1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang nomor 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksudkan
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Kesehatan menjadi kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup layak dan
produktif. Warga negara Republik Indonesia juga mempunyai hak dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Diperlukan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang terkendali biaya dan mutunya.
Obat memiliki persentase yang besar terhadap biaya perawatan kesehatan dan
membutuhkan penggunaan obat rasional yang optimal (Depkes RI, 1989).
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat, dan dengan harga yang
paling murah untuk pasien dan masyarakat (WHO, 2012). Penggunaan suatu obat
dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh
pasien lebih besar dibanding manfaatnya. Dampak negatif dapat berupa dampak
klinik misalnya terjadi efek samping, resistensi kuman dan dampak ekonomi
misalnya biaya tidak terjangkau (Depkes RI, 2012).
Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan
1
2
perorangan (Depkes RI, 2009). Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) (Depkes RI, 2014a). Undang - Undang No. 24 Tahun 2011 tentang
BPJS menyatakan bahwa BPJS Kesehatan mulai menyelenggarakan program JKN
pada tanggal 1 Januari 2014.
Puskesmas merupakan penyedia layanan kesehatan tingkat pertama untuk
pasien JKN yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014. Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Perlu dilakukan evaluasi mengenai penggunaan obat di puskesmas, salah
satunya yaitu dengan menggunakan indikator yang telah dikembangkan oleh
WHO yang sebelumnya dikembangkan oleh International Network for the
Rational Use of Drug (INRUD) yaitu indikator WHO 1993. Indikator WHO 1993
mempunyai
tujuan
untuk
mengetahui pengukuran objektif
yang dapat
menggambarkan penggunaan obat di suatu negara, wilayah, atau fasilitas
kesehatan rawat jalan (WHO, 1993).
Penelitian dilakukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
penggunaan obat yang optimal dengan mengevaluasi peresepan di Puskesmas
Jetis Yogyakarta menggunakan indikator peresepan WHO 1993 dan dilanjutkan
2
3
dengan memeriksa kesesuaian peresepan pasien JKN dengan Formularium
Nasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah :
Bagaimana penggunaan obat pada pasien rawat jalan di Puskesmas Jetis
Yogyakarta untuk pasien JKN berdasarkan indikator peresepan WHO, yaitu :
1. Berapakah rata-rata jumlah obat tiap lembar resep, persentase obat dengan
nama generik, persentase lembar resep yang berisi antibiotik, lembar resep
yang berisi sediaan injeksi?
2. Berapakah persentase obat yang sesuai dengan Formularium Nasional 2015?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengevaluasi kesesuaian resep dengan indikator
peresepan pada pasien rawat jalan Puskesmas Jetis Yogyakarta pada periode
Januari– Juni 2015, yang meliputi :
1. Rata – rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan.
2. Persentase obat dengan nama generik untuk pasien rawat jalan.
3. Persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat jalan.
4. Persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien rawat jalan.
5. Persentase obat yang sesuai dengan Formularium Nasional 2015.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi puskesmas :
3
4
a. Sebagai informasi mengenai jumlah obat per lembar resepnya, peresepan
obat antibiotik, obat generik, obat injeksi, dan kesesuaian obat dengan
Formularium Nasional 2015 pada pasien JKN rawat jalan di puskesmas
tersebut.
b. Sebagai masukan dalam upaya penggunaan obat yang optimal di puskesmas
tersebut.
2. Bagi pemerintah :
a. Memperkaya data dan informasi tentang penggunaan obat di kota
Yogyakarta.
b. Sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia
pada umumnya dan peningkatan pelayanan kefarmasian pada khususnya.
3. Bagi peneliti :
Meningkatkan pengetahuan akan dunia kesehatan dan farmasi sekaligus
sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang
diperoleh.
E. Tinjauan Pustaka
1. Penggunaan obat yang rasional
Pengobatan yang rasional adalah pemberian obat berdasarkan diagnosa
penyakit, bukan berdasarkan symptom atau gejala dimana diberikan hanya jenis
obat yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit atau mengatasi masalah
kesehatan secara efektif, aman dan dalam batas-batas kemampuan dana yang
tersedia (Depkes RI, 1989). Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan
4
5
obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah dan untuk masa
yang memadai, dan dengan biaya yang terendah (WHO, 2002).
Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria
(Depkes RI, 2012):
a.
Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat
akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya
obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang
seharusnya.
b.
Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,
misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memiliki gejala adanya infeksi bakteri.
c.
Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi
sesuai dengan spektrum penyakit.
d.
Tepat Dosis
Dosis, cara, dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap
efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko menimbulkan
5
6
efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
e.
Tepat Cara Pemberian
Misalnya, obat Antasida seharusnya dikunyah dahulu kemudian
ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu,
karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi
dan menurunkan efektivitasnya.
f.
Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian
obat per hari, semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.
g.
Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing masing.
Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya
akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
h.
Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek
tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi.
i.
Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih
jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida.
Penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya
6
7
dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini
meningkat secara bermakna.
j.
Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
k.
Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat
penting dalam menunjang keberhasilan terapi.
l.
Tepat tindak lanjut (follow-up)
Saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh
atau mengalami efek samping.
m. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai
penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.
n.
Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan
Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berupa
jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak, frekuensi
pemberian obat per hari terlalu sering, jenis sediaan obat terlalu beragam,
pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi, pasien tidak
mendapatkan informasi atau penjelasan yang cukup mengenai cara minum
atau menggunakan obat, timbulnya efek samping tanpa diberikan
penjelasan terlebih dahulu.
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai berikut:
7
8
1). Peresepan berlebih (overprescribing)
Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
penyakit yang bersangkutan.
2). Peresepan kurang (underprescribing)
Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan,
baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak
diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga
termasuk dalam kategori ini.
3). Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit
yang sama. Kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis
obat.
4). Peresepan salah (incorrect prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi
yang
sebenarnya
merupakan
kontraindikasi
pemberian
obat,
memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar,
pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada
pasien, dan sebagainya.
2. Indikator WHO 1993
Tujuan utama dari indikator ini adalah untuk mengetahui pengukuran objektif
yang dapat menggambarkan penggunaan obat di suatu negara, wilayah, atau
fasilitas kesehatan (WHO, 1993). Indikator penggunaan obat tersebut telah diatur
8
9
dalam standar yang digunakan untuk mengukur penggunaan obat pada fasilitas
rawat jalan (Odusanya, 2004).
Indikator penggunaan obat ini telah dikembangkan untuk digunakan sebagai
pengukur kinerja di 3 area umum yang berhubungan dengan penggunaan obat
yang rasional pada perawatan primer:
a.
Indikator peresepan terdiri dari:
1). Rata-rata jumlah obat per lembar resep,
2). Persentase peresepan obat dengan nama generik,
3). Persentase peresepan obat dengan antibiotik,
4). Persentase peresepan obat dengan injeksi,
5). Persentase peresepan yang sesuai dengan formularium.
Hasil penelitian (estimasi) terbaik untuk Indikator Peresepan WHO 1993,
adalah sebagai berikut :
a). Rata-rata jumlah item obat per lembar resep adalah 1,8 – 2,2 item per
lembar resep,
b). Persentase peresepan obat dengan nama generik adalah > 82,00 %,
c). Persentase peresepan obat dengan antibiotik adalah <22,70 %,
d). Persentase peresepan obat dengan sediaan injeksi adalah seminimal
mungkin,
e). Persentase peresepan yang sesuai dengan formularium adalah 100%.
b.
Indikator pelayanan pasien terdiri dari :
1). Rata-rata lamanya waktu konsultasi,
2). Rata-rata waktu peracikan obat,
9
10
3). Persentase obat yang benar-benar diserahkan kepada pasien,
4). Persentase obat-obat yang telah dilabel dengan benar,
5). Pengetahuan pasien dalam memahami cara penggunaan obat yang
benar.
Hasil penelitian (estimasi) terbaik untuk Indikator Pelayanan Pasien WHO
1993, adalah sebagai berikut :
a). Rata-rata lamanya waktu konsultasi dengan dokter adalah 2,3 – 6,3 menit,
b). Rata-rata waktu peracikan obat adalah 12,5 – 86,1 detik,
c). Persentase obat yang benar-benar diserahkan kepada pasien adalah 100 %,
d). Persentase obat-obat yang telah dilabel dengan benar adala 100%,
e). Pengetahuan pasien dalam memahami cara penggunaan obat yang benar
adalah 100%.
c. Indikator fasilitas kesehatan terdiri dari :
1). Ketersediaan daftar obat-obat penting atau formularium,
2). Ketersediaan drug of choice.
Hasil penelitian (estimasi) terbaik untuk Indikator Pelayanan Pasien WHO
1993, adalah sebagai berikut :
a). Tersedia daftar obat-obat penting atau formularium,
b). Persentase ketersediaan drug of choice adalah 100 %.
3. Jaminan Kesehatan Nasional
Dikeluarkannya Undang-Undang No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh
10
11
penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan Jaminan Sosial
Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk JKN akan diselenggarakan oleh BPJS
Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014.
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan melalui mekanisme
Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UndangUndang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya
adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi,
sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang
layak (Depkes RI, 2014c).
Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN) merupakan asuransi kesehatan sosial.
Asuransi kesehatan sosial memberikan beberapa keuntungan yang pertama,
memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. Kedua,
asuransi kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Ketiga,
asuransi kesehatan sosial menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan
pelayanan kesehatan yang berkelanjutan). Keempat, asuransi kesehatan sosial
memiliki portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia
(Depkes RI, 2014c).
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlu disusun daftar obat
dalam bentuk Formularium Nasional. Formularium Nasional merupakan daftar
obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan
11
12
dalam rangka pelaksanaan JKN (Depkes RI, 2015). Adanya Formularium
Nasional maka pasien akan mendapatkan obat terpilih yang tepat, berkhasiat,
bermutu, aman dan terjangkau, sehingga akan tercapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu obat yang tercantum dalam
Formularium Nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya
(Depkes RI, 2014d).
4. Obat Generik
Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary
Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Sedangkan obat generik
bermerek/bernama dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang
menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan. Dokter yang
bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat
generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis (Depkes RI, 2010b).
Dosis, keamanan, kekuatan obat, kualitas, dan cara obat generik bekerja sama
seperti obat bermerek atau obat paten. Food and Drug Administration (FDA) juga
mengharuskan bahwa obat generik mempunyai kualitas tinggi, kekuatan,
kemurnian, dan stabilitas yang sama seperti obat paten (FDA, 2015).
5. Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh berbagai spesies
mikroorganisme dan bersifat toksis terhadap mikroorganisme lain. Sifat toksik
senyawa-senyawa
yang
terbentuk
mempunyai
kemampuan
menghambat
pertumbuhan bakteri (efek bakteriostatik) dan bahkan ada yang langsung
12
13
membunuh bakteri (efek bakteriasid) yang kontak dengan antibiotik tersebut
(Sumardjo, 2009).
Obat-obat antibakteri mempunyai mempunyai spektrum sempit dan spektrum
luas. Antibiotik spektrum sempit terutama efektif untuk melawan satu jenis
organisme, sedangkan antibiotik spektrum luas efektif terhadap organisme baik
gram positif maupun gram negatif (Kee dan Heyes, 1996)
Resistensi bakteri dapat terjadi jika pengobatan dengan antibiotik tidak
mencukupi misalnya, karena terlalu singkat atau terlalu lama dengan dosis yang
terlalu rendah. Bila suatu antibiotik tidak mampu membunuh bakteri atau bakteri
menjadi kebal, pengobatan selanjutnya harus dilakukan dengan antibiotik yang
lain (Sumardjo, 2009).
6. Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkam dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lendir. Injeksi dilakukan dengan melarutkan, mengemulsikan atau
mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan
mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda
(Anief, 2007)
7. Profil Puskesmas Jetis
Puskesmas Jetis Yogyakarta berada di Jalan Pangeran Diponegoro no 91 Kota
Yogyakarta. Wilayah Kerja Puskesmas Jetis seluas 156,00 Ha dengan jumlah
13
14
penduduk 27.939 jiwa dan tersebar di 3 kelurahan yaitu Kelurahan Bumiijo,
Cokrodiningratan, dan Gowongan. Di Puskesmas Jetis terdapat dua upaya
kegiatan kesehatan yaitu upaya kegiatan wajib yang terdiri dari upaya kegiatan
perorangan (Pengobatan, Gizi, KIA/KB, Promosi Kesehatan, Kesehatan
Lingkungan, Pemberantasan Penyakit Menular) dan upaya kegiatan masyarakat
(UKS, UKGMD, P3K, Posyandu balita, Posyandu lansia, Pembinaan dan
Penyuluhan masyarakat). Upaya kegiatan pengembangan terdiri dari kegiatan
Konsultasi psikologi, Konsultasi gizi, Klinik santun lansia, dll. Poli yang terdapat
di Puskesmas Jetis adalah poli umum, poli gigi, poli KIA/KB serta poli lansia.
Jaminan kesehatan di Kecamatan Jetis meliputi Jamkesmas, Askes, KMS,
Jamkesos, Jamkesda, Gratis, dan Jampersal.
F. Kerangka Konsep Penelitian
Resep pasien
JKN rawat jalan
Indikator Penggunaan Obat WHO 1993:
Indikator peresepan
a. Rata-rata jumlah obat per lembar resep
b. Persentase obat dengan nama generik
c. Persentase peresepan obat antibiotik
d. Persentase peresepan obat dengan sediaan
injeksi
e. Persentase obat dengan obat-obat yang
sesuai dengan formularium nasional
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
14
15
G. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran penggunaan obat pada
pasien rawat jalan di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta berdasarkan standar acuan
indikator peresepan WHO 1993, meliputi:
a. Rata-rata jumlah item obat per lembar resep untuk pasien rawat jalan,
b. Persentase obat dengan nama generik,
c. Persentase peresepan obat antibiotik,
d. Persentase peresepan obat dengan sediaan injeksi,
e. Persentase obat dengan obat-obat yang sesuai dengan formularium
nasional 2015.
15
Download