s_sej_044781_Bab II

advertisement
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka merupakan suatu proses dalam membuat satu kerangka
penelitian untuk mengarahkan studi dan pengumpulan data penelitian. Tinjauan
pustaka ini dikembangkan melalui penelaahan secara mendalam terhadap
literatur-literatur yang berhubungan dengan tema penelitian. Dalam bab ini
penulis memaparkan literatur yang digunakan sebagai acuan berpikir terhadap
penulisan skripsi yang berjudul “Upacara Adat Ngalaksa Di Rancakalong–
Sumedang (Suatu Kajian Historis terhadap Tradisi Masyarakat)”.
Literatur-literatur yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dipilih karena
sangat berhubungan dengan permasalahan yang dikaji. Sebenarnya telah ada
penelitian yang dilakukan terhadap tradisi masyarakat Rancakalong ini, tetapi
kebanyakan dari penelitian tersebut tidak membahas tentang upacara adatnya dan
lebih cenderung kepada keseniannya yaitu kesenian tarawangsa. Tarawangsa itu
sendiri adalah suatu kesenian yang merupakan perpaduan dari seni tari dan seni
musik, yang selalu mengiringi upacara adat ngalaksa dan tidak bisa dilepaskan
dari pelaksanaan upacara adat ngalaksa.
Penelitian yang telah dilakukan antara lain oleh Indra Budiaji (2003),
dengan judul Teknik Menyembunyikan Ngek-Ngek Pada Lingkung Seni Jentreng
Pusaka Bangun Rancakalong Sumedang. Hasil penelitiannya adalah berupa
skripsi dan tidak diterbitkan. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Indra Budiaji
adalah pada teknik atau cara untuk menyembunyikan alat musik ngek-ngek pada
pementasan kesenian tarawangsa. Tempat penelitiannya hanya dilakukan kepada
14
satu grup kesenian tarawangsa yang berada di Kecamatan Rancakalong, yaitu
grup kesenian Lingkung Seni Jentreng Pusaka Bangun. Penelitian lainnya yang
telah dilakukan adalah oleh Dewi Yulianti (2007) dengan judul Peranan Saehu
dan Paibuan Dalam Kesenian Tarawangsa di Rancakalong-Sumedang. Hasil
penelitiannya berupa skripsi dan tidak diterbitkan. Penelitian yang dilakukannya
berfokus kepada fungsi, tugas, dan syarat untuk menjadi seorang pemimpin atau
disebut juga Saehu (pemimpin laki-laki) dan Paibuan (pemimpin perempuan)
dalam suatu pergelaran kesenian tarawangsa. Hasil tulisan dari para peneliti
tersebut, akan penulis jadikan sebagai data pelengkap dalam penelitian yang
penulis lakukan, selain itu juga akan digunakan sebagai perbandingan.
Pembahasan mengenai kesenian tarawangsa juga terdapat pada buku yang
berjudul Deskripsi Kesenian Jawa Barat karya Arthur S Nalan dan G. Kurnia
(2003), dalam buku tersebut dibahas sedikit mengenai kapan pertama kali
munculnya kesenian tarawangsa dan lagu-lagu yang selalu dibawakan pada saat
pementasan kesenian tarawangsa. Dalam buku ini juga Arthur dan Kurnia
melakukan suatu analisis mengenai sistem klasifikasi alat musik tarawangsa
dengan melihat betuk dan jenis suara yang dihasilkannya, hasil analisis tersebut
menyatakan bahwa alat musik tarawangsa termasuk ke dalam klasifikasi Curt
Sachs dan Horbostel. Tetapi dalam buku ini tidak dibahas mengeai fungsi
kesenian tarawangsa dalam suatu upacara adat, tetapi walaupun demikian
pembahasan dalam buku ini akan penulis pakai sebagai bahan untuk menganalisis
waktu asal-mulanya upacara adat ngalaksa, karena kesenian tarawangsa
merupakan bagian dari upacara adat ngalaksa.
15
Buku selanjutnya yang penulis pakai dalam penelitian ini, adalah buku yang
berjudul Khasanah Kesenian Daerah Jawa barat karya A. Soepandi dan Enoch
Atmadibrata (1983), dalam buku ini dibahas mengenai fungsi kesenian
tarawangsa sebagai kesenian pengiring upacara adat ngalaksa. Dalam buku ini
juga dibahas mengenai perbedaan pantun dan tarawangsa dalam pelaksanaan
suatu upacara adat. Tetapi yang mejadi kekurangan dalam buku ini adalah
pembahasanya yang kurang mendalam dan terlalu singkat, karena buku ini berisi
pembahasan tentang gabungan dari berbagai kesenian yang ada di Jawa Barat.
Buku berikutnya yang membahas tentang tarawangsa, adalah buku karya
Enoch Atmadibrata (1997) yang berjudul Ibing Sunda, dalam buku tersebut
dibahas mengenai beraneka macam tarian yang berasal dari daerah Sunda,
termasuk didalamnya tarian tarawangsa. Dalam buku ini dibahas mengenai tarian
tarawangsa yang ada di daerah Rancakalong, tetapi pembahasan tersebut hanya
sebatas mengenalkan tarian tarawangsa saja, jadi pembahasannya tidak secara
mendalam. Buku tersebut penulis gunakan sebagai pengetahuan dasar mengenai
kesenian tarawangsa yang selalu ada dalam pelaksanaan upacara adat ngalaksa.
Selain dari buku, penulis juga mendapatkan artikel dari sebuah majalah
lokal yang terbit di daerah Kabupaten Sumedang. Dalam majalah yang bernama
WAREM (Wadah Remaja), terdapat sebuah artikel yang berjudul Seni Jentreng di
Sumedang, dalam artikel tersebut dibahas mengenai tata cara pelaksanaan
kesenian jentreng atau yang biasa disebut dengan tarawangsa. Tetapi dalam artikel
ini tidak dibahas mengenai fungsi dari kesenian tarawangsa dalam upacara adat
16
ngalaksa. Artikel ini oleh penulis akan jadikan sebagai pembanding dalam
membahas proses pelaksanaan upacara adat ngalaksa di Rancakalong.
Mengenai upacara adat ngalaksa, penulis mendapatkan beberapa berita di
Internet yang membahas tentang pelaksanaan upacara adat ngalaksa. Berita-berita
tersebut dimuat di dalam situs-situs koran yang ada di internet seperti terdapat
dalam situs koran Kompas dan juga situs koran Pikiran Rakyat. Berita tersebut
berjudul Petani Rancakalong Gelar Ngalaksa, dan Masyarakat Adat Rancakalong
Gelar Upacara Ngalaksa, selain itu, ada juga berita yang berjudul Ngalaksa di
Kampung Budaya Rancakalong. Dalam berita tersebut hanya dimuat tentang
pelaksanaan upacara adat ngalaksa yang dilakukan pada saat sekarang saja, tetapi
berita tersebut akan penulis jadikan sebagai salah satu sumber dalam membahas
perkembangan upacara adat ngalaksa di Kecamatan Rancakalong.
Untuk mempermudah pembentukan kerangka berpikir penulis dalam
penyusunan skripsi ini, maka penulis akan mengklasifikasikan literatur-literatur
yang digunakan sesuai dengan kajian yang dijadikan acuan oleh penulis. Adapun
kajian pada tinjauan kepustakaan ini akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
pertama, kajian tentang Kebudayaan Sunda. Kedua, kajian tentang upacara adat.
Ketiga, kajian tentang kepercayaan dan sifat orang Sunda.
2.1 Kebudayaan Sunda
Sebelum membahas tentang kebudayaan Sunda secara khusus, maka akan
dibahas terlebih dahulu mengenai kebudayaan secara umum. Pembahasan
mengenai kebudayaan secara umum terdapat dalam buku yang berjudul
17
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan karya Koentjaraningrat (2000), dalam
buku tersebut disebutkan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari Buddhi dan mempunyai arti
“budi” atau “akal”. Dari asal katanya tersebut, dapat diartikan bahwa
kebudayaan adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Berdasarkan arti epistemologi dari kata budaya tersebut, Koentjaraningrat
berpendapat tentang definisi dari kebudayaan, yaitu:
“Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang
harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi
dan karyanya itu” (2000: 9).
Dari pendapat Koentjaraningrat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kebudayaan merupakan hasil karya dari pemikiran manusia yang berguna untuk
beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya dan merupakan cara manusia untuk
berhubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Kemampuan manusia dalam
beradaptasi dengan lingkungannya untuk bisa bertahan hidup tersebut, diperoleh
dengan cara pembelajaran. Pernyataan dari Koentjaraningrat tersebut senada
dengan pernyataan MacIver yang dikutip oleh Soekanto (1990) dalam buku yang
berjudul Sosiologi Suatu Pengantar, yaitu:
“Kebudayaan merupakan ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara
hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi,
dan hiburan” (1990: 304).
Dengan kata lain konsep kebudayaan mencakup semua yang diperoleh dan
dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat, kebudayaan itu mencakup
cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak. Kebudayaan sangat
berguna bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur
18
hubungan manusia dengan manusia dan sebagai wadah dari segenap perasaan dan
pikiran manusia.
Selain
memaparkan
tentang
definisi
kebudayaan
secara
umum,
Kontjaraningrat juga memaparkan tentang wujud-wujud dari kebudayaan. Dalam
bukunya tersebut, Koentjaraningrat (2000: 5) membagi kebudayaan ke dalam tiga
wujud, yaitu:
1.
Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilainilai,
norma-norma,
peraturan-peraturan
dan
sebagainya.
Wujud
kebudayaan yang pertama ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau
difoto. Lokasinya berada di dalam kepala-kepala warga masyarakat
dimana kebudayaan itu hidup, atau dengan kata lain berada di dalam
pikiran setiap individu dari masing-masing pelaku kebudayaan tersebut.
Kebudayaan ideel ini dapat disebut adat tata kelakuan (adat dalam arti
khusus, adat istiadat dalam arti jamak). Tata kelakuan menunjukan bahwa
kebudayaan ideel biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang
mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat.
2.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat yang disebut sistem sosial. Sistem sosial
ini terdiri dari berbagai aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain dan selalu mengikuti
pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan.
19
3.
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang
disebut kebudayaan fisik. Kebudayaan fisik merupakan seluruh hasil fisik
dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat,
sehingga sifatnya paling kongkrit dan berupa benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Tiga wujud kebudayaan yang dipaparkan oleh Koentjaraningrat di atas,
disederhanakan kembali oleh Soekmono (2008), dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Sejarah Kebudayaan indonesia 1. Menurut Soekmono (2008 a: 9) pada
hakekatnya kebudayaan itu mempunyai dua segi yang tidak bisa dilepaskan
hubungannya satu sama lain, yaitu:
1.
Segi kebendaan atau materi, yang meliputi segala benda buatan manusia
sebagai perwujudan dari akalnya. Hasil-hasil kebudayaan pada segi
kebendaan dan materi ini dapat diraba.
2.
Segi kerohanian atau nonmateri, terdiri atas alam pikiran dan kumpulan
perasaan yang tersusun teratur. Keduanya tidak dapat diraba, hanya
penjelmaannya saja dapat difahami dari
keagamaan, kesenian,
kemasyarakatan.
Pendapat Soekmono diatas diperdalam lagi oleh Paul. B. Horton dan
Chester. L. Hunt (1991) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi jilid I, dalam
pembahasan mengenai konteks kebudayaan pada buku tersebut, dijelaskan bahwa
kebudayaan nonmateri merupakan cikal bakal dari kebudayaan materi.
Kebudayaan yang bersifat materi atau kebendaan muncul dari suatu gagasan, dan
gagasan tersebut merupakan bagian dari kebudayaan nonmateri. Selain itu, dalam
20
buku ini juga dijelaskan tentang kebudayan sebagai suatu sistim norma, dalam
suatu kebudayaan terdapat berbagai macam aturan yang mencerminkan pola
kehidupan dan asusila masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, seperti
kebiasaan, tata kelakuan, lembaga, hukum, dan nilai yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut. Terkadang sistim norma yang ada dalam suatu kebudayaan
mempunyai sifat memaksa, karena tidak selamanya kebudayaan itu sesuai dengan
keinginan dan jalan pikiran setiap individu dalam masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut.
Dalam buku yang berjudul Sosiologi Suatu Pengatar karya Bruce. J.
Cohen (1992), diterangkan bahwa pada setiap kebudayaan terdapat bagian yang
disebut dengan Subcultur, Counterculture, dan Cultural Integration. Yang
dimaksud dengan subcultere tersebut adalah suatu kelompok yang lebih kecil dari
pada masyarakat (Cohen,1992: 52). Subcultur tersebut masih mempunyai
hubungan dengan kebudayaan yang lebih besar, karena masih mempunyai
sebagian dari norma-norma yang ada dalam kebudayaan, namun Subcultur
berbeda dengan yang lainnya karena memiliki norma-norma tersendiri.
Sedangkan kelompok yang menetang norma-norma yang ada dalam suatu
kebudayaan dan tujuan dari kebudayaan disebut dengan Counterculture. Yang
menerima seluruh norma yang ada dalam suatu kebudayaan serta tujuan dari
kebudayaan tersebut disebut dengan Culture Integration.
Karena luasnya makna dari konsep kebudayaan, maka Koentjaraningrat
(2000: 2), memecah konsep kebudayaan ke dalam unsur-unsurnya. Unsur-unsur
21
terbesar dan bisa ditemukan dalam setiap kebudayaan yang ada di dunia disebut
dengan unsur-unsur universal, yaitu sebagai berikut:
1.
Sistem religi dan upacara keagamaan
2.
Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3.
Sistem pengetahuan
4.
Bahasa
5.
Kesenian
6.
Sistem mata pencaharian hidup
7.
Sistem teknologi dan peralatan.
Unsur-unsur universal dari kebudayan tersebut menunjukan ruang lingkup dari
kebudayaan serta isi dari konsepnya.
Unsur-unsur universal dari kebudayaan tersebut oleh Ralph Linton, dapat
dijabarkan kembali dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan menyebutnya sebagai
kegiatan-kegiatan kebudayaan atau Cultural Activities. Kegiatan-kegiatan
kebudayaan tersebut mempunyai unsur tersendiri yang disebut dengan traitcomplex. Selanjutnya trait-complex tersebut dapat dipecah-pecah lagi menjadi
unsur kebudayaan yang paling kecil dan disebut Items (Linton dalam Soekanto,
1990: 176-177).
Melihat unsur-unsur kebudayaan yang telah diuraikan di atas, upacara adat
ngalaksa ini dapat dikatakan sebagai sebuah kebudayaan, karena dalam upacara
adat ngalaksa ini terdapat unsur-unsur universal dari kebudayaan. Upacara adat
ngalaksa pada intinya adalah suatu cara untuk menghormati dan berterimakasih
kepada Tuhan YME karena telah di beri hasil panen yang berlimpah, dengan
22
demikian upacara adat ngalaksa dapat tergolong kepada sistem religi atau upacara
keagamaan. Selain itu, di dalam upacara adat ngalaksa juga terdapat berbagai
simbol-simbol
sosial
secara
tersirat
yang
bermanfaat
bagi
kehidupan
bermasyarakat.
Pembahasan
mengenai
kebudayaan
Sunda
terdapat
dalam
buku
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) Jilid I karya Edi S.Ekadjati
(2005), dalam buku ini dijelaskan tentang kebudayaan dan adat kebiasaan yang
dilakukan oleh orang Sunda melalui pendekatan sejarah. Menurut R.W.Van
Bammelan dalam Edi S.Ekadjati (2005: 1-2), Sunda adalah sebuah istilah yang
digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur.
Pendapat dari R.W.Van Bammelan tentang Sunda tersebut lebih mengacu kepada
letak geografis suatu wilayah yang di mulai dari Kepulauan Filipina sampai ke
Lembah Brahmaputra di Assam (India). Dalam buku-buku tentang ilmu bumi juga
dikenal istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Yang dimaksud Sunda Besar adalah
himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan
Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah deretan pulau yang berukuran lebih
kecil dan terletak di sebelah timur Pulau Jawa, dimulai dari Pulau Bali di sebelah
barat hingga Pulau Timor di sebelah timur meliputi Pulau-pulau Lombok, Flores,
Sumbawa, Samba, Roti dan lain-lain.
Menurut data sejarah, istilah Sunda adalah nama suatu kerajaan yang
berada di bagian barat Pulau Jawa. Hal tersebut dapat dilihat pada sebuah prasasti
yang bernama Prasasti Juru Rukyan Juru Pangambat, berangka tahun 854 Saka
(932 M), ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor (Ekadjati, 2005: 2). Prasasti yang
23
berbahasa melayu kuna ini menyebutkan:...ba[r] pulihkan haji Sunda... Bagian
kalimat ini dapat diterjemahkan: “memulihkan Raja Sunda” (Notosusanto, 1993:
356).
Kerajaan Sunda ini mengalami beberapa kali perpindahan pusat kerajaan,
perpindahan tersebut dikarenakan beberapa alasan seperti ekonomi, keamanan,
politik, dan bencana alam atau hal lainnya. Sehingga yang menjadi terkenal pada
Kerajaan Sunda ini adalah nama-nama ibukotanya saja, terutama yang pernah
menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda tersebut. Seperti pernyataan yang
dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1993) dalam buku Sejarah Nasioanal
Indonesia II, yaitu:
“Sebenarnya di Jawa Barat hanya terdapat sebuah kerajaan saja setelah
keruntuhan kerajaan Tarumanegara menjelang akhir abad VII Masehi,
sedangkan nama-nama yang sekarang dianggap sebagai nama kerajaan,
adalah nama ibukota atau pusat kerajaan tersebut” (1993: 355).
Kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Barat seperti, Kerajaan Galuh, Prahajyan
Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran adalah nama-nama pusat pemerintahan
saja. Sedangkan kerajaan yang sesungguhnya adalah bernama kerajaan Sunda.
Dalam perkembangan lain pada saat sekarang, istilah Sunda digunakan
pula untuk menyebut sekolompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda
(orang Sunda). Orang Sunda adalah orang yang mengakui dirinya dan diakui oleh
orang lain sebagai orang Sunda (Warnaen dalam Ekadjati, 2005: 7). Orang Sunda
bisa dikatakan orang Sunda jika mempunyai hubungan darah atau keturunan dari
orang Sunda itu sendiri, atau dibesarkan di lingkungan sosial-budaya Sunda dan
dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai
budaya Sunda. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Kebudayaan Sunda
24
adalah kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang
Sunda yang pada umumnya berdomisili di Tanah Sunda (Ekadjati, 2005: 8).
Upacara adat ngalaksa termasuk kepada Kebudayaan Sunda, karena
upacara adat ngalaksa ini berada di daerah Kecamatan Rancakalong yang
merupakan bagian dari Kabupaten Sumedang. Sedangkan Sumedang itu sendiri
merupakan bekas wilayah dari kerajaan Sunda, karena sesudah kerajaan Sunda
runtuh, wilayahnya terbagai atas: Sumedanglarang, Banten, Cirebon, dan Galuh,
yang masing-masing berdiri sediri (Ekadjati, 2005: 7). Sumedang Larang dan
Galuh kemudian menjadi satu wilayah kesatuan dengan nama Priangan. Selain itu,
dalam upacara adat ngalaksa juga terdapat pantun-pantun yang menggunakan
bahasa Sunda asli, dan seluruh aspek yang ada dalam upacara tersebut semuanya
bernuansa Sunda.
Pembahasan selanjutnya mengenai kebudayaan Sunda ada pada tulisan
Harsojo (2004) yang berjudul Kebudayaan Sunda. Tulisan Harsojo tersebut
terdapat pada buku yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, yang
dieditori oleh Koentjaraningrat. Dalam tulisan tersebut pembahasan Kebudayaan
Sunda dilakukan dengan cara mengidentifikasi bahasa dan kesusastraannya.
Karena dengan mengidentifikasi hal tersebut, Harsojo dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa Kebudayaan Sunda telah tergambarkan dalam bahasa, cerita,
sastra, dan keseniannya. Dengan melihat bahasa dan keseniannya, dan dari
sikapnya sehari-hari dapat kita gambarkan tipe ideal orang Sunda sebagai manusia
yang optimis, suka dan mudah gembira, memiliki watak terbuka, tetapi sering
25
bersifat terlalu perasa, sehingga tampak sebagai orang yang sedang pundung
(Harsojo dalam Koentjaraningrat, 2004: 310).
Kebudayaan Sunda ini bersifat turun-menurun dari generasi sebelumnya
ke generasi berikutnya. Dengan demikian Kebudayaan Sunda tersebut merupakan
warisan yang diturunkan dari nenek moyang orang Sunda itu. Seperti kebudayaan
yang lain, kebudayaan Sunda juga merupakan kekayaan akal budi yang dihasilkan
suatu generasi yang dapat dikembangkan oleh generasi itu sendiri dan generasi
selanjutnya (Saini dalam Nalan, 1998: 2).
2.2 Upacara Adat
Dalam buku yang berjudul Catatan Seni yang dieditori oleh Arthur. S.
Nalan dan Agus R. Sarjono (1998), terdapat sebuah artikel yang berjudul Faal
Kesenian dalam Kerangka Kebudayaan karya Saini K. M. Dalam artikel tersebut
dijelaskan bahwa manusia pada hakikatnya menghadapi tiga keterbatasan dalam
hidupnya, yaitu ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan. Untuk
menghadapi keterbatasan tersebut manusia mengembangkan mitos. Dengan
mengembangkan suatu keyakinan, manusia dapat mengatasi tiga keterbatasannya
tersebut (Saini dalam Nalan, 1998: 3-4). Salah satu cara yang diyakini dapat
menghadapi keterbatasan tersebut adalah dengan melakukan suatu upacara adat.
Orang-orang yang melakukan upacara adat, mempunyai kepercayaan
bahwa keterbatasan yang dimiliki manusia dapat diatasi dengan keterlibatan para
leluhur. Oleh karena itu, roh-roh halus atau roh para leluhur harus di beri sesaji
dan harus dihormati agar mau membantu atau memberi pertolongan kepada
26
manusia untuk menyelesaikan segala hal yang tidak bisa diselesaikan oleh
manusia. Jadi, upacara adat tersebut pada umumnya bertujuan untuk
menghormati, mensyukuri, memuja, dan mohon keselamatan melalui perantara
mahluk halus dan roh para leluhurnya.
Dalam buku yang berjudul Fungsi Upacara Adat Bagi Masyarakat
Pendukungnya Masa Kini karya Ani Rostiyanti (1995). Menerangkan bahwa
dalam dunia ini ada yang disebut dengan konsep makro kosmos dan mikro
kosmos. Yang disebut dengan makro kosmos adalah alam semesta, sedangkan
manusia adalah bagian dari makro kosmos, yaitu disebut mikro kosmos. Dalam
makro kosmos terdapat dua komponen, yaitu komponen materi seperti tanah,
gunung, sungai, laut, dan komponen nonmateri seperti lingkungan gaib positif
(tuhan, roh-roh leluhur yang baik), serta lingkungan gaib negatif (tempat roh-roh
jahat berada). Manusia posisinya berada di tengah dan harus menjaga agar tidak
ada yang menyimpang dari tata kosmos tersebut, karena jika ada yang
menyimpang berarti akan merusak keseimbangan kosmos. Seperti pernyataan Ani
Rostiyanti sebagai berikut:
“manusia yang berada ditengah harus menjaga dua komponen tersebut,
salah satu caranya adalah melakukan upacara yang menjaga hubungan
manusia dengan komponen makro kosmos tersebut” (1995: 107).
Dari pernyataan dan penjelasan dari Ani Rostiyati di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pelaksanaan upacara adat, selain bertujuan untuk mencari
keselamatan, juga untuk menjaga kelestarian kosmos. Sehingga, pada hakekatnya
upacara adat itu adalah suatu penghubung atau media antara manusia dengan
27
tuhan dan roh-roh halus yang dipercayai oleh orang-orang yang melaksanakan
upacara tersebut.
Selain mempunyai fungsi spiritual, upacara adat juga mempunyai fungsi
sosial. Nilai atau norma sosial yang terdapat dalam sebuah upacara adat tidak
disuguhkan secara tertulis tetapi tersirat seperti melalui sesaji dalam upacara adat,
yang sesungguhnya merupakan suatu simbol. Simbol atau lambang tersebut
mempunyai norma atau aturan yang mencerminkan nilai atau asumsi apa yang
baik dan apa yang tidak baik, sehingga dapat dipakai sebagai kontrol sosial dan
pedoman berprilaku bagi masyarakat pendukungnya. Pengendalian sosial ini
bersifat positif karena berisi anjuran, pendidikan, dan arahan sebagai pedoman
perilaku warganya sesuai dengan kehendak sosial atau masyarakatnya (Rostiyati,
1995: 112).
Upacara adat juga berfungsi sebagai media sosial, karena dalam upacara
adat setiap anggota masyarakat akan melakukan suatu hubungan sosial atau
kontak sosial. Persiapan dan pelaksanaan suatu upacara adat pasti akan dilakukan
secara gotong royong oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dengan demikian
akan terwujud adanya kebersamaan, integritas, solidaritas, dan komunikasi di
antara warga masyarakat pendukungnya.
2. 3 Kepercayaan dan Sifat Orang Sunda
Agama yang banyak dianut oleh orang Sunda sama seperti agama yang
dianut oleh orang-orang Indonesia yang lainnya, agama yang diaut oleh orang
Sunda tersebut adalah agama Islam. Berdasarkan dari cerita seorang bernama
28
Marco Polo yang berkebangsaaan Italia, bahwa di daerah Aceh Utara pada tahun
1292 dia menjumpai seorang penduduk yang sudah memeluk agama Islam. Di
daerah tersebut, ditemukan juga para pedagang yang berasal dari India sedang giat
menyebarkan agama Islam. Selain itu, keterangan tentang masuknya agama Islam
ke Indonesia dapat dilihat pada batu nisan Malik Al-Saleh yang meninggal pada
tahun 1297 Masehi. Dari keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa
Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Aceh, pada akhir abad ke-13 dan
awal abad ke-14, dengan dibawa oleh para pedagang dari India (Soekmono, 2008
b: 42-43). Masuknya Islam ke Aceh merupakan pintu masuk agama Islam ke
wilayah lain di Indonesia termasuk ke wilayah Sunda.
Hubungan Sunda dan Islam itu sendiri terdapat dalam cerita pantun
Sulanjana dan Sri Sadana. Dalam pantun Sulanjana yang telah diterjemahkan dan
diterangkan oleh Jakob Soemardjo (2003), dalam salah satu sub bab yang terdapat
pada bukunya yang berjudul Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda (Tafsir-Tafsir
Pantun Sunda). Dalam pantun Sulanjana, disebutkan bahwa Alloh SWT sebagai
pencipta segala-galanya. Dalam pantun tersebut juga dijelaskan bahwa sebelum
segala sesuatu ada, yang ada adalah awung-awung awang-awang, lalu muncullah
Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad terciptalah para malaikat, jin, setan,
siluman, bumi, serta langit. Alloh SWT memanggil empat malaikat untuk
membuat jasad manusia dari api, angin, tanah, dan air lalu lahirlah Rama Adam.
Sewaktu Rama Adam sholat, terciptalah segala isi bumi. Lalu Alloh SWT
menyuruh para malaikat untuk mengambil rusuk kiri Rama Adam lalu dicampur
dengan unsur tanah, air, angin, api maka terciptalah Ibu Hawa. Selain itu juga,
29
dijelaskan tentang lapisan-lapisan keberadaan surga. Dengan demikian, dapat
ditarik kesimpulan bahwa Islam dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat
Sunda. Namun orang Sunda juga tidak mau meninggalkan kepercayaan Sunda
sebelumnya (2003: 321-322). Masyarakat Sunda sangat kuat sekali memegang
budaya nenek moyang mereka. Meskipun telah memeluk agama Islam, tetapi
dasar kepercayaan asli (animisme), yang sudah bercampur dengan kebudayaan
Hindu dan Budha, umumnya masih kuat dipegangnya (Soeganda, 1982: 9).
Pada buku yang berjudul Upacara Tradisional Daerah Jawa Barat yang
ditulis oleh tim dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984) diterangkan
bahwa pada jaman dahulu di daerah Sunda, ada suatu kepercayaan yang disebut
dengan kepercayaan Sunda Wiwitan. Pada jaman Sunda Wiwitan ditandai dengan
dengan adanya kepercayaan terhadap Sunan Ambu sebagai supernatural yang
menjadi anutan masyarakat Sunda pada waktu itu (1984: 100). Kepercayaan
Sunda Wiwitan telah ada sebelum Islam datang ke daerah Sunda. Arti dari
Wiwitan itu sendiri adalah mula pertama, asal, pokok, jati (Ekadjati, 2005: 62).
Secara keseluruhan yang dimaksud dengan Sunda Wiwitan adalah Sunda yang
pertama ada.
Dari kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda itu, dapat kita lihat
bagaimana sifat-sifat yang dimiliki oleh orang Sunda. Sebagaimana yang
diutarakan oleh Jakob Soemardjo, yaitu:
“Sebagai putera-puteri Ambu Sunda, Orang Sunda amat ramah, lembut
hati, rasa kekeluargaan yang dalam, defensive tidak agresif, dan memiliki
religionsitas yang dalam pula” (2003: 319).
30
Sifat orang Sunda itu seperti seorang ibu yang penuh kasih sayang, melindungi,
dan lembut. Dengan demikian, tidak heran jika orang Sunda lebih mengagungkan
perempuan dari pada laki-laki. Perempuan oleh orang Sunda dianggap sebagai
pembawa kehidupan.
Dalam bukunya yang berjudul Upacara adat Di Pasundan, karya R.Akip
Prawira Soeganda (1982) diterangkan bahwa keadaan daerah Sunda merupakan
daerah yang berbukit dan mempunyai tanah yang subur. Tanah Sunda sangat
cocok sekali digunakan untuk bercocok tanam. Tanaman yang banyak ditanam
adalah padi, karena padi merupakan makanan pokok orang Sunda. Seperti
pernyataan yang diutarakan oleh R.Akip Prawira Soeganda (1982) dalam bukunya
tersebut, Yaitu:
“Di antara segala pekerjaan orang tani di tanah Pasundan, yang penting
sekali ialah menanam padi” (1982: 150).
Masyarakat Sunda tinggal di daerah yang berbukit-bukit, sehingga mata
pencaharian mereka adalah dengan usaha pertanian. Jenis pertanian yang mereka
lakukan adalah berladang, sehingga mereka disebut dengan sebutan masyarakat
peladang.
Dari jenis usaha yang dilakukan oleh masyarakat Sunda ini bisa dilihat
bagaimana ciri dari sifat orang Sunda. Ciri dari sifat orang Sunda yang pada
dasarnya adalah peladang, yaitu bersifat produktif sekaligus konsumtif, karena
merupakan gabungan dari sifat orang peramu atau pemburu dan sifat orang sawah,
selain itu sifat orang peladang dalam organisasi sosial adalah lebih mementingkan
hubungan darah daripada hubungan lokalitas (Sumardjo, 2003: 39).
Download