( DEPA AMBARA (Friesien H ARTEME FAK IN AN

advertisement
GA
AMBARA
AN SEL DARAH
D
MERAH
M
S
SAPI
PER
RAH FH
(
(Friesien
H
Holstein)
PADA MASA
M
PERTUMBU
UHAN
ADRY
YANUS FAR
RDIN ARU
UT
DEPA
ARTEME
EN KLINIIK REPR
RODUKSII DAN PA
ATOLOG
GI
FAK
KULTAS KEDOK
KTERAN HEWAN
N
IN
NSTITUT
T PERTA
ANIAN BO
OGOR
BOGO
OR
2010
0
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Sel Darah Merah
Sapi Perah FH (Friesien Holstein) pada Masa Pertumbuhan adalah karya sendiri
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, November 2010
Adryanus Fardin Arut
NIM B04061045
ABSTRAK
ADRYANUS FARDIN ARUT. Gambaran Sel Darah Merah Sapi Perah FH
(Friesien Holstein) pada Masa Pertumbuhan. Dibimbing oleh SUS DERTHI
WIDHYARI dan ANITA ESFANDIARI.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang gambaran jumlah
eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan indeks eritrosit pada sapi
FH masa pertumbuhan umur satu sampai 12 bulan. Penelitian ini menggunakan 25
ekor anak sapi FH yang dibagi dalam lima kelompok umur yaitu kelompok umur
1, 3, 6, 9, dan 12 bulan (n=5). Sampel darah diambil melalui vena jugularis dan
dimasukan ke dalam tabung berisi antikoagulan (EDTA) untuk dianalisis terhadap
jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jumlah eritrosit cenderung meningkat seiring dengan
pertambahan umur dari umur satu sampai 6 bulan dan mulai stabil diatas umur
enam bulan. Kadar hemoglobin relatif stabil pada umur satu sampai 12 bulan.
Nilai hematokrit meningkat pada umur tiga bulan dan mulai stabil diatas umur
enam bulan.
Kata kunci: Friesien Holstein, eritrosit, hemoglobin, hematokrit
ABSTRACT
ADRYANUS FARDIN ARUT. Red Blood Cell Profile on Growing Friesien
Holstein. Under direction of SUS DERTHI WIDHYARI and ANITA
ESFANDIARI.
The aim of this study was to obtain the profile of erythrocyte count,
hemoglobin concentration, and hematocrit values on growing Friesien Holstein.
Twenty five Friesien Holstein calves were used in this study and divided into five
group (n=5). Blood sample were taken from jugular vein and were examined for
erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematokrit values. The result
of this study showed that the mean erythrocyte count was low in the first month of
life, increased gradually until 6 month. The hematocrit values were highest in the
first 3 month and disposed stable over the sixth month to one years of life.
Hemoglobin concentration was stable for 1-12 month old.
Keywords: Friesian Holstein, erythrocyte, hemoglobin, hematocrit.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
GAMBARAN SEL DARAH MERAH SAPI PERAH FH
(Friesien Holstein) PADA MASA PERTUMBUHAN
ADRYANUS FARDIN ARUT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Gambaran Sel Darah Merah Sapi Perah FH (Friesien Holstein)
pada Masa Pertumbuhan
Nama
: Adryanus Fardin Arut
NIM
: B04061045
Disetujui
Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, MSi
Dr.drh. Anita Esfandiari, MSi
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi. Judul skripsi
ini adalah Gambaran Sel Darah Merah Sapi Perah FH (Friesien Holstein) pada
Masa Pertumbuhan.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. Sus Derthi Widhyari,
MSi selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku
dosen pembimbing kedua yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terima kasih pula penulis
sampaikan kepada drh. Kusdiantoro Muhamad, MSi selaku pembimbing
akademik dan kepada keluarga tercinta yang terus mendukung dan memotivasi
penulis, serta semua pihak yang telah membantu penulis selama penyelesaian
skripsi. Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan. Penulis menyampaikan permohonan maaf, apabila dalam
penulisan ini masih terdapat kesalahan. Penulis juga menerima setiap kritik dan
saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, November 2010
Adryanus Fardin Arut
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan
di Ngada pada tanggal 07 September 1987 dari
pasangan Bapak Matias Sudin dan Ibu Fale Maria Yasinta. Penulis merupakan
anak pertama dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2000
di SD Katolik Trikora Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2 Bajawa hingga lulus
pada tahun 2003. Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun
2006 di SMA Negeri 1 Bajawa. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan
untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi wakil ketua
organisasi mahasiswa daerah NTT IPB dan anggota Himpunan Minat dan Profesi
Ruminansia Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten
praktikum di Laboratorium Anatomi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………....
vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………………
Tujuan Penelitian ……………………………………………………
Manfaat Penelitian …………………………………………………..
1
2
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Perah FH (Friesien Holstein) ………………………………….
Pemeliharaan Sapi pada Masa Pertumbuhan………………………..
Darah ………………………………………………………………..
Eritropoiesis …………………………………………………………
Eritrosit ……………………………………………………………...
Hemoglobin ………………………………………………………....
Nilai - Nilai Hematologi Normal ……………………………………
3
4
7
8
10
11
12
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………
Alat dan Bahan Penelitian …………………………………………..
Hewan yang Digunakan …………………………………………….
Parameter yang Diamati …………………………………………….
Metode Penelitian …………………………………………………...
15
15
15
15
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Eritrosit ………………………………..................................
Konsentrasi Hemoglobin ……………………………………………
Nilai Hematokrit …………………………………………………….
Mean Corpuscular Volume (MCV) …………………………………
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) ……………………………
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) ………….
18
20
21
23
24
24
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….
26
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
27
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Gambaran nilai eritrosit normal sapi dewasa …………………..............
12
2 Pengaruh umur terhadap hemogram sapi …………………....................
14
3 Gambaran eritrosit sapi perah FH pada umur 1-12 bulan ……...............
17
4 Indeks eritrosit sapi FH pada umur 1-12 bulan .......................................
22
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Anak sapi Friesien Holstein ....................................................................
3
2 Skema pembentukan eritrosit ..................................................................
9
3 Lapisan darah pada mikrokapiler ............................................................
13
4 Jumlah eritrosit sapi FH pada kelompok umur 1 - 12 bulan ...................
19
5 Konsentrasi hemoglobin sapi FH pada kelompok umur 1 - 12 bulan ….
20
6 Nilai hematokrit sapi FH pada kelompok umur 1 - 12 bulan ……….....
22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang penting sebagai sumber
protein hewani. Produk utama sapi adalah daging, susu dan kulit. Tingkat
kebutuhan daging dan susu di Indonesia sangat tinggi sedangkan tingkat konsumsi
masih rendah. Upaya peningkatan jumlah dan produksi ternak perlu dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Peningkatan jumlah ternak sapi dapat
dilakukan melalui suatu usaha pembibitan. Usaha pembibitan sapi sangat
tergantung pada keberhasilan manajemen pemeliharaan pedet (Sugeng 1998).
Pemeliharaan
pedet
merupakan
pekerjaan
penting,
karena
pedet
merupakan gambaran masa depan usaha peternakan sapi. Pedet dibesarkan untuk
menggantikan kelompok induk sapi, sehingga diperlukan perawatan dan perhatian
khusus pada tahap pembesarannya. Pemeliharaan pedet pada masa prasapih
merupakan tahapan yang kritis, khususnya beberapa hari setelah lahir karena
pedet
belum
bisa
menghasilkan
antibodi
(imunoglobulin)
dan
sistem
pencernaannya belum berfungsi secara sempurna. Perubahan pola pakan pada
masa prasapih dan lepas sapih cenderung menyebabkan stres bahkan kematian.
Pedet lebih rentan terserang penyakit apabila tidak mendapatkan perhatian yang
cukup pada masa prasapih (Anonimus 2009)
Penyakit dan kematian pada pedet merupakan penyebab utama dari
kehilangan nilai ekonomi dalam produksi peternakan. Penyakit-penyakit yang
menyerang sapi, sebagian besar menimbulkan perubahan pada gambaran darah
sapi. Hal ini karena darah mempunyai peranan yang sangat penting dan kompleks
dalam sistem sirkulasi, khususnya dalam sistem pertahanan tubuh terhadap agen
penyakit (Martini 1992). Oleh karena itu, pemeriksaan darah dalam menentukan
dan menegakkan diagnosa sering dilakukan dan sangat diperlukan oleh dokter
hewan.
Menurut Mohri et al. (2007), dalam menginterpretasi data hasil
pemeriksaan laboratorium dibutuhkan pengetahuan dasar mengenai gambaran
fisiologis darah sapi dan parameter acuan setiap uji laboratorium. Parameter acuan
2
yang digunakan harus bersumber dari nilai hasil pemeriksaan darah hewan normal
sejenis pada kondisi lingkungan yang sama. Indonesia yang beriklim tropis,
hingga saat ini belum banyak laporan mengenai gambaran darah sapi perah sehat
pada umur satu sampai dua belas bulan. Dengan demikian perlu dilakukan
penelitian untuk mendapatkan data gambaran darah sapi perah pada umur satu
sampai dua belas bulan yang bisa dijadikan sebagai acuan bagi dokter hewan di
Indonesia dalam membantu menegakkan diagnosa.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang gambaran jumlah
eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan indeks eritrosit pada masa
pertumbuhan sapi FH umur satu sampai dua belas bulan.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi awal
tentang gambaran darah sapi FH umur satu sampai dua belas bulan dan dapat
digunakan sebagai nilai referensi normal dalam membantu menegakkan diagnosa
suatu penyakit.
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Perah FH (Friesien Holstein)
Sapi merupakan anggota famili Bovidae dan subfamili Bovinae. Sapi
didomestikasi sekitar 6500 SM di perbatasan Eropa-Asia. Sapi yang didomestikasi
dan menjadi hewan ternak ini merupakan sapi modern (Bos taurus dan Bos
indicus), keturunan dari sapi liar yang dikenal sebagai Auerochs atau Urochse
(bahasa Jerman berarti "sapi kuno", nama ilmiah: Bos primigenius), yang sudah
punah pada abad ke-17 (Anonimus 2007).
Menurut Anggraeni (2010), klasifikasi ilmiah sapi berdasarkan taksonomi
Linneaus adalah sebagai berikut.
Kingdom
Animalia
Filum
Chordata
Kelas
Mammalia
Ordo
Artiodactyla
Famili
Bovidae
Subfamili
Bovinae
Genus
Bos
Spesies
Bos taurus
Gambar 1 Anak Sapi Friesien Holstein
Sapi diternakkan untuk diambil susu dan dagingnya sebagai bahan pangan.
Berdasarkan tujuan pemeliharaannya, bangsa sapi dikelompokkan menjadi dua
tipe, yaitu tipe sapi potong dan tipe sapi perah. Jenis sapi potong yang telah
diternakkan dan berkembang di Indonesia adalah sapi Brahman, sapi Limousin,
sapi Simental, sapi Ongole, sapi Peranakan Ongole dan sapi Bali (Nugroho 2008).
Jenis sapi perah unggul dan paling banyak dipelihara di dunia adalah sapi
Shorthorn (Inggris), Friesien Holstein (Belanda), Yersey (Selat Channel antara
4
Inggris dan Perancis), Brown Swiss (Switzerland), Red Danish (Denmark) dan
Droughtmaster (Australia). Jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah sapi Friesien Holstein
(Anonimus 2007).
Sapi FH, terkenal dengan produksi susunya yang tinggi (± 6350 kg/th),
dengan persentase lemak susu berkisar antara 3-7%. Sapi FH yang berasal dari
bibit unggul mampu berproduksi hingga mencapai 8.125 liter/tahun (Anonimus
2007). Menurut Nurhayati (2007), sapi perah mampu memproduksi susu berkisar
antara 20 - 30 liter/hari. Produksi susu sapi di Indonesia masih kurang dari 20
liter/hari. Produksi susu sapi di Lembang dapat mencapai 17,25 liter/hari dengan
total produksi pertahun sebesar 4.789 liter. Produksi maksimal dapat dicapai
apabila sapi berada pada lingkungan yang mendukung. Penerapan manajemen
yang baik dan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak akan
meningkatkan produksi susu (Atabany et al. 2008).
Sapi FH dapat dikenali dengan cepat dari warnanya yaitu belang putih dan
hitam atau merah. Dahi sapi terdapat warna putih berbentuk segitiga. Memiliki tanduk
berukuran kecil, menjurus ke depan dengan membentuk sudut 45º terhadap garis wajah.
Berat pedet yang baru lahir dapat mencapai 45 kg. Berat sapi dewasa dapat
mencapai 750 kg dengan tinggi 58 inchi. Distribusi sapi FH di Indonesia sebagian
besar berada di dataran tinggi (±700 m di atas permukaan laut) dengan temperatur
berkisar antara 16-23 0C dan kelembaban
berkisar antara 65-75% (Nugroho
2008).
Pemeliharaan Sapi pada Masa Pertumbuhan
Pemeliharaan sapi pada masa pertumbuhan merupakan pekerjaan penting,
karena sapi muda (pedet) adalah gambaran masa depan usaha peternakan sapi
perah. Pedet dibesarkan untuk mengganti kelompok induk sapi perah. Pedet juga
merupakan sumber pendapatan yang berharga, sehingga diperlukan perawatan dan
perhatian khusus pada tahap pembesarannya. Pemeliharaan pedet baik jantan
maupun betina pada umumnya hampir sama, tetapi yang membedakan adalah
ketika pedet itu telah disapih. Pedet betina pada umumnya ditujukan untuk
5
penggantian induk (replacement stock). Pedet jantan digunakan sebagai bakal
pemacek dan bakalan ternak potong (Anonimus 2009).
Manajemen pemeliharaan meliputi pemeliharaan pada masa prasapih dan
lepas sapih. Target yang harus dicapai dari pemeliharaan pedet baru lahir sampai
dengan masa sapih adalah mengoptimalkan pertumbuhan. Menurut Sugeng
(1998), pertumbuhan adalah pertambahan berat badan atau ukuran tubuh sesuai
dengan umur. Manajemen pemeliharaan pedet meliputi manajemen pakan,
manajemen kandang, dan kesehatan pedet (Heinrichs & Jones 2003).
Sapi pedet sebaiknya tidak disapih sampai rumen mulai berfungsi dan
mampu mendukung pemenuhan kebutuhan nutrisi pedet. Sistem digesti pedet
pada saat lahir belum berkembang. Sejak lahir hingga umur dua minggu, pedet
merupakan hewan monogastrik atau hewan berlambung sederhana. Lambung
pedet memiliki empat bagian yang mirip dengan sapi dewasa, namun rumen,
retikulum dan omasum masih belum aktif dan belum berkembang ( Heinrichs &
Jones 2003).
Kesehatan, pertumbuhan dan produktivitas pedet sangat tergantung pada
nutrisi dan manajemen pemeliharaan. Perbedaan sistem digesti antara pedet dan
sapi dewasa menghasilkan kebutuhan nutrisi yang unik untuk pedet pada masa
prasapih. Pedet yang baru lahir sampai masa prasapih membutuhkan pakan cair
dan pakan kering. Pakan cair dapat berupa kolostrum dan susu atau susu
pengganti ( Heinrichs & Jones 2003).
Sumber pakan utama pedet yang baru lahir adalah kolostrum. Kolostrum
merupakan produk yang disekresikan pertama kali oleh kelenjar ambing sapi
setelah melahirkan. Kolostrum menyediakan nutrisi penting untuk meningkatkan
metabolisme dan menstimulasi aktivitas pencernaan. Kolostrum juga merupakan
sumber imunitas pasif yang sangat penting untuk memelihara kesehatan pedet
(Heinrichs & Jones 2003). Pedet sebaiknya mendapatkan kolostrum sekitar 8-10%
bobot badan dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dua liter kolostrum harus
diberikan kepada pedet dalam waktu 30 menit untuk menjamin terpenuhinya
6
transfer pasif imunoglobulin dari induk ke anak. Pedet sebaiknya diberi kolostrum
3-4 kali dalam waktu 24 jam pertama setelah lahir (Davis & Drackley 1998).
Setelah masa pemberian kolostrum, ada beberapa pilihan pakan cair yang
dapat diberikan kepada pedet. Pakan cair yang sering digunakan peternak antara
lain susu atau susu pengganti. Pedet dapat menerima 2,5 liter susu per hari. Susu
dihangatkan terlebih dahulu oleh sebagian besar peternak sebelum diberikan
kepada pedet. Susu dihangatkan dengan menggunakan water bath, menambahkan
air hangat ke dalam susu, dan menggunakan immersion heater (Petterson et al.
2001).
Menurut Heinrichs & Jones (2003), pemberian pakan kering lebih awal
sangat bermanfaat, karena dapat merangsang perkembangan rumen. Petterson et
al. (2001) melaporkan bahwa peternak mulai mengenalkan hay pertama kali pada
umur 5 hari. Konsentrat mulai diberikan pada umur 14 hari sedangkan silage
diberikan pada umur 60 hari. Air diberikan pertama kali pada umur 14 hari (7-56
hari). Pedet sebaiknya mengkonsumsi 1,5-2,0 pon pakan starter perhari selama
tiga hari sebelum disapih. Laju pertumbuhan pedet sangat tergantung pada tingkat
konsumsi pakan. Unpalatable dan rendahnya kualitas pakan starter akan
menghambat masukan pakan. Hal ini akan menghambat perkembangan rumen dan
menurunkan laju pertumbuhan (Heinrichs & Jones 2003).
Umur rata-rata pedet disapih di Amerika dilaporkan berkisar antara 7-9
minggu. Ditinjau dari perkembangan rumen, secara fisiologis pedet siap dan dapat
disapih lebih awal yakni pada umur tiga minggu. Waktu penyapihan dapat
ditentukan berdasarkan umur, jumlah konsentrat yang dikonsumsi pedet (rata-rata
1 kg), bobot badan pedet (±70 kg) dan kombinasi dari ketiga alternatif ini.
Prosedur penyapihan dapat dilakukan dengan cara mengencerkan susu, dengan
cara menambahkan air secara bertahap selama tujuh hari atau menghentikan
pemberian susu secara langsung. Penyapihan dapat juga dilakukan dengan cara
mengurangi jumlah pemberian susu selama lima hari sebelum menghentikan
pemberian susu secara total (Petterson et al. 2001).
7
Darah
Tubuh vertebrata tersusun dari berbagai komponen. Cairan tubuh
merupakan komponen terbesar tubuh. Total cairan tubuh hewan vertebrata sekitar
65% dari total bobot badan hewan. Cairan tubuh didistribusikan ke cairan
intraselular sekitar dua pertiga dari total cairan tubuh dan cairan ektraselular.
Cairan ekstraselular terdiri dari cairan interstisial dan intravaskular yang terdiri
dari plasma darah (Guyton & Hall 1997).
Darah merupakan cairan ekstraseluler yang mengalir dalam vaskular
(Ganong 1999). Darah berfungsi sebagai alat transportasi yang membawa nutrien
yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke jaringan, membawa
oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke
paru-paru. Darah juga membawa sisa metabolisme dari berbagai jaringan menuju
ke ginjal untuk diekskresikan, dan hormon dari kelenjar endokrin ke organ-organ
lain di dalam tubuh. Darah ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan
air dan sistem buffer. Darah mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan
tubuh terhadap penyakit (Frandson 1986)
Darah tersusun atas sel darah (eritrosit, leukosit dan platelet) yang
bersirkulasi dalam cairan yang disebut plasma (Meyer & Harvey 2004).
Persentase sel darah adalah sekitar 40% (30-55%) dari total volume darah,
tergantung dari spesies (Samuelson 2007). Eritrosit atau sel darah merah
merupakan komponen sel darah dengan jumlah terbanyak (5,5-8,5 x 106 per
mikroliter darah) pada mamalia. Sel darah terbanyak kedua adalah platelet atau
trombosit (2-5 x 105 /mikroliter). Jumlah leukosit atau sel darah putih lebih sedikit
dibandingkan dengan eritrosit dan trombosit. Leukosit digolongkan kedalam dua
tipe sel, yaitu leukosit granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan leukosit
agranulosit, yaitu monosit dan limfosit (Frandson 1986).
Plasma mengandung 91-92% air dan 8-9% padatan (Dellman & Eurel
1998). Padatan terdiri dari protein sekitar 7%, senyawa organik non protein 1%
dan garam inorganik 0,9% (Clarenburg 1992). Plasma diperoleh dengan cara
mengoleksi darah yang diberi antikoagulan dan disentrifugasi untuk memisahkan
sel darah. Darah yang dikoleksi tanpa diberi antikoagulan dan dibiarkan membeku
8
akan menghasilkan cairan disebut serum. Konsentrasi protein dalam serum
biasanya lebih rendah dibandingkan dengan plasma, karena tidak adanya
fibrinogen dalam serum akibat terpakai sejak proses pembekuan (Meyer &
Harvey 2004).
Jumlah total volume darah berkisar antara 6-7% dari total berat badan pada
hewan ruminansia. Total volume darah hewan muda pada masa pertumbuhan
sering lebih dari 10% bobot badan (Meyer & Harvey 2004).
Eritropoesis
Proses pembentukan dan perkembangan sel-sel darah disebut dengan
hematopoiesis atau haemopoiesis (Dorlan 1995). Eritropoiesis merupakan suatu
proses pembentukan eritrosit. Massa total dari sel eritropoietik dan eritrosit
dewasa yang telah bersirkulasi disebut sebagai eritron (Dellman & Eurel 1998).
Faktor utama yang dapat merangsang produksi sel darah merah adalah
hormon glikoprotein yaitu eritropoeitin atau disebut juga EPO (Guyton & Hall
1997). Eritropoietin terbentuk akibat adanya penurunan oksigen yang merangsang
ginjal melepas enzim eritrogenin yang mengaktifkan eritropoietinogen, suatu
prekursor eritropoietin yang dihasilkan oleh hati dalam aliran darah sehingga
menghasilkan eritropoietin (Dellman & Eurel 1998). Menurut Guyton & Hall
(1997), eritropoietin berperan merangsang produksi proeritroblas dari sel-sel
hemopoietik dalam sumsum tulang dan mempercepat sel- sel proeritoblas melalui
berbagai tahap eritroblastik sehingga meningkatkan kecepatan produksi eritrosit.
Eritropoiesis pada mamalia dimulai dengan proliferasi dan diikuti dengan
diferensiasi dari multipotent myeloid stem cells menjadi BFU-E ( Burs-forming
unit) dan turunannya, yaitu CFU-E (colony forming unit-erithroid). CFU-E
membentuk rubriblas (proeritroblas). Sel ini di dalam sumsum tulang terorganisir
ke dalam unit anatomi kecil yang disebut Erythroblastic Island. Pulau ini
terbentuk dekat dengan sinus vaskula, yang terdiri dari Central Macrophage yang
dikelilingi oleh satu atau dua deretan sel erythroid dalam berbagai tahapan
pematangan. Sel di deretan luar pada umumnya lebih dewasa dibandingkan
dengan sel di deretan dalam (Dellman & Eurel 1998)
9
Proses maturasi rubriblas menjadi eritrosit dewasa melalui beberapa
tahapan. Sel rubriblas kehilangan nukleoli membentuk prorubrisit. Pada tahapan
ini mulai terjadi kondensasi kromatin nukleus. Sel prorubrisit bermitosis beberapa
kali dan bermaturasi secara progresif membentuk rubrisit. Pada tahapan ini
terbentuk hemoglobin dalam konsentrasi rendah. Rubrisit selanjutnya bermaturasi
membentuk metarubrisit, yaitu eritrosit dengan nukleus terkecil. Metarubrisit
memiliki nukleus piknotik dan sitoplasma yang sedikit polikromatik hingga
normokromatik, tergantung pada konsentrasi hemoglobin. Pada saat nukleus
memadat dan semakin kecil, metarubrisit berkembang menjadi polikromatik
eritrosit (retikulosit), yang kemudian matang menjadi eritrosit dewasa (Dellman &
Eurel 1998).
Gambar 2 Skema Pembentukan Eritrosit (Jeffery 2004).
Perkembangan rubriblas menjadi eritrosit dewasa biasanya membutuhkan
waktu 5-7 hari. Waktu pematangan eritrosit bisa menjadi lebih pendek berkisar
antara 3-5 sebagai respon terhadap adanya kerusakan eritrosit. Pembentukan
10
retikulosit baru di dalam sumsum tulang memerlukan waktu 1 - 2 hari sebelum
dilepas kedalam sistem sirkulasi. Pelepasan retikulosit diikuti dengan pematangan
lebih lanjut selama 1 - 2 hari di dalam limpa sebelum akhirnya menjadi eritrosit
dewasa. Masa hidup eritrosit bervariasi diantara spesies hewan. Eritrosit sapi
memiliki masa hidup sekitar 160 hari (Dellman & Eurel 1998).
Eritrosit ( Sel Darah Merah)
Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin. Morfologi eritrosit
dewasa pada mamalia berbentuk bulat, membentuk lempengan bikonkaf, tidak
memiliki nukleus dan berwarna merah karena hadirnya hemoglobin (Colville &
Bassert 2002). Menurut Samuelson (2007), bentuk bikonkaf pada eritrosit berguna
untuk memperluas area permukaan membran untuk pertukaran gas. Derajat
kecekungan sangat bervariasi diantara hewan domestik. Tipe eritrosit bikonkaf
terdapat pada sapi, domba dan anjing, sedangkan pada kuda dan kucing memiliki
eritrosit dengan kecekungan yang dangkal. Eritrosit pada kambing dan babi
sebagian besar terlihat lebih datar. Eritrosit dewasa memiliki area pucat di tengah
yang disebut dengan central palor. Central palor ini dapat terlihat jelas pada
eritrosit anjing. Central palor terlihat kurang jelas pada kucing dan kuda,
sedangkan pada sapi, domba, kambing dan babi central palor tidak terlihat
(Dellman & Eurel 1998).
Ukuran dan jumlah eritrosit bervariasi diantara spesies hewan. Menurut
Samuelson (2007), diameter eritrosit berkisar antara 4-9 µm. Anjing memiliki
ukuran eritrosit terbesar (7.0 µm) dibandingkan dengan ukuran eritrosit semua
hewan domestik, sedangkan kambing memiliki eritrosit dengan ukuran terkecil
(Dellman & Eurel 1998).
Eritrosit mamalia merupakan sel yang spesial. Eritrosit memiliki
hemoglobin yang menyumbangkan sepertiga dari berat sel eritrosit, dan pemberi
warna merah serta membawa gas pada eritrosit. Eritrosit dewasa tidak memiliki
inti sel dan semua komplemen organel yang ditemukan pada kebanyakan sel. Oleh
karena itu, eritrosit membutuhkan glukosa sebagai sumber nutrisi untuk mengatur
pompa ion di dalam membran plasma, sitoskeleton dan hemoglobin fungsional
(Clarenburg 1992).
11
Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen merah yang membawa dan
menukar oksigen dan karbondioksida dalam eritrosit (Samuelson 2007). Menurut
Colville & Bassert (2002), hemoglobin terbentuk dari gabungan dua komponen
yaitu heme dan globin. Heme merupakan pigmen yang diproduksi oleh
mitokondria, sedangkan globin merupakan protein yang diproduksi oleh ribosom
Sintesis
hemoglobin
dimulai
dalam
proeritroblas
dan
kemudian
dilanjutkan dalam retikulosit. Tahapan dasar kimiawi pembentukan hemoglobin
diawali ketika suksinil-Koa yang dibentuk dalam siklus Krebs berikatan dengan
glisin membentuk molekul pirol. Kemudian, empat pirol bergabung membentuk
protoporfirin IX, yang kemudian bergabung dengan besi membentuk molekul
heme. Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang
disebut globin membentuk suatu sub unit hemoglobin yang disebut rantai
hemoglobin. Tiap rantai ini mempunyai berat molekul kira-kira 16000. Empat
rantai hemoglobin ini selanjutnya akan berikatan satu sama lain secara longgar
untuk membentuk molekul hemoglobin yang lengkap (Guyton & Hall 1997).
Struktur hemoglobin yang unik cocok untuk fungsi rangkapnya sebagai
transpor oksigen dan karbondioksida di dalam darah. Pertukaran kedua gas ini
terjadi di jaringan dan paru-paru. Hemoglobin mengikat oksigen di paru-paru dan
dibawa ke jaringan (Clarenburg 1992). Menurut Guyton & Hall (1997),
hemoglobin mampu mengikat oksigen secara longgar dan reversibel. Hal ini
karena setiap molekul hemoglobin memiliki empat molekul heme yang
mengandung atom besi. Setiap molekul heme dapat berikatan dengan satu molekul
oksigen. Satu molekul hemoglobin dapat mengangkut 4 molekul oksigen.
Karbondioksida (CO2) diproduksi di jaringan sebagai hasil metabolisme. CO2
dikonversi di dalam eritrosit menjadi H2CO3 yang berdisosiasi menjadi H+ dan
HCO3-. H+ berikatan dengan hemoglobin dan terbawa bersama aliran darah.
Hemoglobin akan melepaskan H+ di paru-paru. Ion H+ akan berkombinasi dengan
HCO3- untuk membentuk H2CO3. H2CO3 kemudian terpisah menjadi H2O dan
CO2 sehingga dapat dikeluarkan melalui ekspirasi (Clarenburg 1992).
12
Konsentrasi hemoglobin berbeda-beda pada berbagai tingkat pertumbuhan.
Konsentrasi hemoglobin darah normal pada sapi dewasa berkisar antara 8 - 15
g/dl (Radosit et al. 2000)
Nilai-Nilai Hematologi Normal
Volume eritrosit dalam sirkulasi darah normal lebih sedikit dibandingkan
dengan volume plasma. Gambaran eritrosit di dalam darah dapat diukur dengan
menghitung jumlah eritrosit permikroliter, konsentrasi hemoglobin (gram per
desiliter), dan nilai hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) sebagai persentase
volume darah. Karena semua hemoglobin terdapat dalam eritrosit, maka jumlah
eritrosit, nilai hematokrit, dan konsentrasi hemoglobin bersifat paralel satu sama
lain ketika terjadi perubahan. Jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan konsentrasi
hemoglobin berhubungan dengan berat badan, umur
dan waktu pengamatan
(Meyer & Harvey 2004). Menurut Jain (1993), jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin, dan nilai PCV sangat tinggi pada saat lahir dan menurun pada umur
diatas 6 bulan hingga umur 1 atau 2 tahun
Tabel 1 Gambaran nilai eritrosit normal sapi dewasa
Eritrosit (x 10⁶/µl)
Hemoglobin (g/dl)
PCV (%)
MCV (fl)
MCH (pg)
MCHC (g/dl)
(Sumber : Jain 1993)
Kisaran
5.0-10.0
8.0-15.0
24.0-46.0
40.0-60.0
11.0-17.0
30.0-36.0
Rata-rata
7.0
11.0
35.0
52.0
14.0
32.7
Hematokrit atau PCV (Packed cell Volume) adalah suatu ukuran yang
mewakili volume eritrosit di dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam bentuk
persentase (Frandson 1986). Dalam pengukuran nilai hematokrit, darah dibagi
menjadi tiga lapisan, yaitu eritrosit di bagian dasar, leukosit dan trombosit berupa
lapisan berwarna putih (buffy coat) serta plasma darah di lapisan teratas (Schalm
1975). Menurut Jackson & Cockcroft (2002), nilai hematokrit rata-rata untuk sapi
perah dilaporkan berkisar antara 24 – 46 %. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit.
13
Gambar 3 Lapisan darah pada mikrokapiler
Nilai hematologi yang banyak digunakan untuk memberi keterangan
mengenai jumlah dan ukuran rata-rata eritrosit dan hemoglobin adalah Mean
Corpusculur Values (MCV), Mean Corpusculur Hemoglobin (MCH) dan Mean
Corpusculur hemoglobin Concentration (MCHC). Nilai MCV menunjukkan
volume rata-rata dari sebuah eritrosit dalam femtoliter (10-15 liter). Nilai MCV
setiap spesies sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh umur. Nilai MCH
menunjukkan banyaknya hemoglobin pereritrosit yang diukur dalam pikogram.
Nilai MCH selalu berkorelasi secara langsung dengan nilai MCV. Nilai MCHC
menggambarkan
konsentrasi
hemoglobin
rata-rata
dalam
eritrosit
dan
diekspresikan dalam g/dl eritrosit (Meyer & Harvey 2004 ).
Data yang ditampilkan pada Tabel. 2 menunjukkan nilai hematologi pada
fetus sapi dan pada beberapa kelompok umur. Ukuran eritrosit fetus (MCV)
menurun selama masa kebuntingan, dan mencapai nilai 46,2 ± 4,8 fl pada saat
lahir. Ukuran eritrosit terus mengecil selama 3-4 bulan pada pedet yang baru lahir,
mencapai nilai 37,8 ± 3,2 fl. Ukuran eritrosit kembali meningkat secara perlahanlahan setelah umur empat bulan seiring dengan penurunan jumlah eritrosit secara
bertahap. Nilai PCV biasanya turun menjadi 34 - 38% dan MCHC tetap pada
32 (g/dl), tetapi MCH meningkat dan menurun sesuai dengan perubahan ukuran
eritrosit (Jain 1993).
14
Tabel 2 Pengaruh umur terhadap hemogram sapi
Fetus
7-8½ bln
Pedet 1
Hari
Pedet 3-16
minggu
Pedet 1-2
tahun
Sapi
dewasa
Hemoglobin (g/dl)
PCV (%)
MCV (fl)
MCH (pg)
5.86
8.5
31.4
53.9
14.7
7
± 0.63
± 0.05
± 1.4
± 5.1
± 1.5
37
7.72 ± 1.73
10.2 ± 1.8
34.5 ± 7.7
46.2 ± 4.8
13.3 ± 1.3
15
9.5 ± 1.0
11.2 ± 1.5
35.9 ± 3.8
37.8 ± 3.2
11.8 ±1.6
35
8.36 ±1.05
11.4 ± 1.7
35.9 ± 4.3
43.2 ± 7.1
13.6 ± 1.7
42
6.36 ±0.8
10.9 ±1.7
33.6 ±5.2
52.8 ±4.4
17.0 ±1.6
MCHC (g/dl)
27.3 ± 0.8
28.7 ± 1.5
31.2 ± 2.8
32.3 ± 1.7
32.5 ±1.2
Jumlah hewan
Eritrosit(x 10⁶/µl)
(Sumber : Jain 1993)
Pedet yang hanya diberi milk atau milk replacer diet menunjukkan
penurunan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai PCV yang cepat.
Pedet dan sapi dewasa yang diberi low protein diet memiliki jumlah eritrosit dan
nilai PCV yang rendah seiring dengan rendahnya kadar albumin serum. Beberapa
pedet yang baru lahir bisa mengalami anemia (PCV< 25%) dan memiliki kadar
zat besi yang rendah (Jain 1993)
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2009 sampai Juli 2010.
Pengambilan sampel darah sapi dilakukan di peternakan PT Rejo Sari Bumi, Unit
Tapos, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa barat. Analisis sampel darah
sapi dilakukan di laboratorium Patologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB,
Bogor.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disposable syringe,
Vacutainer dengan antikoagulan EDTA ( Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid),
mikroskop, Hemositometer set, tabung mikrohematokrit, sentrifusi,
Micro-
hematokrit Reader, dan tabung Sahli (Hemoglobinometer).
Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel darah sapi, cairan pengencer
(Hayem), aquades, alkohol 70%, larutan HCl 0,1 N, kertas tisu, kertas saring dan
kapas.
Hewan yang Digunakan
Hewan coba yang digunakan adalah 25 ekor anak sapi betina yang sehat
secara klinis. Hewan dibagi ke dalam lima kelompok umur yaitu kelompok umur
1, 3, 6, 9 dan 12 bulan, dengan masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor.
Hewan diberi pakan sesuai kebutuhan dan air diberikan secara ad libitum.
Parameter yang diamati
Parameter yang diamati antara lain jumlah eritrosit, nilai hematokrit,
konsentrasi hemoglobin darah dan indeks eritrosit yang meliputi Mean
Corpusculur Volume (MCV), Mean Corpusculur Hemoglobin (MCH) dan Mean
Corpusculur Hemoglobin Concentration (MCHC).
16
Metode Penelitian
Darah diambil melalui vena jugularis menggunakan disposable syringe,
lalu dimasukan ke dalam tabung vakum yang berisi EDTA sebagai antikoagulan.
Tabung yang berisi sampel darah disimpan dalam termos berisi es dan dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan penghitungan terhadap jumlah eritrosit, penentuan
nilai hematokrit dan pengukuran kadar hemoglobin.
Penghitungan Eritrosit
Darah dihisap menggunakan pipet pengencer sampai batas tera 0.5, lalu
ujung pipet dibersihkan dari noda-noda darah yang menempel menggunakan
kertas tissue. Ujung pipet dicelupkan ke dalam cairan pengencer Hayem, lalu
dihisap sampai batas tera 101. Pipet diangkat, ujung pipet ditutup dengan jempol
dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan
dihomogenkan dengan menggunakan mesin getar atau mesin homogenisasi
selama satu menit. Setelah homogen cairan dibuang kira-kira 3 - 5 tetes, kemudian
dituangkan ke dalam kamar hitung dengan cara menyentuhkan ujung pipet secara
hati-hati pada tepi kaca penutup, sehingga permukaan kamar hitung terisi merata.
Kamar hitung yang telah terisi didiamkan selama beberapa menit agar eritrosit
mengendap sempurna. Penghitungan dilakukan menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 10 x 40. Sel-sel dalam lima kotak yang terletak di daerah tengah
dihitung, dengan ketentuan sebagai berikut: sel-sel yang menyentuh garis atas dan
kiri kotak termasuk dalam hitungan, sedangkan sel-sel yang menyentuh garis
batas kedua sisi lainnya (kanan dan bawah) tidak termasuk hitungan. Hasil
penghitungan akhir dikalikan 10.000 per mm3 (Schalm 1975).
Konsentrasi Hemoglobin
Penentuan konsentrasi hemoglobin dilakukan menggunakan metode Sahli.
Tabung Sahli diisi dengan HCl 0,1 N sampai garis bawah. Kemudian darah
dihisap dengan pipet hemoglobin sampai batas 20 mm3 lalu dimasukkan ke dalam
tabung Sahli dengan meniup secara perlahan-lahan. Dilakukan pencampuran
darah dengan cara menghisap dan meniupkan secara perlahan-lahan. Kemudian
didiamkan selama 3 menit sampai terbentuk asam hematin yang ditandai oleh
17
perubahan warna menjadi coklat atau coklat kehitaman. Kemudian ditambahkan
aquades setetes demi setetes sambil diaduk sampai warnanya sama dengan warna
standar. Konsentrasi hemoglobin dibaca dengan cara melihat skala dalam ‘gr %’
yang berarti banyaknya haemoglobin dalam gram per 100 ml darah (Schalm
1975).
Nilai Hematokrit
Penentuan nilai hematokrit dilakukan dengan metode mikrohematokrit.
Darah dihisap menggunakan tabung kapiler mikrohematokrit dengan cara
menyentuhkan ujung tabung pada sampel darah. Posisi tabung hampir mendatar
dan bagian ujung tabung dikosongkan kira-kira 1 cm. Ujung tabung ini kemudian
disumbat dengan Crestaseal, lalu disentrifus selama 4-5 menit dengan kecepatan
15.000 rpm. Hasil dibaca menggunakan alat Mikrohaematokrit Reader, dan
dinyatakan dalam persen (%).
Indeks Eritrosit
Indeks Eritrosit yang dihitung pada penelitian ini meliputi Mean
Corpusculur Volume (MCV), Mean Corpusculur Hemoglobin (MCH) dan Mean
Corpusculur Hemoglobin Concentration (MCHC). Cara memperoleh nilai MCV,
MCH, dan MCHC adalah dengan menggunakan rumus :
MCV (fl)
=
MCH (pg)
=
MCHC (g/dl) =
Nilai Hematokrit x 10
Jumlah eritrosit ൫106 /µl൯
Hb x 10
Jumlah eritrosit ൫106 /µl൯
HB x 100
Nilai Hematokrit
Analisis Data
Analisis data jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit
dan indeks eritrosit dilakukan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai
hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Gambaran Eritrosit Sapi Frisien Holstein pada Umur 1- 12 Bulan.
Parameter
Jumlah
Eritrosit
(x10⁶/µl)
Hemoglobin
(g/dl)
Hematokrit
(%)
Keterangan :
1 bulan
3 bulan
Umur sapi
6 bulan
5,77 ± 2,42
5,90 ± 2,36
6,91 ± 1,16
6,44 ± 0,87
6,78 ± 1,06
13,37 ± 1,25
13,32 ± 0,71
12,82 ± 1,71
12,33 ± 1,03
12,47 ± 3,07
30,58 ± 6,22 34,25 ± 6,97 29,92 ± 3,90
Data disajikan : Rataan ± Standar deviasi
29,83 ± 0,29
29,67 ± 2,89
9 bulan
12 bulan
Jumlah Sel Darah Merah ( Eritrosit)
Profil jumlah eritrosit pada kelompok umur satu sampai dua belas bulan,
dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil penelitian ini memperlihatkan rataan jumlah
eritrosit pada umur satu bulan adalah sebesar 5,77 juta sel/µl. Jumlah ini
mengalami peningkatan sampai dengan umur enam bulan menjadi 6,91 juta sel/
µl. Persentase peningkatan jumlah eritrosit dari umur satu sampai umur enam
bulan sebesar 19,75 %. Jumlah eritrosit terlihat stabil pada umur enam sampai dua
belas bulan. Jumlah eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini masih berada
dalam kisaran normal. Jain (1993) melaporkan jumlah eritrosit sapi dewasa
berkisar antara 5,0-10,0 juta sel /µl. Menurut Lumsden et al. (1980), jumlah
eritrosit sapi pada kelompok umur dua minggu sampai enam bulan berkisar antara
6,5 – 11,5 juta sel/µl, sedangkan jumlah eritrosit sapi pada kelompok umur antara
enam bulan sampai dua tahun berkisar antara 6,1– 10,6 juta sel/ µl.
19
Jumlah eritrosit (juta/mm3)
7
6
5
1
3
6
9
12
Umur (Bulan)
Gambar 3 Jumlah eritrosit sapi FH pada kelompok umur 1-12 bulan
Jumlah eritrosit yang rendah pada awal kelahiran dimungkinkan karena
organ pembentuk eritrosit belum bekerja secara sempurna, namun seiring dengan
meningkatnya umur, organ pembentuk eritrosit mulai aktif bekerja sehingga
terjadi peningkatan jumlah eritrosit. Hal ini didukung Brown & Dellmann (1989),
yang menyatakan bahwa eritrosit diproduksi di sumsum tulang setelah lahir dan
terus meningkat seiring dengan pertambahan umur hingga mencapai nilai yang
stabil. Menurut Jain (1993), jumlah eritrosit mengalami peningkatan seiring
dengan pertambahan umur dan mencapai nilai yang stabil pada umur satu tahun.
Pernyataan ini didukung oleh Mohri et al. (2007), yang melaporkan adanya
kecenderungan peningkatan jumlah eritrosit seiring dengan pertambahan umur
sapi. Hal ini terlihat pula pada Gambar 1 yang menunjukkan adanya peningkatan
jumlah eritrosit seiring dengan pertambahan umur dari umur satu sampai enam
bulan. Menurut Banks (1986), jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh breed,
aktivitas fisik dan umur.
Jumlah eritrosit dipengaruhi juga oleh nutrisi dalam pakan seperti zat besi,
Cu, vitamin dan asam amino (Frandson 1992). Menurut Meyer & Harvey (2004),
beberapa mineral dan vitamin diperlukan dalam eritropoiesis: “Zat besi diperlukan
untuk sintesis heme. Copper dalam bentuk ceruloplasmin, sangat penting dalam
20
pelepasan zat besi dari jaringan ke plasma. Vitamin B6 (pyridoxine) dibutuhkan
sebagai kofaktor pada tahap pertama sintesis heme enzimatik. Cobalt sangat
penting dalam sintesis vitamin B12 oleh ruminansia”. Guyton & Hall (1992)
menambahkan, defisiensi vitamin B12 dan asam folat dapat menyebabkan
kegagalan pematangan dalam eritropoiesis, sehingga mengakibatkan jumlah
eritrosit dalam darah rendah.
Konsentrasi Hemoglobin
Hemoglobin merupakan protein di dalam eritrosit yang terdiri dari dua
komponen yaitu heme dan globin (Colville & Bassert 2002). Rataan konsentrasi
hemoglobin darah sapi pada umur satu sampai 12 bulan dapat dilihat pada Tabel
3. Kadar hemoglobin darah sapi FH selama pengamatan ini relatif stabil dan
berada dalam kisaran normal. Konsentrasi hemoglobin darah sapi dewasa berkisar
antara 8-15 g/dl (Jain 1993). Menurut Lumsden et al. (1980), konsentrasi
hemoglobin sapi pada umur dua minggu sampai enam bulan berkisar antara 8,5–
14,1 g/dl, sedangkan konsentrasi hemoglobin sapi pada umur 6 - 12 bulan berkisar
antara 9,5 - 15,4 g/dl.
16
Hemoglobin (g/dl)
15
14
13
12
11
10
9
1
3
6
9
12
Umur (Bulan)
Gambar 4 Konsentrasi hemoglobin sapi FH pada kelompok umur 1-12 bulan
Menurut Colville & Bassert (2002), hemoglobin dikelompokkan menjadi
tiga tipe hemoglobin yaitu Embryonic hemoglobin (HbE), Fetal hemoglobin
21
(HbF) dan Adult hemoglobin (Hb). HbE ditemukan pada awal pembentukan fetus.
HbF hadir dalam darah fetus selama pertengahan hingga akhir masa kebutingan
dan tetap hadir beberapa bulan setelah kelahiran. Konsentrasi HbF sangat tinggi
pada awal kelahiran dan mulai digantikan secara bertahap oleh Adult hemoglobin
(Hb) beberapa minggu setelah kelahiran hingga mencapai nilai yang relatif stabil.
HbF berfungsi sangat baik pada kondisi kadar oksigen lingkungan rendah
khususnya di dalam uterus, karena afinitasnya terhadap oksigen lebih tinggi dari
pada Adult hemoglobin (Hb).
Konsentrasi hemoglobin dipengaruhi oleh nutrisi, ras, umur, musim, waktu
pengambilan sampel, metode penelitian dan antikoagulan yang dipakai dalam
penelitian (Mbassa & Poulsen 1993). Menurut Meyer & Harvey (2004), zat besi
dibutuhkan untuk sintesis heme sehingga turut mempengaruhi konsentrasi
hemoglobin darah. Hal ini didukung oleh Laurent & Brisson (1988), yang
melaporkan bahwa konsentrasi hemoglobin pedet yang disuplementasi dengan zat
besi lebih tinggi dibandingkan konsentrasi hemoglobin pedet yang tidak
disuplementasi zat besi.
Nilai Hematokrit
Hematokrit atau PCV (Packed Cell Volume) adalah suatu ukuran yang
mewakili volume eritrosit di dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam bentuk
persentase. Rataan nilai hematokrit pada sapi FH umur satu sampai 12 bulan dapat
dilihat pada Gambar 3. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa nilai
hematokrit sapi pada umur satu bulan adalah sebesar 30,58 %. Nilai hematokrit ini
mengalami peningkatan sampai umur tiga bulan menjadi 34,25 % dengan
persentase peningkatan sebesar 12%. Nilai hematokrit mulai stabil setelah umur
enam bulan. Hasil masih berada dalam kisaran normal. Menurut Jain (1993), nilai
hematokrit sapi berkisar antara 24-46 %, sedangkan nilai hematokrit sapi pada
kelompok umur dua minggu sampai enam bulan berkisar antara 23–42 %
(Lumsden et al. 1980).
22
42
Hematokrit (%)
39
36
33
30
27
24
21
1
3
6
9
12
Umur (Bulan)
Gambar 5 Nilai hematokrit sapi FH pada kelompok umur 1- 12 bulan
Tingginya nilai hematokrit pada umur tiga bulan, diduga dipengaruhi oleh
perubahan fisiologis sapi akibat adanya peningkatan aktifitas sapi. Tingginya
aktifitas sapi dapat menyebabkan tubuh kehilangan cairan melalui penguapan,
pernapasan ataupun urinasi. Tubuh akan merespon kondisi ini dengan mengambil
cairan vaskuler melalui proses homeostasis untuk memenuhi kebutuhan cairan
tubuh sehingga meningkatkan konsentrasi darah dalam vaskular. Hal ini didukung
oleh Mbassa & Poulsen (1993) yang menyatakan bahwa nilai hematokrit
dipengaruhi oleh waktu, tempat dan kondisi fisiologi hewan pada saat
pengambilan sampel. Foster (2009) melaporkan bahwa nilai hematokrit tinggi
pada kondisi hewan mengalami dehidrasi, berada pada dataran tinggi, dan
lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah. Jain (1993) menambahkan, nilai
hematokrit juga dipengaruhi oleh waktu dan kecepatan sentrifugasi.
Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin yang
dijumpai pada sebuah eritrosit. Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks
korpuskuler. Indeks eritrosit terdiri atas volume atau ukuran eritrosit (MCV: mean
corpuscular volume), berat (MCH: mean corpuscular hemoglobin), dan
konsentrasi (MCHC: mean corpuscular hemoglobin concentration). Indeks
eritrosit dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai
penunjang dalam membedakan berbagai macam anemia (Riswanto 2009).
23
Tabel 4 Indeks Eritrosit Sapi Frisien Holstein pada Umur 1- 12 Bulan.
Umur sapi
1
bulan
3
bulan
6 bulan
Parameter
MCV (fl)
52.38 ± 9.15 55.67 ± 8.63 43.65 ± 4.10
MCH (pg)
21.20 ± 5.22 21.21 ± 4.59 19.15 ± 4.77
MCHC (g/dl) 36.09 ± 0.65 37.32 ± 6.92 36.06 ± 2.52
Keterangan : Data disajikan : Rataan ± Standar deviasi
9 bulan
46.94 ± 6.79
19.48 ± 3.75
39.98 ± 2.85
12 bulan
44.19 ± 5.40
18.41 ± 3.36
38.21 ± 1.52
Mean Corpusculur Volume (MCV)
MCV mengambarkan volume rata-rata satu sel eritrosit dalam femtoliter
(Meyer & Harvey 2004). Nilai MCV diperoleh dengan cara membagi nilai
hematokrit (%) dengan jumlah eritrosit (juta sel/mikroliter) dan dikalikan 10.
Rataan nilai MCV pada sapi umur satu sampai umur 12 bulan ditampilkan pada
Tabel 4. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa rataan nilai MCV pada sapi
FH umur satu sampai 12 bulan berkisar antara 43.65 - 55.67 fl. Menurut Jain
(1993), nilai MCV sapi dewasa berkisar antara 40 – 60 fl.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa, nilai MCV pada umur satu
bulan adalah sebesar 52.38 fl. Nilai MCV meningkat sampai dengan umur tiga
bulan menjadi 55.67 fl. Nilai terendah dijumpai pada umur enam bulan, yakni
sebesar 43.65 fl. Nilai MCV pada sapi di atas umur tiga bulan cenderung lebih
rendah bila dibandingkan dengan nilai MCV sapi umur satu sampai tiga bulan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Mohri et al. (2007), bahwa nilai
MCV cenderung lebih rendah pada sapi dewasa dibandingkan dengan sapi muda.
MCV mengindikasikan ukuran eritrosit berupa makrositik (ukuran eritrosit
besar), normositik (ukuran eritrosit normal), dan mikrositik (ukuran eritrosit kecil)
(Riswanto 2009). Tingginya nilai MCV (makrositik) biasanya berhubungan
dengan anemia regeneratif karena volume sel retikulosit lebih besar dibandingkan
dengan volume eritrosit dewasa, dengan demikian beberapa sel makrositik hadir
untuk meningkatkan nilai MCV di atas interval normal. Makrositik anemia
dilaporkan
terjadi
pada
pedet
jantan
yang
mengalami
congenital
dyserythropoiesis; beberapa eritrosit berinti terdapat di dalam darah tetapi jumlah
retikulosit hanya mengalami peningkatan sedikit pada pedet tersebut. Nilai MCV
24
yang tinggi dapat terjadi juga akibat penyimpanan sampel darah yang lama dan
adanya aglutinasi eritrosit (Meyer & Harvey 2004).
Nilai MCV yang rendah (mikrositik) biasanya mengindikasikan adanya
defisiensi zat besi. Anemia mikrositik akibat defisiensi zat besi pada sapi dewasa
sering terjadi pada kasus hemoragi kronis. Defisiensi zat besi yang terjadi tanpa
adanya hemoragi sering terjadi pada hewan yang masih menyusui karena kadar
zat besi susu yang rendah. Kebutuhan zat besi meningkat pada hewan dengan
pertumbuhan yang cepat (Meyer & Harvey 2004).
Mean Corpusculur Hemoglobin (MCH)
Nilai MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa
memperhatikan ukuran. Nilai MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb
dengan angka 10, lalu membaginya dengan jumlah eritrosit (Riswanto 2009).
Nilai rataan MCH pada sapi umur satu bulan sampai satu tahun ditampilkan pada
Tabel 4. Rataan nilai MCH pada sapi FH umur satu sampai 12 bulan berkisar
antara 18.41 - 21.21 pg. Menurut Lumsden et al. (1980), nilai MCH sapi berkisar
antara 14.2 – 20.1 pg. Hasil penelitian ini memperlihatkan nilai MCH sapi di
bawah umur tiga bulan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai MCH sapi diatas
umur tiga bulan.
Mean Corpusculur Hemoglobin Concentration (MCHC)
Menurut Cunningham (2002), MCHC merupakan nilai konsentrasi
hemoglobin di dalam satu desiliter eritrosit. Rata-rata nilai MCHC dapat dilihat
pada Tabel 4. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa nilai MCHC pada sapi
FH umur satu sampai 12 bulan berkisar antara 36.06 – 39.98 g/dl. Lumsden et al.
(1980) melaporkan bahwa nilai MCHC pada kelompok umur enam bulan sampai
dua tahun berkisar antara 31 - 39 g/dl dan kelompok umur di atas dua tahun
berkisar antara 31,7 - 40,4 g/dl.
MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit
(Riswanto 2009). Nilai MCHC yang tinggi merupakan suatu artifact. Hemolisis
in vivo atau in vitro diduga dapat menyebabkan tingginya nilai MCHC. Hal ini
25
karena sejumlah sel eritrosit yang lisis akan melepaskan hemoglobin ke dalam
cairan darah, sedangkan pada penghitungan nilai MCHC, hemoglobin
diasumsikan berada di dalam eritosit (Meyer & Harvey 2004).
Nilai MCHC mengalami penurunan pada hewan dengan gejala anemia
regeneratif. Hal ini terjadi karena sintesis hemoglobin belum sempurna ketika sel
retikulosit dilepaskan lebih cepat dari sumsum tulang dibandingkan dengan
kondisi normal. Nilai MCHC yang rendah dapat juga terjadi pada hewan dengan
gejala chronic iron deficiency anemia. Hal ini terjadi karena zat besi diperlukan
untuk mendukung sintesis sejumlah hemoglobin (Meyer & Harvey 2004).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Jumlah eritrosit cenderung meningkat seiring dengan pertambahan umur
dari umur satu bulan sampai enam bulan dan mulai stabil setelah umur
enam bulan
2. Kadar hemoglobin relatif stabil pada umur satu sampai umur dua belas
bulan
3. Nilai hematokrit meningkat pada umur tiga bulan dan mulai stabil setelah
umur enam bulan.
Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang gambaran eritrosit pada masa pertumbuhan dengan
jumlah sampel yang lebih banyak, waktu pengamatan yang lebih lama dan jarak
antara waktu pengamatan yang lebih singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni FW. 2010. Deteksi Keberadaan Antibodi Anti-Eschericia coli di dalam
serum Sapi Neonatus yang Diberi Kolostrum dengan Metode Elisa.
[Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
[Anonimus]. 2007. Budidaya Ternak Sapi Perah. www. http://eprints.undip.ac.id/
4262/1/2880.pdf [15 Feb 2010].
[Anonimus]. 2009. Manajemen Pemeliharaan Pedet Prasapih. www. http://animal
husbandry/masa prasapih.html [29 Juni 2010].
Atabany A, Fitriyani Y, Anggraeni A, Komala I. 2008. Milk Production and
Reproduction Performance of Holstein-Friesian Dairy Cattle at Cikole
Dairy Breeding Station Lembang. www. http://peternakan.Litbang/ deptan.
go.id/eng [22 Oktober 2010].
Banks WJ. 1986. Applied Veterinary Histology. Ed ke-1. London: William &
Wilkins.
Brown EM, Dellman HD. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Clarenburg R. 1992. Physiological Chemistry of Domestic Animals. St. Louis:
Mosby Year Book, inc.
Colville T, Bessert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary
Technician. USA: Mosby, Inc.
Davis CL, Drackley JK. 1998. The Development, Nutrition, and Management of
the Young Calf. Iowa : Iowa State University Press.
Dellman HD, Eurel J. 1998. Veterinary Histology. Ed ke-5. Maryland, USA:
Lippicott Wiliams & Wilkins.
Frandson RD. 1986. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B & Praseno K,
penerjemah; Soedarsono, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals
Foster. 2009. Blood Cells & Complete Blood Counts (CBC) in Animals. www.
peteducation.com/article.cfm [29 Juni 2010].
Ganong WF. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Guyton AC, Hall JE. 1997. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.
Heinrichs AJ, Jones CM. 2003. Feeding the Newborn Dairy Calf. Pennsylvania :
The Pennsylvania State University. http;// www. cas. psu.edu/.pdf. [29
Juni 2010].
28
Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger.
Jeffery A. 2004. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology. New York :
Butterworth Heinemann.
Laurent GJ, Brisson GJ. 1988. Effect of dietary iron and desferrioxamine on blood
hemoglobin and on pigment content and color of muscles in veal calves.
J Anim Sci 27: 1527-1531
Lumsden JH, Mullen K, Rowe R. 1980. Hematology and biochemistry reference
values for female holstein cattle. Can J Comp Med 44: 24-31.
Martini FH, Ober WC, Garrison C and Waleh K. 1992. Fundamentals of Anatomy
and Physiology. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Mbassa GK, Poulsen JSD. 1993. Reference Ranges for Hematological Value in
Landrace Goats. Small Ruminant Research
Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine. Interpretation and
diagnosis. Ed ke-3. Philadhelpia, USA: Saunders.
Mohri M, Sharifi K, Eidi S. 2007. Hematology and serum biochemistry of
holstein dairy calves: age related changes and comparison with blood
composition in adults. J Vet Scin 83 : 30-39
Nugroho CP. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan.
Nurhayati. 2007. Kenaikan Harga Susu. www. http:// suarakarya.online.com/news
html. [22 Oktober 2010]
Pettersson K, Svensson C, Liberg P. 2001. Housing, Feeding and Management of
Calves and Replacement Heifers in Swedish Dairy Herds. Acta vet Scand
42: 465-478.
Riswanto. 2009. Hitung Eritrosit. www. http:// labkesehatan. blogspot.com [29
Juni 2010].
Samuelson DA. 2007. Veterinary Histology.St. Louis: Saunders Elsevier.
Schalm OW. 1975. Veterinary Hematology. Ed ke-3. Philadelpia: Lea & Febiger.
Sugeng B. 1998. Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya.
ND COLOR OF MUSCLES IN VEAL CALVAND COLOR OF MUSCLES IN VEAL
CALVESOF MUSCLES IN VEAL CALVES
Download