bisa dijadikan sebagai acuan bagi dokter hewan di Indonesia dalam membantu menegakkan diagnosa. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang gambaran jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan indeks eritrosit pada masa pertumbuhan sapi FH umur satu sampai dua belas bulan. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi awal tentang gambaran darah sapi FH umur satu sampai dua belas bulan dan dapat digunakan sebagai nilai referensi normal dalam membantu menegakkan diagnosa suatu penyakit. TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah FH (Friesien Holstein) Sapi merupakan anggota famili Bovidae dan subfamili Bovinae. Sapi didomestikasi sekitar 6500 SM di perbatasan Eropa-Asia. Sapi yang didomestikasi dan menjadi hewan ternak ini merupakan sapi modern (Bos taurus dan Bos indicus), keturunan dari sapi liar yang dikenal sebagai Auerochs atau Urochse (bahasa Jerman berarti "sapi kuno", nama ilmiah: Bos primigenius), yang sudah punah pada abad ke-17 (Anonimus 2007). Menurut Anggraeni (2010), klasifikasi ilmiah sapi berdasarkan taksonomi Linneaus adalah sebagai berikut. Kingdom Animalia Filum Chordata Kelas Mammalia Ordo Artiodactyla Famili Bovidae Subfamili Bovinae Genus Bos Spesies Bos taurus Gambar 1 Anak Sapi Friesien Holstein Sapi diternakkan untuk diambil susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Berdasarkan tujuan pemeliharaannya, bangsa sapi dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe sapi potong dan tipe sapi perah. Jenis sapi potong yang telah diternakkan dan berkembang di Indonesia adalah sapi Brahman, sapi Limousin, sapi Simental, sapi Ongole, sapi Peranakan Ongole dan sapi Bali (Nugroho 2008). Jenis sapi perah unggul dan paling banyak dipelihara di dunia adalah sapi Shorthorn (Inggris), Friesien Holstein (Belanda), Yersey (Selat Channel antara 4 Inggris dan Perancis), Brown Swiss (Switzerland), Red Danish (Denmark) dan Droughtmaster (Australia). Jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah sapi Friesien Holstein (Anonimus 2007). Sapi FH, terkenal dengan produksi susunya yang tinggi (± 6350 kg/th), dengan persentase lemak susu berkisar antara 3-7%. Sapi FH yang berasal dari bibit unggul mampu berproduksi hingga mencapai 8.125 liter/tahun (Anonimus 2007). Menurut Nurhayati (2007), sapi perah mampu memproduksi susu berkisar antara 20 - 30 liter/hari. Produksi susu sapi di Indonesia masih kurang dari 20 liter/hari. Produksi susu sapi di Lembang dapat mencapai 17,25 liter/hari dengan total produksi pertahun sebesar 4.789 liter. Produksi maksimal dapat dicapai apabila sapi berada pada lingkungan yang mendukung. Penerapan manajemen yang baik dan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak akan meningkatkan produksi susu (Atabany et al. 2008). Sapi FH dapat dikenali dengan cepat dari warnanya yaitu belang putih dan hitam atau merah. Dahi sapi terdapat warna putih berbentuk segitiga. Memiliki tanduk berukuran kecil, menjurus ke depan dengan membentuk sudut 45º terhadap garis wajah. Berat pedet yang baru lahir dapat mencapai 45 kg. Berat sapi dewasa dapat mencapai 750 kg dengan tinggi 58 inchi. Distribusi sapi FH di Indonesia sebagian besar berada di dataran tinggi (±700 m di atas permukaan laut) dengan temperatur berkisar antara 16-23 0C dan kelembaban berkisar antara 65-75% (Nugroho 2008). Pemeliharaan Sapi pada Masa Pertumbuhan Pemeliharaan sapi pada masa pertumbuhan merupakan pekerjaan penting, karena sapi muda (pedet) adalah gambaran masa depan usaha peternakan sapi perah. Pedet dibesarkan untuk mengganti kelompok induk sapi perah. Pedet juga merupakan sumber pendapatan yang berharga, sehingga diperlukan perawatan dan perhatian khusus pada tahap pembesarannya. Pemeliharaan pedet baik jantan maupun betina pada umumnya hampir sama, tetapi yang membedakan adalah ketika pedet itu telah disapih. Pedet betina pada umumnya ditujukan untuk 5 penggantian induk (replacement stock). Pedet jantan digunakan sebagai bakal pemacek dan bakalan ternak potong (Anonimus 2009). Manajemen pemeliharaan meliputi pemeliharaan pada masa prasapih dan lepas sapih. Target yang harus dicapai dari pemeliharaan pedet baru lahir sampai dengan masa sapih adalah mengoptimalkan pertumbuhan. Menurut Sugeng (1998), pertumbuhan adalah pertambahan berat badan atau ukuran tubuh sesuai dengan umur. Manajemen pemeliharaan pedet meliputi manajemen pakan, manajemen kandang, dan kesehatan pedet (Heinrichs & Jones 2003). Sapi pedet sebaiknya tidak disapih sampai rumen mulai berfungsi dan mampu mendukung pemenuhan kebutuhan nutrisi pedet. Sistem digesti pedet pada saat lahir belum berkembang. Sejak lahir hingga umur dua minggu, pedet merupakan hewan monogastrik atau hewan berlambung sederhana. Lambung pedet memiliki empat bagian yang mirip dengan sapi dewasa, namun rumen, retikulum dan omasum masih belum aktif dan belum berkembang ( Heinrichs & Jones 2003). Kesehatan, pertumbuhan dan produktivitas pedet sangat tergantung pada nutrisi dan manajemen pemeliharaan. Perbedaan sistem digesti antara pedet dan sapi dewasa menghasilkan kebutuhan nutrisi yang unik untuk pedet pada masa prasapih. Pedet yang baru lahir sampai masa prasapih membutuhkan pakan cair dan pakan kering. Pakan cair dapat berupa kolostrum dan susu atau susu pengganti ( Heinrichs & Jones 2003). Sumber pakan utama pedet yang baru lahir adalah kolostrum. Kolostrum merupakan produk yang disekresikan pertama kali oleh kelenjar ambing sapi setelah melahirkan. Kolostrum menyediakan nutrisi penting untuk meningkatkan metabolisme dan menstimulasi aktivitas pencernaan. Kolostrum juga merupakan sumber imunitas pasif yang sangat penting untuk memelihara kesehatan pedet (Heinrichs & Jones 2003). Pedet sebaiknya mendapatkan kolostrum sekitar 8-10% bobot badan dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dua liter kolostrum harus diberikan kepada pedet dalam waktu 30 menit untuk menjamin terpenuhinya 6 transfer pasif imunoglobulin dari induk ke anak. Pedet sebaiknya diberi kolostrum 3-4 kali dalam waktu 24 jam pertama setelah lahir (Davis & Drackley 1998). Setelah masa pemberian kolostrum, ada beberapa pilihan pakan cair yang dapat diberikan kepada pedet. Pakan cair yang sering digunakan peternak antara lain susu atau susu pengganti. Pedet dapat menerima 2,5 liter susu per hari. Susu dihangatkan terlebih dahulu oleh sebagian besar peternak sebelum diberikan kepada pedet. Susu dihangatkan dengan menggunakan water bath, menambahkan air hangat ke dalam susu, dan menggunakan immersion heater (Petterson et al. 2001). Menurut Heinrichs & Jones (2003), pemberian pakan kering lebih awal sangat bermanfaat, karena dapat merangsang perkembangan rumen. Petterson et al. (2001) melaporkan bahwa peternak mulai mengenalkan hay pertama kali pada umur 5 hari. Konsentrat mulai diberikan pada umur 14 hari sedangkan silage diberikan pada umur 60 hari. Air diberikan pertama kali pada umur 14 hari (7-56 hari). Pedet sebaiknya mengkonsumsi 1,5-2,0 pon pakan starter perhari selama tiga hari sebelum disapih. Laju pertumbuhan pedet sangat tergantung pada tingkat konsumsi pakan. Unpalatable dan rendahnya kualitas pakan starter akan menghambat masukan pakan. Hal ini akan menghambat perkembangan rumen dan menurunkan laju pertumbuhan (Heinrichs & Jones 2003). Umur rata-rata pedet disapih di Amerika dilaporkan berkisar antara 7-9 minggu. Ditinjau dari perkembangan rumen, secara fisiologis pedet siap dan dapat disapih lebih awal yakni pada umur tiga minggu. Waktu penyapihan dapat ditentukan berdasarkan umur, jumlah konsentrat yang dikonsumsi pedet (rata-rata 1 kg), bobot badan pedet (±70 kg) dan kombinasi dari ketiga alternatif ini. Prosedur penyapihan dapat dilakukan dengan cara mengencerkan susu, dengan cara menambahkan air secara bertahap selama tujuh hari atau menghentikan pemberian susu secara langsung. Penyapihan dapat juga dilakukan dengan cara mengurangi jumlah pemberian susu selama lima hari sebelum menghentikan pemberian susu secara total (Petterson et al. 2001). 7 Darah Tubuh vertebrata tersusun dari berbagai komponen. Cairan tubuh merupakan komponen terbesar tubuh. Total cairan tubuh hewan vertebrata sekitar 65% dari total bobot badan hewan. Cairan tubuh didistribusikan ke cairan intraselular sekitar dua pertiga dari total cairan tubuh dan cairan ektraselular. Cairan ekstraselular terdiri dari cairan interstisial dan intravaskular yang terdiri dari plasma darah (Guyton & Hall 1997). Darah merupakan cairan ekstraseluler yang mengalir dalam vaskular (Ganong 1999). Darah berfungsi sebagai alat transportasi yang membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke jaringan, membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru. Darah juga membawa sisa metabolisme dari berbagai jaringan menuju ke ginjal untuk diekskresikan, dan hormon dari kelenjar endokrin ke organ-organ lain di dalam tubuh. Darah ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan air dan sistem buffer. Darah mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit (Frandson 1986) Darah tersusun atas sel darah (eritrosit, leukosit dan platelet) yang bersirkulasi dalam cairan yang disebut plasma (Meyer & Harvey 2004). Persentase sel darah adalah sekitar 40% (30-55%) dari total volume darah, tergantung dari spesies (Samuelson 2007). Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen sel darah dengan jumlah terbanyak (5,5-8,5 x 106 per mikroliter darah) pada mamalia. Sel darah terbanyak kedua adalah platelet atau trombosit (2-5 x 105 /mikroliter). Jumlah leukosit atau sel darah putih lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit dan trombosit. Leukosit digolongkan kedalam dua tipe sel, yaitu leukosit granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan leukosit agranulosit, yaitu monosit dan limfosit (Frandson 1986). Plasma mengandung 91-92% air dan 8-9% padatan (Dellman & Eurel 1998). Padatan terdiri dari protein sekitar 7%, senyawa organik non protein 1% dan garam inorganik 0,9% (Clarenburg 1992). Plasma diperoleh dengan cara mengoleksi darah yang diberi antikoagulan dan disentrifugasi untuk memisahkan sel darah. Darah yang dikoleksi tanpa diberi antikoagulan dan dibiarkan membeku 8 akan menghasilkan cairan disebut serum. Konsentrasi protein dalam serum biasanya lebih rendah dibandingkan dengan plasma, karena tidak adanya fibrinogen dalam serum akibat terpakai sejak proses pembekuan (Meyer & Harvey 2004). Jumlah total volume darah berkisar antara 6-7% dari total berat badan pada hewan ruminansia. Total volume darah hewan muda pada masa pertumbuhan sering lebih dari 10% bobot badan (Meyer & Harvey 2004). Eritropoesis Proses pembentukan dan perkembangan sel-sel darah disebut dengan hematopoiesis atau haemopoiesis (Dorlan 1995). Eritropoiesis merupakan suatu proses pembentukan eritrosit. Massa total dari sel eritropoietik dan eritrosit dewasa yang telah bersirkulasi disebut sebagai eritron (Dellman & Eurel 1998). Faktor utama yang dapat merangsang produksi sel darah merah adalah hormon glikoprotein yaitu eritropoeitin atau disebut juga EPO (Guyton & Hall 1997). Eritropoietin terbentuk akibat adanya penurunan oksigen yang merangsang ginjal melepas enzim eritrogenin yang mengaktifkan eritropoietinogen, suatu prekursor eritropoietin yang dihasilkan oleh hati dalam aliran darah sehingga menghasilkan eritropoietin (Dellman & Eurel 1998). Menurut Guyton & Hall (1997), eritropoietin berperan merangsang produksi proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang dan mempercepat sel- sel proeritoblas melalui berbagai tahap eritroblastik sehingga meningkatkan kecepatan produksi eritrosit. Eritropoiesis pada mamalia dimulai dengan proliferasi dan diikuti dengan diferensiasi dari multipotent myeloid stem cells menjadi BFU-E ( Burs-forming unit) dan turunannya, yaitu CFU-E (colony forming unit-erithroid). CFU-E membentuk rubriblas (proeritroblas). Sel ini di dalam sumsum tulang terorganisir ke dalam unit anatomi kecil yang disebut Erythroblastic Island. Pulau ini terbentuk dekat dengan sinus vaskula, yang terdiri dari Central Macrophage yang dikelilingi oleh satu atau dua deretan sel erythroid dalam berbagai tahapan pematangan. Sel di deretan luar pada umumnya lebih dewasa dibandingkan dengan sel di deretan dalam (Dellman & Eurel 1998) 9 Proses maturasi rubriblas menjadi eritrosit dewasa melalui beberapa tahapan. Sel rubriblas kehilangan nukleoli membentuk prorubrisit. Pada tahapan ini mulai terjadi kondensasi kromatin nukleus. Sel prorubrisit bermitosis beberapa kali dan bermaturasi secara progresif membentuk rubrisit. Pada tahapan ini terbentuk hemoglobin dalam konsentrasi rendah. Rubrisit selanjutnya bermaturasi membentuk metarubrisit, yaitu eritrosit dengan nukleus terkecil. Metarubrisit memiliki nukleus piknotik dan sitoplasma yang sedikit polikromatik hingga normokromatik, tergantung pada konsentrasi hemoglobin. Pada saat nukleus memadat dan semakin kecil, metarubrisit berkembang menjadi polikromatik eritrosit (retikulosit), yang kemudian matang menjadi eritrosit dewasa (Dellman & Eurel 1998). Gambar 2 Skema Pembentukan Eritrosit (Jeffery 2004). Perkembangan rubriblas menjadi eritrosit dewasa biasanya membutuhkan waktu 5-7 hari. Waktu pematangan eritrosit bisa menjadi lebih pendek berkisar antara 3-5 sebagai respon terhadap adanya kerusakan eritrosit. Pembentukan 10 retikulosit baru di dalam sumsum tulang memerlukan waktu 1 - 2 hari sebelum dilepas kedalam sistem sirkulasi. Pelepasan retikulosit diikuti dengan pematangan lebih lanjut selama 1 - 2 hari di dalam limpa sebelum akhirnya menjadi eritrosit dewasa. Masa hidup eritrosit bervariasi diantara spesies hewan. Eritrosit sapi memiliki masa hidup sekitar 160 hari (Dellman & Eurel 1998). Eritrosit ( Sel Darah Merah) Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin. Morfologi eritrosit dewasa pada mamalia berbentuk bulat, membentuk lempengan bikonkaf, tidak memiliki nukleus dan berwarna merah karena hadirnya hemoglobin (Colville & Bassert 2002). Menurut Samuelson (2007), bentuk bikonkaf pada eritrosit berguna untuk memperluas area permukaan membran untuk pertukaran gas. Derajat kecekungan sangat bervariasi diantara hewan domestik. Tipe eritrosit bikonkaf terdapat pada sapi, domba dan anjing, sedangkan pada kuda dan kucing memiliki eritrosit dengan kecekungan yang dangkal. Eritrosit pada kambing dan babi sebagian besar terlihat lebih datar. Eritrosit dewasa memiliki area pucat di tengah yang disebut dengan central palor. Central palor ini dapat terlihat jelas pada eritrosit anjing. Central palor terlihat kurang jelas pada kucing dan kuda, sedangkan pada sapi, domba, kambing dan babi central palor tidak terlihat (Dellman & Eurel 1998). Ukuran dan jumlah eritrosit bervariasi diantara spesies hewan. Menurut Samuelson (2007), diameter eritrosit berkisar antara 4-9 µm. Anjing memiliki ukuran eritrosit terbesar (7.0 µm) dibandingkan dengan ukuran eritrosit semua hewan domestik, sedangkan kambing memiliki eritrosit dengan ukuran terkecil (Dellman & Eurel 1998). Eritrosit mamalia merupakan sel yang spesial. Eritrosit memiliki hemoglobin yang menyumbangkan sepertiga dari berat sel eritrosit, dan pemberi warna merah serta membawa gas pada eritrosit. Eritrosit dewasa tidak memiliki inti sel dan semua komplemen organel yang ditemukan pada kebanyakan sel. Oleh karena itu, eritrosit membutuhkan glukosa sebagai sumber nutrisi untuk mengatur pompa ion di dalam membran plasma, sitoskeleton dan hemoglobin fungsional (Clarenburg 1992). 11 Hemoglobin Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen merah yang membawa dan menukar oksigen dan karbondioksida dalam eritrosit (Samuelson 2007). Menurut Colville & Bassert (2002), hemoglobin terbentuk dari gabungan dua komponen yaitu heme dan globin. Heme merupakan pigmen yang diproduksi oleh mitokondria, sedangkan globin merupakan protein yang diproduksi oleh ribosom Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblas dan kemudian dilanjutkan dalam retikulosit. Tahapan dasar kimiawi pembentukan hemoglobin diawali ketika suksinil-Koa yang dibentuk dalam siklus Krebs berikatan dengan glisin membentuk molekul pirol. Kemudian, empat pirol bergabung membentuk protoporfirin IX, yang kemudian bergabung dengan besi membentuk molekul heme. Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang disebut globin membentuk suatu sub unit hemoglobin yang disebut rantai hemoglobin. Tiap rantai ini mempunyai berat molekul kira-kira 16000. Empat rantai hemoglobin ini selanjutnya akan berikatan satu sama lain secara longgar untuk membentuk molekul hemoglobin yang lengkap (Guyton & Hall 1997). Struktur hemoglobin yang unik cocok untuk fungsi rangkapnya sebagai transpor oksigen dan karbondioksida di dalam darah. Pertukaran kedua gas ini terjadi di jaringan dan paru-paru. Hemoglobin mengikat oksigen di paru-paru dan dibawa ke jaringan (Clarenburg 1992). Menurut Guyton & Hall (1997), hemoglobin mampu mengikat oksigen secara longgar dan reversibel. Hal ini karena setiap molekul hemoglobin memiliki empat molekul heme yang mengandung atom besi. Setiap molekul heme dapat berikatan dengan satu molekul oksigen. Satu molekul hemoglobin dapat mengangkut 4 molekul oksigen. Karbondioksida (CO2) diproduksi di jaringan sebagai hasil metabolisme. CO2 dikonversi di dalam eritrosit menjadi H2CO3 yang berdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. H+ berikatan dengan hemoglobin dan terbawa bersama aliran darah. Hemoglobin akan melepaskan H+ di paru-paru. Ion H+ akan berkombinasi dengan HCO3- untuk membentuk H2CO3. H2CO3 kemudian terpisah menjadi H2O dan CO2 sehingga dapat dikeluarkan melalui ekspirasi (Clarenburg 1992). 12 Konsentrasi hemoglobin berbeda-beda pada berbagai tingkat pertumbuhan. Konsentrasi hemoglobin darah normal pada sapi dewasa berkisar antara 8 - 15 g/dl (Radosit et al. 2000) Nilai-Nilai Hematologi Normal Volume eritrosit dalam sirkulasi darah normal lebih sedikit dibandingkan dengan volume plasma. Gambaran eritrosit di dalam darah dapat diukur dengan menghitung jumlah eritrosit permikroliter, konsentrasi hemoglobin (gram per desiliter), dan nilai hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) sebagai persentase volume darah. Karena semua hemoglobin terdapat dalam eritrosit, maka jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan konsentrasi hemoglobin bersifat paralel satu sama lain ketika terjadi perubahan. Jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan konsentrasi hemoglobin berhubungan dengan berat badan, umur dan waktu pengamatan (Meyer & Harvey 2004). Menurut Jain (1993), jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai PCV sangat tinggi pada saat lahir dan menurun pada umur diatas 6 bulan hingga umur 1 atau 2 tahun Tabel 1 Gambaran nilai eritrosit normal sapi dewasa Eritrosit (x 10⁶/µl) Hemoglobin (g/dl) PCV (%) MCV (fl) MCH (pg) MCHC (g/dl) (Sumber : Jain 1993) Kisaran 5.0-10.0 8.0-15.0 24.0-46.0 40.0-60.0 11.0-17.0 30.0-36.0 Rata-rata 7.0 11.0 35.0 52.0 14.0 32.7 Hematokrit atau PCV (Packed cell Volume) adalah suatu ukuran yang mewakili volume eritrosit di dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam bentuk persentase (Frandson 1986). Dalam pengukuran nilai hematokrit, darah dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu eritrosit di bagian dasar, leukosit dan trombosit berupa lapisan berwarna putih (buffy coat) serta plasma darah di lapisan teratas (Schalm 1975). Menurut Jackson & Cockcroft (2002), nilai hematokrit rata-rata untuk sapi perah dilaporkan berkisar antara 24 – 46 %. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit. 13 Gambar 3 Lapisan darah pada mikrokapiler Nilai hematologi yang banyak digunakan untuk memberi keterangan mengenai jumlah dan ukuran rata-rata eritrosit dan hemoglobin adalah Mean Corpusculur Values (MCV), Mean Corpusculur Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpusculur hemoglobin Concentration (MCHC). Nilai MCV menunjukkan volume rata-rata dari sebuah eritrosit dalam femtoliter (10-15 liter). Nilai MCV setiap spesies sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh umur. Nilai MCH menunjukkan banyaknya hemoglobin pereritrosit yang diukur dalam pikogram. Nilai MCH selalu berkorelasi secara langsung dengan nilai MCV. Nilai MCHC menggambarkan konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam eritrosit dan diekspresikan dalam g/dl eritrosit (Meyer & Harvey 2004 ). Data yang ditampilkan pada Tabel. 2 menunjukkan nilai hematologi pada fetus sapi dan pada beberapa kelompok umur. Ukuran eritrosit fetus (MCV) menurun selama masa kebuntingan, dan mencapai nilai 46,2 ± 4,8 fl pada saat lahir. Ukuran eritrosit terus mengecil selama 3-4 bulan pada pedet yang baru lahir, mencapai nilai 37,8 ± 3,2 fl. Ukuran eritrosit kembali meningkat secara perlahanlahan setelah umur empat bulan seiring dengan penurunan jumlah eritrosit secara bertahap. Nilai PCV biasanya turun menjadi 34 - 38% dan MCHC tetap pada 32 (g/dl), tetapi MCH meningkat dan menurun sesuai dengan perubahan ukuran eritrosit (Jain 1993). 14 Tabel 2 Pengaruh umur terhadap hemogram sapi Fetus 7-8½ bln Pedet 1 Hari Pedet 3-16 minggu Pedet 1-2 tahun Sapi dewasa Hemoglobin (g/dl) PCV (%) MCV (fl) MCH (pg) 5.86 8.5 31.4 53.9 14.7 7 ± 0.63 ± 0.05 ± 1.4 ± 5.1 ± 1.5 37 7.72 ± 1.73 10.2 ± 1.8 34.5 ± 7.7 46.2 ± 4.8 13.3 ± 1.3 15 9.5 ± 1.0 11.2 ± 1.5 35.9 ± 3.8 37.8 ± 3.2 11.8 ±1.6 35 8.36 ±1.05 11.4 ± 1.7 35.9 ± 4.3 43.2 ± 7.1 13.6 ± 1.7 42 6.36 ±0.8 10.9 ±1.7 33.6 ±5.2 52.8 ±4.4 17.0 ±1.6 MCHC (g/dl) 27.3 ± 0.8 28.7 ± 1.5 31.2 ± 2.8 32.3 ± 1.7 32.5 ±1.2 Jumlah hewan Eritrosit(x 10⁶/µl) (Sumber : Jain 1993) Pedet yang hanya diberi milk atau milk replacer diet menunjukkan penurunan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai PCV yang cepat. Pedet dan sapi dewasa yang diberi low protein diet memiliki jumlah eritrosit dan nilai PCV yang rendah seiring dengan rendahnya kadar albumin serum. Beberapa pedet yang baru lahir bisa mengalami anemia (PCV< 25%) dan memiliki kadar zat besi yang rendah (Jain 1993) METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2009 sampai Juli 2010. Pengambilan sampel darah sapi dilakukan di peternakan PT Rejo Sari Bumi, Unit Tapos, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa barat. Analisis sampel darah sapi dilakukan di laboratorium Patologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disposable syringe, Vacutainer dengan antikoagulan EDTA ( Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid), mikroskop, Hemositometer set, tabung mikrohematokrit, sentrifusi, Micro- hematokrit Reader, dan tabung Sahli (Hemoglobinometer). Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel darah sapi, cairan pengencer (Hayem), aquades, alkohol 70%, larutan HCl 0,1 N, kertas tisu, kertas saring dan kapas. Hewan yang Digunakan Hewan coba yang digunakan adalah 25 ekor anak sapi betina yang sehat secara klinis. Hewan dibagi ke dalam lima kelompok umur yaitu kelompok umur 1, 3, 6, 9 dan 12 bulan, dengan masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor. Hewan diberi pakan sesuai kebutuhan dan air diberikan secara ad libitum. Parameter yang diamati Parameter yang diamati antara lain jumlah eritrosit, nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin darah dan indeks eritrosit yang meliputi Mean Corpusculur Volume (MCV), Mean Corpusculur Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpusculur Hemoglobin Concentration (MCHC). 16 Metode Penelitian Darah diambil melalui vena jugularis menggunakan disposable syringe, lalu dimasukan ke dalam tabung vakum yang berisi EDTA sebagai antikoagulan. Tabung yang berisi sampel darah disimpan dalam termos berisi es dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan penghitungan terhadap jumlah eritrosit, penentuan nilai hematokrit dan pengukuran kadar hemoglobin. Penghitungan Eritrosit Darah dihisap menggunakan pipet pengencer sampai batas tera 0.5, lalu ujung pipet dibersihkan dari noda-noda darah yang menempel menggunakan kertas tissue. Ujung pipet dicelupkan ke dalam cairan pengencer Hayem, lalu dihisap sampai batas tera 101. Pipet diangkat, ujung pipet ditutup dengan jempol dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan dihomogenkan dengan menggunakan mesin getar atau mesin homogenisasi selama satu menit. Setelah homogen cairan dibuang kira-kira 3 - 5 tetes, kemudian dituangkan ke dalam kamar hitung dengan cara menyentuhkan ujung pipet secara hati-hati pada tepi kaca penutup, sehingga permukaan kamar hitung terisi merata. Kamar hitung yang telah terisi didiamkan selama beberapa menit agar eritrosit mengendap sempurna. Penghitungan dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. Sel-sel dalam lima kotak yang terletak di daerah tengah dihitung, dengan ketentuan sebagai berikut: sel-sel yang menyentuh garis atas dan kiri kotak termasuk dalam hitungan, sedangkan sel-sel yang menyentuh garis batas kedua sisi lainnya (kanan dan bawah) tidak termasuk hitungan. Hasil penghitungan akhir dikalikan 10.000 per mm3 (Schalm 1975). Konsentrasi Hemoglobin Penentuan konsentrasi hemoglobin dilakukan menggunakan metode Sahli. Tabung Sahli diisi dengan HCl 0,1 N sampai garis bawah. Kemudian darah dihisap dengan pipet hemoglobin sampai batas 20 mm3 lalu dimasukkan ke dalam tabung Sahli dengan meniup secara perlahan-lahan. Dilakukan pencampuran darah dengan cara menghisap dan meniupkan secara perlahan-lahan. Kemudian didiamkan selama 3 menit sampai terbentuk asam hematin yang ditandai oleh 17 perubahan warna menjadi coklat atau coklat kehitaman. Kemudian ditambahkan aquades setetes demi setetes sambil diaduk sampai warnanya sama dengan warna standar. Konsentrasi hemoglobin dibaca dengan cara melihat skala dalam ‘gr %’ yang berarti banyaknya haemoglobin dalam gram per 100 ml darah (Schalm 1975). Nilai Hematokrit Penentuan nilai hematokrit dilakukan dengan metode mikrohematokrit. Darah dihisap menggunakan tabung kapiler mikrohematokrit dengan cara menyentuhkan ujung tabung pada sampel darah. Posisi tabung hampir mendatar dan bagian ujung tabung dikosongkan kira-kira 1 cm. Ujung tabung ini kemudian disumbat dengan Crestaseal, lalu disentrifus selama 4-5 menit dengan kecepatan 15.000 rpm. Hasil dibaca menggunakan alat Mikrohaematokrit Reader, dan dinyatakan dalam persen (%). Indeks Eritrosit Indeks Eritrosit yang dihitung pada penelitian ini meliputi Mean Corpusculur Volume (MCV), Mean Corpusculur Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpusculur Hemoglobin Concentration (MCHC). Cara memperoleh nilai MCV, MCH, dan MCHC adalah dengan menggunakan rumus : MCV (fl) = MCH (pg) = MCHC (g/dl) = Nilai Hematokrit x 10 Jumlah eritrosit ൫106 /µl൯ Hb x 10 Jumlah eritrosit ൫106 /µl൯ HB x 100 Nilai Hematokrit Analisis Data Analisis data jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan indeks eritrosit dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran Eritrosit Sapi Frisien Holstein pada Umur 1- 12 Bulan. Parameter Jumlah Eritrosit (x10⁶/µl) Hemoglobin (g/dl) Hematokrit (%) Keterangan : 1 bulan 3 bulan Umur sapi 6 bulan 5,77 ± 2,42 5,90 ± 2,36 6,91 ± 1,16 6,44 ± 0,87 6,78 ± 1,06 13,37 ± 1,25 13,32 ± 0,71 12,82 ± 1,71 12,33 ± 1,03 12,47 ± 3,07 30,58 ± 6,22 34,25 ± 6,97 29,92 ± 3,90 Data disajikan : Rataan ± Standar deviasi 29,83 ± 0,29 29,67 ± 2,89 9 bulan 12 bulan Jumlah Sel Darah Merah ( Eritrosit) Profil jumlah eritrosit pada kelompok umur satu sampai dua belas bulan, dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil penelitian ini memperlihatkan rataan jumlah eritrosit pada umur satu bulan adalah sebesar 5,77 juta sel/µl. Jumlah ini mengalami peningkatan sampai dengan umur enam bulan menjadi 6,91 juta sel/ µl. Persentase peningkatan jumlah eritrosit dari umur satu sampai umur enam bulan sebesar 19,75 %. Jumlah eritrosit terlihat stabil pada umur enam sampai dua belas bulan. Jumlah eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini masih berada dalam kisaran normal. Jain (1993) melaporkan jumlah eritrosit sapi dewasa berkisar antara 5,0-10,0 juta sel /µl. Menurut Lumsden et al. (1980), jumlah eritrosit sapi pada kelompok umur dua minggu sampai enam bulan berkisar antara 6,5 – 11,5 juta sel/µl, sedangkan jumlah eritrosit sapi pada kelompok umur antara enam bulan sampai dua tahun berkisar antara 6,1– 10,6 juta sel/ µl. 19 Jumlah eritrosit (juta/mm3) 7 6 5 1 3 6 9 12 Umur (Bulan) Gambar 3 Jumlah eritrosit sapi FH pada kelompok umur 1-12 bulan Jumlah eritrosit yang rendah pada awal kelahiran dimungkinkan karena organ pembentuk eritrosit belum bekerja secara sempurna, namun seiring dengan meningkatnya umur, organ pembentuk eritrosit mulai aktif bekerja sehingga terjadi peningkatan jumlah eritrosit. Hal ini didukung Brown & Dellmann (1989), yang menyatakan bahwa eritrosit diproduksi di sumsum tulang setelah lahir dan terus meningkat seiring dengan pertambahan umur hingga mencapai nilai yang stabil. Menurut Jain (1993), jumlah eritrosit mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan umur dan mencapai nilai yang stabil pada umur satu tahun. Pernyataan ini didukung oleh Mohri et al. (2007), yang melaporkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah eritrosit seiring dengan pertambahan umur sapi. Hal ini terlihat pula pada Gambar 1 yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah eritrosit seiring dengan pertambahan umur dari umur satu sampai enam bulan. Menurut Banks (1986), jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh breed, aktivitas fisik dan umur. Jumlah eritrosit dipengaruhi juga oleh nutrisi dalam pakan seperti zat besi, Cu, vitamin dan asam amino (Frandson 1992). Menurut Meyer & Harvey (2004), beberapa mineral dan vitamin diperlukan dalam eritropoiesis: “Zat besi diperlukan untuk sintesis heme. Copper dalam bentuk ceruloplasmin, sangat penting dalam 20 pelepasan zat besi dari jaringan ke plasma. Vitamin B6 (pyridoxine) dibutuhkan sebagai kofaktor pada tahap pertama sintesis heme enzimatik. Cobalt sangat penting dalam sintesis vitamin B12 oleh ruminansia”. Guyton & Hall (1992) menambahkan, defisiensi vitamin B12 dan asam folat dapat menyebabkan kegagalan pematangan dalam eritropoiesis, sehingga mengakibatkan jumlah eritrosit dalam darah rendah. Konsentrasi Hemoglobin Hemoglobin merupakan protein di dalam eritrosit yang terdiri dari dua komponen yaitu heme dan globin (Colville & Bassert 2002). Rataan konsentrasi hemoglobin darah sapi pada umur satu sampai 12 bulan dapat dilihat pada Tabel 3. Kadar hemoglobin darah sapi FH selama pengamatan ini relatif stabil dan berada dalam kisaran normal. Konsentrasi hemoglobin darah sapi dewasa berkisar antara 8-15 g/dl (Jain 1993). Menurut Lumsden et al. (1980), konsentrasi hemoglobin sapi pada umur dua minggu sampai enam bulan berkisar antara 8,5– 14,1 g/dl, sedangkan konsentrasi hemoglobin sapi pada umur 6 - 12 bulan berkisar antara 9,5 - 15,4 g/dl. 16 Hemoglobin (g/dl) 15 14 13 12 11 10 9 1 3 6 9 12 Umur (Bulan) Gambar 4 Konsentrasi hemoglobin sapi FH pada kelompok umur 1-12 bulan Menurut Colville & Bassert (2002), hemoglobin dikelompokkan menjadi tiga tipe hemoglobin yaitu Embryonic hemoglobin (HbE), Fetal hemoglobin 21 (HbF) dan Adult hemoglobin (Hb). HbE ditemukan pada awal pembentukan fetus. HbF hadir dalam darah fetus selama pertengahan hingga akhir masa kebutingan dan tetap hadir beberapa bulan setelah kelahiran. Konsentrasi HbF sangat tinggi pada awal kelahiran dan mulai digantikan secara bertahap oleh Adult hemoglobin (Hb) beberapa minggu setelah kelahiran hingga mencapai nilai yang relatif stabil. HbF berfungsi sangat baik pada kondisi kadar oksigen lingkungan rendah khususnya di dalam uterus, karena afinitasnya terhadap oksigen lebih tinggi dari pada Adult hemoglobin (Hb). Konsentrasi hemoglobin dipengaruhi oleh nutrisi, ras, umur, musim, waktu pengambilan sampel, metode penelitian dan antikoagulan yang dipakai dalam penelitian (Mbassa & Poulsen 1993). Menurut Meyer & Harvey (2004), zat besi dibutuhkan untuk sintesis heme sehingga turut mempengaruhi konsentrasi hemoglobin darah. Hal ini didukung oleh Laurent & Brisson (1988), yang melaporkan bahwa konsentrasi hemoglobin pedet yang disuplementasi dengan zat besi lebih tinggi dibandingkan konsentrasi hemoglobin pedet yang tidak disuplementasi zat besi. Nilai Hematokrit Hematokrit atau PCV (Packed Cell Volume) adalah suatu ukuran yang mewakili volume eritrosit di dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Rataan nilai hematokrit pada sapi FH umur satu sampai 12 bulan dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa nilai hematokrit sapi pada umur satu bulan adalah sebesar 30,58 %. Nilai hematokrit ini mengalami peningkatan sampai umur tiga bulan menjadi 34,25 % dengan persentase peningkatan sebesar 12%. Nilai hematokrit mulai stabil setelah umur enam bulan. Hasil masih berada dalam kisaran normal. Menurut Jain (1993), nilai hematokrit sapi berkisar antara 24-46 %, sedangkan nilai hematokrit sapi pada kelompok umur dua minggu sampai enam bulan berkisar antara 23–42 % (Lumsden et al. 1980). 22 42 Hematokrit (%) 39 36 33 30 27 24 21 1 3 6 9 12 Umur (Bulan) Gambar 5 Nilai hematokrit sapi FH pada kelompok umur 1- 12 bulan Tingginya nilai hematokrit pada umur tiga bulan, diduga dipengaruhi oleh perubahan fisiologis sapi akibat adanya peningkatan aktifitas sapi. Tingginya aktifitas sapi dapat menyebabkan tubuh kehilangan cairan melalui penguapan, pernapasan ataupun urinasi. Tubuh akan merespon kondisi ini dengan mengambil cairan vaskuler melalui proses homeostasis untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehingga meningkatkan konsentrasi darah dalam vaskular. Hal ini didukung oleh Mbassa & Poulsen (1993) yang menyatakan bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh waktu, tempat dan kondisi fisiologi hewan pada saat pengambilan sampel. Foster (2009) melaporkan bahwa nilai hematokrit tinggi pada kondisi hewan mengalami dehidrasi, berada pada dataran tinggi, dan lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah. Jain (1993) menambahkan, nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh waktu dan kecepatan sentrifugasi. Indeks Eritrosit Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin yang dijumpai pada sebuah eritrosit. Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks korpuskuler. Indeks eritrosit terdiri atas volume atau ukuran eritrosit (MCV: mean corpuscular volume), berat (MCH: mean corpuscular hemoglobin), dan konsentrasi (MCHC: mean corpuscular hemoglobin concentration). Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang dalam membedakan berbagai macam anemia (Riswanto 2009). 23 Tabel 4 Indeks Eritrosit Sapi Frisien Holstein pada Umur 1- 12 Bulan. Umur sapi 1 bulan 3 bulan 6 bulan Parameter MCV (fl) 52.38 ± 9.15 55.67 ± 8.63 43.65 ± 4.10 MCH (pg) 21.20 ± 5.22 21.21 ± 4.59 19.15 ± 4.77 MCHC (g/dl) 36.09 ± 0.65 37.32 ± 6.92 36.06 ± 2.52 Keterangan : Data disajikan : Rataan ± Standar deviasi 9 bulan 46.94 ± 6.79 19.48 ± 3.75 39.98 ± 2.85 12 bulan 44.19 ± 5.40 18.41 ± 3.36 38.21 ± 1.52 Mean Corpusculur Volume (MCV) MCV mengambarkan volume rata-rata satu sel eritrosit dalam femtoliter (Meyer & Harvey 2004). Nilai MCV diperoleh dengan cara membagi nilai hematokrit (%) dengan jumlah eritrosit (juta sel/mikroliter) dan dikalikan 10. Rataan nilai MCV pada sapi umur satu sampai umur 12 bulan ditampilkan pada Tabel 4. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa rataan nilai MCV pada sapi FH umur satu sampai 12 bulan berkisar antara 43.65 - 55.67 fl. Menurut Jain (1993), nilai MCV sapi dewasa berkisar antara 40 – 60 fl. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa, nilai MCV pada umur satu bulan adalah sebesar 52.38 fl. Nilai MCV meningkat sampai dengan umur tiga bulan menjadi 55.67 fl. Nilai terendah dijumpai pada umur enam bulan, yakni sebesar 43.65 fl. Nilai MCV pada sapi di atas umur tiga bulan cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai MCV sapi umur satu sampai tiga bulan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Mohri et al. (2007), bahwa nilai MCV cenderung lebih rendah pada sapi dewasa dibandingkan dengan sapi muda. MCV mengindikasikan ukuran eritrosit berupa makrositik (ukuran eritrosit besar), normositik (ukuran eritrosit normal), dan mikrositik (ukuran eritrosit kecil) (Riswanto 2009). Tingginya nilai MCV (makrositik) biasanya berhubungan dengan anemia regeneratif karena volume sel retikulosit lebih besar dibandingkan dengan volume eritrosit dewasa, dengan demikian beberapa sel makrositik hadir untuk meningkatkan nilai MCV di atas interval normal. Makrositik anemia dilaporkan terjadi pada pedet jantan yang mengalami congenital dyserythropoiesis; beberapa eritrosit berinti terdapat di dalam darah tetapi jumlah retikulosit hanya mengalami peningkatan sedikit pada pedet tersebut. Nilai MCV 24 yang tinggi dapat terjadi juga akibat penyimpanan sampel darah yang lama dan adanya aglutinasi eritrosit (Meyer & Harvey 2004). Nilai MCV yang rendah (mikrositik) biasanya mengindikasikan adanya defisiensi zat besi. Anemia mikrositik akibat defisiensi zat besi pada sapi dewasa sering terjadi pada kasus hemoragi kronis. Defisiensi zat besi yang terjadi tanpa adanya hemoragi sering terjadi pada hewan yang masih menyusui karena kadar zat besi susu yang rendah. Kebutuhan zat besi meningkat pada hewan dengan pertumbuhan yang cepat (Meyer & Harvey 2004). Mean Corpusculur Hemoglobin (MCH) Nilai MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa memperhatikan ukuran. Nilai MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb dengan angka 10, lalu membaginya dengan jumlah eritrosit (Riswanto 2009). Nilai rataan MCH pada sapi umur satu bulan sampai satu tahun ditampilkan pada Tabel 4. Rataan nilai MCH pada sapi FH umur satu sampai 12 bulan berkisar antara 18.41 - 21.21 pg. Menurut Lumsden et al. (1980), nilai MCH sapi berkisar antara 14.2 – 20.1 pg. Hasil penelitian ini memperlihatkan nilai MCH sapi di bawah umur tiga bulan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai MCH sapi diatas umur tiga bulan. Mean Corpusculur Hemoglobin Concentration (MCHC) Menurut Cunningham (2002), MCHC merupakan nilai konsentrasi hemoglobin di dalam satu desiliter eritrosit. Rata-rata nilai MCHC dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa nilai MCHC pada sapi FH umur satu sampai 12 bulan berkisar antara 36.06 – 39.98 g/dl. Lumsden et al. (1980) melaporkan bahwa nilai MCHC pada kelompok umur enam bulan sampai dua tahun berkisar antara 31 - 39 g/dl dan kelompok umur di atas dua tahun berkisar antara 31,7 - 40,4 g/dl. MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit (Riswanto 2009). Nilai MCHC yang tinggi merupakan suatu artifact. Hemolisis in vivo atau in vitro diduga dapat menyebabkan tingginya nilai MCHC. Hal ini 25 karena sejumlah sel eritrosit yang lisis akan melepaskan hemoglobin ke dalam cairan darah, sedangkan pada penghitungan nilai MCHC, hemoglobin diasumsikan berada di dalam eritosit (Meyer & Harvey 2004). Nilai MCHC mengalami penurunan pada hewan dengan gejala anemia regeneratif. Hal ini terjadi karena sintesis hemoglobin belum sempurna ketika sel retikulosit dilepaskan lebih cepat dari sumsum tulang dibandingkan dengan kondisi normal. Nilai MCHC yang rendah dapat juga terjadi pada hewan dengan gejala chronic iron deficiency anemia. Hal ini terjadi karena zat besi diperlukan untuk mendukung sintesis sejumlah hemoglobin (Meyer & Harvey 2004). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Jumlah eritrosit cenderung meningkat seiring dengan pertambahan umur dari umur satu bulan sampai enam bulan dan mulai stabil setelah umur enam bulan 2. Kadar hemoglobin relatif stabil pada umur satu sampai umur dua belas bulan 3. Nilai hematokrit meningkat pada umur tiga bulan dan mulai stabil setelah umur enam bulan. Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang gambaran eritrosit pada masa pertumbuhan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, waktu pengamatan yang lebih lama dan jarak antara waktu pengamatan yang lebih singkat. DAFTAR PUSTAKA Anggraeni FW. 2010. Deteksi Keberadaan Antibodi Anti-Eschericia coli di dalam serum Sapi Neonatus yang Diberi Kolostrum dengan Metode Elisa. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. [Anonimus]. 2007. Budidaya Ternak Sapi Perah. www. http://eprints.undip.ac.id/ 4262/1/2880.pdf [15 Feb 2010]. [Anonimus]. 2009. Manajemen Pemeliharaan Pedet Prasapih. www. http://animal husbandry/masa prasapih.html [29 Juni 2010]. Atabany A, Fitriyani Y, Anggraeni A, Komala I. 2008. Milk Production and Reproduction Performance of Holstein-Friesian Dairy Cattle at Cikole Dairy Breeding Station Lembang. www. http://peternakan.Litbang/ deptan. go.id/eng [22 Oktober 2010]. Banks WJ. 1986. Applied Veterinary Histology. Ed ke-1. London: William & Wilkins. Brown EM, Dellman HD. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Clarenburg R. 1992. Physiological Chemistry of Domestic Animals. St. Louis: Mosby Year Book, inc. Colville T, Bessert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technician. USA: Mosby, Inc. Davis CL, Drackley JK. 1998. The Development, Nutrition, and Management of the Young Calf. Iowa : Iowa State University Press. Dellman HD, Eurel J. 1998. Veterinary Histology. Ed ke-5. Maryland, USA: Lippicott Wiliams & Wilkins. Frandson RD. 1986. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B & Praseno K, penerjemah; Soedarsono, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals Foster. 2009. Blood Cells & Complete Blood Counts (CBC) in Animals. www. peteducation.com/article.cfm [29 Juni 2010]. Ganong WF. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Guyton AC, Hall JE. 1997. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Heinrichs AJ, Jones CM. 2003. Feeding the Newborn Dairy Calf. Pennsylvania : The Pennsylvania State University. http;// www. cas. psu.edu/.pdf. [29 Juni 2010]. 28 Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger. Jeffery A. 2004. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology. New York : Butterworth Heinemann. Laurent GJ, Brisson GJ. 1988. Effect of dietary iron and desferrioxamine on blood hemoglobin and on pigment content and color of muscles in veal calves. J Anim Sci 27: 1527-1531 Lumsden JH, Mullen K, Rowe R. 1980. Hematology and biochemistry reference values for female holstein cattle. Can J Comp Med 44: 24-31. Martini FH, Ober WC, Garrison C and Waleh K. 1992. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs. Mbassa GK, Poulsen JSD. 1993. Reference Ranges for Hematological Value in Landrace Goats. Small Ruminant Research Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine. Interpretation and diagnosis. Ed ke-3. Philadhelpia, USA: Saunders. Mohri M, Sharifi K, Eidi S. 2007. Hematology and serum biochemistry of holstein dairy calves: age related changes and comparison with blood composition in adults. J Vet Scin 83 : 30-39 Nugroho CP. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Nurhayati. 2007. Kenaikan Harga Susu. www. http:// suarakarya.online.com/news html. [22 Oktober 2010] Pettersson K, Svensson C, Liberg P. 2001. Housing, Feeding and Management of Calves and Replacement Heifers in Swedish Dairy Herds. Acta vet Scand 42: 465-478. Riswanto. 2009. Hitung Eritrosit. www. http:// labkesehatan. blogspot.com [29 Juni 2010]. Samuelson DA. 2007. Veterinary Histology.St. Louis: Saunders Elsevier. Schalm OW. 1975. Veterinary Hematology. Ed ke-3. Philadelpia: Lea & Febiger. Sugeng B. 1998. Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya. ND COLOR OF MUSCLES IN VEAL CALVAND COLOR OF MUSCLES IN VEAL CALVESOF MUSCLES IN VEAL CALVES