BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Badan Pusat Statistika (2015) menunjukkan perekonomian Indonesia pada tahun 2014 tumbuh sebesar 5,02%. Pertumbuhan terjadi pada seluruh lapangan usaha. Informasi dan Komunikasi merupakan lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 10,02%, peringkat kedua datang dari sektor jasa perusahaan sebesar 9,81% dan jasa lainnya sebesar 8,92%. Jika dilihat dari segi struktur perekonomian yang ditinjau dari lapangan usaha pada tahun 2014 didominasi oleh industri pengolahan yang mencapai 21,02%, pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 13,38% serta perdagangan besareceran yang mencapai 13,38%. Kemajuan dari sektor ekonomi khususnya perdagangan yang merupakan penyumbang ketiga terbesar dari pertumbuhan ekonomi sangat nyata terasa jika ditinjau lagi dari tempat terjadinya proses jual beli. Dahulu pasar merupakan salah satu tempat dalam proses jual beli di masyarakat. Dewasa ini keberadaan pasar mulai terkikis dengan hadirnya supermarket, hypermarket maupun minimarket yang menawarkan fungsi pasar sesungguhnya dengan kelebihan pada keamanan, kebersihan serta kenyamanan dalam proses jual beli. Tidak hanya sampai disitu saja, saat ini juga berkembang konsep kekinian yang dikenal sebagai e-commerce yang merupakan salah satu bentuk lapangan usaha sektor informasi dan komunikasi. Electronic Commerce merupakan salah satu bentuk kemajuan pikiran manusia dalam dunia teknologi. Nanehkaran (2013) menjelaskan e-commerce 1 2 merupakan interaksi antara sistem komunikasi, sistem manajemen data dan keamanan karena adanya saling tukar informasi komersial dalam kaitannya dengan produk atau jasa dijual serta tersedia, sehingga komponen utama dari perdagangan elektronik adalah sistem komunikasi, sistem manajemen data dan keamanan. Mirescu (2010) menganalisis dari perspektif umum, e-bisnis dibagi menjadi tiga komponen utama yaitu: dimensi manusia yang mencakup proses dan kegiatan yang berkaitan dengan penelitian, pengembangan, pemasaran, manufaktur, logistik, dan manajemen. Komponen teknologi yang berkaitan dengan sistem informasi secara keseluruhan. Komponen komersial atau e-commerce, yang secara keseluruhan dirasakan sebagai fenomena pada dasarnya menjelaskan pembelian barang dan jasa melalui teknologi internet. Nanehkaran (2013) juga menjelaskan kelebihan dari e-commerce antara lain pihak penyedia website dapat menjual produk setiap waktu dalam 24 jam serta konsumen dapat membeli produk setiap saat melalui website yang dibuka. Para pembeli juga dapat menurunkan biaya transaksi jika membeli di toko online karena menghabiskan biaya operasional yang lebih rendah, konsumen dapat memilih barang dari berbagai prosedur tanpa bergerak secara fisik, dan melalui ecommerce konsumen dapat langsung membandingkan harga berbagai macam produk dalam sekali kunjungan. Wirdasari (2009) menjelaskan secara umum e-commerce dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu business to business dan business to consumer. Business to business merupakan sistem komunikasi online yang transaksinya dilakukan oleh para trading partner yang sudah dikenal. Business to consumer merupakan mekanisme toko online yang sifatnya untuk publik, sehingga setiap individu dapat mengakses melalui website dan internet. 3 Kementerian Komunikasi dan Informatika (2014) menyatakan, pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Semakin bertambahnya pengguna internet di Indonesia membuat produsen berbondong-bondong menciptakan toko online yang sudah banyak dinikmati oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Keberadaan toko onlinepun semakin banyak digemari sebagai salah satu alternatif belanja di Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh menkominfo menyebutkan nilai transaksi ecommerce pada tahun 2013 mencapai angka Rp130 triliun dan diramalkan akan terus bertambah setiap tahunnya karena semakin bertumbuhnya pengguna smartphone, penetrasi internet di Indonesia, penggunaan kartu debit dan kredit, dan tingkat kepercayaan konsumen untuk berbelanja secara online (Mitra, 2014). Penjelasan yang dipaparkan telah menjelaskan bahwa melalui toko online, individu sebagai konsumen akan merasa lebih nyaman dan aman dalam melakukan transaksi pembelian karena menggunakan teknologi internet yang memudahkan konsumen dalam melaksanakan proses tersebut. Selain itu, beberapa toko online telah menyediakan berbagai macam produk, dari produk keperluan sehari-hari seperti makanan, telepon genggam, baju bahkan produk mewah seperti perhiasanpun ada. Konsumenpun merasa dimudahkan karena hanya dengan duduk dan membuka website toko online, konsumen dapat berbelanja produk yang diinginkan tanpa ada usaha lebih untuk langsung datang ke sebuah toko. Kemudahan yang didapatkan akan membuat konsumen menjadi lebih betah berlama-lama untuk berbelanja. Hostler mengungkapkan bahwa 4 perencanaan yang dibuat dapat saja dilupakan dan melakukan pembelian lebih banyak. Hal seperti itu akan merangsang bertumbuhnya perilaku impulsif dalam proses pembelian (Floh & Madleberger, 2013). Goldenson menjelaskan impulsivitas dalam sisi psikologis digambarkan dengan suatu daya yang kuat, bahkan pada waktu tertentu terlihat seperti sebuah dorongan yang sangat menarik dan tidak tertahankan atau kehendak hati yang tiba-tiba untuk bertindak tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu (Rook, 1987). Rook (1987) juga menjelaskan berdasarkan pandangan Freud bahwa impulsif sebagai produk dari tekanan yang saling bersaing antara prinsip kepuasan dan prinsip realitas, dimana prinsip kepuasan lebih unggul dengan kata lain Id sebagai kepuasan lebih unggul dibandingkan Super Ego yang merupakan prinsip realitas ataupun norma individu. Atas dasar itu Rook (1987) menjelaskan pembelian impulsif terjadi ketika konsumen mengalami dorongan tiba-tiba, kuat dan gigih untuk membeli sesuatu sesegera mungkin. Dorongan untuk membeli adalah hedonically kompleks dan dapat merangsang konflik emosional. Pembelian impulsif juga sering mengabaikan pertimbangan atas konsekuensi terhadap sesuatu. Jadi secara garis besar dapat dijelaskan pembelian impulsif terjadi ketika Super Ego tidak dapat mengontrol Id. Pembelian impulsif juga dapat didefinisikan sebagai pembelian yang tidak terencana secara spesifik karena terjadi ketika konsumen tiba-tiba memiliki keinginan yang kuat dan kukuh untuk membeli sesuatu secepatnya (Utami, 2010). Johnson & Laird (dalam Lin & Chuan, 2013) menjelaskan pembelian impulsif sering dibandingkan dengan belanja kompulsif dan adiktif, dan dikategorikan sebagai salah satu kecenderungan perilaku belanja konsumen yang tidak beraturan, cirinya lebih ringan dan sering terjadi pada kehidupan sehari-hari 5 dibandingkan dengan perilaku berbelanja kompulsif dan belanja adiktif. Selain itu perbedaan penting antara pembelian impulsif dan pembelian kompulsif terletak pada motivasi internal atau alasan untuk melakukan suatu pembelian (Hartney, 2016) . Hartney (2016) juga menambahkan bahwa pembelian impulsif sebagian besar tidak direncanakan, dan terjadi pada saat itu sebagai reaksi terhadap pemicu eksternal, seperti ingin cepat membeli ketika melihat item yang diinginkan di toko. Sementara kebiasaan belanja kompulsif lebih dimotivasi oleh diri sendiri atau faktor internal masing-masing individu. Dalam hal ini pembelian kompulsif akan menjadikan pengalaman berbelanja sebagai salah satu cara untuk menghindari perasaan ketidaknyamanan seperti kecemasan. Pelaku pembelian kompulsif akan lebih mudah terperangkap dalam pola perilaku adiktif dimana kegiatan belanja dilakukan untuk meredekan stres dan kecemasannya. Kalla dan Arorra (2011) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif yang dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain perbedaan individu, kebutuhan hedonis, suasana hati, kemampuan regulasi diri, rangsangan autis, status sosial dan kesejahteraan subjektif. Faktor eksternal yang mempengaruhi pembelian impulsif antara lain stimulus visual, format belanja, pelayanan, lingkungan toko, diskon, tampilan, ruang bergerak, faktor lingkungan, faktor sosial, dan kepemilikan kartu kredit. Kahneman (2010) menjelaskan bahwa secara garis besar individu dikendalikan oleh dua sistem. Sistem 1 adalah sistem yang cepat, intuitif dan otomatis tidak dapat dihentikan. Contoh pada saat bersepeda ketika individu melihat lubang di jalan maka individu dengan otomatis akan menghindari lubang 6 tersebut. Sedangkan sistem 2 adalah sistem yang lebih lambat, dikontrol dan memerlukan usaha. Sistem 2 ini merupakan tempat pengendalian diri dan usaha kognitif yang lebih. Penjelasan dari Kahneman (2010) mengenai teori dua sistem ini dapat menjelaskan mengapa seseorang berperilaku impulsif dalam membeli. Seperti yang telah dijelaskan bahwa terdapat banyak faktor yang membuat seseorang berperilaku impulsif dalam membeli. Semakin banyak faktor yang dipaparkan dalam sebuah toko fisik maupun toko online akan melemahkan kerja sistem 2 karena usaha kognitif untuk melihat toko tersebut banyak dipakai dan membuat sistem 2 menjadi lebih sibuk. Sehingga sistem 1 mulai mengambil peran dan perilaku impulsif dalam membelipun muncul karena tidak adanya kontrol dari sistem 2. Salah satu faktor yang telah dipaparkan menjelaskan bahwa tampilan dari sebuah toko akan mempengaruhi pembelian impulsif. Hal ini bisa diterapkan pada toko online melalui tampilan website yang menarik. Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa melalui tampilan website yang baik akan meningkatkan pembelian impulsif. Parboteeah, Valacich dan Wells (2009) menjelaskan kualitas website dapat dimanifestasikan sebagai isyarat lingkungan yang secara langsung mempengaruhi kemungkinan konsumen akan mengalami dorongan untuk membeli secara impulsif. Dawson dan Kim (2009) menjelaskan faktor eksternal dari pembelian impulsif mengacu pada isyarat pemasaran atau rangsangan yang ditempatkan dan dikendalikan oleh pemasar dalam upaya untuk memikat konsumen dalam perilaku pembelian. Konsumen dapat didorong untuk melakukan pembelian impulsif ketika dihadapkan pada isyarat visual seperti insentif promosi. Isyarat pemasaran eksternal tidak hanya menarik pelanggan baru pada situs ritel website, tetapi dapat mempromosikan sesuatu yang lebih pada saat penjualan untuk mendorong pelanggan baru 7 tersebut melakukan pembelian impulsif. Shen dan Khalifah (2012) juga menjelaskan bahwa sebuah penyajian virtual yang menarik dan dikonsep dengan baik memiliki dampak signifikan terhadap pembelian impulsif. Pengalaman virtual tersebut dapat diciptakan melalui penggunaan fitur website interaktif dan hidup. Singh (2006) melakukan percobaan mengenai efek warna di berbagai bidang dan menemukan bahwa melalui warna dapat menambah atau mengurangi nafsu makan, meningkatkan suasana hati, menenangkan pelanggan, dan mengurangi persepsi terhadap waktu yang dibuang sia-sia. Bellizi, Crowley dan Hasty (1983) menyatakan bahwa warna dibedakan menjadi dua, yaitu warna hangat dan warna dingin. Warna hangat antara lain merah dan kuning, sedangkan warna dingin antara lain biru dan hijau. Warna merah cenderung akan dapat meningkatkan tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, keringat dan menggairahkan gelombang otak yang berkontribusi dalam mendorong orangorang untuk membuat keputusan yang cepat (Singh & Srivastava, 2011). Kuning dianggap sebagai warna yang menyenangkan, outgoing, terbuka, dan ramah. Secara psikologis, kuning adalah warna terkuat, dalam studi hubungan warna dengan suasana hati, kuning dikaitkan dengan komedi, suasana hati bahagia dan menyenangkan (Kurt & Osueke, 2014). Hijau memiliki efek negatif, seperti terlalu hambar, membosankan, dan demoralisasi ketika salah digunakan. Sementara biru akan kuat merangsang pemikiran yang jelas dan ringan, biru lembut menenangkan pikiran dan memudahkan untuk dapat lebih berkonsentrasi (Kurt & Osueke, 2014). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa warna yang dapat membuat seseorang lebih impuls dalam belanja adalah warna merah-kuning. Warna merah mendorong orang-orang untuk membuat keputusan yang cepat 8 sementara warna kuning dianggap sebagai warna yang menyenangkan, dikaitkan dengan keceriaan, dan suasana hati bahagia. Parboteeah, Valacich, dan Wells (2009) juga membuktikan bahwa karakteristik website berupa navigasi dan tampilan yang menarik akan mempengaruhi besarnya jumlah pembelian impulsif pada seorang. Navigasi merupakan organisasi dan hierarki layout dari konten dan halaman dalam website (Montoya-Weiss, Voss & Grewal 2003). De Wulf, Schillewaert, Muylle, dan Rangarajan (2005) juga menjelaskan bahwa navigasi mengacu pada konsistensi struktur situs website. Dalam toko online sendiri navigasi merupakan petunjuk untuk melakukan pembelian. Kemudahan navigasi di ritel elektronik secara konseptual terkait dengan disposisi kognitif dan afektif dari pelanggan. Navigasi membingungkan akan membutuhkan lebih banyak usaha kognitif dan mengarah ke suasana hati negatif serta menghambat dalam pengambilan keputusan membeli konsumen (Floh & Madleberger, 2013). Kotler membahas pentingnya atmospherics sebagai alat pemasaran. Atmospherics termasuk pemandangan, suara dan bau yang merupakan bagian dari lingkungan toko berpengaruh terhadap perilaku berbelanja konsumen (Lee & Rao, 2010). Floh dan Madleberger (2013) juga menemukan bahwa melalui athmospheric cues berupa isi, tampilan yang baik dan penggunaan navigasi yang sederhana dari sebuah website belanja akan membuat konsumen merasa nyaman berbelanja dan pada akhirnya akan melakukan pembelian impulsif. Daya tarik tampilan mengacu pada unsur-unsur visualnya, terutama warna yang digunakan dan tata letak keseluruhan. Hasil menunjukkan bahwa desain toko online memengaruhi pembelian impulsif dan berbelanja via variabel mediator yang tampak dari kenyamanan berbelanja, browsing, dan impulsiveness. 9 Penelitian yang dilakukan oleh Floh dan Madleberger (2013) ini menggunakan metode survei. Survei dilakukan melalui email kepada responden yang berisi tentang pertanyaan mengenai pengalaman terakhirnya mengalami pembelian impulsif. Salah satu hasil penelitian yang diterima adalah semakin banyak konsumen melibatkan diri untuk browsing di e-store, maka semakin banyak pula produk yang dibeli baik oleh pria atau wanita secara impulsif. Namun terdapat lagi celah yang perlu digali lebih dalam, yakni atas hubungan sebabakibat dari stimulasi apakah yang menyebabkan pengakses internet melakukan pembelian impulsif. Sehingga meskipun hipotesis yang ada diterima, terdapat kekurangan secara metode dari penelitian tersebut karena menggunakan metode survei bukan metode eksperimen yang langsung menghadirkan stimulus belanja di toko online. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai pembelian impulsif di media online telah berkontribusi membangun sebuah kerangka teoretik. Teori yang sudah ada tersebut masih perlu ada perubahan dari berbagai macam penelitian untuk melengkapi agar menjadi lebih sempurna dan sesuai dengan perkembangan jaman. Madhavaram dan Laverie (2004) menemukan konsep bahwa pembelian impulsif terjadi karena pengakses internet terpapar oleh stimulus selain dari sisi produknya semata. Meskipun demikian riset survei dengan metode in-depth questions yang dipilih belum dapat menjelaskan stimulus apa saja yang menyebabkan terjadinya pembelian impulsif. Bolton Consulting Group (BCG) menemukan pada tahun 2013 masyarakat yang masuk dalam kelas menengah di Indonesia sudah mencapai angka 74 juta orang dan diprediksikan pada tahun 2020, angka ini naik menjadi 141 juta orang atau sekitar 54% dari total penduduk di Indonesia (Mitra, 2014). 10 Berdasarkan data tersebut maka dapat diramalkan potensi pengguna toko online di Indonesia akan semakin bertambah. Para produser akan semakin berlombalomba dalam membuat inovasi terhadap toko online yang dimilikinya agar pembeli menjadi lebih nyaman dalam berbelanja sehingga perilaku impulsif dalam membeli terjadi. Verhagen dan van Dolen (2011) menemukan bahwa pembelian impulsif lebih banyak terjadi pada transaksi online. Perilaku impulsif ini secara tidak langsung akan membuat konsumen rugi karena pada dasarnya barang yang dibeli akibat perilaku tersebut merupakan barang yang tidak terlalu mendesak dan penting. Rook (1987) menemukan dalam percobaannya bahwa 80 persen subjek mengatakan jika mereka mengalami pengalaman negatif sebagai akibat pembelian impulsif. 65% dari responden yang mengalami pengalaman tersebut, mengatakan bahwa konsekuensi negatif yang mereka alami adalah permasalahan finansial, sebanyak 37% mengalami kekecewaan terhadap produk, 20% merasa bersalah ketika perilaku pembelian impulsif itu terjadi, 19% mengalami celaan/penolakan dan 8% subjek mengatakan bahwa pembelian impulsif yang dilakukan merusak perencanaan dalam berdiet. Berbagai macam dampak negatif yang timbul akibat perilaku pembelian impulsif. Perilaku negatif tersebut berdampak buruk pada seorang individu yang mengalaminya. Jika, perilaku pembelian impulsif tidak muncul maka permasalahan finansial, kekecewaan terhadap produk, rasa bersalah tidak akan muncul. Untuk itu diperlukan pemahaman individu agar dapat menghindari stimulus yang menyebabkan perilaku impulsif dalam pembelian. Dengan mengetahui stimulus apa saja yang akan menyebabkan perilaku impulsif dalam membeli, individu sebagai konsumen minimal akan tidak terjebak dalam perilaku pembelian impulsif. 11 Penelitian ini menjadi penting oleh karena telah terjadi pergeseran aktivitas berbelanja konsumen yang semula didasarkan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup yang pada awalnya ketika berbelanja kebutuhan dasar kemudian beralih menjadi belanja secara impulsif oleh pengaruh dari perkembangan strategi pemasaran yang diberikan oleh produsen. Strategi pemasaran dari produsen tersebut telah dijelaskan melalui website toko online yang diungkapkan dalam penelitian ini berupa latar belakang tampilan warna dan navigasi website. Sehingga penelitian ini juga bertujuan untuk menyediakan informasi bagi para produsen agar dapat melakukan inovasi mengenai strategi pemasarannya pada toko online dan pada akhirnya konsumen lebih merasa nyaman dan tertarik berbelanja. Konsekuensinya, peluang produsen untuk mengembangkan bisnis menjadi meningkat dan bagi perkembangan bisnis online tetap terjaga mengikuti perkembangan teknologi. Akhirnya, menjadi jelas bahwa penelitian ini meletakkan dasar keberpihakan penelitian pada perkembangan kajian ilmu pengetahuan psikologi industri dan organisasi, khususnya perilaku konsumen, yang kebermanfaatannya tidak hanya bagi konsumen melainkan juga kepada produsen. Berdasarkan latar belakang tersebut dan temuan dari Floh dan Madleberger (2013) mendorong peneliti ingin melihat efek dari tampilan warna dan navigasi terhadap pembelian impulsif konsumen toko online. Oleh karena itu peneliti ingin meneliti dengan judul efek tampilan warna dan navigasi website terhadap pembelian impulsif konsumen toko online. Penelitian ini akan berfokus pada mahasiswa dengan usia remaja sebagai subjeknya, karena menurut penelitian sebelumnya pembelian impulsif lebih difokuskan pada usia remaja karena adanya faktor disposable income untuk dibelanjakan (Lin & Chuan, 2013). Miladani (2013) juga menjelaskan bahwa perubahan mood yang cepat menjadikan 12 konsumen pada masa ini mudah terpengaruh oleh lingkungan belanja dan melakukan pembelian impulsif. Selain itu, mahasiswa di usia remaja dinilai sudah terbiasa dan sering menggunakan internet sehingga akan lebih familiar dan tidak mengalami kesulitan saat penelitian. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, ada beberapa rumusan permasalahan: “Apakah warna tampilan dan navigasi dalam website secara bersamaan akan meningkatkan pembelian impulsif?” C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris efek dari warna dan navigasi website terhadap pembelian impulsif konsumen toko online. Penelitian ini juga bertujuan untuk menghasilkan penelitian baru mengenai tampilan warna dan navigasi website di Indonesia. Dari hasil penelitian diharapkan dapat menyumbangkan beberapa manfaat sebagai berikut: 1. Memungkinkan munculnya penelitian lain yang serupa dengan tema jenis produk, navigasi dan online impulsive buying, khususnya penelitian di Indonesia. 2. Menambah perkembangan kajian ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya Perilaku Konsumen, melalui efek yang diakibatkan oleh tampilan warna dan metode pembayaran terhadap pembelian impulsif. 13 3. Memberikan edukasi bagi konsumen agar lebih waspada dan penuh kesadaran terhadap stimulasi dari faktor-faktor eksternal toko online yang mengakibatkan terjadinya pembelian impulsif. 4. Menyediakan informasi bagi para ahli pemasaran di media online untuk mengembangkan strategi pemasaran yang efektif demi meningkatkan pembelian impulsif konsumen demi profitabilitas perusahaan. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang berhubungan dengan tampilan warna dan navigasi website terhadap pembelian impulsif. Penelitian yang dilakukan oleh Floh dan Madleberger (2013), memiliki kesamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel bebasnya yaitu atmospheric cues dan variabel tergantungnya yaitu pembelian impulsif. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode yang digunakan adalah metode eksperimen yang menghadirkan stimulus toko online kepada subjek. Penelitian yang dilakukan oleh Parboteeah, Valacich dan Wells (2009), memiliki kesamaan dengan penelitian ini variabel tergantungnya yaitu pembelian impulsif dan media eksperimen berupa toko online. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel bebas yang menggunakan tampilan warna dan navigasi pada website. Lee dan Rao (2010) telah meneliti mengenai efek warna terhadap kepercayaan berbelanja subjek di toko online. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel tergantung yaitu pembelian impulsif sementara penelitian Lee dan Rao lebih mengukur tingkat kepercayaan subjek dalam berbelanja. Selain itu media warna yang dipakai menggunakan warna hangat (merah-kuning) serta 14 warna dingin (biru-hijau). Penelitian ini juga menggunakan navigasi website sebagai salah satu variabel bebasnya.