BAB I PENDAHULUAN

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan
syaraf pusat hewan berdarah panas disebabkan oleh virus dan dapat menular pada
manusia.
Penyakit
rabies ditularkan oleh virus
Lysavirus dari family
Rhapdoviridae, dengan Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) melalui saliva
seperti anjing, kera, kelelawar dan kucing. Bila penyakit ini menunjukan gejala
klinis pada manusia dan hewan maka akan selalu diakhiri dengan kematian, hal ini
menimbulkan kecemasan bagi orang yang digigit serta menimbulkan keresahan
pada masyarakat. (Depkes RI, 2011)
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kasus rabies tahun
2009 dan 2010 mengalami peningkatan yang tajam dibanding tahun sebelumnya.
Rabies di Asia Tenggara, yang disebabkan oleh gigitan anjing mencapai 90%
(Weiss et al., 1998). Sampai tahun 2010, di Asia dan Afrika diperkirakan 55.000
orang meninggal dunia karena serangan virus ini.
Kondisi di Indonesia sepanjang tahun 2010 juga mengalami peningkatan,
yaitu terjadi 74.858 kasus GHPR, dan 195 kasus kematian.(Depkes RI, 2010).
Sampai tahun 2014, daerah yang dinyatakan tertular rabies adalah 24 provinsi dan
9 provinsi masih dinyatakan sebagai daerah bebas rabies yaitu : DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau,
Bangka Belitung, Papua Barat dan Papua.
1
2
Provinsi Banten juga dinyatakan sebagai daerah terjangkit Rabies, setelah terjadi
kasus rabies dan dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 2008 di
Kabupaten Lebak.
Provinsi Bali merupakan daerah yang secara historis dinyatakan sebagai
daerah bebas rabies, tetapi pada akhir September tahun 2008 terjadi kasus rabies
pertama kali di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pada
bulan Oktober tahun 2008 terjadi 4 kasus kematian akibat rabies sehingga sejak
itu daerah ini dinyatakan sebagai daerah KLB oleh Pemerintah Propinsi Bali
sesuai Peraturan Menteri Pertanian pada tanggal 1 Desember tahun 2008. Hal ini
membuktikan bahwa setiap daerah yang telah dinyatakan bebas rabies masih
memiliki kemungkinan tertular rabies apabila program pencegahan dan
pemberantasan rabies tidak dilakukan secara berkesinambungan.(Soeharsono,
2008)
Kasus gigitan di Provinsi Bali oleh hewan penular rabies masih sangat tinggi,
gigitan per bulan rata-rata 4.500 kasus, hal ini disebabkan hewan penular rabies
(HPR) pada jenis anjing diperkirakan berjumlah 396.958 ekor yang menyebar
pada 8 kabupaten/kota. Jumlah anjing yang sudah divaksinasi sebanyak 326.768
ekor.Tingginya populasi anjing di Propinsi Bali disebabkan umumnya penduduk
gemar memelihara anjing karena dapat dijadikan sebagai hewan peliharaan
kesayangan, penjaga rumah, kebun/ladang dan ternak. Untuk satu ekor anjing
penderita rabies minimal menggigit dua sampai tiga orang per bulan (Putra, 2012).
Tahun 2012 kasus gigitan sebanyak 55.836 kasus yang di VAR sebanyak 52.250
kasus, tahun 2013 terjadi kasus gigitan sebanyak 44.690 kasus yang di VAR
3
sebanyak 37.745 kasus. Pada tahun 2014 kasus gigitan mengalami penurunan
menjadi 39.903 kasus yang di VAR sebanyak 33.284 kasus. Serta pada tahun
2015 kasus gigitan mencapai 35.733 kasus yang di VAR 25.016 kasus. Kasus
gigitan yang berakhir dengan kematian sebanyak 8 kasus pada tahun 2012,
1 kasus pada tahun 2013, 2 kasus pada tahun 2014 dan 15 kasus tahun 2015.
Usaha-usaha pemerintah dalam rangka penanggulangan rabies di Bali telah
dilaksanakan melalui eleminasi, vaksinasi dan penyadaran masyarakat. Namun,
sampai sekarang upaya tersebut belum bisa membebaskan Bali dari zoonosis
tersebut. Menurut WHO (2005) vaksinasi massal merupakan cara yang paling
penting di dalam penanggulangan penyakit rabies. Keberhasilan dari vaksinasi
massal tersebut harus mencakup paling tidak 70% total populasi (Bögel et al.,
1990; Coleman et al.,1996; Mahardika dkk., 2009; Putra dkk., 2009; Naipospos,
2010).
Upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
rabies oleh Dinas Peternakan adalah dengan melaksanakan vaksinasi pada anjing.
Jumlah populasi anjing di Kabupaten Karangasem diperkirakan 34.853 ekor, dan
untuk didaerah pedesaan kebanyakan anjing dilepas oleh pemiliknya dan banyak
pula anjing-anjing yang berkembangbiak demikian saja tanpa ada pemiliknya
(anjing liar). Program vaksinasi pada anjing di Kabupaten Karangasem dimulai
sejak tahun 2009 dengan inteval 2 kali setahun.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem kasus gigitan
anjing pada tahun 2012 sebanyak 4675 kasus, tahun 2013 sebanyak 3401 kasus,
tahun 2014 sebanyak 3917 kasus dan tahun 2015 sebanyak 4543 kasus.
4
Jumlah kejadian rabies pada manusia adalah sebanyak 5 kasus pada tahun
2009, 29 kasus pada tahun 2010, 3 kasus pada tahun 2011, 2 kasus pada tahun
2012, 2 kasus pada tahun 2014 dan 2 kasus tahun 2015. Banyaknya kasus gigitan
anjing di Kabupaten Karangasem dan masih adanya kasus-kasus rabies pada
manusia, menunjukkan belum efektifnya pemberian vaksin pada anjing di
Kabupaten Karangasem. Komitmen pemerintah dalam pengadaan vaksin untuk
anjing cukup tinggi tetapi cakupan vaksinasinya masih rendah yaitu baru
mencapai 49% pada tahun 2014.
Keberhasilan pengendalian penyakit rabies sangat ditentukan oleh cakupan
vaksinasi memadai mencapai di atas 70% (Sugiyama dan Ito, 2007) dan
pengendalian populasi anjing. Upaya untuk vaksinasi pada anjing di Kabupaten
Karangasem diperkirakan menghadapi banyak kendala, terutama di pedesaan.
Sejauh ini belum ada penelitian di Kabupaten Karangasem untuk mengetahui
faktor-faktor yang berkaitan dengan pemberian vaksinasi pada anjing, terutama
untuk daerah pedesaan dimana kebanyakan anjing dibiarkan terlepas oleh
pemiliknya atau anjing yang tanpa pemilik sama sekali.
Dari studi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Karangasem pada 20
responden yang diwawancarai dan pernah digigit anjing 90,0% menyatakan
digigit oleh anjing liar atau yang diliarkan, dan menyatakan memiliki anjing 14
responden dan 9 responden (64,2%) anjing yang dimiliki diliarkan dan tidak
divaksinasi. Hal ini sangat mempengaruhi dalam kesuksesan program pencegahan
penyebaran penyakit rabies karena masih banyak masyarakat memelihara anjing
dengan cara diliarkan, disisi lain diakui bahwa vaksinasi tidak dapat dengan
5
mudah
memecahkan
masalah
rabies
kecuali
dikombinasikan
dengan
langkah-langkah lain mengenai fungsi otoritas seperti pendaftaran, penghapusan
anjing dan pendidikan publik seperti yang disampaikan oleh Ratsitoharina (2009).
Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem, dari
8 kecamatan yang ada, Kecamatan Bebandem merupakan kecamatan dengan
jumlah kasus rabies yang tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya, yaitu
pada tahun 2012 sebanyak 587 kasus, tahun 2013 sebanyak 477 kasus, tahun 2014
sebanyak 625 kasus dan tahun 2015 sebanyak 721 kasus. Kasus GHPR di
Kecamatan Bebandem mengalami peningkatan dan kasus kematian karena rabies
paling tinggi yaitu dari tahun 2010 sampai tahun 2015 sebanyak 10 kasus. Pada
tahun 2012 dari 587 kasus GHPR baru sebanyak 515 orang (87,7%) yang
mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR). Tahun 2013, dari 477 kasus GHPR,
terdapat 415 orang (87%) yang mendapatkan VAR dan tahun 2014 dari 625 kasus
GHPR, 565 (90%) yang mendapatkan VAR dan tahun 2015 dari 721 kasus
GHPR, 590 (80%) yang mendapatkan VAR. (Dinkes Kabupaten Karangasem,
2015).
Berdasarkan hasil wawancara sebagai survei pendahuluan dengan Kepala
Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Karangasem, menyatakan bahwa kegiatan pemberantasan
rabies seperti vaksinasi, eleminasi, sosialisasi telah aktif dilaksanakan, tetapi
dirasakan masih kurangnya tindakan proaktif masyarakat untuk berpartisipasi.
Misalnya, dalam kegiatan vaksinasi masih banyak masyarakat yang tidak mau
datang memvaksin anjingnya ke posko vaksinasi atau membawa langsung
6
anjingnya ke Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Karangasem. Demikian juga dengan upaya pemeliharaan anjing yang dibiarkan
bebas berkeliaran di daerah pemukiman masyarakat tanpa diikat atau
dikandangkan. Hal ini menyebabkan rendahnya cakupan vaksinasi hewan penular
rabies.
Menurut teori Precede dan Proceed pada fase diagnosis pendidikan dan
organisasi bahwa, individu akan melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi
oleh faktor-faktor predisposisi, pemberdayaan, dan penguatan. Model ini
menjelaskan bahwa keyakinan, sikap dan persepsi yang muncul dalam diri
seseorang mempengaruhi tindakan seseorang. Dorongan dari orang lain dan
perilaku petugas peternakan menjadi faktor yang memperkuat terjadinya tindakan.
Ketersediaan sumber daya yang mendukung dalam suatu pelayanan kesehatan
juga akan menjadi faktor pemungkin yang menyebabkan terjadinya suatu
tindakan.
Selain persepsi masyarakat yang keliru tentang penyakit rabies, faktor
sosiodemografi masyarakat seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,
pengetahuan tentang penyakit rabies serta sosioekonomi masyarakat sering
dihubungkan dengan perilaku pencarian pelayanan kesehatan (Notoatmodjo,
2010). Disamping itu kelompok referensi seperti petugas kesehatan, tokoh
masyarakat dan informasi dari media masa juga menentukan perilaku seseorang
untuk mencari pelayanan kesehatan (Rosenstock, 2000, Notoatmodjo, 2010)
Sesuai kondisi di Kecamatan Bebandem tersebut maka peneliti berkeinginan
melakukan penelitian dan diharapkan mampu menjelaskan tentang faktor-faktor
7
yang berhubungan dengan pemberian vaksinasi rabies dalam pemeliharaan anjing
di Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem Tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Di Kabupaten Karangasem, perilaku masyarakat dalam memberikan
vaksinasi rabies dalam pemeliharaan anjing sebagai upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit rabies masih sangat rendah ini terbukti dengan masih
tingginya kasus positif rabies pada anjing. Berdasarkan latar belakang diatas,
rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Apakah ada hubungan antara faktor sosiodemografi dengan praktek
pemberian vaksinasi rabies anjing?
2. Apakah ada hubungan antara faktor predisposisi (pengetahuan, sikap,
persepsi) dengan praktek pemberian vaksinasi rabies anjing?
3. Apakah ada hubungan antara faktor pemungkin (jenis fasilitas pelayanan
vaksinasi, jarak pelayanan vaksinasi) dengan praktek pemberian vaksinasi
rabies anjing?
4. Apakah ada hubungan antara faktor penguat (himbauan petugas
peternakan, himbauan kepala desa/tokoh masyarakat, pernah mengikuti
penyuluhan) dengan praktek pemberian vaksinasi rabies anjing?
8
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian vaksinasi
rabies dalam pemeliharaan anjing di Kecamatan Bebandem Kabupaten
Karangasem.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
pemberian vaksinasi rabies dengan faktor-faktor seperti diuraikan dibawah ini.
1. Sosio-demografi.
2. Predisposisi (pengetahuan, sikap, persepsi).
3. Pemungkin (jenis fasilitas pelayanan vaksinasi, jarak pelayanan
vaksinasi).
4. Penguat (himbauan petugas peternakan, himbauan kepala desa/tokoh
masyarakat, pernah mengikuti penyuluhan).
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis/Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan ilmiah bagi penelitian
selanjutnya mengenai faktor yang berhubungan dengan pemberian vaksinasi
rabies dalam pemeliharaan anjing di Kecamatan Bebandem, Kabupaten
Karangasem tahun 2015.
9
1.4.2 Manfaat Praktis
1.
Bagi tempat penelitian, sebagai masukan kepada masyarakat di Kecamatan
Bebandem dan pemerintah Kabupaten Karangasem mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan pemberian vaksinasi rabies dalam pemeliharaan
anjing di Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem tahun 2015.
2.
Bagi peneliti, menambah pengetahuan dan pengalaman belajar mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian vaksinasi rabies dalam
pemeliharaan anjing.
3.
Bagi pengambil kebijakan, untuk membantu dalam perencanaan program
intervensi pendidikan kesehatan bagi masyarakat agar masyarakat memiliki
pengetahuan, sikap dan perilaku upaya pencegahan dan pengendalian rabies
yang baik.
4.
Sebagai masukan bagi peneliti lain yang berminat untuk mengembangkan
penelitian selanjutnya tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status
pemberian vaksinasi rabies dalam pemeliharaan anjing sebagai upaya
pencegahan rabies.
Download