ii. tinjauan pustaka

advertisement
5
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Labi-labi
Klasifikasi Amyda cartilaginea menurut Ernst dan Barbour (1989) adalah
sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Ordo
: Testudines
Sub-Ordo
: Criptodira
Famili
: Trionychidae
Genus
: Amyda
Spesies
: Amyda cartilaginea (Boddaert 1770)
Kasmirudin (1998) menyatakan bahwa terdapat perkembangan takson A.
cartilaginea dari masing-masing ahli. Nama spesimen tipe yang pertama diberi
nama Testudo cartilaginea oleh Boddaert pada tahun 1770 dengan type locality di
Jawa (Bour et al. 1995). Kemudian Geoffroy Saint-Hilaire (1809) memberi nama
Trionyx javanicus. Boulenger (1889) memberi nama Trionyx cartilagineus di
bawah genus Trionyx. Siebenrock tahun 1909 dan Anandale tahun 1912
menyetujui nama Trionyx cartilagineus. Hasil penelitian morfologi karapas family
Trionychidae yang dilakukan Meylan (1987) menyatakan bahwa genus Trionyx
yang menyebar di Asia Tenggara sebagai genus Amyda Boddaert dan yang
menyebar di Rusia, Cina sampai Jepang adalah Plediscus sinensis Wiegmann,
sedangkan genus Trionyx hanya menyebar di perairan tawar Afrika yaitu di
Sungai Nil.
Dalam penelitiannya, Kusdinar (1995) menggunakan nama Trionyx
cartilaginous Boddaert untuk kura-kura belawa, sedangkan Kasmirudin (1998)
dalam penelitiannya di Bengkulu dan Palembang menggunakan nama A.
cartilaginea. Mashar (2009) dalam penelitian karakteristik morfologi kura-kura
belawa menyimpulkan bahwa kura-kura belawa merupakan jenis A. cartilaginea,
6 termasuk pada kelompok kura-kura berkarapas lunak. Spesies A. cartilaginea
yang menurut Pritchard (1979) adalah Trionyx cartilaginous adalah anggota
family Trionychidae yang dikenal sebagai kura-kura berkarapas lunak Asiatic Soft
Shelled Turtles, dengan ciri-ciri umum adalah karapas dan plastron tidak punya
lempeng epidermis, hanya berupa kulit lunak, tubuh pipih, ekor pendek dan
tungkai dengan jari-jari yang nampak jelas dengan 3 cakar.
Nama daerah untuk labi-labi cukup banyak, misalnya masyarakat pasundan
(Jawa Barat) menyebut kuya, masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat)
menamakan labi, dan masyarakat yang bermukim di Kalimantan menyebutnya
bidawang. Di dunia Internasional labi-labi dikenal sebagai soft-shelled turtles. Hal
tersebut dikarenakan karapas atau cangkangnya lebih lunak jika dibandingkan
dengan karapas penyu (marine turtles) yang 100% hidup di air asin (Kairuman &
Amri 2002).
Bentuk tubuh labi-labi sangat khas berbentuk theca yaitu oval agak lonjong,
pipih, dan tanpa sisik. Di sisi belakang dari karapas terdapat pelebaran pipih yang
bentuknya membulat mengikuti bentuk karapas bagian belakang, dengan tekstur
seperti tulang rawan (cartilage). Hidungnya memanjang membentuk tabung
seperti belalai. Sepasang tungkai kaki di depannya masing-masing berkuku tiga
buah dan berselaput renang, demikian pula sepasang tungkai kaki belakangnya.
Dengan dua pasang tungkai tersebut, labi-labi dapat berenang dengan cepat karena
selaput renangnya cukup besar dan bisa berlari di daratan. Labi-labi tidak bergigi,
tetapi rahangnya sangat kuat dan tajam. Matanya berukuran relatif kecil dan
lubang hidungnya terletak di ujung belalai yang kecil dan pendek. Mulutnya
mempunyai bibir yang relatif tebal. Hewan ini termasuk jenis yang mempunyai
leher relatif panjang karena dapat mencapai paling sedikit pertengahan dari
karapasnya (Kairuman & Amri 2002). Leher labi-labi dapat dipanjang-pendekkan,
jika ingin melindungi dirinya maka akan memendekkan lehernya dan
memasukkan kepala serta tungkai-tungkainya ke dalam theca (Iskandar 2000).
Labi-labi memiliki karapas yang ditutupi oleh kulit, dan sebagian dibangun
dari tulang rawan. Warna karapas hitam sampai abu-abu, pada perisai punggung
terdapat bintil-bintil kecil membentuk garis putus-putus dari depan ke belakang.
Kadang-kadang ditemui juga bercak hitam bertemu putih melengkung sebanyak
7
6-10 pada bagian belakang perisainya, terutama pada individu muda. Kepala dan
kaki berwarna hitam atau abu-abu, pada hewan muda umumnya dijumpai bintilbintil berwarna kuning (Iskandar 2000). Di Kalimantan Timur, ditemukan labilabi berwarna kuning memiliki tubuh yang lebih tipis/ramping dengan bagian
supracaudal dan marginal karapas lebar dan tipis. Labi-labi berwarna kuning
umumnya diperoleh di sungai besar berarus kuat (Kusrini et al. 2009). Bagian
plastron (ventral) berwarna putih pucat pada A. cartilaginea dewasa dan
kemerahan pada individu muda (Elviana 2000). Plastron berwarna putih susu atau
kadang-kadang sampai kuning tua, tergantung dari habitat dan lingkungannya
(Kairuman & Amri 2002). Perbedaan ciri individu muda dan individu dewasa A.
cartilaginea adalah guratan-guratan dan bintik-bintik hitam atau kuning pada
karapas. Tanda-tanda khas dipermukaan karapas mulai berkurang, kecuali bintikbintik kuning pada kepala tetap ada sampai mencapai ukuran maksimal. Kaki
menyerupai dayung dengan 3 jari bercakar (Elviana 2000).
Labi-labi dapat mencapai sekitar 100 cm, pada umumnya hanya sekitar 60
cm saja. Ukuran morfometri labi-labi yang pernah diukur di Belawa, Bengkulu,
dan Palembang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Ukuran Morfometri Labi-labi A. cartilaginea yang pernah diukur di
beberapa daerah
Parameter
Belawa
a.
Panjang Karapas (cm)
b. Lebar Karapas (cm)
c.
Bobot Tubuh (kg)
Bengkulu
a.
Panjang Karapas (cm)
b. Lebar Karapas (cm)
c.
Bobot Tubuh (kg)
Palembang
a.
Panjang Karapas (cm)
b. Lebar Karapas (cm)
c.
Bobot Tubuh (kg)
Jantan
Kisaran
Rataan
Betina
Kisaran
Rataan
32,9-66,9
23,8-50,7
3,3-29,8
53,6
39,4
16,7
26,4-68,7
20-51
1,9-30,2
41,8
30,2
8,9
11-18,5
10-16,5
0,2-0,6
15,3
13,2
0,4
14-18
12-16
0,2-0,6
16,3
14,2
0,4
9-21
8,5-17
0,08-0,8
16,2
13,2
0,3
9-18,5
8-17,5
0,1-0,9
14,2
12,4
0,3
8 2.2
Perilaku
Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam
tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya.
Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan hidupnya,
melakukan
kegiatan-kegiatan
yang
agresif,
melakukan
persaingan
dan
bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin,
reproduksi dan lainnya (Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah untuk
menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun
dari dalam (Tanudimadja 1978 dalam Alikodra 2002)
Labi-labi bisa hidup pada iklim yang berbeda, dari musim panas, dingin,
semi, hingga musim gugur. Ia termasuk hewan berdarah dingin, yang artinya suhu
tubuhnya tidak tetap tetapi berubah-ubah mengikuti suhu lingkungan di
sekitarnya. Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi aktivitas hewan
tersebut. Pada suhu yang tinggi, labi-labi bersifat lebih aktif dan pada suhu rendah
bersifat kurang aktif.
Dalam keadaan umum, labi-labi selalu bersembunyi di dalam lumpur atau di
dalam pasir di dasar kolam atau sungai, sehingga sulit untuk ditemukan. Labi-labi
hanya kadang-kadang memunculkan hidungnya ke permukaan air (Kusrini et al.
2009). Makanan utama labi-labi adalah ikan, tetapi tidak menolak sisa makanan
manusia (Iskandar 2000). Labi-labi seringkali berada di dalam lubang di pinggir
sungai yang dipakai untuk beristirahat, kawin dan berkumpul dengan labi-labi
lainnya. Lubang dapat dicari berdasarkan tanda-tanda cakaran di sekitar pinggir
sungai. Lubang ini berukuran cukup besar yang sebagian besar berair namun
sebagian lagi kering. Lubang ini biasanya terlihat saat surut yang jika digali bisa
diperoleh sejumlah labi-labi. Jumlah labi-labi yang bisa ditemukan di lubang ini
berkisar 7-12 ekor. Pada saat bertelur, labi-labi akan meletakkan telur-telurnya di
sarang yang bisa berupa banir pohon yang ditutupi daun-daunan dan kayu lapuk di
lantai hutan atau dalam gundukan lumpur, jumlah telur mencapai 20-50 butir
(Kusrini et al. 2009).
Kebiasaan berjemur labi-labi
merupakan salah satu kebutuhan hidup.
Dengan berjemur matahari membuat semua air pada cangkang atas dan bawahnya
9
terjemur kering, sehingga lumut, jamur, parasit yang menempel pada permukaan
badannya dapat kering dan terkelupas. Bila tidak berjemur, maka labi-labi akan
mudah terserang penyakit atau mendapat gangguan fisiologis.
2.3
Demografi Populasi
2.3.1 Populasi
Pengelola harus mempunyai pengetahuan mengenai dinamika populasi dan
interaksi dengan habitatnya agar pengelolaan populasi satwaliar dapat berjalan
secara efektif. Dinamika populasi yang tidak beraturan menurut skala waktunya
(irregular) disebut fluktuasi, sedangkan jika beraturan dan tetap skala waktunya
(reguler) disebut siklik (Alikodra 2002).
Populasi menurut Tarumingkeng (1994) adalah sehimpunan individu atau
kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam suatu spesies
(atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis
yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau
tata ruang tertentu. Sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan
(densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran
(distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran
(dispersal). Populasi juga diartikan sebagai kelompok organisme yang terdiri dari
individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama
dengan tetuanya, bisa menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung
spesies dan kondisi daya dukung habitatnya (Alikodra 2002).
Sifat populasi satwaliar menurut Odum (1994) adalah kerapatan, natalitas
(laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), penyebaran umur, potensi biotik,
dispersi dan bentuk pertumbuhan atau perkembangan. Sifat genetik populasi
berkaitan langsung dengan ekologinya seperti adaptif, sifat keserasian reproduktif
dan ketahanan. Sifat populasi di alam sangat sulit untuk diukur meskipun sudah
ada perbaikan-perbaikan dan perkembangan dalam metodenya. Untungnya,
seringkali tidak perlu mengukur semua sifat populasi tersebut karena kadang sifat
populasi bisa diukur dari data yang lainnya.
10 Siklus hidup labi-labi hampir sama dengan reptil lainnya, yaitu dari telur
menetas menjadi larva, kemudian berubah menjadi tukik dan selanjutnya menjadi
labi-labi remaja, dewasa dan kemudian melakukan perkawinan serta menetaskan
telur untuk melanjutkan keturunannya (Kairuman & Amri 2002). Musim bertelur
labi-labi pada bulan September-Januari dengan puncaknya pada bulan NovemberDesember. Labi-labi bertelur di darat pada saat hari sudah mulai gelap dan
suasana tenang (Kusdinar 1995). Pinggir sungai yang landai sangat menunjang
untuk mencari tempat bertelur karena labi-labi bertelur di pinggiran sungai yang
landai (Nutaphand 1979; Elviana 2000)
Labi-labi bernapas dengan paru-paru, demikian juga dengan anak-anaknya
yang baru menetas. Sepanjang hidupnya, labi-labi tidak pernah mengalami
perubahan alat pernapasan. Jika berada di dalam air sekali-kali kepala labi-labi
akan muncul ke permukaan air untuk menghirup oksigen dari udara bebas. Karena
bernapas dengan paru-paru, peredaran darahnya menyerupai peredaran darah
manusia. Hanya, sekat antar kedua belahan jantungnya belum sempurna, sehingga
darah bersih dan darah kotor masih dapat bercampur di dalam jantung.
2.3.2 Kerapatan Populasi
Indriyanto (2010) menyatakan kerapatan populasi bervariasi menurut waktu
dan tempat. Dalam pengkajian suatu kondisi populasi, kerapatan merupakan
parameter utama yang harus diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu
hal yang menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau ekosistem.
Kerapatan populasi juga sering digunakan untuk mengetahui perubahan populasi
pada saat tertentu. Perubahan tersebut adalah berkurang atau bertambahnya
individu dalam satu unit luas atau volume.
Kerapatan menjadi ciri yang pertama mendapatkan perhatian di dalam
pengkajian populasi. Pengaruh populasi dalam ekosistem tidak hanya bergantung
pada jenis, namun juga pada jumlah individunya atau kerapatan populasinya
(Odum 1994). Perhitungan secara aktual terhadap kerapatan seringkali sangat sulit
untuk dilakukan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Odum (1994)
mengemukakan bahwa kerapatan populasi bisa dihitung dengan beberapa metode,
yaitu (1) Perhitungan total (kadang-kadang mungkin untuk organisme besar, jelas
11
tampak atau berkelompok); (2) Pengambilan contoh secara kuadrat (perhitungan
dan penimbangan organisme dalam petak contoh atau transek yang cukup besar
ukuran dan jumlahnya; (3) Menandai dan menangkap kembali (sampel ditangkap,
ditandai dan dilepaskan kembali; (4) Removal sampling (sejumlah organisme
disingkirkan dari daerah itu; dan (5) Tanpa petak contoh (untuk organisme yang
diam seperti pohon).
2.3.3 Struktur Umur
Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas
umur dari suatu populasi, perbandingan tersebut dapat juga dibedakan menurut
jenis kelaminnya. Struktur umur dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan
perkembangbiakan satwaliar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai
prospek kelstarian satwaliar (Alikodra 2002).
Kajian mengenai dinamika populasi sangat bergantung pada kemampuan
untuk mengenali umur individu dalam populasi tersebut (Caughley 1977).
Namun, menentukan umur satwaliar di lapangan adalah suatu hal yang sangat
sulit untuk dilakukan sehingga perlu dilakukan suatu pendekatan yang lebih
sederhana untuk pendugaan umur (Alikodra 2002).
Penentuan struktur umur labi-labi didasarkan pada Panjang Lengkung
Karapas (PLK), hal ini mengacu pada Alviola et al. (2003) bahwa panjang
karapas pada kura-kura (penyu) merupakan indikator yang baik bagi pertumbuhan
dibandingkan dengan lebar karapas. Pembagian kelas umur mengacu pada Kusrini
et al. (2007), dimana kelas umur labi-labi dibagi kedalam 4 (empat) kelas umur
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Struktur umur labi-labi berdasarkan hasil pengukuran PLK
Kelas Umur
I
II
III
IV
PLK (cm)
≤ 5,9
6,0 – 19,9
20 – 24,9
≥ 25
Struktur Umur
Tukik
Remaja
Dewasa Muda
Dewasa
12 2.3.4 Nisbah kelamin
Indriyanto (2010) menyatakan bahwa selain distribusi individu menurut
kelas umur, ukuran populasi juga dipengaruhi oleh perbandingan jenis kelamin,
yaitu perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi. Keseimbangan
jumlah jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin keberlanjutan
populasi tersebut. Ukuran populasi akan lebih bernilai jika diketahui proporsi
jantan dan betina dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi
ukurannya besar namun perbandingan jantan dan betina tidak seimbang, maka
kemungkinan terjadinya penurunan populasi akan lebih besar.
Identifikasi jenis kelamin pada labi-labi baru dapat dilakukan terhadap labilabi dewasa dengan ukuran PLK lebih dari 25 cm (Oktaviani et al. 2008). Labilabi jantan memiliki ekor berbentuk memanjang sehingga ujungnya banyak
terlihat diluar karapas, sebaliknya pada labi-labi betina bentuk ekor lebih pendek
dan gempal sehingga tidak tampak di luar karapas (Jensen & Das 2008; Kusrini et
al. 2009)
2.4
Habitat dan Penyebaran
Bailey (1984) mengatakan bahwa habitat yang sesuai merupakan habitat
yang mampu menyediakan semua kelengkapan habitat terdiri dari berbagai
macam jenis termasuk makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang
diperlukan oleh spesies satwaliar untuk bertahan hidup dan melangsungkan
reproduksinya secara berhasil. Suatu habitat merupakan hasil interaksi dari
komponen fisik dan komponen biotik. Sedangkan komponen biotik terdiri atas
vegetasi, mikrofauna, makrofauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup
satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar
tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi
lainnya (Alikodra 2002). Habitat satwaliar menyediakan kebutuhan-kebutuhan
yang
mendasar
seperti
pelindung
(cover/shelter),
pakan,
air,
tempat
berkembangbiak. Cover memberikan perlindungan pada satwaliar dari cuaca yang
ekstrim ataupun predator. Berdasarkan sumber pakannya, satwaliar dapat
13
diklasifikasikan sebagai herbivora, spermivora (pemakan biji), frugivora
(pemakan buah), karnivora, omnivora, dan sebagainya.
2.4.1 Faktor Fisik
Faktor fisik yang berperan dalam pertumbuhan populasi labi-labi (A.
cartilaginea) antara lain :
a.
Suhu
Alikodra (2002) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang penting
bagi kehidupan biosfer, karena pengaruhnya besar terhadap bentuk kehidupan.
Reproduksi, pertumbuhan dan kematian suatu organisme dapat dipengaruhi oleh
suhu. Secara umum, suhu berpengaruh terhadap perilaku satwaliar, ukuran tubuh
ataupun bagian-bagiannya. Satwaliar yang hidup di dalam air mempunyai
toleransi yang sempit terhadap suhu jika dibandingkan dengan satwaliar yang
hidup di darat. Berarti suhu air pada wilayah aliran sungai yang dipengaruhi oleh
aktivitas industri akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
kehidupan perairan. Sesuai dengan arah aliran air, maka pengaruh kenaikan suhu
air ini sangat nyata pada wilayah aliran di bagian bawahnya.
Kairuman & Amri (2002) menyebutkan bahwa suhu merupakan faktor
penting dalam kehidupan labi-labi karena dapat mempengaruhi metabolisme. Jika
suhu air rendah, derajat metabolisme akan rendah, begitu pula sebaliknya. Derajat
metabolisme tersebut sangat berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen dan akan
sebanding dengan kenaikan suhu air. Perubahan suhu yang tiba-tiba dapat
menyebabkan terjadinya stres pada labi-labi. Alikodra (2002) menyatakan bahwa
organisme yang mengalami stres akan menyebabkan terganggunya sistem
reproduksi mereka.
Air terdiri atas tiga lapis, yaitu lapisan atas yang disebut efilimnion, lapisan
tengah (termoklin), lapisan bawah yang disebut hipolimnion. Suhu air pada
lapisan efilimnion biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan hipolimnion.
Hal ini disebabkan karena lapisan efilimnion langsung terkena sinar matahari.
Sementara itu, lapisan termoklin biasanya akan mengalami penurunan suhu yang
sangat cepat. Suhu yang paling sesuai untuk kehidupan labi-labi adalah 22-320 C
(Kairuman & Amri 2002).
14 b.
Air
Ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim
lokal. Iklim tidak hanya menentukan kuantitas total air yang tersedia per tahun,
tetapi juga keadaan hujan yang merata sepanjang tahun atau hanya dalam
beberapa bulan saja. Satwaliar memerlukan air untuk beberapa proses yaitu
pencernaan makanan dan metabolisme, mengangkat bahan-bahan sisa dan untuk
pendinginan dalam proses evaporasi. Satwaliar memperoleh air dari berbagai
sumber seperti air bebas yang tersedia di danau, kolam, sungai, bagian vegetasi
yang mengandung air, embun dan air yang dihasilkan dari proses metabolisme
lemak maupun karbohidrat di dalam tubuh (Alikodra 2002).
c.
Tipe substrat dasar perairan
Tipe perairan yang sangat disukai A. cartilaginea adalah perairan tenang,
dengan dasar perairan berlumpur (Rooij 1970; Nutaphand 1979; Ernst & Barbour,
1989). Kondisi seperti ini terdapat di daerah hilir sungai (Bayly & Williams
1981). Tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah yang meliputi
sungai, rawa, dan danau sungai mati (oxbow). Tipe dasar perairan yang berlumpur
sangat disukai A. cartilaginea karena dapat menunjang kegiatan reproduksinya
(tempat breeding ground) dan sebagai tempat bersembunyi (Ernst & Barbour
1989).
d.
Kecerahan
Kecerahan merupakan suatu ukuran biasan cahaya dalam perairan, yang
dapat disebabkan oleh partikel koloid dan tersuspensi. Partikel-partikel ini bisa
berasal dari bahan organik dan bukan bahan organik, seperti lumpur atau sampah.
Kecerahan tidak langsung membahayakan kebidupan labi-labi, tetapi dapat
menghambat penetrasi sinar matahari ke dalam air (Kairuman & Amri 2002).
e.
Kecepatan arus
Labi-labi termasuk ke dalam binatang air karena hidupnya berada di dalam
dan tidak bisa jauh dari perairan. Pergerakan arus air dapat menentukan
penyebaran kehidupan organisme perairan. Organisme yang hidup di sungai yang
arusnya deras harus mampu menahan tubuhnya agar tetap stabil, atau jika tidak
mampu mereka akan bergerak mengikuti pergerakan arus air. Perairan dengan
15
kecepatan permukaan antara 10 s/d 20 cm per detik memiliki dasar perairan
berlumpur (Suwigno 1996) dan ini sesuai sebagai habitat labi-labi.
f.
Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman atau yang lebih dikenal dengan sebutan pH (puissance of
the Hidrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan
suasana asam atau basa suatu perairan. Ukuran nilai pH adalah 1-14 dan angka 7
merupakan pH netral atau normal. Derajat keasaman ini sangat dipengaruhi oleh
konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari,
fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi karbondioksida dan akan
menghasilkan oksigen di dalam air, sehingga menyebabkan pH air meningkat.
Pada malam hari, biota air tadi mengkonsumsi oksigen dalam proses respirasi dan
akan menghasilkan karbondioksida, sehingga pH air akan menurun. Nilai pH air
yang ideal untuk budidaya labi-labi adalah 7-8 (Kairuman & Amri 2002).
2.4.2 Faktor Biotik
Secara biologis, labi-labi pada umumnya menyenangi perairan yang kaya
akan hewan air seperti ikan, molusca, crustacea, dan lain-lain, serta permukaan
airnya terdapat tumbuhan air seperti eceng gondok, salvinia, semanggi, teratai dan
lainnya (Nutaphand 1979). Ketersediaan berbagai sumberdaya ini sebagai potensi
jenis pakan bagi labi-labi. Jenis pakan labi-labi sangat bervariasi, Jensen dan Das
(2005) menemukan bahwa di dalam usus besar labi-labi terdapat materi tumbuhan
dan vertebrata, ini mengindikasikan bahwa labi-labi merupakan hewan omnivora.
Elviana (2000) pernah melakukan penelitian karakteristik habitat labi-labi di
perairan Jambi, datanya dapat di lihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik fisik dan kimia habitat labi-labi di perairan Jambi
(Elviana 2000)
No.
1
2
3
4
5
Karakter
Suhu air (0C)
Suhu udara (0C)
pH sungai
Lebar sungai (m)
Kedalaman (m)
Batang
Pangian
26-28
28-31
6,0-6,3
7,0
1,0-2,0
Batang
Langsip
27-29
28-30
6,5-6,6
6,5
1,5-2,5
Batang
Bulian
27-29
28-31
6,3-6,5
7,5
1,5-2,6
16 Tabel 3 Lanjutan
No.
Karakter
6
Kecepatan arus permukaan
(cm/det)
Debit air (m/det)
Kecerahan air (cm)
Substrat dasar
Pinggir sungai
7
8
9
10
Batang
Pangian
15,4
Batang
Langsip
11,6
Batang
Bulian
11,1
1,62
85
Berlumpur
Landai
1,51
62
Berlumpur
Landai
1,71
80
Berlumpur
Landai
2.4.3 Penyebaran
A. cartilaginea merupakan jenis yang menyebar luas di Asia Tenggara. Di
Indonesia, jenis ini dijumpai di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok.
Penyebaran terkini diketahui terdapat di Sulawesi (Auliya 2007; Koch et al.
2008). Umum dijumpai di daerah yang tenang, berarus lambat, keruh dan
mempunyai lapisan lumpur tebal (Iskandar 2000). Labi-labi banyak ditemukan di
kolam yang berhubungan dengan sungai atau danau. Di Kalimantan Timur, labilabi juga ditemukan di sungai yang terpengaruh pasang surut air laut (Kusrini et
al.2009). Pada beberapa tempat di Cirebon, dijumpai labi-labi di kolam alami
dalam jumlah besar dan dianggap keramat. Nuitja et al. (1994) melaporkan bahwa
habitat
A. cartilaginea dan Dogania subplana sulit dibedakan secara detail.
Namun demikian, A. cartilaginea lebih sering ditemukan di daerah hilir sungai
sedangkan Dogania subplana lebih ke hulu sungai. Farajallah (1995) menyatakan
bahwa A. cartilaginea tidak pernah ditemukan pada sungai yang pasirnya
ditambang atau berdasar batu-batu kecil sampai tanggung.
2.4.4 Seleksi Habitat
Seleksi didefinisikan sebagai proses dimana satwa secara nyata memilih
suatu sumberdaya atau habitat (Johnson 1980). Hadirnya populasi atau individu
tergantung pada kriteria biologi dan fisik serta kriteria ini untuk membangun
habitat. Penggunaan habitat atau (habitat use) merupakan penggunaan dari salah
satu komponen-komponen ini, sedangkan seleksi habitat (habitat selection)
merupakan proses dimana satwa memilih komponen apa yang digunakan.
Pemilihan komponen diatur dalam urutan hierarki dengan urutannya adalah
17
jangkauan geografis, daerah jelajah (home range) individu dalam jarak geografis,
penggunaan komponen dalam home range dan representasi dari bagian komponen
home range yang secara aktual digunakan oleh individu.
Bailey (1984) menyatakan bahwa seleksi habitat merupakan spesialisasi
bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat
tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kesesuaian dalam penggunaan
sumberdaya yang tersedia. Moris (1987) menyatakan bahwa pemilihan habitat
merupakan suatu hal penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara
mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air,
reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Faktor yang
mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi,
toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak
menentukan terjadinya pemilihan habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh
kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa
bagian secara selektif. Beberapa spesies satwaliar menggunkaan habitat secara
selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (misalnya: predasi dan
kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (misalnya: ketersediaan
mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu
ketersediaan pakan, menghindari pesaing, dan menghindari predasi (Moris 1987;
Leksono 2007).
McComb (2007) menjelaskan bahwa perilaku seleksi habitat juga telah
memungkinkan setiap spesies memilih habitat dengan cara yang memungkinkan
untuk mengurangi kompetisi memperoleh sumberdaya dengan spesies lain. Jadi,
tekanan seleksi evolusioner pada setiap spesies, baik abiotik dan biotik telah
menyebabkan spesies tersebut mengembangkan strategi yang berbeda untuk
kelangsungan hidup yang berkaitan dengan seleksi habitat dan dinamika populasi.
Beberapa spesies yang memiliki habitat generalis, dapat menggunakan
sumberdaya makanan dan cover yang luas, spesies generalis cenderung mudah
beradaptasi dan terdapat dalam berbagai macam kondisi lingkungan. Spesiesspesies yang lain memiliki habitat spesialis. Spesies spesialis beradaptasi bertahan
hidup di hutan dengan memanfaatkan penggunaan sekumpulan sumberdaya yang
sempit.
18 Leksono (2007) menjelaskan dua pendekatan untuk mempelajari seleksi
habitat, pertama pendekatan proksimal yakni melihat pemilihan habitat sebagai
mekanisme perilaku dan mempertanyakan dalam rangka fisiologi bagaimana
hewan memilih habitatnya, kedua pendekatan ultimate atau pendekatan evolusi
yakni melihat alasan adaptif untuk pemilihan habitat dan signifikansi evolusioner
dari perilaku yang terlibat.
2.5
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu komponen yang terdiri dari
perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang
bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan
menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG merupakan
suatu sistem komputer yang memiliki empat kemampuan utama dalam menangani
data, yakni : memasukan data (Input Data), mengeluarkan data / informasi,
manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi
data.
Data spasial mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari
data lain, yaitu informasi lokasi dan informasi atribut. Informasi lokasi atau
informasi spasial. Contoh yang umum adalah informasi lintang dan bujur,
termasuk diantaranya informasi datum dan proyeksi. Contoh lain dari informasi
spasial yang bisa digunakan untuk mengidentifikasikan lokasi misalnya adalah
Kode Pos. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial. Suatu lokalitas
bisa mempunyai beberapa atribut atau properti yang berkaitan dengannya,
contohnya jenis bencana, kependudukan, pendapatan per tahun,dan lain-lain .
Kumara (2006) menjelaskan keunggulan-keunggulan SIG sebagai sebuah
perangkat yang sudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan,
menyimpan, memunculkan kembali, mentransformasi dan menampilkan data
spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud dan tujuan tertentu, telah membuat
SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisis spasial dan telah
diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sebagai pemetaan, namun juga
pemanfaatannya dibidang pengelolaan sumberdaya alam maupun konservasi.
19
Sinclair et al. (2006) menyatakan bahwa SIG merupakan sarana yang
menghubungkan informasi geografis yang kompleks dari struktur fisik, relief
topografi, fitur biologis, dan elemen lanskap buatan manusia ke dalam database
komputerisasi. Hal ini memungkinkan pengguna dengan cepat menyaring
informasi spasial yang kompleks dalam konteks visual. Osborne et al. (2001)
menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk membuat pemodelan penggunaan
habitat pada skala lanskap.
2.6
Pemanenan dan Perdagangan
2.6.1 Pemanenan
Pemanenan berarti suatu kegiatan memanen hasil. Suatu hasil atau produk
diperoleh setelah kita memelihara dengan baik, berarti ada unsur pengelolaan.
Satwaliar harus dikelola dengan baik sehingga menghasilkan suatu kondisi populasi
yang sehat dengan laju pertumbuhan yang maksimal (Alikodra 2010). Informasi
dasar mengenai populasi dan biologi suatu spesies merupakan suatu hal yang
penting untuk kegiatan pengelolaan spesies tersebut.
Labi-labi adalah kura-kura air tawar Asia yang paling banyak dipanen dari
alam untuk diperdagangkan guna kebutuhan konsumsi maupun untuk bahan
pembuatan obat tradisional Cina.
Kelimpahan spesies ini di perdagangan
mengalami penurunan sebesar duapertiga dalam kurun waktu 15 tahun terakhir,
yang menggambarkan penurunan populasi alami di Indonesia, dan di beberapa
negara lain pun populasi lokal telah mengalami penurunan (CITES 2004).
Perdagangan yang terus menerus merupakan ancaman utama bagi kelestariannya,
dan perdagangan dalam jumlah besar dapat terlihat di pasar-pasar domestik
membuat kelompok penyu dan kura-kura dapat digunakan sebagai indikator yang
cocok untuk mengevaluasi pengelolaan dan pengendalian pemanenan hidupan liar
dan perdagangannya di Indonesia (Sheperd & Nijman 2007).
Pemanenan labi-labi di alam untuk memenuhi permintaan pasar domestik
dan luar negeri dilakukan tanpa memperhatikan aspek kelestarian populasinya.
Hasil tangkapan dari berbagai ukuran berat diambil untuk dijual kepada para
pengumpul, yang kemudian akan mensortir berdasarkan berat yang bernilai jual
20 tinggi yaitu antara 3 s.d. 15 kg, ukuran ideal untuk konsumsi. CITES Scientific
Authority di Indonesia telah menghimbau untuk tidak melakukan pemanenan
terhadap labi-labi dengan ukuran berat antara 5 s.d. 15 kg karena diduga
merupakan ukuran bagi individu betina yang reproduktif.
2.6.2 Alur Perdagangan
Indonesia merupakan eksportir terbesar untuk kelompok reptil dengan
jumlah ekspor mencapai angka 62% dari total 14 juta individu, sementara negara
pengimpornya berturut-turut adalah Singapura, Uni Eropa dan Jepang. Sheperd
(2000 dalam Nijman 2010) melaporkan ekspor tahunan labi-labi dari Indonesia ke
negara Cina mencapai angka 1 juta kilogram atau diperkirakan setara dengan
200.000 – 300.000 ekor. Sheperd dan Nijman (2007) menyebutkan perdagangan
kelompok penyu dan kura-kura dalam jumlah besar yang terlihat di pasar-pasar
domestik dapat digunakan sebagai indikator yang cocok untuk mengevaluasi
pengelolaan dan pengendalian pemanenan hidupan liar dan perdagangannya di
Indonesia.
Perdagangan kura-kura di Indonesia dan Indochina digambarkan oleh
Traffic (2008) memiliki kesamaan alur maupun pelaku-pelakunya, tetapi di
Indonesia berlangsung lebih dinamis. Dinamika ini ditunjukkan melalui hubungan
antar-pelaku yang berlangsung lebih fleksibel, dimana para penangkap bisa
langsung mengakses para eksportir tanpa melalui para pengumpul maupun
pedagang, sementara di Indochina yang bisa berhubungan dengan para eksportir
hanyalah para pedagang besar tingkat regional atau dengan kata lain hubungan
antara para pelaku memiliki struktur dan alur yang jelas dan tertentu.
2.6.3 Harga
Di negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Cina, Korea, dan Taiwan
sudah sejak lama
menjadikan labi-labi sebagai komoditas perikanan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti halnya ikan dan udang. Tingginya
permintaan daging labi-labi dikarenakan oleh terbukanya peluang ekspor ke
negara-negara di Asia Timur tersebut. Hal ini berawal dari mulai kewalahannya
para pembudidaya labi-labi di negara-negara tersebut untuk memenuhi permintaan
21
konsumen yang cenderung meningkat tajam dari waktu ke waktu. Kondisi ini
mendongkrak harga jual labi-labi ke tingkat yang cukup tinggi.Pada tahun 1999
lalu, harga jual labi-labi ukuran konsumsi di Indonesia yang diekspor ke Taiwan
sekitar 12 dolar AS per ekor untuk labi-labi berumur 1 tahun. Pada awal tahun
2001, harga beli untuk ukuran yang sama di negara pengimpor sudah mencapai
sekitar 20 dolar AS (Amri & Khairuman 2002).
Beberapa hasil penelitian menyebutkan informasi mengenai harga labi-labi
untuk pasar dalam negeri. Nijman et al. (2012) mengemukakan apabila harga labilabi diasumsikan sebesar USD 10,00 per kg maka nilai perdagangan labi-labi
mencapai angka USD 10 juta per tahun untuk beberapa wilayah yang diobservasi.
Harga labi-labi yang berlaku di pasar dalam negeri dibedakan oleh ukuran bobot
tubuhnya. Harga labi-labi di Kalimantan Timur dibagi menjadi tiga kelas yaitu :
kelas < 20 kg, kelas 20-30 kg dan kelas > 30 kg berturut-turut Rp. 24.000/kg, Rp.
22.000/kg dan 20.000/kg (Kusrini et al. 2009), sementara Oktaviani dan Samedi
(2008) menuliskan bahwa harga labi-labi di Sumatera Selatan juga dibedakan
berdasarkan klasifikasi ukuran dan terbagi menjadi 8 kelas dengan harga tertinggi
untuk labi-labi berukuran 3,1 – 9,9 kg yaitu Rp. 10.000 – Rp. 40.000.
Download