PENGARUH NIKOTIN PADA GAMBARAN MIKROSKOPIS PANKREAS MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI MALNI SOVINAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Nikotin pada Gambaran Mikroskopis Pankreas Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Diberi Pakan Berenergi Tinggi adalah karya saya dengan arahan Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam tulisan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tulisan ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013 Malni Sovinar B04074001 ABSTRAK MALNI SOVINAR. Pengaruh Nikotin pada Gambaran Mikroskopis Pankreas Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Diberi Pakan Berenergi Tinggi. Dibimbing oleh CHUSNUL CHOLIQ dan ERNI SULISTIAWATI. Nikotin dalam dosis rendah diharapkan dapat digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan seperti obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit lainnya yang merupakan rangkaian kelainan yang dikenal sebagai sindrom metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan mikroskpik organ pankreas Monyet Ekor Panjang (MEP) yang diberi pakan berenergi tinggi dan diintervensi nikotin per oral. Dua belas ekor hewan coba dibagi dalam dua kelompok berdasarkan jenis perlakuan yaitu yang diberi nikotin dan yang tidak diberi nikotin sebagai kontrol negatif. Kelompok yang diberi nikotin yang terdiri atas sepuluh ekor kemudian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis pakan yang diberikan dengan masing-masing terdiri atas lima ekor. Kedua jenis pakan tersebut adalah pakan A dengan kandungan utama lemak sapi (tallow) dan pakan B berupa pakan komersil (monkey chow). Intervensi nikotin cair per oral dengan dosis 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam dilakukan selama tiga bulan pada kedua kelompok. Sementara untuk kelompok kontrol tanpa nikotin yang terdiri atas dua ekor diberikan pakan B. MEP dari kelompok perlakuan dan kontrol dieuthanasia dengan terlebih dahulu dianestesi dengan menggunakan ketamin HCl dosis 10 mg/kg BB, intramuskular. Sediaan histopatologi pankreas dikoleksi berdasarkan tiga area pankreas yaitu kaput, korpus dan kauda yang diwarnai dengan hematoksilin-eosin (HE) dan Congo Red untuk melihat adanya timbunan amiloid pada pulau Langerhans. Analisis data penelitian dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian memberikan gambaran adanya degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada seluruh kelompok perlakuan dan kontrol serta peradangan pada salah satu hewan coba. Namun tidak ditemukan adanya timbunan amiloid pada pulau Langerhans. Berdasarkan hasil penelitian, pemberian nikotin per oral pada MEP yang diberi pakan energi tinggi tidak memberikan gambaran histopatologi pankreas yang berbeda dengan gambaran histopatologi pankreas MEP yang tidak diberi nikotin. Kata kunci: nikotin, monyet ekor panjang, diabetes melitus, amiloidosis ABSTRACT MALNI SOVINAR. Nicotine Effect on Microscopic Findings on Pancreas of the Long Tailed Macaque (MEP) (Macaca fasscicularis) Given High Energy Diet. Supervised by CHUSNUL CHOLIQ and ERNI SULISTIAWATI. Nicotine, in a low dosage, is expected to be used for health problems therapy such as obesity, hypertension, diabetes, heart disease, and other metabolic syndrome diseases. The aim of this study was to evaluate the microscopic changes of the pancreas in long tailed macaque which fed a high-energy diet with an oral intervention of nicotine. Twelve monkeys were devided into two groups based on nicotine and non nicotine treatment. Group with nicotine consisted of ten monkeys were further divided into two groups based on the type of diet. Each group consisted of five monkeys. The main content of diet A was tallow and diet B was commercial feed (monkey chow). Liquid nicotine intervention with a dosage of 0.75 mg/kg body weight were given every twelve hours for three months on both groups. While the non nicotine treatment was a negative control consisted of two monkeys were given diet B. All monkeys were under went to be euthanized by initially anesthetizing using ketamine HCl 10 mg/kg, intramuscularly. Microscopic samples were prepared based on the three pancreatic areas, caput, corpus, and cauda. They were stained with haematoxylin-eosin (HE) for standard staining, and Congo red to evaluated amyloid accumulation on the pancreatic islet. Data were analyzed descriptively and the microscopic findings showed that there were hydropic and lipid degeneration in all treatment and control groups as well as mild inflammation in one of the animals and no evidence of amyloid accumulation. As the conclution that nicotine oral administration on monkeys which fed high energy diets gave no difference in pancreatic microscopic finding amongs the groups. Keywords: nicotine, long tailed macaque, diabetes melitus, amyloidosis PENGARUH NIKOTIN PADA GAMBARAN MIKROSKOPIS PANKREAS MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI MALNI SOVINAR Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Judul Skripsi Nama NIM : Pengaruh Nikotin pada Gambaran Mikroskopis Pankreas Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Diberi Pakan Berenergi Tinggi : Malni Sovinar : B04074001 Disetujui oleh Dr.drh. Chusnul Choliq. MS. MM Pembimbing I Dr. drh. Erni Sulistiawati, SP1 Pembimbing II Diketahui oleh Drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul Pengaruh Nikotin pada Gambaran Mikroskopis Organ Pankreas Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Diberi Pakan Berenergi Tinggi ini disusun sebagai persyaratan kelulusan pada program sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Chusnul Choliq, MS, MM dan Dr. drh. Erni Sulistiawati, SP1 atas segala bimbingan, perhatian, kesabaran dan masukan-masukan yang diberikan selama penyusunan skripsi ini. Juga kepada drh. Retno Wulansari, Msi, PhD dan drh. Leni Maylina, Msi selaku Dosen Penilai dan Moderator. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Anwar Wardi Warongan sebagai Penyandang Dana dan juga Peneliti Utama pada penelitian payung ini, juga kepada Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., PhD, Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS, Pimpinan dan Seluruh Staf Pusat Studi Satwa Primata LPPM IPB atas dukungan, motivasi, bantuan dan fasilitas selama pengerjaan materi penelitian. Terima kasih kepada Papa dan Mama (alm.) yang selalu mengingatkan untuk selalu percaya dan jangan pernah berhenti mengejar mimpi serta kasih sayang yang tulus ikhlas dalam membesarkan dan merawat kami. Kakak-kakak tercinta dan keponakan-keponakan tersayang atas dukungan, cinta dan kasih sayang, keceriaan dan memberikan arti keluarga kepada Penulis. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Staf Laboratorium Patologi PSSP LPPM IPB, drh. Silvi, Bu Lis Rosmanah, Msi dan Pak Rahmat. Kepada Dr. drh. Setyo Widodo sebagai bapak, guru, atasan, terima kasih atas kesabaran, masukan, dukungan dan kesempatan yang telah bapak berikan kepada Penulis. Seluruh Staf departemen Penyakit Dalam FKH-IPB. Serta semua pihak yang telah banyak membantu baik secara moril maupun materiil yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, April 2013 Malni Sovinar DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat Hipotesa 1 1 1 1 TINJAUAN PUSTAKA Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sindrom Metabolik Diabetes Melitus Amiloidosis Pankreas Patologi Pankreas Nikotin 2 3 3 3 4 5 6 METODE Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Analisis Data 7 7 7 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 14 14 DAFTAR PUSTAKA 14 LAMPIRAN 18 RIWAYAT HIDUP 20 DAFTAR TABEL 1 Pengamatan mikroskopis organ pankreas MEP setelah intervensi nikotin 9 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 Monyet Ekor Panjang Histologi organ pankreas Amiloidosis pada sel β pankreas Degenerasi hidropis dan degenerasi lipid pada sel β pankreas Peradangan organ pankreas Pengamatan histologi amiloidosis organ pankreas 2 4 6 9 11 12 DAFTAR LAMPIRAN 1 Tahapan-tahapan untuk melakukan pewarnaan HE 2 Pengamatan mikroskopis organ pankreas 17 19 PENDAHULUAN Meningkatnya masalah kesehatan manusia di dunia tidak terlepas dari pola makan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pola makan yang salah akan berakibat pada munculnya masalah kesehatan seperti obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit lainnya yang merupakan rangkaian kelainan yang dikenal sebagai sindrom metabolik. Tingkat kejadian diabetes pada penderita sindrom metabolik saat ini semakin meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soewondo et al. (2010) terhadap 1800 penderita sindrom metabolik di Jakarta sebanyak 50.9% mengalami hiperglikemi. Menurut data WHO (2011) sebanyak 346 juta penduduk dunia menderita diabetes. Keadaan ini tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang dan terus meningkat dua kali lebih banyak hingga tahun 2030. Faktor lain seperti merokok juga menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit. Namun berdasarkan studi yang dilakukan terhadap MEP yang diberi tambahan nikotin pada pakannya memberikan hasil penurunan ukuran obesitas yang merupakan salah satu rangkaian kelainan pada sindrom metabolik (Ferawati 2010). Untuk mengetahui efek pemberian nikotin terhadap organ pankreas dan kaitannya dalam memperbaiki sindrom metabolik digunakan organ pankreas dari hewan model MEP. Pemilihan MEP sebagai hewan model adalah karena hewan ini memiliki banyak kemiripan dengan manusia dalam hal anatomi maupun fisiologi. Selain itu karena mudah ditemukan dan dapat ditangkarkan (Sajuthi et al. 1993). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perubahan histopatologi organ pankreas MEP yang diberi pakan berenergi tinggi dan diintervensi nikotin cair per oral. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberi informasi dasar mengenai dampak positif intervensi nikotin cair peroral pada MEP yang memiliki diabetes terkait dengan sindrom metabolik akibat pemberian pakan berenergi tinggi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai referensi pada penelitian selanjutnya Hipotesa Interfensi nikotin cair peroral dapat menurunkan risiko kejadian insulitis dan amiloidosis pada pankreas MEP yang diberi pakan berenergi tinggi. 2 TINJAUAN PUSTAKA Monyet Ekor Panjang (M. fascicularis) Monyet ekor panjang (MEP) sering disebut juga long-tailed macaque, crab eating, monkey, dan cinomolgus monkey. Di Indonesia hewan ini diduga berasal dari daratan Asia Tenggara dan penyebarannya diyakini dari barat ke timur dengan Jawa sebagai awal (Wandia 2007). MEP tinggal di hutan primer, hutan sekunder, hutan bakau, rawa, dan hutan sekitar sungai hingga ketinggian 2000 m. Mereka lebih memilih daerah dekat air dan ditemukan dalam kepadatan tinggi pada daerah tepi sungai atau di sepanjang pantai. Subspesies dari MEP bervariasi dalam warna dari cokelat muda atau keabu-abuan dengan rambut kecoklatan menutupi daerah punggung, kaki, dan lengan. Karakteristik yang mendefinisikan sebutan mereka adalah ekornya yang sangat panjang yang hampir selalu lebih panjang dari total panjang kepala dan tubuh dengan rentang panjang rata-rata antara 40 - 65,5 cm. MEP jantan memiliki panjang antara 41,2 - 64,8 cm dan berat rata-rata antara 4,7 dan 8,3 kg. Dan ukuran panjang MEP betina hanya 38,5 – 50,3 cm dan memiliki berat rata-rata antara 2,5 dan 5,7 kg. Selain menjadi lebih tinggi dan lebih berat, monyet jantan memiliki gigi taring yang jauh lebih besar dibandingkan monyet betina. Mereka juga memiliki kantong pipi yang berfungsi untuk menyimpan makanan sementara saat mereka mencari makan (Lang 2006). Morfologi monyet ekor panjang dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Monyet Ekor Panjang (Ecology Asia 2010) MEP telah digunakan secara luas sebagai hewan laboratorium dalam penelitian biomedis, dengan subyek penelitian yang saat ini berasal dari Singapura, Vietnam, dan Pulau Bintan, Indonesia (Villano et. al 2009). Satwa primata ini adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan secara anatomi dan fisiologi, satwa primata memiliki kemiripan dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1993). Pemeliharaan monyet sebagai hewan penelitian harus memenuhi persyaratan yang telah diatur oleh sebuah komisi kesejahteraan hewan. Menurut Moss (1992) kesejahteraan yang dalam arti luas dikenal dengan animal welfare berarti hewan tersebut harus terbebas dari rasa lapar, rasa haus, rasa takut, rasa sakit, rasa tidak nyaman dan juga bebas untuk mengekspresikan diri. 3 Sindrom Metabolik Sindrom metabolik yang juga disebut sindrom resistensi insulin merupakan suatu kumpulan faktor resiko yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular pada obesitas dan diabetes melitus tipe II. Terdapat dua hipotesa mengenai sindrom metabolik. Hipotesa pertama menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin. Resistensi insulin memiliki korelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang atau waist to hip ratio sementara hipotesa kedua menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol di dalam serum akibat stres jangka panjang akan mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin dan dislipidemia yaitu adanya peningkatan kadar trigliserida dan penurunan kadar HDL kolesterol darah (Shahab 2009). Diabetes Melitus Diabetes melitus pada monyet rhesus (Macaca mulatta) didahului oleh fase obesitas dan hiperinsulinemia, keadaan ini mirip dengan diabetes melitus tipe II pada manusia. Hewan dengan usia lebih dari tujuh tahun yang diberi pakan secara ad libitum sering menjadi obes dan beberapa monyet yang mengalami obesitas akan mengalami resistensi insulin dan peningkatan sekresi insulin (Koning et al. 1993). Trigliserida atau yang dikenal sebagai lemak netral merupakan unsur utama dalam bahan makanan asal hewan dan sangat sedikit dalam bahan makanan asal tumbuhan yang sebagian besar akan dipecah oleh lipase menjadi asam lemak bebas dan 2-monogliserida sebelum diserap tubuh (Guyton 2007). Diabetes melitus merupakan suatu sindrom metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Penyakit ini ditandai oleh keadaan hiperglikemia atau kadar glukosa yang meningkat secara kronis. Amiloidosis Amiloidosis adalah penyakit dimana protein, yang disebut amiloid, menumpuk pada organ dan jaringan. Penumpukan ini mungkin terjadi dalam satu organ (lokal) atau seluruh tubuh (sistemik). Deposit amiloid dapat mempengaruhi fungsi setiap organ atau jaringan. Dua kondisi umum yang terkait dengan amiloidosis lokal adalah diabetes tipe II (dimana protein menumpuk di pankreas) dan penyakit Alzheimer (dimana protein menumpuk di otak) (Anonim 2011). Amilin atau islet amiloid polypeptide (IAPP) merupakan polipeptida yang disintesis dan disekresi oleh sel-sel β pankreas bersama-sama dengan insulin. Pada keadaan hiperinsulinemia akan disertai dengan hiperamilinemia dan juga sebaliknya. Keadaan hiperinsulinemia dan hiperamilinemia dapat menyertai keadaan resistensi insulin yang dikenal dengan sindrom metabolik dan diabetes melitus tipe II. Adanya penumpukan amilin di dalam sel-sel β pankreas akan menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin. Selain itu amilin juga dapat 4 merangsang lipolisis dan merupakan salah satu mediator terjadinya resistensi insulin (Shahab 2009). Amiloid merupakan kelompok heterogen protein fibriler patogenetik yang mengendap di dalam jaringan dan organ tubuh. Ketika terjadi penimbunan amiloid, maka atrofi pada jaringan dan organ akan terjadi akibat desakan pada parenkim di sekitarnya. Penumpukan amiloid dapat terjadi tanpa gejala dan hanya ditemukan sebagai perubahan anatomi yang tidak terduga (Mitchel et al. 2008). Pankreas Pankreas adalah suatu kelenjar eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin terdiri atas sel-sel asinar yang menghasilkan getah pankreas yang disekresikan ke dalam duodenum. Bagian endokrin terdiri atas sel-sel pulau Langerhans yang menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang memiliki pengaruh penting pada metabolisme karbohidrat. Hormon-hormon tersebut dilepaskan ke dalam aliran darah (Geneser 1994). Sel-sel endokrin pankreas mengelompok dalam pulau Langerhans. Bentuknya bervariasi, umumnya bulat atau lonjong, bercampur dengan parenkim pankreas yang bersifat eksokrin. Dengan menggunakan pewarnaan histokimia ditemukan empat jenis sel endokrin dalam pulau Langerhans. Keempat jenis sel tersebut antara lain sel α (sel alfa) yang mensekresi glukagon, sel β (sel beta) yang mensekresi insulin, sel δ (sel delta) yang mensekresi somatostatin dan sel PP yang mensekresi polipeptida pankreas. Gambaran histologi organ pankreas dapat dilihat pada Gambar 2. Pankreas HE Pulau Langerhans Sel asinar 50µm Gambar 2 Histologi organ pankreas MEP, pembesaran 200x (Bar=50µm) Populasi sel α berkisar antara 5%-30% dalam pulau Langerhans, sedangkan sel β berjumlah 60%-80% dari seluruh populasi sel pulau Langerhans. Sel δ jarang ditemukan (hanya sekitar 5% pada anjing) dan tersebar terutama di daerah tepi pulau Langerhans. Sel β pada pankreas memiliki batas yang tidak jelas dan berbentuk sudut. Sel β banyak terdapat dalam pulau Langerhans dan mengandung butir-butir yang larut dalam alkohol. Pada beberapa spesies, ukuran butir-butir sel 5 β hanya berbeda sedikit dibandingkan dengan butir sel α. Secara umum, inti sel β berbentuk bulat dan lebih kecil dari sel α. Sel δ mensintesis somatostatin yang diduga memiliki daya kerja menghambat sekresi insulin dan glukagon (Delmann dan Brown 1992). Patologi Pankreas Kerusakan pada parenkim kelenjar pankreas dapat menyebabkan penurunan produksi enzim pankreas seperti amilase, lipase dan tripsin yang diperlukan dalam digesti karbohidrat, lemak, amilum, dan protein. Bila kerusakan tersebut juga merusak bagian pulau-pulau Langerhans maka akan terjadi hiperglikemia dan glikosuria yang umum dikenal sebagai diabetes melitus (Ressang 1984). Pada penderita diabetes melitus, akan terjadi penurunan jumlah pulau-pulau Langerhans dan penurunan ini lebih banyak dijumpai pada diabetes melitus tipe I daripada tipe II. Pada diabetes melitus tipe II, akan terlihat penurunan jumlah sel β pankreas walaupun kejadian penurunan tersebut dapat dijumpai pada penderita diabetes dan bukan penderita diabetes pada usia lanjut, namun secara statistik perbedaan tersebut lebih tinggi terjadi pada penderita diabetes selain itu penderita diabetes melitus tipe II juga terjadi peningkatan proporsi antara sel α dan sel δ pada pulau Langerhans pancreas (Cooperstein dan Watkins 1981). Pada pemeriksaan mikroskopis kelainan pankreas anjing yang mengalami diabetes memperlihatkan adanya perubahan pada bagian parenkim dan pulaupulau Langerhans. Perubahan pada parenkim terlihat adanya degenerasi dan atrofi setempat yang disertai pertambahan jaringan ikat. Sel-sel epitel pada saluran kecil pankreas sering memperlihatkan adanya perlemakan dan vakuolisasi, serta ditemukan degenerasi hidropik ; di samping itu terlihat sklerosis pada pulaupulau Langerhans. Sklerosis pada pulau-pulau Langerhans disebabkan oleh radang atau didahului oleh degenerasi. Degenerasi hidropik pada penderita diabetes biasanya disebabkan oleh infiltrasi glikogen. Perubahan-perubahan pada pulau umumnya disertai atrofi pankreas dan terlihat pertumbuhan jaringan ikat. Biasanya keadaan ini disebabkan oleh pankreatitis menahun (Ressang 1984). Perubahan lain yang dapat terjadi yaitu pada daerah stroma pulau Langerhans pankreas yang diantaranya fibrosis, hyalinisasi (amiloidosis) dan depo kalsium. Terjadinya fibrosis pulau Langerhans merupakan perubahan yang paling sering ditemukan pada penderita diabetes. Hal ini terjadi akibat infiltrasi dari jaringan ikat beserta limfosit dan sel plasma yang menyertai kejadian pankreatitis kronis. Amiloidosis pada pulau Langerhans berhubungan dengan diabetes melitus tipe II meskipun patogenesa terjadinya amiloidosis masih belum jelas. Amiloidosis dapat menjadi faktor utama patofisiologi diabetes melitus tipe II atau dapat terjadi akibat kerusakan pada sel β pankreas. Kondisi ini dapat menentukan tingkat keparahan penyakit diabetes pada manusia (Koning et al. 1993). Gambaran histopatologi organ pankreas yang mengalami amiloidosis dapat dilihat pada Gambar 3. 7 efek dari serotonin dan menimbulkan efek candu, memberikan efek tenang, dan mengurangi rasa sakit (Fielding 1992). Efek nikotin pada perokok dapat menurunkan berat badan akibat adanya peningkatan laju metabolisme tubuh, penurunan efisiensi metabolisme tubuh atau penurunan penyerapan kalori yang dapat menekan nafsu makan. Pada perokok yang menghabiskan 24 batang rokok per hari dengan kandungan nikotin setiap batangnya sebanyak 0.8mg akan mengalami peningkatan penggunaan energi dari 2230 menjadi 2445 kcal/hari, dan berhubungan dengan aktivitas sistem saraf simpatis (Chiolero et al 2008). METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pertama adalah pembentukan hewan model obes yang telah berlangsung selama satu tahun (Februari 2008 – Maret 2009) kemudian dilanjutkan dengan tahap dua, yaitu intervensi nikotin cair (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam) pada hewan model obes tersebut (Maret 2009 – Juni 2009) dilakukan di PT. Indo Anilab, Bogor. Evaluasi mikroskopis pankreas MEP dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012 di Laboratorium Patologi Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB). Penggunaan MEP dalam penelitian ini telah mendapat persetujuan dari komite kesejahteraan hewan dengan nomor ACUC : 04-IA-ACUC-09. Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain dua belas ekor MEP, bahan pakan monyet dengan kandungan utama lemak sapi (tallow) tinggi (pakan A), Monkey chow (pakan B), nikotin cair 0.75 mg/kg berat badan, paraformaldehid, ketamin HCl serta desinfektan. Bahan yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi yaitu pankreas, parafin, alkohol bertingkat (70%, 95%, 100%), xylol, pewarna Haematoxylin-Eosin (HE), pewarna Congo Red. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi yaitu pisau silet, pinset, tissue casette, mikrotom, inkubator, gelas objek, cover glass. Metode Penelitian Hewan dibagi dalam dua kelompok berdasarkan jenis perlakuan. Kelompok perlakuan yang diberikan nikotin terdiri atas sepuluh ekor dan satu kelompok yang tidak diberikan nikotin terdiri atas dua ekor sebagai kontrol negatif. Kelompok perlakuan nikotin kemudian dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri atas lima ekor MEP diberikan pakan A dan pakan B. Sebelum intervensi nikotin, dilakukan pengambilan data untuk semua peubah yang digunakan (Februari - Maret 2009). Intervensi nikotin cair dengan dosis 0,75 8 mg/kg bobot badan/12 jam dilakukan selama tiga bulan (Maret - Juni 2009) pada kedua jenis pakan. Sedangkan kelompok kontrol diberikan pakan B. Akhir penelitian MEP dari seluruh kelompok dieuthanasia, dengan terlebih dahulu dianestesi menggunakan ketamin HCl dosis 10 mg/kg BB, intramuskular. Setelah hewan teranestesi, dilakukan injeksi intravena menggunakan larutan pentobarbital 20% dengan dosis 120-200 mg/kg (Bishop 2005). Organ pankreas dikoleksi berdasarkan tiga area pankreas yaitu kaput (kepala), korpus (badan) dan kauda (ekor). Setiap sampel organ diiris dengan ketebalanl ±0,5 cm. Organ kemudian diproses untuk pembuatan blok parafin yang merupakan bagian dari pembuatan preparat histopatologi, dimulai dari pemotongan jaringan untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan fiksasi alkohol bertingkat (alkohol 70%, 95%, absolut). Setelah itu jaringan dimasukkan ke dalam xylol untuk melarutkan alkohol yang terdapat dalam jaringan, untuk selanjutnya diinfiltrasi dengan paraffin. Proses pembuatan preparat selanjutnya adalah embedding, yaitu suatu proses penanaman jaringan ke dalam blok parafin. Blok parafin kemudian disimpan dalam lemari pendingin (refrigerator) 4-60C. Setiap blok parafin yang berisi jaringan dipotong dengan menggunakan mikrotom dengan tebal irisan 5 µm. Potongan jaringan tersebut diletakkan di atas permukaan air hangat agar jaringan tidak berkerut, selanjutnya jaringan diletakkan di atas gelas obyek untuk diinkubasi selama ±24 jam agar jaringan benar-benar melekat. Kemudian dilakukan proses pewarnaan dengan Haematoxylin-Eosin (HE) sebagai pewarna standar dan Congo Red untuk melihat adanya timbunan amiloid pada pulau Langerhans. Analisis Data Analisis data penelitian dilakukan secara deskriptif pada kelompok sel asinar dan pulau Langherhans melalui evaluasi histopatologi terhadap ada tidaknya inflamasi dan degenerasi pada setiap kelompok sel asinar dan pulau Langerhans serta ada tidaknya akumulasi amiloid pada pulau Langerhans dari setiap hewan. Pengamatan dilakukan dengan pembesaran 100x sebanyak empat lapang pandang dan selanjutnya dilakukan pengamatan dengan pembesaran 400x untuk melihat morfologi sel. Penilaian dilakukan bedasarkan jumlah rata-rata kelompok sel yang teramati dalam empat lapang pandang. Positif 1 (+) bila ratarata wilayah yang teramati mengalami perubahan 1-25% dengan jumlah sel yang mengalami perubahan kurang dari sama dengan 25 sel, positif 2 (++) bila rata-rata wilayah yang teramati mengalami perubahan 26-50% dengan jumlah sel yang mengalami perubahan sebanyak 26 – 50 sel, positif 3 (+++) bila rata-rata wilayah yang teramati mengalami perubahan sebanyak 51-75% dengan jumlah sel yang mengalami perubahan sebanyak 51 – 75 sel dan positif 4 (++++) bila rata-rata wilayah yang teramati mengalami perubahan sebanyak 76-100% dengan jumlah sel yang mengalami perubahan lebih dari 75 sel. 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi mikroskopis organ pankreas dilakukan untuk melihat gambaran organ pankreas terhadap perubahan yang terjadi pada sel-sel endokrin dan eksokrin pankreas pasca pemberian perlakuan nikotin peroral dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengamatan mikroskopis organ pankreas MEP setelah intervensi nikotin. Pengamatan Degenerasi Inflamasi Amiloidosis Keterangan : + : 1-25% Kelompok A ++ + ++ : 26-50% Perlakuan Kelompok B + - +++ : 51-75% Kontrol + - ++++ : 76-100% Hasil pengamatan mikroskopis pada organ pankreas ditemukan adanya degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada seluruh kelompok perlakuan. Pada kelompok A ditemukan jumlah degenerasi baik hidropis maupun lemak lebih banyak disebabkan oleh jenis pakan yang diberikan mengandung lemak lebih tinggi dibanding pakan yang diberikan pada kelompok perlakuan lain. Degenerasi hidropis merupakan perubahan sel yang bersifat sementara (reversible) ditandai dengan adanya vakuol-vakuol di sitoplasma. Gambar pengamatan mikroskopis degenerasi hidropis organ pankreas dapat dilihat pada Gambar 4. A A B B Gambar 4 Degenerasi pada sel β pankreas pada kelompok A, B dan kontrol (K), pembesaran 400x (Bar=50µm) Sel membutuhkan ATPase untuk mengaktifkan pompa sodium potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Pada saat pompa sodium potasium tidak berfungsi, maka pengaturan cairan intraseluler menjadi terganggu sehingga ion Ca+ dan Na+ menjadi tertahan di dalam sel, menyebabkan kondisi sel menjadi hiperosmosis. Hal ini akan mengakibatkan kebengkakan sel dan organel sel yang disebut degenerasi hidropis. Kebengkakan endoplasmik retikulum akan menghambat sintesa protein, sehingga ribosom terlepas dari Rough Endoplasmic 10 Reticulum (RER). Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, untuk sementara sel berusaha memperoleh energi dari sumber mekanisme anaerobik (glikolisis). Penggunaan energi yang bersumber dari glikolisis akan menghasilkan produk asam laktat. Bila hal ini terus terjadi, akumulasi asam laktat akan menyebabkan penurunan pH intraselular yang mengakibatkan penggumpalan kromatin inti (kematian sel) (Cheville 1999). Degenerasi hidropis pada pulau Langerhans juga ditemukan pada penderita diabetes. Degenerasi hidropis pada penderita diabetes biasanya disebabkan oleh infiltrasi glikogen (Toreson 1950; Ressang 1984). Namun pada penelitian ini degenerasi hidropis yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya infiltrasi glikogen pada pulau Langerhans. Hal ini dapat diketahui dari hasil evaluasi glukosa darah pada setiap kelompok perlakuan yang masih dalam kisaran normal yang menunjukkan hewan tidak menderita diabetes. Degenerasi hidropis bisa diakibatkan oleh beberapa kondisi seperti kekurangan oksigen (hipoksia), adanya toksik dan karena pengaruh osmotik. Degenerasi lemak merupakan akumulasi lemak intra seluler. Berbagai jenis lemak dapat mengendap dalam sel, seperti kolesterol, trigliserida dan fosfolipid. Akumulasi tersebut umumnya terjadi bila terlalu banyak asupan lemak bebas ke dalam sel. Lemak yang diperoleh dari proses hidrolisis trigliserida ditranspor dari jaringan adiposa ke jaringan lain dalam bentuk asam lemak bebas untuk menghasilkan energi. Kondisi ini terjadi bila ada mobilisasi lemak dari jaringan adiposa pada keadaan kelaparan dan diabetes melitus (Guyton 2007). Studi yang dilakukan oleh Annisa (2010) mengenai kadar trigliserida menggunakan hewan yang sama menunjukkan adanya peningkatan kadar trigliserida dari 59.6 mg/dl menjadi 115.4 mg/dl pada akhir bulan ke 3 dengan rata-rata kenaikan sebesar 86.07 mg/dl untuk kelompok A dan peningkatan yang terjadi pada kelompok B dari 47.2 menjadi 61.0 mg/dl dengan rata-rata kenaikan sebesar 58.33 mg/dl. Menurut Fortman et al. (2002) kisaran normal trigliserida MEP antara 44 – 76 mg/dl. Trigliserida merupakan lemak netral pada bahan makanan asal hewan sehingga pakan dengan kadar lemak asal hewan yang tinggi yang diberikan pada kelompok A menyebabkan tingginya kadar trigliserida dalam darah. Selain itu, nikotin juga memberikan efek tidak langsung terhadap peningkatan kadar trigliserida melalui pelepasan hormon leptin yang akan meningkatkan metabolisme glukosa dan lemak (Zakariah 2010). Hal lain yang ditemukan pada pengamatan mikroskopis organ pankreas adalah peradangan yang ditemukan pada sel asinar dari kelompok hewan coba yang diberi pakan dengan kandungan tallow tinggi. Peradangan ditemukan pada satu hewan coba dan satu bagian pankreas yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang limfosit. Aktivasi awal enzim zimogen tripsinogen menjadi tripsin pada sel asinar pankreas merupakan pemicu umum terjadinya pankreatitis. Pada manusia, banyak kasus pankreatitis bersifat idiopathic. Adanya mutasi gen juga dapat menjadi salah satu penyebab pankreatitis. Penyebab lainnya adalah obstruksi saluran empedu, hipertrigliseridemia, iskemia pankreas, diet lemak tinggi, dan obat/toksin (Hernandez et al. 2010). Gambar pengamatan mikroskopis peradangan organ pankreas dapat dilihat pada Gambar 5. 11 A Gambar 5 Peradangan organ pankreas pada kelompok A dan B, pembesaran 400x (Bar=50µm) Penyebab terjadinya pankreatitis dalam kaitannya dengan kadar trigliserida yang tinggi dalam darah sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun studi yang dilakukan oleh Linberg (2009) mengatakan jumlah lipoprotein yang besar dapat mengganggu sirkulasi pada pembuluh kapiler. Ketika hal ini terjadi pada pankreas aliran darah akan terganggu sehingga terjadi kerusakan pada bagian asinar pankreas dan menyebabkan kondisi sekitarnya menjadi asam. Enzim lipase yang merembes keluar dari sel asinar kemudian akan memulai hidrolisis trigliserida dan menghasilkan asam lemak bebas dalam jumlah besar. Asam lemak ini akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada sel-sel asinar dan pembuluh darah sekitar. Dalam kondisi asam, asam lemak bebas akan mengaktifkan tripsinogen menjadi tripsin dan menyebabkan peradangan. Jika hal ini terus berlanjut maka pankreas akan mengalami peradangan, edema, dan berpotensi nekrosis. Penyakit yang menyebabkan kerusakan pada saluran pankreas memberikan gambaran serupa dengan pankreatitis kronis akibat sistem autoimun pada manusia, dengan ditemukan adanya limfosit T yang secara selektif menyerang saluran pankreas tersebut (Hernandez at al. 2010). Pengamatan terhadap timbunan amiloid pada pankreas tidak ditemukan karena perubahan pada sel-sel endokrin pankreas masih ringan. Timbunan amiloid yang diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi akan terlihat massa dengan warna hijau berpendar (flouresence), namun pada penelitian ini tidak ditemukan pendaran hijau pada sampel yang diamati. Terjadinya penumpukan amilin didalam sel-sel endokrin pankreas berhubungan dengan tingkat keparahan pada sindrom metabolik dan diabetes melitus tipe II. Penumpukan ini biasa terjadi akibat sintesis yang berlebihan dari sel-sel β pankreas dalam memproduksi insulin (Mitchel et al. 2008). Adanya penumpukan amilin di dalam pulau Langerhans akan menurunkan fungsi sel-sel β pankreas dalam mensekresi insulin. Amilin juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah satu penyebab terjadinya resistensi insulin yang ditandai oleh tingginya kadar glukosa darah (Shahab 2009). Gambar pengamatan histologi amiloidosis organ pankreas dapat dilihat pada Gambar 6. 12 A a Gambar 6. Pengamatan histologi amiloidosis organ pankreas (A). Amiloidosis (a) (http://research.vet.upenn.edu/GeneralPathology/Default .aspx) Nikotin pada studi yang dilakukan oleh Choliq (2012) menggunakan hewan yang sama memberikan pengaruh yang cukup nyata dalam memperbaiki sel-β pankreas dan dapat mengendalikan pelepasan insulin. Hasil evaluasi kadar insulin pada MEP yang diberikan nikotin menunjukkan kisaran yang normal dengan kadar glukosa darah yang juga masih dalam kisaran normal sedangkan pada kelompok tanpa nikotin menunjukkan kadar insulin yang sangat tinggi meskipun kadar glukosa darahnya normal. Pengamatan pada luas area positif insulin dan jumlah sel-β yang ada dalam pulau Lengerhans sebagai sel penghasil insulin memberikan gambaran yang berbeda antara MEP yang diberikan nikotin dan tanpa nikotin. Luas area positif insulin pada MEP kelompok obes dan preobes yang diberikan nikotin lebih besar dibandingkan kelompok tanpa nikotin. Demikian juga pada pengamatan jumlah sel-β, didapatkan jumlah yang lebih banyak pada MEP kelompok obes dan preobes yang diberikan nikotin yaitu 203.2 sel dan 266.9 sel, sedangkan pada kelompok tanpa nikotin sebanyak 180 sel dan 101.6 sel. Kondisi tersebut dapat mengkoreksi kadar insulin dan mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran normal. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iriani (2012) mengenai bobot badan monyet sebelum dan selama intervensi nikotin pada kedua kelompok pakan terjadi kecendrungan penurunan bobot badan setiap bulannya. Pada kelompok A, terjadi penurunan bobot badan dari 4.53 kg pada bulan 0 (sebelum intervensi nikotin), menjadi 4.44 kg pada bulan ke-3 setelah pemberian nikotin dengan penurunan sebesar 0.11 kg dan persentase penurunan 2.4%. Dan pada kelompok B terjadi penurunan dengan rata-rata sebesar 0.06 kg dan persentase penurunan 1.22% yaitu dari 4.92 kg pada bulan 0 (sebelum intervensi nikotin), menjadi 5.04 kg pada bulan ke-3 setelah pemberian nikotin. Kelompok A merupakan hewan coba yang diberi pakan energi tinggi yang berasal dari lemak sapi (tallow) dan gandum. Kelompok B merupakan hewan coba yang diberi pakan komersil (monkey cow) yang memiliki kandungan energi 4.33 Kal/kg (Oktarina 2009). Kecendrungan terjadinya penurunan bobot badan pada masing-masing kelompok perlakuan merupakan salah satu efek pemberian nikotin dosis rendah melalui peningkatan aktivitas tubuh dan penurunan selera makan (Zakariah 2010). Penurunan selera makan pada bulan ke-1 terjadi akibat adanya perubahan rasa, bau, serta tekstur pada pakan setelah pemberian nikotin. Adanya pertambahan bobot badan pada bulan ke-2 dan ke-3 karena hewan telah 13 mengalami proses adaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada pakan sehingga selera makan kembali meningkat. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas ransum yang tergantung pada cita rasa, suhu, ukuran, dan konsistensi pakan (Wiseman dan Cole 1990). Pertambahan bobot badan juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan kesehatan (Ensminger et al. 1990). Hal lain yang mempengaruhi adalah cekaman yang kemudian berpengaruh terhadap penurunan bobot badan hewan dan ketahanan terhadap penyakit. Cekaman dapat disebabkan oleh temperatur, umur, pemberian pakan yang berbeda, pengelolaan, dan kehadiran orang lain. Menurut Anggorodi (1979), pertambahan bobot badan tidak hanya dipengaruhi konsumsi ransum tetapi juga oleh faktor lain seperti konversi ransum, aktivitas fisik dan genetik. Chiolero et al (2008) menyatakan dalam jangka pendek nikotin akan meningkatkan pengeluaran enegi dan mengurangi nafsu makan dengan adanya peningkatan metabolisme rata-rata, penurunan efisiensi metabolisme dan mengurangi absorpsi kalori. Pada penelitian ini, intervensi nikotin menyebabkan perbaikan pada kecernaan nutrien makanan yang diberikan, penurunan konsumsi pakan dan peningkatan pengeluaran energi. Efek lain yang terlihat yaitu adanya peningkatan aktivitas MEP yang terlihat melalui peningkatan frekuensi tingkah laku makan, minum, merawat diri, kontak/sentuhan, maupun akitivitas tubuh lainnya (Zakariah 2010). Selain terjadi penurunan bobot badan, evaluasi kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan A dan B terlihat adanya penurunan yang masih dalam kisaran normal (Iriani 2012). Pada kelompok A, terjadi penurunan kadar glukosa darah dari 57.20 mg/dl pada bulan 0 (sebelum intervensi nikotin), menjadi 33.60 mg/dl pada bulan ke-3 setelah pemberian nikotin dengan penurunan sebesar 23.60 mg/dl dan persentase penurunan 41.30%. Dan pada kelompok B terjadi penurunan dengan rata-rata sebesar 20.20 mg/dl dan persentase penurunan 28.40% yaitu dari 71.20 mg/dl pada bulan 0 (sebelum intervensi nikotin), menjadi 51.00 mg/dl pada bulan ke-3 setelah pemberian nikotin. Menurut Fortman et al. (2002), kadar glukosa darah normal pada MEP yaitu berkisar antara 48 mg/dl sampai 69 mg/dl. Glukosa yang dialirkan di dalam darah merupakan sumber utama energi sel-sel tubuh. Adanya penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas MEP menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan glukosa sebagai sumber energi. Hormon glukagon disekresikan oleh pankreas untuk memecah glikogen menjadi glukosa sebagai sumber energi. Adanya peningkatan kadar glukosa darah akan memberikan efek umpan balik negatif terhadap pankreas untuk mensekresikan insulin sehingga glukosa akan masuk ke dalam sel. Pengaturan kadar glukosa darah ini sangat erat hubungannya dengan hormon insulin dan glukagon pankreas. Bila kadar glukosa dalam darah menurun maka pankreas akan melepaskan hormon glukagon yang akan merubah glikogen pada organ hati menjadi glukosa untuk kemudian dilepaskan kedalam aliran darah sehingga kadar glukosa darah kembali normal. Proses ini dikenal dengan istilah glikogenolisis. Sedangkan bila kadar glukosa darah meningkat, pankreas akan melepaskan hormon insulin yang akan memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel sebagai sumber energi dan merubah glukosa menjadi glikogen di dalam hati dan otot sebagai cadangan sumber energi tubuh. 14 Kadar glukosa darah merupakan salah satu indikator fungsi pankreas berkaitan dengan fungsinya sebagai penghasil insulin. Pada penderita diabetes melitus kadar glukosa darah akan tetap tinggi, dikenal dengan hiperglikemia yang terjadi akibat adanya resistensi insulin perifer, gangguan produksi glukosa hati, maupun akibat kerusakan sel β pankreas (Manikam dan Sayogo 2011). Hasil evaluasi glukosa darah MEP yang masih dalam kisaran normal menunjukkan tidak ada gangguan fungsi pankreas sebagai penghasil insulin dan juga tidak terjadi resistensi insulin pada jaringan target insulin yaitu sel hati, sel adiposa dan sel otot rangka. Pada penelitian ini, evaluasi gambaran histopatologi pankreas akibat pemberian nikotin secara oral belum dapat memberikan gambaran pasti karena degenerasi hidropis dan lemak dapat ditemukan pada seluruh kelompok hewan coba, baik yang diberi perlakuan nikotin ataupun tidak. Hasil evaluasi gambaran histopatologi pankreas pada kelompok perlakuan dan kontrol menunjukkan adanya degenerasi hidropis namun masih ringan. Adanya peradangan pada sel asinar pada kelompok hewan coba yang diberi pakan dengan kandungan tallow tinggi hanya ditemukan pada satu hewan coba dan pada satu bagian pankreas yang diamati merupakan reaksi individu hewan dalam merespon tubuh untuk mencerna dan memetabolisme lemak yang dihasilkan oleh pankreas. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian nikotin per oral dengan dosis rendah (0,75mg/kg bobot badan) pada MEP yang diberi pakan berenergi tinggi selama tiga bulan tidak memberikan gambaran histopatologi yang berbeda dengan MEP yang tidak diberi nikotin. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek pemberian nikotin dengan dosis bertingkat dan waktu pemberian yang lebih panjang untuk mengetahui dosis optimal penggunaan nikotin dalam pengobatan sindrom metabolik yang dilihat dari perubahan pada gambaran histologi organ pankreas. DAFTAR PUSTAKA Andersson K dan Arner P. 2001. Systemic Nicotine Stimulates Human Adipose Tissue Lipolysis Through Local Cholinergic and Catecholaminergic Receptors. Int J Obes Relat Metab Disord 25(8): 1225 – 1232. Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta:PT. Gramedia. 15 Annisa MN. 2010. Evaluasi bobot badan dan profil lipid (total kolesterol, trigliserida dan LDL) pada monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis) dengan diet tinggi lemak dan intervensi nikotin.[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2011. Amiloidosis. University of Maryland Madical Center [Internet] [diunduh 24 Agustus 2011]. Tersedia pada http://www.umm.edu/ altmed/articles/amiloidosis-000007.htm. Bishop Y. 2005. The Veterinary Formulary, 6th edition. Cambridge: Great Britain University Press. Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. United States Of America: Iowa State University Press. Chiolero A, Faeh D, Paccaud F, Cornuz J. 2008. Consequences of smoking for body weight, body fat distribution, and insulin resistance. American Journal Clinical Nutrition 87:801-809. Choliq C. 2012. Peran Nikotin Dosis Rendah Terhadap Profil Glukosa Darah dan Insulin Serta Perubahan Jaringan Pankreas dan Hati Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Cooperstein SJ and Watkins D. 1981. The Islet of Langerhans. Biochemistry, Physiology, and Pathology. New York: Academic Press. Delmann, HD dan Brown, EM. 1992. Buku teks Histologi Veteriner II. Edisi ke3.Hartono R, penerjemah; Jakarta:UI press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Histology. Ensminger, ME, JE.Oldfield and WW.Heinemann. 1990. Feed and Nutrition Digest. 2nd Edition. California:Ensminger Publishing Company. Ferawati NM. 2010. Analisis Profil HDL Kolesterol Pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes yang Diintervensi Nikotin .[Skripsi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fielding JE.1992. Smoking: Health Effects and Control. Maxcy-Rosenau-Last: Public Health and Preventative Medicine. Appleton & Lange, Norwalk, Connecticut. Fortman JD, Hewelt TA, Bennet BT. 2002. The Laboratory Non Human Primate. USA: CRC Press. Geneser F. 1994. Buku teks Histologi, Jilid 2. Gunawijaya FA, penerjemah; Jakarta:Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Textbook of Histology. Guyton, AC dan JE Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta:EGC Medical Publisher. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Hernandez J et al. 2010 Main pitfalls in the management of pancreatitis.Veterinary focus. Aimargues:Royal Canin. Iriani S. 2012. Profil Bobot Badan, Indeks Massa Tubuh dan Glukosa Darah Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Yang Diberi Pakan Tinggi Energi dan Nikotin Cair[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Koning de EJP, Bodkin NL, Hansen BC, Clark A. 1993. Diabetes melitus in Macaca mulatta monkeys is characterized by islet amiloidosis and reduction in beta-cell population. Diabetologia 36(5):378-384. 16 Lang CKA. 2006. Primate Factsheets: Long-tailed macaque (Macaca fascicularis) Taxonomy, Morphology, & Ecology . [Internet]. [diunduh 5 Desember 2011]. Tersedia pada http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/ entry/long-tailed_macaque/. Linberg AD. 2009. Acute Pancreatitis and Hypertriglyceridemia. Gastroenterology Nursing 32(2): 75-82. Manikam NRM dan Sayogo S. 2011. Fruktooligosakarida dan Pengaruhnya terhadap Hormon Glukagon-like Peptide-1 pada Penyandang Diabetes Melitus Tipe 2. Maj Kedokt Indon 61(2):86-91. Mitchell, RN et al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran.Edisi ke-7.Jakarta:EGC Medical Publisher. Terjemahan dari: Pocket Companion to Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease. Moss, R. 1992.Livestock Health and Welfare. Longman Scientific & Technical, United Kingdom. Oktarina, R. 2009. Kajian pakan bersumber energi tinggi pada pembentukan monyet obes.[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Bali: NV percetakan Sajuthi, D, RPA Lelana, D Iskandriati dan B Joeniman. 1993. Karakteristik satwa primata sebagai hewan model untuk penelitian biomedis. Makalah Seminar. Bogor. Shahab A. 2009. Sindrom Metabolik. [Internet]. [diunduh 20 Agustus 2011]. Tersedia http://dokteralwi.com/sindrommetabolik.html. Soewondo P. Purnamasari D. Oemardi M. Waspandji S. Soegondo S. 2010. Prevalence of metabolic syndrome using NCEP/ATP III criteria in Jakarta, Indonesia: the Jakarta primary non-communicable disease risk factors surveillance 2006. Acta Med Indones 42(4):199-203. Toreson WE. 1950. Glycogen Infiltration (So-Called Hydropic Degeneration) in the Pancreas in Human and Experimental Diabetes Mellitus. Am J Pathol 27: 327-346. Villano JS, Ogden BE, Yong PP, Lood NM, Sharp PE. 2009. Morphometrics and Pelage Characterization of Longtailed Macaques (Macaca fascicularis) from Pulau Bintan, Indonesia; Singapore; and Southern Vietnam. J Am Assoc Lab Anim Sci. 2009 November; 48(6): 727–733 Wandia I N. 2007. Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa Timur, Bali, dan Lombok. [Abstrak] Bogor: Institut Pertanian Bogor. [Internet]. [5 Desember 2011]. Tersedia pada http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/40742. [WHO] World Health Organization. 2011. World Diabetes Day 2011. [Internet]. [15 November 2011]. Tersedia pada http://www.who.int/diabetes/en/index.html. WisemanJ, Cole PJA. 1990. Feedstuff Evaluation. Cambridge: University Press Wolff, ME. 1994. Asas-asas Kimia Medisinal. Edisi ke-4. Yogyakarta:Gajah Mada Press Zakariah LMS. 2010. Analisi Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin .[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 17 Lampiran 1 Tahapan-tahapan untuk melakukan pewarnaan HE yaitu: 1. Deparafinisasi Perendaman gelas obyek dalam xylol I selama 3 menit Perendaman dalam xylol II selama 3 menit 2. Dehidrasi Perendaman dalam alkohol absolut selama 3 menit Perendaman dalam alkohol 95% selama 3 menit Perendaman dalam alkohol 80% selama 3 menit Perendaman dalam alkohol 70% selama 3 menit 3. Pembilasan dengan air mengalir 4. Pewarnaan : perendaman dalam Mayer’s Haematoxylin selama 5 menit 5. Pembilasan dengan air mengalir 6. Pewarnaan : perendaman dalam Eosin selama 2-3 menit. 7. Pembilasan dengan air mengalir 8. Dehidrasi Pencelupan dengan alkohol 95% sebanyak 10 kali Pencelupan dengan alkohol absolut I sebanyak 10 kali Pencelupan dengan alkohol absolut II selama 2 menit Pencelupan dengan xylol I selama 3 menit Pencelupan dengan xylol II selama 3 menit Pencelupan dengan xylol III selama 3 menit Setelah proses pewarnaan selesai preparat direkatkan dengan cover glass dengan menggunakan Permount®, lalu diberi label (Hrapchak dan Sheehan 1980) Persiapan untuk pewarnaan dengan menggunakan Congo Red hampir sama dengan prosedur persiapan pada pewarnaan HE, tetapi pemotongan jaringan dengan mikrotom dilakukan setebal 6 µm. Tahapan-tahapan untuk melakukan pewarnaan Congo Red yaitu: 1. Deparafinisasi Perendaman gelas obyek dalam xylol I selama 3 menit Perendaman dalam xylol II selama 3 menit 2. Dehidrasi Perendaman dalam alkohol absolut selama 3 menit Perendaman dalam alkohol 95% selama 3 menit Perendaman dalam alkohol 80% selama 3 menit 3. Pembilasan dengan air mengalir 4. Pewarnaan : perendaman dalam larutan Congo red selama 1-5 menit 5. Pencelupan dengan larutan pottasium hidroxyde selama 2-10 detik 6. Pembilasan dengan air mengalir 7. Pewarnaan HE 8. Pembilasan dengan air mengalir 9. Dehidrasi Pencelupan dengan alkohol 95% sebanyak 10 kali Pencelupan dengan alkohol absolut I sebanyak 10 kali Pencelupan dengan alkohol absolut II selama 2 menit Pencelupan dengan xylol I selama 3 menit 18 Pencelupan dengan xylol II selama 3 menit Pencelupan dengan xylol III selama 3 menit Setelah proses pewarnaan selesai preparat direkatkan dengan cover glass dengan menggunakan Permount®, lalu diberi label (Highman 1946). 19 Lampiran 2 Pengamatan Mikroskopis Organ Pankreas Pewarnaan : HE Kelompok Degenerasi (Hidropis) Inflamasi Nekrosa Massa homogenus Keterangan CP CR CD CP CR CD CP CR CD CP CR CD Congored 0856 + + ++ - + - - - - - + - - 1237 + + ++ - - - - - - - - - 7221 + + - - - - - - 7242 + + + - - - - - - - + 7720 + ++ ++ - - - - - - + - - 0629 + + + - - - - - - - - - 7741 + + + - - - - - - - + + - 2858 + + + - - - - - - - + - - 4674 + + - - - - - - 1233 + + + - - - - - - - - 155 + + + - - - - - - - - - 156 + + + - - - - - - + + + A + vakuol lemak (CP, CR, CD) - + vakuol lemak (CP) B + vakuol lemak (CP) + vakuol lemak (CP) - ++ vakuol lemak (CR) Kontrol Keterangan: CD : Cauda CP : Caput CR : Corpus + : < 25 sel (1%-25%) ++ : 26 – 50 sel (26% – 50%) +++ : 51 – 75 sel (51% - 75%) - ++++ : >76 sel (76% - 100%) 20 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 September 1978 dari pasangan Bapak Nursasongko dan Ibu Herningsih Chaidir (Alm). Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SMU 54 Jakarta pada tahun 1996 dan melanjutkan pendidikan diploma Teknisi Medis Veteriner di Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun1997 dan mendapatkan gelar Amd vet. pada tahun 2000. Pada tahun 2007 Penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur khusus alih jenjang.