1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,
mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan
dan nyeri pascabedah.Sesuai dengan anatominya, pembedahan ekstremitas bawah
terdiri atas pembedahan tulang pelvis, femur, tibia, fibula, tarsal, metatarsal, dan
tulang-tulang phalangs.
Inflamasi adalah respons proteksi setempat yang ditimbulkan oleh cedera
atau kerusakan jaringan yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera.
Respons inflamasi berkaitan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi biomarker
inflamasi c-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin
1β(IL-1β), interleukin 6(IL-6), reseptor-reseptor leukosit dan nyeri hebat.
Pembedahan akan menimbulkan responsstres pada tubuh pasien. Respons stres
terdiri dari dua komponen utama, yaitu sitokin dan respons neuroendokrin. Sitokin
utama yang dilepaskan adalah TNF-α, IL-1β,IL-6. Interleukin 6 merupakan
sitokin utama yang bertanggungjawab dalam menginduksi perubahan sistemik
yang dikenal dengan respons fase akut. Salah satu dari respons fase akut adalah
produksi protein fase akut oleh hepar, yaitu c-reactive protein (CRP), fibrinogen,
α2 makroglobulin. Peningkatan kadar CRP dalam serum akan mengikuti
perubahan IL-6. Cedera pembedahan yang menginduksi jalur nosiseptif yang
1
2
mengarah pada aktivasi respons stres neuroendokrin akan berperan pada efek
samping luaran perioperatif. Terdapat dua bentuk input dari jaringan inflamasi ke
SSP. Pertama, dimediasi oleh aktivitas elektrik dalam serabut saraf yang
tersensitisasi. Kedua, respons humoral yang berasal dari jaringan inflamasi,
pelepasan sitokin setelah 2–4 jam akan ditemukan dalam cairan serebrospinal dan
juga akan bekerja pada neuron susunan saraf pusat yang berperan pada signal
interneuron, neuroimun, dan regulator imun di asrosit akhirnya menginduksi
COX-2 dan prostaglandin. Input ini tidak terpengaruh oleh anestesi regional serta
hanya dapat dihambat dengan inhibitor COX-2 yang bekerja sentral (Reuben, S. &
Buvanendran, A. 2009).
Leukosit atau sel darah putih berfungsi untuk membantu tubuh melawan
berbagai penyakit infeksi dan sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Hidup
sel leukosit tidak lama dan jumlahnya yang diperlukan ditempat inflamasi
dipertahankan oleh infulk sel-sel baru dari persediaan di sumsum tulang. Sel-sel
sistem imun non spesifik seperti sel mast, basophil, limfosit, eosinophil dan
makrofag jaringan berperan dalam inflamasi, beberapa diantaranya menimbulkan
vasodilatasi dan edema serta meningkatkan adhesi neutrophil dan monosit ke
endotel. Vasodilatasi meningkatkan persediaan darah untuk memberikan lebih
banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk memerangi anti gen yang
mencetuskan inflamasi. Kerusakan jaringan langsung disebabkan oleh cedera atau
endotoksin yang dilepaskan mikroba menimbulkan pelepasan mediator seperti
prostaglandin dan leukotrien yang meningkatkan permeabilitas vaskuler.
Endotoksin mikroba mengaktifkan makrofag untuk melepas TNF-α dan IL-1
3
dengan sifat vasodilatasi. Hasil pelepasan berbagai mediator tersebut adalah
mengendurkan sel-sel endotel, peningkatan adhesi monosit dan keluarnya sel-sel
jaringan sekitar untuk memakan mikroba. Sel endotel mengkerut bila terjadi
inflamasi, sehingga molekul besar dapat melewati dinding vaskuler (Effendi Z,
2003).
Anestesi epidural merupakan teknik anestesi yang menempatkan obat anestesi
lokal di dalam ruang epidural. Blokade epidural dapat menekan respons
adrenocorticotropin hormone (ACTH) serta kortisol plasma, dan efek blokade
neuroendokrin. Hal ini memperlihatkan input neural yang berasal dari luka operasi
penting di dalam mekanisme aktivasi aksis hypophisis-pituary-adrenal (HPA) di
tingkat otak, hipofisis, dan kelenjar adrenal (Kawasaki dkk. 2007). Samad dkk.
(2002), melalui penelitiannya menyatakan bahwa, epidural hanya dapat
menghambat jalur neural dan tidak dapat menghambat jalur humoral.
Penelitian yang dilakukan oleh Hisyam dkk. (2013) mengenai pengaruh
preventif multimodal analgesia terhadap dinamika kadar IL-1β, intenstas nyeri
pada pascabedah laparatomi ginekologi, didapatkan kesimpulan epidural
bupivacain 0,125% dengan parecoxib 40 mg iv, mengurangi kebutuhan analgetik
epidural maupun analgetika tambahan serta dapat menurunkan kadar IL-1β
pascabedah. Djafar dkk. (2013) mengatakan kombinasi epidural bupivacain
0,125% dan parecoxib 40 mg iv sebagai multimodal preventif analgesia,
berpengaruh tehadap penurunan kadar CRP pada operasi laparatomi ginekologi.
Katz (2008), membandingkan outcome dari penelitian dengan pendekatan yang
dirancang untuk membuktikan pencegahan hipersensitif dari nyeri. Dia
4
melaporkan bahwa cara analgesia preventif menghasilkan efek yang positif lebih
sering dibandingkan preemtif. Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang
menyeluruh terhadap sensitisasi (tidak hanya dari luka sayatan tetapi juga karena
trauma inflamasi) memiliki klinis yang lebih baik. Seiring dengan dipahaminya
bahwa sensitisasi sentral tidak hanya berkaitan dengan nyeri saat dilakukan insisi,
melainkan juga berkaitan dengan luka selama operasi dan inflamasi pascabedah.
Fokus perhatian dialihkan dari masalah waktu pemberian analgesia ke konsep
pencegahan (analgesia preventif). Analgesia preventif bertujuan menghambat
induksi dari sensitisasi sentral sehingga menurunkan intensitas nyeri dan
mengurangi kebutuhan analgetik. Efektifitas preventif multimodal analgesia tidak
hanya bermanfaat dalam menurunkan nyeri akut namun dapat mencegah nyeri
kronik paska bedah (Reuben dkk. 2009). Konsep daripada analgesia preventif
sebenarnya adalah mencegah terjadinya nyeri pascabedah, dimana nyeri kronik
yang persisten bisa terjadi pada 10-50% kasus yang tidak mendapat adekuat
analgetik setelah operasi. Diharapkan melalui pemberian analgetik secara
menyeluruh sebelum nyeri timbul dan sesudah operasi, maka dapat mengurangi
intensitas dan durasi nyeri pada nyeri akut paska operasi, yang pada akhirnya
mencegah timbulnya nyeri persisten.
Melihat uraian di atas, timbul ketertarikan peneliti untuk meneliti pemberian
analgesia preventif parecoxib 40 mg iv dapat menekan peningkatan kadar CRP
dan leukosit pascabedah ekstremitas bawah dengan menggunakan anestesi
epidural.
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang masalah di atas memberikan
dasar bagi peneliti untuk merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1.
Apakah pemberian analgesia preventif parecoxib 40 mg iv pada operasi
ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan
kadar CRP pascabedah.
2.
Apakah pemberian analgesia preventif parecoxib 40 mg iv pada operasi
ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan
kadar leukosit pascabedah.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui apakah pemberian analgesia preventif parecoxib 40
mg iv pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat
menekan peningkatan kadar CRP pascabedah.
2.
Untuk mengetahui apakah pemberian analgesia preventif parecoxib 40
mg iv pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat
menekan peningkatan kadar leukosit pascabedah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
1.
Manfaat akademis
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia
kedokteran khususnya ilmu anestesi.
6
2.
Penelitian ini dapat memberikan penjelasan ilmiah mengenai penggunaan
parecoxib 40 mg iv sebagai analgesia preventif pada operasi ekstremitas
bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan kadar CRP dan
leukosit pascabedah.
1.4.2 Manfaat praktis
Penelitian ini dapat memberikan pilihan obat anestesi sebagai analgesia
preventif pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural.
Download