1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia

advertisement
1
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral
triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity).
Terumbu karang memiliki nilai yang sangat penting di wilayah pesisir. Terumbu
karang dan segala kehidupan yang ada di dalamnya merupakan salah satu
kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Tingginya keanekaragaman hayati
tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis
melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti variasi iklim musiman,
arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa air dari dua samudra, serta
keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya.
Terletak pada wilayah perairan dangkal, ekosistem terumbu karang memang
tidak langsung dapat terlihat karena berada di dasar laut, sehingga perhatian
masyarakat pada umumnya maupun pemerintah pada khususnya terhadap
pentingnya nilai ekologis dan ekonomis serta permasalahan terumbu karang di
Kabupaten Kepulauan Selayar dinilai cukup lambat. Keterlambatan dalam
penangangan masalah tersebut disebabkan oleh berbagai kendala, misalnya
masalah teknologi, kemampuan penyelaman hingga kebijakan pemerintah. Namun
demikian, meningkatnya jumlah penduduk serta faktor-faktor ekonomi lain,
menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam laut dan ekosistemnya semakin
meningkat pula. Hal tersebut semakin dipicu oleh kegiatan yang tidak mengacu
pada kriteria-kriteria pembangunan berwawasan lingkungan serta pemanfaatan
sumberdaya alam laut yang berlebihan.
Salah satu cara untuk mengelola ekosistem terumbu karang adalah dengan
membuat sistem zonasi pengelolaannya. Sangatlah penting untuk membuat zonasi
sehingga sensitif area dapat terlindung dari kegiatan yang merusak serta
pemanfaatan intensif dapat dilakukan secara berkelanjutan. Zonasi kawasan
koservasi merupakan model pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas
fungsional sesuai denga potensi sumberdaya, daya dukung dan proses-proses
ekologis yang berlangsung sebagai suatu kesatuan ekosistem. KKLD secara
khusus dirancang untuk memberi izin pemanfaatan yang berwawasan lingkungan
2
di dalam kawasan. Tetapi pemanfaatan diatur di dalam zona tertentu yang cocok
peruntukannya agar supaya tidak terjadi konflik pemanfaatan ruang (Dermawan et
al. 2007).
Pulau Pasi yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten
Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan berada pada posisi geografis 6o5’ 6o13’ LS dan 120o23’ - 120o27’ BT terletak disebelah Barat Pulau Selayar. Pulau
Pasi memiliki luas ± 2 388.78 Ha dengan panjang garis pantai ± 29.5 km,
matapencaharian masyarakatnya didominasi oleh nelayan dan petani (PPTK
UNHAS 2007). Pulau Pasi berjarak sekitar 1 (satu) kilometer dari Pulau Selayar,
dapat ditempuh melalui jalur laut selama 20-30 menit dengan menggunakan kapal
tradisional (jarangka). Pada sebelah Timur Pulau Pasi yang juga merupakan selat
antara Pulau Selayar dan Pulau Pasi merupakan alur pelayaran tradisional yang
menghubungkan antara Pulau Selayar sebagai daratan utama sekaligus lokasi
ibukota kabupaten dengan pulau-pulau lainnya yang berada dalam wilayah
administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar.
Walaupun memiliki nilai sumberdaya yang penting bagi masyarakat,
terumbu karang di Pulau Pasi sangat rentan terhadap gangguan. Penambangan
karang, penggunaan bahan peledak, racun sianida, dan cara tangkap lainnya yang
kurang bersahabat dengan ekosistem terumbu karang, merupakan ancaman umum
yang dapat mengganggu kondisi lingkungan pesisir dan laut di daerah tersebut.
Untuk
mengantisipasi
masalah-masalah
tersebut
diperlukan
suatu
pengelolaan yang tepat. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah perlindungan
sumberdaya alam yang dapat dilakukan melalui konservasi dengan cara
menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis biota laut,
gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi Kawasan Konservasi Laut
(KKL). KKL tersebut pada dasarnya merupakan gerbang terakhir perlindungan
dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya kelautan dan ekosistemnya. Melalui
cara tersebut diharapkan upaya perlindungan secara lestari terhadap sistem
penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya serta
pemanfaatan sumberdaya alam laut secara berkelanjutan dapat terwujud. Fungsi
kawasan konservasi laut tersebut ditujukan untuk memelihara sumber induk
(brood stocks), agar jumlah dan ukurannya dapat meningkat sehingga produksi
3
benih dari hasil spawning akan lebih baik dan melimpah. Kawasan laut yang
dilindungi ini diharapkan menjadi sumber benih, tempat ikan bertelur,
membersarkan larva dan sebagai daerah asuhan juvenil (ikan kecil) serta menjadi
penyedia ikan-ikan dewasa untuk perairan di sekitarnya (Dahuri 2004; Tulungan
et al. 2002).
Di beberapa tempat, KKL telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam
melindungi keanekaragaman hayati pesisir
dan laut, serta pengelolaan
pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, seperti perikanan tangkap dan
pariwisata. Banyak contoh tentang dampak dari dibentuknya kawasan konservasi
laut, Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi laut dalam mendukung
perikanan berkelanjutan. Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa wilayah notake-zone memiliki persediaan ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar
serta komposisi spesies yang lebih beragam (spesies ikan komersial berukuran
lebih besar) bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan. Namun dampak
langsung manfaat perikanan jauh lebih sulit untuk dibuktikan di lapangan dan
oleh karenanya dari berbagai kajian yang telah dilaksanakan, banyak yang
menggunakan
model
matematis
alih-alih
observasi
lapangan
untuk
mengkuantifikasi manfaat perikanan. Sebagian besar model menunjukkan bahwa
perikanan benar-benar dapat memperoleh manfaat dari kawasan konservasi laut,
dan model tersebut juga menunjukan bahwa penangkapan yang berkelanjutan
dapat dimaksimalkan jika kurang lebih 30 % habitat sepenuhnya dilindungi dari
kegiatan penangkapan (Roberts & Hawkins 2000).
Selain itu, Roberts dan Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya
kecenderungan nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat
kawasan perlindungan (‘fishing the line’) menunjukan bukti manfaat dari wilayah
perlindungan bagi perikanan komersial. Selanjutnya, McClanahan (1994) yang
juga diacu dalam sumber ini juga menjelaskan bahwa dari 110 spesies yang
tercatat di dalam wilayah terumbu karang yang dilindungi, 52 di antaranya tidak
dijumpai di wilayah penangkapan.
Beberapa cuplikan tentang dampak kawasan konservasi laut di wilayah
Indo-Pasifik berdasarkan negara. Antara lain: Indonesia, Biomassa dan rata-rata
ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar
4
wilayah perlindungan kecil di Sulawesi Utara (Blongko and Kakarotan)
(McClanahan et al. 2006); Papua New Guinea, Biomassa dan rata-rata ukuran
spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah
perlindungan yang dikelola secara tradisional (Muluk dan Ahus) (McClanahan et
al. 2006); Philipina, Biomassa predator ukuran besar meningkat 8 kali di wilayah
perlindungan. Di wilayah penangkapan, rata-rata kerapatan dan keragaman
spesies dari predator besar juga meningkat (Russ dan Alcala 1996 in Roberts &
Hawkins 2000); Hawaii, Persediaan ikan tercatat 63% lebih banyak di dalam
wilayah larangan penangkapan (Grigg 1994 in Roberts & Hawkins 2000). Kenya,
Persediaan spesies ikan komersial utama (groupers, snappers, and emperors)
tercatat 10 kali lebih banyak di dalam wilayah yang sepenuhnya dilindungi di
Kisite Marine National Park bila dibandingkan di wilayah perlindungan di mana
penangkapan diizinkan (Watson & Ormond 1994 in Roberts & Hawkins 2000).
Nilai penting kawasan konservasi bagi kepentingan ekonomi, khususnya
dalam pembangunan perikanan, telah dilakukan berbagai penelitian di beberapa
Negara, antara lain: Peningkatan produksi telur di dalam kawasan konservasi laut
hingga 10 kali lipat, Kelimpahan jumlah ikan di dalam kawasan konservasi laut
hingga 2 sampai 9 kali lipat, Peningkatan ukuran rata-rata ikan di dalam kawasan
konservasi laut antara 33-300 %, Peningkatan keanekaragaman species di dalam
kawasan konservasi laut antara 30-50 %, dan Peningkatan hasil tangkapan ikan di
luar cagar alam antara 40-90 % (Sumardja 2002).
Dari hasil kajian yang dilakukan oleh PPTK UNHAS (2007) didapatkan
bahwa kondisi terumbu karang disepanjang pantai Pulau Pasi dapat dikategorikan
sedang karena rata-rata persentase tutupan karang hidupnya sebesar 29% dimana
dari 10 (sepuluh) stasiun pengamatan yang ada, sebagian besar kondisi karangnya
dalam kondisi yang baik dengan luas total terumbu karang 408.36 Ha. Pada tahun
2007, Pemerintah Daerah menginisiasi Pulau Pasi sebagai Kawasan Konservasi
Laut Daerah dilanjutkan dengan SK BUPATI No. 03. A Tahun 2009 tentang
penetapan KKLD Kabupaten Kepulauan Selayar, namun belum terbentuk zonazona pengelolaan. Hal ini yang kemudian menjadi perhatian untuk dapat
dikembangkan baik dari segi luasan, batas kawasan maupun pembagian zonasi
pengelolaannya.
5
1.2
Perumusan Masalah
Penetapan kawasan konservasi laut daerah Pulau Pasi oleh Bupati
merupakan langkah bijak yang ditempuh oleh pemerintah daerah dalam upaya
pelestarian sumberdaya pesisir dan laut. Penelitian yang dilakukan sebelumnya
hanya mampu memberikan rekomendasi tentang kelayakan perairan Pulau Pasi
sebagai kawasan konservasi laut daerah namun belum ditetapkan tentang zonasi
pengelolaannya.
Luasan kawasan konservasi laut tergantung dari ketersediaan lahan yang ada
pada suatu lokasi, yang terpenting adalah dalam wilayah tersebut dapat dibagi
kedalam sistem zonasi sehingga pengelolaanya dapat lebih baik, belum ada
batasan luasan secara saintifik. Ada yang berpendapat bahwa kawasan konservasi
seharusnya memperhatikan integritas ekosistem yang akan dilindungi. The United
Nations (UN) memberikan suatu contoh pendekatan sederhana tentang luasan
kawasan konservasi yaiut 1 000 hektar (IUCN & EUROPARC 2000).
Permasalah yang coba dikaji dalam penelitian ini adalah:
a.
Luasan KKLD yang diharapkan dapat mencakup keseluruhan dari pulau
tersebut,
b.
Belum adanya pembagian zonasi pengelolaan Kawasan Konservasi Laut
Daerah Pulau Pasi.
c.
Keterbatasan data dan informasi aktual tentang kondisi biofisik perairan
Pulau Pasi sebagai bahan peyusunan zonasi pengelolaan.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah:
a.
Mendesain zonasi multiguna kawasan konservasi laut daerah di Pulau Pasi.
b.
Menentukan batas kawasan konservasi laut daerah Pulau Pasi beserta
petanya.
1.4
Manfaat Penelitian
Data dan informasi yang didapat diharapkan akan mampu memberikan
masukan bagi pengembangan KKLD Pulau Pasi baik dari potensi sumberdaya
terumbu karang, luasan KKLD, maupun pembagian zonasi sehingga dapat
membantu Pemerintah Daerah dalam penyusunan rencana pengelolaan dan
6
regulasi yang dapat mendukung keberadaan KKLD Pulau Pasi Kabupaten
Kepulauan Selayar.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar
Provinsi Sulawesi Selatan, dengan batasan lingkup penelitian berupa kajian
tentang penyusunan desain zonasi pengelolaan KKLD Pulau Pasi. Pengamatan
dilakukan melalui survei bioekologis dan aspek sosial yang terdiri dari persentase
tutupan karang, kelimpahan ikan ekonomis penting, ikan indikator, serta informasi
penting lainnya dari masyarakat setempat dan pemetaan spasial zona kawasan
konservasi.
1.6
Kerangka Pemikiran
Kawasan Konservasi Laut Daerah sebagai salah satu model pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan diharapkan akan mampu memberi jaminan
kepada masyarakat pesisir khususnya nelayan sebagai persediaan sumberdaya
yang berkelanjutan. Salah satu funsgi kawasan konservasi laut adalah sebagai
daerah perlindungan habitat dan spesies ikan. Dengan demikian KKL diharapkan
dapat berfungsi sebagai “bank” sumber daya perikanan yang dapat mendukung
peningkatan dan keberlanjutan pendapatan masyarakat, khususnya nelayan.
Pulau Pasi telah di rekomendasikan untuk dijadikan sebagai Kawasan
Konservasi Laut Daerah yang diusulkan berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh PPTK UNHAS dan COREMAP II Selayar namun luasan KKLD
tersebut dianggap masih perlu untuk ditingkatkan serta perlunya pembagian
zonasi pengelolaan. Luasan kawasan konservasi laut diharapkan mencakup 20 30% dari total terumbu karang yang ada, hal ini dimaksudkan agar kawasan
konservasi yang luas tersebut dapat memberikan proteksi atau perlindungan yang
maksimal bagi banyak spesies ataupun banyak populasi dalam jumlah yang besar
(Jones 2007).
7
INPUT :
Data Biofisik,
Data Sosial,
Peta Dasar
DESAIN AWAL:
Data dan informasi untuk
mendapatkan rancangan
awal zona inti KKLD
VERIFIKASI:
Rancangan zonasi
sementara di cocokkan
dengan kondisi lokasi,
pengumpulan informasi
tentang persepsi
stakeholder
PENGOLAHAN:
Rancangan zonasi di
revisi berdasarkan
tambahan informasi
terbaru kondisi
lapangan untuk
dioverlay
OUTPUT:
Peta KKLD, Zonasi
Multiguna KKLD,
Batas KKLD.
Gambar 1 Diagram input output kegiatan penelitian.
Pembentukan zonasi pengelolaan diharapkan akan dapat membantu dalam
menyusun perencanaan pengelolaan kawasan konservasi beserta regulasi dan
sarana
pendukung
dalam
mengoptimalkan
keberadaan
KKLD
tersebut.
Pengembangan KKLD yang telah ada tersebut haruslah mempertimbangkan
kondisi ekologi dan aspirasi dari masyarakat setempat selaku pemanfaat
sumberdaya sehingga diharapkan KKLD yang terbentuk nantinya akan
memberikan hasil yang optimal baik bagi ekosistem itu sendiri maupun bagi
masyarakat di wilayah pesisir.
Download